Sabtu, 03 September 2011

KRETEK SEBAGAI KRITIK KEBUDAYAAN

Waskiti G Sasongko
http://senimana.com/

3 Juni 1953, Agus Salim dan Sri Paku Alam beserta rombongan duta besar Indonesia mendapat tugas dari Soekarno untuk menghadiri upacara penobatan Ratu Elizabeth II. Di tengah-tengah jamuan serimoni agung tersebut Agus Salim menyalakan sebatang kreteknya, menghisapnya dalam-dalam dan menghembuskan keluar kuat-kuat. Pangeran Duke of Endiburgh, sang suami Ratu Elizabeth itu, tampak tidak senang menoleh ke kiri dan ke kanan sembari bertanya-tanya pada hadirin, dari mana bau tidak sedap itu datang? Maka Agus Salim menjawab, “Yang Mulia, bau yang tidak sedap itu adalah bau rokok kretek yang sedang saya hisap yang dibuat dari tembakau dan cengkih. Boleh saja yang mulia tidak menyukainya. Tapi justru bau inilah yang menarik minat pelaut-pelaut Eropa datang ke negeri kami tiga abad yang lalu”. Duke of Edinburg pun terdiam beku oleh sindiran Agus Salim itu.

Inilah sepenggal kisah, bagaimana kretek, atau lebih tepatnya produk olahan hasil bumi Indonesia, tembakau dan cengkih, merefleksikan kekuatan produksi masyarakat nusantara sejak dulu. Kita memang tidak pernah tahu pasti sejak kapan kretek telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat. Namun, jika kita menoleh ke belakang kita dapat melihat bagaimana kisah Roro Mendut yang sukses menjajakan rokok di zaman kekuasaan raja Amangkurat I, sebagaimana kisah ini ditulis ulang oleh Romo Mangun, setidaknya secara literal menandai bahwa produk rokok telah dikenal oleh masyarakat nusantara sejak lama. Bahwa, kemudian dalam kesejarahan modern produk kretek lebih kita kenal sejak Haji Djamari yang asli Kudus ini meramu tembakau dan cengkih sebagai ramuan obat batuk, pada abad ke 18an, ini tentu sebuah tafsiran historis tersendiri.

Namun, apa yang menarik kita catat di sini adalah bahwa, kretek adalah produk khas bangsa kita, eksistensinya adalah satu-satunya di dunia. Sebagaimana keris pamor yang adalah warisan budaya bangsa yang telah beroleh pengakuan dunia internasional, Unesco, produk kretek pun sebenarnya muncul tercipta dari kecerdasan lokal bangsa ini. Bahkan, dapat kita katakan bahwa kretek — meminjam istilah Denys Lombard — adalah suatu hasil dari kerja “osmosis kebudayaan” bangsa kita. Saya katakan osmosis kebudayaan karena kretek sendiri adalah sebuah difusi kebudayaan yang datang dari luar dan bersimbiosis dengan kekayaan lokal bangsa kita. Konon, tanaman tembakau masuk menjadi kekayaan nabati bangsa kita sejak memasuki abad ke 17.

Di sini kita mungkin akan sedikit berjalan memutar. Seperti kita tahu, istilah osmosis digunakan oleh Denys Lombard dalam karya monumentalnya, ”Nusa Jawa: Silang Budaya.” Untuk kasus di Indonesia, demikian Lombard, kita tak bisa memakai perspektif dialektika dalam pengertian Hegelian. Karena di situ pasti ada unsur aufgehebung, kebudayaan pemenangnya. Yang terjadi dalam sejarah seni atau kebudayaan di sini adalah suatu proses perembesan kultural, dan bukanlah dialektika. Suatu kegiatan saling serap antara warisan-warisan budaya lokal dan pengaruh ideologi-ideologi yang datang dari ‘negeri atas angin’, yang membuat terjadi mutasi budaya terus-menerus, baik saat Indonesia masa kuno maupun modern. Apa yang khusus dari bangsa kita bukanlah sejarahnya yang khusus, melainkan, masih merujuk Lombard, ialah posisi geokulturalnya yang khusus, di mana kita berada pada lokus persimpangan budaya dunia, kita berada pada jalur perdagangan besar dunia yang mau-tidak-mau senantiasa membawa pengaruh dari luar.

Apa yang menarik ialah, jika pada masa kuno katakanlah kita sanggup membangun sebuah sinergi pluralitas ideologi yang datang dari luar menjadi suatu kebudayaan yang baru dan besar, di mana budaya kemaritiman masyarakat nusantara akhirnya bertumbuh menjadi dua kerajaan besar, Sriwijaya dan Majapahit.

Andai kita jeli dalam menelisihnya Indianisasi yang terjadi bukanlah sesuatu pengambil alihan secara mutlak unsur-unsur budaya India, tapi lebih bersifat paduan dengan budaya lokal. Bahkan, banyak antropolog Barat yang mengatakan bahwa yang sesungguhnya terjadi ialah Jawanisasi India. Karena bukan rahasia jika paham-paham keagamaan Hindu dan Buddha yang di negeri sononya India bertikai, ternyata di sini dapat bersanding selaras, rukun satu sama lain. Ahli-ahli dari India datang ke Indonesia untuk melihat peninggalan candi-candi Hindu dan Budha berpendapat bahwa, memang ada kemiripan dengan apa yang ada di India tapi samasekali bukan budaya India. Di India secara tegas dipisahkan antara Hindu dan Budha. Borobudur disamping ada unsur Budha terdapat relief yang berisi kisah Mahabarata yang Hindu, bahkan ada relief yang notabene bukan Budha dan sekaligus bukan Hindu tapi kisah-kisah dari budaya lokal.

Namun, pada masa modern ini , proses mutasi fase ketiga kebudayaan lokal kita melalu difusi sejarah pembaratan ternyata tidak sanggup memunculkan sebuah sinergi kebudayaan yang baru dan besar, sebagaimana kisah masa lalu itu. Masih saja kita lihat, sampai saat ini, ada retakan-retakan yang cukup menganga antara pandangan dunia tradisionalisme dan modernism. Dualisme dua kebudayaan ini terjadi karena di dalam masyarakat Indonesia sendiri kita lihat adanya dua arus besar paradigma yang berbeda, yaitu golongan-golongan masyarakat Indonesia yang mendorong pembaratan lebih lanjut di satu sisi, dan golongan-golongan yang menolak tegas determinasi serta merta pengaruh budaya Barat dan mencari sumber Timur atau lokal dalam membentuk masyarakat Indonesia di sisi lain. Kebangkitan budaya lokal ini juga diperkuat dengan pengaruh Islam di pesantren-pesantren, yang pada zaman Belanda tetap mengajarkan agama Islam beserta budaya lokalnya yang mengacu pada ajaran “wali sanga”. Bahkan pada saat itu sesuatu yang berbau Barat ditabukan di pesantren-pesantren. Kedua pandangan ini, yang pro Barat dan pro Timur, jelas tercermin dalam Polemik Kebudayaan tahun 1930 dan silang sengkarut polemik Lekra-Manikebu di tahun 1960an.

Nah, ideologi Pancasila itu sendiri adalah suatu upaya merekatkan retakan-retakan pandangan dunia Timur dan Barat itu, tradisional dan modernisme, ideologi kapitalisme dan komunisme, namun lebih jauh sebenarnya juga membawa spirit untuk membendung pengaruh berkembangnya ideologi yang bersumber dari Barat (Nekolim). Pemimpin masa lalu yang lebih kita kenal sebagai “founding father” selalu mengatakan bahwa Pancasila adalah ideologi yang lebih unggul dari ideologi apapun yang berasal dari Barat.

Dengan begitu masyarakat Indonesia sebenarnya mempunyai kecenderungan sinkretik, atau heterodok, atau osmosis, yaitu dalam pengertian bahwa sejak dulu selalu bersikap terbuka terhadap pengaruh budaya-budaya yang datang dari ‘negeri atas angin’, namun secara bersamaan memiliki spirit hendak tetap menjaga nilai-nilai lokal yang berakar sangat dalam itu. Dalam perspektif inilah konsep politik “berdikari” yang dicanangkan Bung Karno adalah suatu usaha penolakan hegemoni budaya Barat melalui kemandirian ekonomi. Dengan kemandirian dibidang ekonomi, Indonesia punya kebebasan menentukan nasib budaya Indonesia ditangan bangsa Indonesia sendiri. Sungguh suatu pemikiran yang jauh ke depan, namun ironisnya proyek pemikiran besar ini saat ini jelas boleh kita katakan telah gagal total.

Nah, pada titik inilah sebenarnya kretek sebagai warisan tradisi bangsa ini dapat kita dudukan sebagai kritik atas kebudayaan globalisme. Pada titik ini, kretek sebagai warisan budaya tentu saja tidak sekadar kita lihat sebagaimana keris dan candi, atau barang-barang artefak yang sekadar diuri-uri, melainkan harus kita dudukkan dalam kerangka perspektif gerakan sebagai bagian dari kerja politik kebudayaan kita. Kretek sebagai salah satu soko guru kemandirian ekonomi dan industri nasional haruslah kita desain sebagai pemantik tumbuh mekarnya ‘politik identitas’ kebangsaan (nasionalisme). Sebab, di tengah-tengah gerusan perang dagang dan ekspansi pasar neoliberal yang berjubah paradigma kesehatan “satu dimensional” ini, sebenarnya eksistensi kretek memenuhi syarat-syarat multi-spektrum dimensional untuk menjadi kekuatan kritik ideologi atas muslihat dari apa yang menyebut dirinya sebagai kebudayaan globalisme ini. Kretek dapat menjadi kekuatan politik yang mendudukkan “kebudayaan sebagai sebuah panglima”.

Apa yang kita butuhkan di sini adalah menggeser perspektif “osmosis kebudayaan” menjadi suatu kerja “dialektika kebudayaan”. Dengan mendudukkan kretek sebagai bagian gerakan tradisi lokalisme yang poskolonial, yakni suatu gerakan politik kebudayaan yang berpamrih membangun kekuatan lokalisme sebagai counter hegemoni terhadap upaya-upaya penyeragaman “budaya putih”, barangkali saja ke depan kita dapat merengkuh kembali cita-cita besar akan Indonesia Berdikari itu.

Nah, pada titik inilah, hari ini kita sharing dan berdiskusi.
Salam Hangat.
Sumber: http://senimana.com/berita-154-kretek-sebagai-kritik-kebudayaan.html

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir