Waskiti G Sasongko
http://senimana.com/
3 Juni 1953, Agus Salim dan Sri Paku Alam beserta rombongan duta besar Indonesia mendapat tugas dari Soekarno untuk menghadiri upacara penobatan Ratu Elizabeth II. Di tengah-tengah jamuan serimoni agung tersebut Agus Salim menyalakan sebatang kreteknya, menghisapnya dalam-dalam dan menghembuskan keluar kuat-kuat. Pangeran Duke of Endiburgh, sang suami Ratu Elizabeth itu, tampak tidak senang menoleh ke kiri dan ke kanan sembari bertanya-tanya pada hadirin, dari mana bau tidak sedap itu datang? Maka Agus Salim menjawab, “Yang Mulia, bau yang tidak sedap itu adalah bau rokok kretek yang sedang saya hisap yang dibuat dari tembakau dan cengkih. Boleh saja yang mulia tidak menyukainya. Tapi justru bau inilah yang menarik minat pelaut-pelaut Eropa datang ke negeri kami tiga abad yang lalu”. Duke of Edinburg pun terdiam beku oleh sindiran Agus Salim itu.
Inilah sepenggal kisah, bagaimana kretek, atau lebih tepatnya produk olahan hasil bumi Indonesia, tembakau dan cengkih, merefleksikan kekuatan produksi masyarakat nusantara sejak dulu. Kita memang tidak pernah tahu pasti sejak kapan kretek telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat. Namun, jika kita menoleh ke belakang kita dapat melihat bagaimana kisah Roro Mendut yang sukses menjajakan rokok di zaman kekuasaan raja Amangkurat I, sebagaimana kisah ini ditulis ulang oleh Romo Mangun, setidaknya secara literal menandai bahwa produk rokok telah dikenal oleh masyarakat nusantara sejak lama. Bahwa, kemudian dalam kesejarahan modern produk kretek lebih kita kenal sejak Haji Djamari yang asli Kudus ini meramu tembakau dan cengkih sebagai ramuan obat batuk, pada abad ke 18an, ini tentu sebuah tafsiran historis tersendiri.
Namun, apa yang menarik kita catat di sini adalah bahwa, kretek adalah produk khas bangsa kita, eksistensinya adalah satu-satunya di dunia. Sebagaimana keris pamor yang adalah warisan budaya bangsa yang telah beroleh pengakuan dunia internasional, Unesco, produk kretek pun sebenarnya muncul tercipta dari kecerdasan lokal bangsa ini. Bahkan, dapat kita katakan bahwa kretek — meminjam istilah Denys Lombard — adalah suatu hasil dari kerja “osmosis kebudayaan” bangsa kita. Saya katakan osmosis kebudayaan karena kretek sendiri adalah sebuah difusi kebudayaan yang datang dari luar dan bersimbiosis dengan kekayaan lokal bangsa kita. Konon, tanaman tembakau masuk menjadi kekayaan nabati bangsa kita sejak memasuki abad ke 17.
Di sini kita mungkin akan sedikit berjalan memutar. Seperti kita tahu, istilah osmosis digunakan oleh Denys Lombard dalam karya monumentalnya, ”Nusa Jawa: Silang Budaya.” Untuk kasus di Indonesia, demikian Lombard, kita tak bisa memakai perspektif dialektika dalam pengertian Hegelian. Karena di situ pasti ada unsur aufgehebung, kebudayaan pemenangnya. Yang terjadi dalam sejarah seni atau kebudayaan di sini adalah suatu proses perembesan kultural, dan bukanlah dialektika. Suatu kegiatan saling serap antara warisan-warisan budaya lokal dan pengaruh ideologi-ideologi yang datang dari ‘negeri atas angin’, yang membuat terjadi mutasi budaya terus-menerus, baik saat Indonesia masa kuno maupun modern. Apa yang khusus dari bangsa kita bukanlah sejarahnya yang khusus, melainkan, masih merujuk Lombard, ialah posisi geokulturalnya yang khusus, di mana kita berada pada lokus persimpangan budaya dunia, kita berada pada jalur perdagangan besar dunia yang mau-tidak-mau senantiasa membawa pengaruh dari luar.
Apa yang menarik ialah, jika pada masa kuno katakanlah kita sanggup membangun sebuah sinergi pluralitas ideologi yang datang dari luar menjadi suatu kebudayaan yang baru dan besar, di mana budaya kemaritiman masyarakat nusantara akhirnya bertumbuh menjadi dua kerajaan besar, Sriwijaya dan Majapahit.
Andai kita jeli dalam menelisihnya Indianisasi yang terjadi bukanlah sesuatu pengambil alihan secara mutlak unsur-unsur budaya India, tapi lebih bersifat paduan dengan budaya lokal. Bahkan, banyak antropolog Barat yang mengatakan bahwa yang sesungguhnya terjadi ialah Jawanisasi India. Karena bukan rahasia jika paham-paham keagamaan Hindu dan Buddha yang di negeri sononya India bertikai, ternyata di sini dapat bersanding selaras, rukun satu sama lain. Ahli-ahli dari India datang ke Indonesia untuk melihat peninggalan candi-candi Hindu dan Budha berpendapat bahwa, memang ada kemiripan dengan apa yang ada di India tapi samasekali bukan budaya India. Di India secara tegas dipisahkan antara Hindu dan Budha. Borobudur disamping ada unsur Budha terdapat relief yang berisi kisah Mahabarata yang Hindu, bahkan ada relief yang notabene bukan Budha dan sekaligus bukan Hindu tapi kisah-kisah dari budaya lokal.
Namun, pada masa modern ini , proses mutasi fase ketiga kebudayaan lokal kita melalu difusi sejarah pembaratan ternyata tidak sanggup memunculkan sebuah sinergi kebudayaan yang baru dan besar, sebagaimana kisah masa lalu itu. Masih saja kita lihat, sampai saat ini, ada retakan-retakan yang cukup menganga antara pandangan dunia tradisionalisme dan modernism. Dualisme dua kebudayaan ini terjadi karena di dalam masyarakat Indonesia sendiri kita lihat adanya dua arus besar paradigma yang berbeda, yaitu golongan-golongan masyarakat Indonesia yang mendorong pembaratan lebih lanjut di satu sisi, dan golongan-golongan yang menolak tegas determinasi serta merta pengaruh budaya Barat dan mencari sumber Timur atau lokal dalam membentuk masyarakat Indonesia di sisi lain. Kebangkitan budaya lokal ini juga diperkuat dengan pengaruh Islam di pesantren-pesantren, yang pada zaman Belanda tetap mengajarkan agama Islam beserta budaya lokalnya yang mengacu pada ajaran “wali sanga”. Bahkan pada saat itu sesuatu yang berbau Barat ditabukan di pesantren-pesantren. Kedua pandangan ini, yang pro Barat dan pro Timur, jelas tercermin dalam Polemik Kebudayaan tahun 1930 dan silang sengkarut polemik Lekra-Manikebu di tahun 1960an.
Nah, ideologi Pancasila itu sendiri adalah suatu upaya merekatkan retakan-retakan pandangan dunia Timur dan Barat itu, tradisional dan modernisme, ideologi kapitalisme dan komunisme, namun lebih jauh sebenarnya juga membawa spirit untuk membendung pengaruh berkembangnya ideologi yang bersumber dari Barat (Nekolim). Pemimpin masa lalu yang lebih kita kenal sebagai “founding father” selalu mengatakan bahwa Pancasila adalah ideologi yang lebih unggul dari ideologi apapun yang berasal dari Barat.
Dengan begitu masyarakat Indonesia sebenarnya mempunyai kecenderungan sinkretik, atau heterodok, atau osmosis, yaitu dalam pengertian bahwa sejak dulu selalu bersikap terbuka terhadap pengaruh budaya-budaya yang datang dari ‘negeri atas angin’, namun secara bersamaan memiliki spirit hendak tetap menjaga nilai-nilai lokal yang berakar sangat dalam itu. Dalam perspektif inilah konsep politik “berdikari” yang dicanangkan Bung Karno adalah suatu usaha penolakan hegemoni budaya Barat melalui kemandirian ekonomi. Dengan kemandirian dibidang ekonomi, Indonesia punya kebebasan menentukan nasib budaya Indonesia ditangan bangsa Indonesia sendiri. Sungguh suatu pemikiran yang jauh ke depan, namun ironisnya proyek pemikiran besar ini saat ini jelas boleh kita katakan telah gagal total.
Nah, pada titik inilah sebenarnya kretek sebagai warisan tradisi bangsa ini dapat kita dudukan sebagai kritik atas kebudayaan globalisme. Pada titik ini, kretek sebagai warisan budaya tentu saja tidak sekadar kita lihat sebagaimana keris dan candi, atau barang-barang artefak yang sekadar diuri-uri, melainkan harus kita dudukkan dalam kerangka perspektif gerakan sebagai bagian dari kerja politik kebudayaan kita. Kretek sebagai salah satu soko guru kemandirian ekonomi dan industri nasional haruslah kita desain sebagai pemantik tumbuh mekarnya ‘politik identitas’ kebangsaan (nasionalisme). Sebab, di tengah-tengah gerusan perang dagang dan ekspansi pasar neoliberal yang berjubah paradigma kesehatan “satu dimensional” ini, sebenarnya eksistensi kretek memenuhi syarat-syarat multi-spektrum dimensional untuk menjadi kekuatan kritik ideologi atas muslihat dari apa yang menyebut dirinya sebagai kebudayaan globalisme ini. Kretek dapat menjadi kekuatan politik yang mendudukkan “kebudayaan sebagai sebuah panglima”.
Apa yang kita butuhkan di sini adalah menggeser perspektif “osmosis kebudayaan” menjadi suatu kerja “dialektika kebudayaan”. Dengan mendudukkan kretek sebagai bagian gerakan tradisi lokalisme yang poskolonial, yakni suatu gerakan politik kebudayaan yang berpamrih membangun kekuatan lokalisme sebagai counter hegemoni terhadap upaya-upaya penyeragaman “budaya putih”, barangkali saja ke depan kita dapat merengkuh kembali cita-cita besar akan Indonesia Berdikari itu.
Nah, pada titik inilah, hari ini kita sharing dan berdiskusi.
Salam Hangat.
Sumber: http://senimana.com/berita-154-kretek-sebagai-kritik-kebudayaan.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar