Ahda Imran
Pikiran Rakyat, 31 Mei 2009
PERANG itu konon terjadi tahun 1357 Masehi, di sebuah tempat bernama Bubat. Ketika itu, Raja Galuh Prabu Maharaja Linggabuana datang membawa putrinya yang cantik, Dyah Pitaloka Citraresmi. Kedatangan raja Sunda beserta rombongan adalah untuk menikahkan putrinya dengan Raja Majapahit Hayam Wuruk. Tapi sesuatu yang tak terduga terjadi. Kedatangan rombongan dari Kerajaan Galuh itu oleh Mahapatih Gajah Mada ternyata dimaknai lain. Bukan untuk perkawinan, melainkan penyerahan putri Dyah Pitaloka untuk diperistri Hayam Wuruk sebagai tanda bahwa kerajaan Sunda Galuh mengakui kekuasaan Majapahit.
Kontan saja ambisi politik Gajah Mada ini menyakiti harga diri Prabu Maharaja Linggabuana. Mereka menolak keinginan Gajah Mada dan siap bertempur sampai mati. Dan itu akhirnya terjadi. Gajah Mada dan pasukannya mengepung Bubat, tempat rombongan kerajaan Sunda Galuh berkemah. Karena rombongan kerajaan Sunda Galuh datang bukan untuk berperang, mereka kalah telak. Tapi demi harga diri, pasukan Sunda Galuh bertempur sampai mati. Termasuk Prabu Maharaja Linggabuana dan putrinya Dyah Pitaloka.
Peristiwa inilah yang kemudian dikenal dengan Perang Bubat. Perang dan peristiwa tragis yang jejaknya sampai hari ini masih hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Sunda. Ingatan yang konon pula menjadi semacam duri dalam hubungan antara etnis Sunda-Jawa. Dan Gajah Mada dianggap sebagai biang keladinya. Maka, menyebut Perang Bubat, terutama bagi kebanyakan orang Sunda, adalah menyebut nama Gajah Mada. Seorang antagonis yang licik dan ambisius. Dialah yang menyebabkan kematian Prabu Maharaja Linggabuana dan Dyah Pitaloka.
Lalu bagaimana ketika imajinasi kolektif ihwal Perang Bubat itu hadir dari sudut pandang narasi yang lain, ketika ternyata perang itu disebut menyimpan kisah cinta antara Gajah Mada dan Dyah Pitaloka? Juga disebutkan bahwa Prabu Linggabuana dan Dyah Pitaloka sesungguhnya tidaklah gugur di Bubat, dan latar belakang Gajah Mada yang berasal dari Banten serta keturunan Cina. Pada masa mudanya ia bernama Ramada dan pernah berbakti di Kerajaan Sunda Kawali. Lalu narasi itu juga mengatakan bagaimana perang dan peristiwa tragis itu terjadi semata-mata bukanlah karena ambisi politik Gajah Mada, melainkan karena intrik politik di kalangan istana.
Inilah narasi lain ihwal Perang Bubat yang diangkat Aan Merdeka Permana dalam novelnya “Perang Bubat” yang diterbitkan Penerbit Qanita. Sejak cetakan pertama Maret hingga Juni 2009 novel ini telah memasuki cetakan ke-2. Tafsir narasi yang dilakukan oleh Aan ini tak hanya menyebal dari narasi “resmi” tentang Perang Bubat seperti yang termaktub dalam berbagai sumber sejarah tradisional, sebutlah, Pararaton, Carita Parahyangan, Kidung Sunda, atau Kidung Sundayana . Tapi juga amat berlainan dengan novel yang bertutur atau berlatar belakang Perang Bubat, seperti, “Gajah Mada” karya Langit Kresna Hariadi atau “Dyah Pitaloka: Senja di Langit Majapahit” karya Hermawan Aksan.
Ketaklaziman ini bukannya tidak disadari oleh Aan Merdeka Permana. Berbeda dengan para pengarang lainnya yang menulis novel yang berkonteks sejarah lewat berbagai riset dan pembacaan berbagai referensi, Aan Merdeka Permana menulis “Perang Bubat” mendasar pada sumber lisan sejumlah orang dalam perjalanannya dari Bandung Selatan, Garut, hingga ke Bubat di Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
“Bahwa kisah ini bertolak belakang dengan “babon sejarah”, tentu tak perlu dirisaukan benar sebab ‘data’ yang saya temukan tak memiliki bukti otentik seperti yang diisyaratkan ahli sejarah. Lagi pula, pengarang menyusunnya dalam kisah fiksi semata, mungkin hanya untuk sekadar tampil beda dengan kisah-kisah yang bersumber dari catatan resmi. Jadi, pembaca harus ingat: “Ini bukan novel sejarah!” tutur Aan Merdeka Permana dalam pengantarnya.
**
MESKI menyebut bahwa yang ditulisnya bukanlah novel sejarah, tapi tak urung novel ini dianggap kontroversial. Bisa saja novel ini mengidentifikasi dirinya sebagai karya fiksi, namun karena ia bertutur tentang peristiwa yang ada dalam berbagai sumber tertulis dan kadung telah menjadi bagian utuh dalam imajinasi kolektif masyarakat, soalnya bukan sekadar ingin tampil beda. Penyimpangan yang dilakukan mau tak menimbulkan sejumlah risiko.
Inilah yang mengemuka ketika novel “Perang Bubat” didiskusikan di Aula Redaksi Pikiran Rakyat, Rabu (27/5) kerja sama Pusat Data Redaksi HU “PR” dan Penerbit Qanita. Menghadirkan pembicara Prof. Jakob Sumardjo dan Aan Merdeka Permana, diskusi memang berkonsentrasi pada ketaklaziman dalam novel itu.
Jika Perang Bubat hendak dibaca sebagai sejarah, tentu saja itu terbuka pada berbagai tafsir dan sudut pandang. Hanya saja, setiap tafsir dan sudut pandang memerlukan argumen yang merujuk pada data dan referensi yang jelas. Bukan pada sembarang cerita lisan yang tidak mendasar, meski itu mengelak untuk disebut sebagai novel sejarah dan melulu hanya sebagai fiksi. Fiksi yang berlatar peristiwa sejarah agaknya masih bisa dipahami, tapi fiksi yang mencampur-baurkan peristiwa sejarah di dalamnya akan jadi menyesatkan.
Inilah yang dipertanyakan oleh Tendy Somantri tentang kebebasan imajinasi pengarang di hadapan peristiwa sejarah dengan berbagai rujukan data yang tersedia seperti perang Bubat. Terhadap pernyataan itu, Jakob Sumardjo memandang bahwa kebebasan pengarang dalam penulisan fiksi sejarah haruslah tetap mendasar pada data-data sejarah. “Menulis fiksi sejarah haruslah dibarengi dengan pembacaan literatur sejarah itu sendiri. Kalau novel ini terbit di tengah masyarakat yang memahami sejarah, novel ini tidak akan dibeli. Tapi dalam masyarakat yang tunasejarah, novel ini akan laku. Tanggung jawab menulis novel yang berhubungan dengan sejarah itu berat”, ujar Jakob Sumardjo.
Jakob menghadapkan novel “Perang Bubat” ini dengan apa yang termaktub dalam Kidung Sunda. Dan ia melihat ketidaklaziman novel tersebut. Bukan hanya soal latar-belakang timbulnya konflik atau identitas Gajah Mada, tapi juga pada sejumlah adegan yang dianggapnya janggal. Misalnya, adegan ketika Ramada (Gajah Mada) bertemu dengan Dyah Pitaloka di tepi kolam di sebuah taman. Merujuk pada arsitektur ruang istana seperti termaktub dalam Kidung Sunda dan cerita pantun, dalam pandangan Jakob Sumardjo hal ini mustahil terjadi. Sebab, ada sembilan pintu yang harus dilewati oleh siapa pun yang hendak bertemu dengan raja dan keluarganya.
“Penggambaran ini memberi kesan istana Galuh itu kecil. Gajah Mada dapat langsung naik kuda masuk ke istana. Keraton-keraton tua di Indonesia selalu digambarkan memiliki halaman yang luas dan berpagar secara berlapis. Itulah sebabnya pantun-pantun Sunda menggambarkan istana Sunda sebagai masuk melewati sembilan pintu dan keluar tujuh pintu, dengan dua pintu belakang yang merupakan daerah terlarang kecuali keluarga raja sendiri,” tutur Jakob Sumardjo.
Demikian pula ketika ia mengurai latar belakang Gajah Mada yang dalam novel itu disebut-sebut berasal dari Banten dan pernah mengabdi di istana Galuh, peristiwa di mana ia dan Dyah Pitaloka saling jatuh cinta. Jika dalam novel itu dikisahkan Ramada (Gajah Mada) bertemu Dyah Pitaloka sekitar tahun 1350, maka dalam sumber resmi pada tahun-tahun itu Gajah Mada telah menjabat mahapatih.
Jakob Sumardjo juga memeriksa kemungkinan mengapa dalam novel itu Gajah Mada disebut turunan Banten dan Cina. “Penulis novel ini menciptakan wajah baru Gajah Mada yang bernama Ma Hong Foe alias Ramada alias Basundewa Mada yang berdarah Cina. Mengapa dalam novel ini Gajah Mada berdarah Sunda Cina? Mungkin terinspirasi ‘patung Gajah Mada’ yang sudah menjadi mitos nasionalisme dengan wajah gemuk, tembem, dan bermata sipit. Patung itu sebenarnya adalah tafsir Muhamad Yamin ketika menemukan patung terakota di Trowulan,” kata Jakob Sumardjo. ”
Lepas dari kritik Jakob Sumardjo, Aan Merdeka Permana menjelaskan bahwa ketaklaziman perang Bubat dalam novelnya itu sesungguhnya menyodorkan gagasan yang tidak melulu mengarah pada perdebatan ihwal karya fiksi di hadapan data sejarah. Tapi kehendak untuk melihat sudut pandang lain dari latar-belakang konflik yang melatarbelakanginya, sehingga peristiwa perang Bubat tidak melulu kemudian hanya menghadapkan sentimen etinis antara Sunda-Jawa yang memprihatinkan.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2009/05/perang-bubat-yang-lain.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar