Faisal Kamandobat
http://senimana.com/
PADA malam kelabu di masa kanak-kanak, ketika hantu-hantu dalam khayalan kita bermain layaknya badut-badut yang menyeramkan, kita sering meminta bantuan ibu kita untuk mengusir hantu-hantu itu. Ibu kita tak akan mengmbil tindakan gila dengan memberi anaknya sebuah kapak, tetapi memberi kata-kata yang disusun dalam dongeng yang penuh jebakan. Hantu-hantu itu pun lari terbirit-birit, takut pada kata-kata ibu kita; kata-kata murni yang menyimpan tenaga luar biasa, nyaris sama dahsyatnya dengan bom atom bikinan ilmuwan eksentrik yang beruntung.
Kata-kata dalam dongeng, itulah rahasia di balik kecerdikan Aladdin menyelamatkan diri dari muslihat penyihir jahat, senjata rahasia Syahrazad selamat dari ancaman Syahjehan, dan mantra misterius yang membuat unta milik Ali Bhaba bisa bersikap sama bijaknya dengan seorang filsuf yang menyamar menjadi seekor binatang. Dalam kantuk yang berat kita terus memikirkan kata-kata hebat dari Kisah 1001 Malam itu. Begitu dongeng berhenti ibu kita segera melepas bermacam fantasi dari alam pikirannya, keluar dari alam dongeng yang baru dikisahkannya, sambil mengusap wajah kita dengan khidmatnya.
Kata-kata seorang pendongeng memang tidak mampu mengubah mineral menjadi anggur, tapi mampu mengubah perasaan dan pikiran manusia. Komunikasi yang dibangun melalui dongeng tidak hanya sanggup mengusir hantu-hantu pengancam akal murni seorang bocah, tetapi mampu membentuk karakter, wawasan dan kosmos secara kreatif, pada diri narator dan pendengarnya. Terciptalah sebuah evolusi kesadaran yang dicipta melalui aktivitas berbahasa yang konstitutif dalam tinjauan fenomenologis dan komunikatif menurut bidang performasi-artistik.
Kejutan besar dalam model komunikasi dongeng adalah tiadanya gangguan walau seberapa besar kejutan dihadirkan: dongeng, yang merupakan genre sastra paling radikal dalam mengolah realitas berdasarkan fantasi, mampu menghadirkan efek dramatik melalui bahasa literer yang alamiah, nyaris setingkat dengan bahasa sehari-hari. Sifat dongeng ini membuka peluang bagi manusia dengan intensi sastra terbatas seperti ibu kita untuk menjadi seorang kreator bahasa yang elegan dan independen,karena bekerja di luar pengawasan badan estetika bernama kritikus sastra.
Kita boleh menuduh ia, ibu kita sang pendongeng, tidak orisinal karena menggubah dongengnya dari Kisah 1001 Malam. Namun itu keliru, karena menggubah adalah pekerjaan yang sarat kretivitas, baik bahasa maupun interpretasi. Di samping itu, kerja mendongeng ibu kita menunjukan posisi kreatifnya yang lain, yaitu sebagai Promotheus yang mencuri api-sastra dari tungku peradaban untuk menerangi nalar anak-anaknya yang masih dungu, sekaligus sebagai penyambung satu peradaban dengan peradaban lain dan penghubung dunia masa-lalu dengan masa-kini dalam bentuk pengalaman lingustik yang kongkret. Bila dunia sastra modern menyingkirkan para pendongeng sebagai Promotheus-nya, ia akan kehilangan akses dan investasi kultural yang besar dan strategis.
Terlebih sifat tekstual sastra modern, yang terbentuk sejak mesin-cetak Guttenberg, membuat ia semakin dibatasi abjad dan kertas sehingga pasif dalam berkomunikasi dengan pembaca, personal dan terutama kolektif. Hubungan semacam itu tidak terjadi pada dongeng, di mana narator dan pendengar dapat berkomunikasi dan membentuk cerita secara langsung dan bersama-sama. Dengan duduk dan diteruskan sebagai dongeng, karya sastra akan membentuk diskursus yang langsung berhubungan dengan nilai-nilai historis dalam kehidupan sehari-hari, untuk kemudian menjadi media pengangkat dan penyaring nilai-nilai tersebut. Sastra sejati tidak berhenti sebagai teks di atas kertas, karena hakikat sastra adalah membaca dan menulis dengan menghadirkan alam subjektif (personal) ke dalam alam objektif (sosial) melalui kerja permainan berbahasa, agar makna-makna tidak membeku dalam kungkungan kuasa normativitas yang menahan gerak Heraklian dinamika manusia.
Pola komunikasi dongeng semakin terbuka untuk dihadirkan dalam konteks sosial kekinian, di mana gagasan dominan di ruang publik dikuasai aparatus ekonomi dan politik, dan bahasa telah menjadi agen penyebarannya yang paling progresif. Setiap kata, baik di pikiran maupun yang lidah kita, adalah instrumen pereduksi kesadaran dari gagasan dominan itu. Dongeng memang tidak mampu mengubah dunia sekuat rekayasa sosial para pemimpin politik, namun setidaknya dapat membuka kemungkinan dialog dengan nilai-nilai yang telah dibunuh dan makna-makna yang telah menjadi fosil atau abu. Dongeng menghidupkan spirit berbahasa yang telah mati, yang jika diolah kembali berdasarkan prespektif yang canggih bukan mustahil akan menghasilkan formula baru dalam cara kita memandang dan membentuk dunia.
Maka biarkan ibu kita menjadi pendongeng, menjadi aktris, menjadi seniman karakter dan bahasa. Dongeng adalah drama yang dipentaskan bukan di atas panggung, tapi di atas kehidupan. Seperti drama, terlibat dalam dongeng mengangkat posisi kita ke alam transenden, di mana nilai-nilai yang mengikat kita dapat diteliti, diubah dan diperankan. Dongeng tak ubahnya laboratorium manusia di mana impian, gagasan, dan karakter diobservasi di kamar bedah imajiner, kemudian diterapkan dan dilepas kembali ke habitatnya di alam nyata.
Dongeng, menyebut salah satu buah terbaiknya, dapat ditemui pada Kisah 1001 Malam. Kebudayaan Arab yang berkembang melalui pola hidup nomaden di padang pasir amat membutuhkan bahasa sebagai sumber kekuatan mental bertahan hidup. Penyair dan pendongeng memiliki posisi sentral di dalamnya (bahkan dalam kronik sejarah disebutkan terdapat sebuah suku yang seluruh anggotanya adalah penyair). Melampaui fungsinya sebagai pelecut semangat mengembara dan perang antar suku, mereka memiliki peran politik, estetika, spiritual, bahkan mistis. Sebuah kebudayaan di mana realitas dan imajinasi menyatu dalam bahasa dan mengental dalam kognisi, afeksi dan aksi di lapangan historis.
Sumber-sumber energi dan inspirasi dari geo-budaya yang muncul di masa kemudian hadir sebagai formula penyegar bahasa dengan filosofi dan spritualitas. Agama Yahudi dan Kristen yang telah hidup lama di Arab patut disebut sumbangannya, diteruskan agama Islam yang dibawa seorang nabi dari golongan Arab tulen sehingga berhasil menjadi sumber energi dan inspirasi yang relatif dominan. Pada saat yang sama komunikasi budaya antar suku, agama, dan geografi memberi sumbangan unik yang tidak kecil, yang cita-rasanya dapat kita rasakan sampai hari ini.
Di atas landasan yang luas dan kokoh itulah Kisah 1001 Malam lahir, tumbuh dan berkembang. Dengan sumber yang berlimpah ia memiliki banyak kemungkinan untuk terus dieksplorasi, di mana setiap pendongeng memiliki kebebasan memberi sentuhan variasi, baik pada bahasa (style) maupun isi (content). Sedang pola hidup nomaden padang pasir, yang meniscayakan mobilitas sosial terus-menerus, menjadi mesin penyebarannya yang efektif sekaligus menyatukan bangsa Arab berdasarkan spirit berbahasa yang kuat.
Satu hal yang sering menjadi pusat perhatian dalam dongeng legendaries ini adalah siapakah yang mencipta dongeng-dongeng yang dikisahkan Syahrazad kepada Syahjehan selama seribu satu malam. Padahal “misteri Syahrazad” ini ibarat “lubang hitam” yang membidani kelahiran dan pertumbuhan dongeng monumental ini secara terus-menerus, di mana dengan menihilkan klaim kreator atasnya berarti dongeng ini membuka kesempatan kepada siapa saja untuk menjadi kreatornya, pendongengnya, dengan memberi sentuhan kreartif atasnya. Jadi, bila Nietzsche pernah menulis bahwa setiap orang adalah filsuf menurut kapasitasnya masing-masing, Kisah 1001 Malam mengatakan bahwa setiap orang adalah pendongeng menurut ukuranya masing-masing.
Bagi akal literar pengemar teka-teki, “misteri Syahrazad” setidaknya mengandung dua hal yang petut dicurigai. Pertama, hubungan penuh jebakan antara Syahrazad dan Syahjehan, antara Syahjehan dengan Syahrarar (yang hendak membunuhnya namun selalu gagal karena Syahjehan selalu terjaga di malam hari untuk mendengar dongeng-dongeng Syahrazad), dan Syahrazad dan dongeng-dongengnya.
Masing-masing hubungan itu membuka kemungkinan dalam bermain-main plot demi menghasilkan struktur cerita yang kuat dan canggih. Dan plot tak sekedar plot itu sendiri. Plot mengandaikan aktus manusia dalam menjalani berbagai peristiwa, yang di dalamnya terdapat hubungan dengan waktu, baik waktu astronomis-kosmis maupun historis-antropologis. Pertemuan dua model waktu ini, ditambah kedalaman dalam mengeksplorasi psikologi para tokoh cerita, akan menghasilkan ruang eksperimen yang luas dalam kerja kreatif para pendongeng.
Kedua, hubungan pendongeng (narator) dengan dongengnya. Hubungan ini polarisasinya ditentukan oleh faktor idealis di mana pendongeng biasa menyusupkan sebentuk gagasan kepada pendengarnya. Gagasan itu dapat dihasilkan misalnya dengan membuka hubungan literer dengan tradisi intelektual dan spirit di luar dongeng itu sendiri. Maka bukan sesuatu yang muskil jika seorang teolog menjadikan keselamatan Syahrazad sebagai ilustrasi campur-tangan Tuhan terhadap hidup-matinya segala-sesuatu, atau seorang penguasa menjadikannya untuk menunjukkan adanya legitimasi ilahiat terhadap kekuasannya. Hubungan yang sama dapat dilakukan seorang astronom, filsuf, mistikus, atau seorang pecinta yang gigih.
“Misteri Syahrazad” seakan hendak mengatakan bahwa dengan ketrampilan bercerita kelas satu, ditambah kegilaan berkhayal dalam dosis yang tepat, kehidupan seseorang pendongeng, mengingat bobot dan spektrumnya, adalah sebuah potret spesifik yang menarik untuk diolah dalam tradisi dan cita-rasa sastra modern. Dan inilah yang dilakukan oleh Salman Rushdie dalam Haroun and The sea of Stories dan Naguib Mahfouz dalam Alfu Laila wa Laila wa al-Nahr.
Namun Kisah 1001 Malam, yang lahir dari kebudayaan Arab, mungkin tidak menarik bagi seorang esensialis kepala batu, yang mempercayai keaslian budaya suatu bangsa dengan mengabaikan hubungan saling mempengaruhi dengan budaya bangsa lain. Namun tak seorang pun dapat mengingkari kekuatan literer dan komunikasinya, baik antara narator dan pendengarnya, manusia dan dunianya, maupun bangsa dan kebudayaannya.
Dan hilangnya kekuatan komunikasi itulah yang membuat kita tak bisa menyelamatkan Serat Centhini dari kesadaran orang Jawa sekarang, La Galigo dari kesadaran orang Sulawesi kini, atau Ramayana dan Mahabrata ketika para dalang semakin kalah pamor dari Doraemon dan Tom and Jerry. Sebelum semua itu menjadi fosil dari praktek politisasi budaya yang orientasinya kelewat ekonomistik, pada dasarnya kita telah ikut melenyapkannya sejauh bahasa yang membentuk dunia kita tetap dibiarkan kehilangan konsentrasi historis dan fenomenologis terhadap dunia yang secara kosmik belum terakses bahasa Indonesia, namun secara praktis menjadi bagian sehari-hari kita; singkatnya, semua itu ada, namun tidak lagi hidup dalam batin kita, karena substansinya tak lagi terakses bahasa yang membentuk kesadaran kita.
Dan “misteri Syahrazad” adalah permaian bahasa yang dapat dijadikan cermin atau bahkan terapi untuk mengolah berbagai fosil nilai dan makna dalam kebudayaan kita, setidaknya agar kita tidak bersikap mentah terhadap nilai-nilai dan makna-makna itu. Siapa pun terikat komitmen untuk mengolah fosil-fosil itu, karena setiap orang pada-dasarnya adalah “ibu” yang melahirkan bahasa –media untuk mendongeng, tanda eksistensi humaniora, dan layar pengungkap dunia di mana manusia hidup dan mati.
26 April 2011
Sumber: http://senimana.com/berita-171-dongeng–kehidupan-kita.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar