Tengsoe Tjahjono
http://www.facebook.com/note.php?note_id=498070716264
aku menyelam dalam semesta pikiran
Kukira hanya tumpukan kepala dan jantung
para pencari jalan
(Imam Maarif – Pencarianku)
Tiba-tiba saja aku harus berhadapan dengan sebuah antologi puisi “Tabir Hujan”. Ada 11 penyair hadir dengan karya-karya mereka yaitu: Akhmad Fatoni, Aguk Irawan MN, Denny Mizhar, Imamuddin SA, Isnaini KH, Muhammad Aris, Muhajir Arifin, Saiful Anam Assyaibani (Javed Paul Syatha), Ahmad Syauqi Sumbawi, Umar Fauzi Ballah, dan Imam Maarif. Maka seperti sajak yang ditulis Imam Maarif: aku (pun) menyelam dalam semesta pikiran.
Andai 11 penyair itu benda langit yang bertebaran di luas galaksi, mau tak mau aku harus mampu memahami karakter mereka masing-masing, agar mampu menjelajahi makna yang tersimpan pada rahasia semesta pikiran mereka. Andai puisi-puisi itu adalah tabir hujan, maka aku harus mampu menafsirkan setiap tetes air yang tercurah dari kerumunan awan pikiran mereka. Dan, jujur itu tidaklah mudah.
Mempertanyakan Bahasa
Dalam puisi sebenarnya bahasa bukanlah alat, bukanlah sarana komunikasi; puisi bukan sekadar seni bahasa. Konsekuensinya puisi bukan sekadar permainan bahasa, bukan sekadar wacana indah, bukan sekadar produk dari kelihaian bersilat kata atau kalimat. Dalam puisi, gagasan atau pemikiran amat penting kehadirannya. Gagasan berkolaborasi dengan rasa, melahirkan teks puisi dengan keliatan tertentu. Gagasan, rasa, dan bahasa di tangan seorang penyair bukanlah entitas yang saling berdiri sendiri. Tak mungkin kita bertanya mana yang lebih dahulu: gagasan, rasa, atau bahasa, karena ketiganya hadir dan lahir secara bersama-sama.
Ada beberapa penyair dalam antologi ini yang memandang gagasan, rasa, dan bahasa, sebagai satu kesatuan yang padu, yang masing-masing tak ada yang mendahulu atau mengemudian. Kita ambil contoh karya mereka berikut ini.
Icha menangis, Ma
melihat sajaknya dibawa sirip ikan
di pinggiran pulau tak terbentang
berlompatan di kolam garam
padahal dulunya itu ladang
tembakau, tempat bapaknya menjemur
kata-kata dan kehidupan
(Umar Fauzi Ballah – Dermaga 2)
dua cerca pagi
dua gelas kopi
dua catatan perihal getirnya pencarian
–kau bertanya kabarnya tuhan—
aku pernah melihatnya
rebahan di samping bayi
bertingkah lucu sekali …
si mungil itu,
terpingkal kegirangan
(Muhajir Arifin – Tuhan dan Si Mungil Bayi –)
lewat garis-garis ritmis dari sepotong tangan tua
berdaki dan kisut-mengkerut
tersembul kisah gadis belia
tangga merah dengan undak-undakan sorak
menentang lurus dan tembus ke udara
ke arah ribuan tombak
ke jalan-jalan berliku-onak
gandeng tubuhnya
papah kaki kecilnya
(Muhammad Aris – Kisah Gadis Belia — )
Dari contoh tiga penggalan puisi di atas terbaca jelas kesatuan gagasan—rasa – bahasa. Dalam “Dermaga 2” Umar Fauzi Ballah melihat fakta perubahan ladang tembakau menjadi kolam garam yang berdampak lenyapnya ‘sajak’ Icha, seorang bocah, dibawa sirip ikan. Ada rasa ‘empati’ pada diri penyair mengamati kejadian itu yang diungkapkan dengan amat sederhana: Icha menangis, Ma. Mengapa kalimat begitu lugas lahir dalam puisi itu? Ya, dalam dimensi anak-anak, berbahasa itu mengungkapkan secara jujur apa yang sedang dirasakan dan dipikirkan. Dalam konteks mengedepankan pesan moral Umar Fauzi pun diundang untuk memakai teks seperti itu. Naluri bahasanya pun bergerak lugas, jujur, dan terbuka.
Hal senada juga dilakukan Muhajir Arifin dalam “Tuhan dan Si Mungil Bayi”. Baris “kau bertanya kabarnya tuhan” merupakan baris yang merupakan sentral teks ini. Pertanyaan sederhana namun sebenarnya memiliki kandunganmakna amat filosofis. Bisa jadi jika diperluas kalimat itu akan berbunyi: kau bertanya kabarnya tuhan karena dunia begini kacau kenapa tuhan tak kunjung turun tangan. Tentu tak mudah menjawab pertanyaan tersebut karena jawabannya akan berupa teks yang bisa jadi abstrak. Namun Muhajir menjawabnya dengan amat cerdas: aku pernah melihatnya/ rebahan di samping bayi/ bertingkah lucu sekali …/ si mungil itu,/ terpingkal kegirangan. Metafora yang amat pas untuk konkretisasi gagasan abstrak. Tuhan rebahan di samping bayi, Tuhan berada di sisi pribadi-pribadi yang polos, jujur, terbuka, dan apa adanya. Tuhan hadir di dalam diri orang-orang yang hidup tidak dalam kepura-puraan, keculasan, dan kejahatan. Artinya, menanyakan kabar Tuhan dalam situasi seperti saat ini, berarti menanyakan kabar kepada setiap kita: masihkah kita peduli.
Dalam “Kisah Gadis Belia” Muhammad Aris meletakkan “gadis belia” sebagai konkretisasi dari gagasan abstrak tentang suatu peristiwa atau entitas atau fenomena. Artinya, saat Aris melihat fakta sejarah dari “gadis belia” yang membayang justru cermin terbuka peristiwa-peristiwa lain yang memiliki kesamaan semantik atau semiotik. Maka, jangan terkejut, jika teks yang muncul terkesan amat simbolik, kontemplatif, dan reflektif. Pilihan bahasa seperti itu tidak terlepas dari usaha Aris untuk mengajak pembaca melakukan refleksi atas peristiwa atau pengalaman hidup yang memiliki kemiripan dengan teks hidup “gadis belia”.
Di samping karya ketiga penyair di atas, penyair Imam Maarif, Denny Mizhar, Immamuddin SA, Isnaini KH, dan Javed Paul Syatha beberapa puisinya telah secara apik dibangun dengan mempertimbangkan kesatuan gagasan – rasa – bahasa.
Mempertanyakan Gagasan
Gagasan dalam sastra amatlah penting. Namun, relasi gagasan – rasa – bahasa bukanlah relasi yang mendudukkan mereka masing-masing tersebut sebagai unsur yang saling berdiri sendiri. Gagasan bukanlah entitas yang berada di luar rasa atau bahasa, begitu pula sebaliknya. Mereka sungguh-sungguh tiga yang satu, satu yang tiga.
Gagasan dan rasa apa yang muncul saat penyair menafsirkan peristiwa lumpur lapindo misalnya. Mungkin ada perasaan geram, marah atau empati; mungkin ada gagasan siapa sesungguhnya yang harus peduli terhadap peristiwa memilukan itu, masih perlukah berdoa, dan sebagainya. Persoalannnya adalah bagaimana teks puisi itu harus ditulis. Bacalah penggalan puisi berikut ini.
Empat tahun sudah, hanya ada sayupsayup kudengar dengus katakata gantirugi, pelan dan
pelan, namun dengan menyusutnya waktu, katakata itu tak terdengar lagi.Bahkan katakata
itu berubah jadi api yang menghanguskan. Kau dengarkanlah kini pepohonan juga
menahan getar panas bumi itu sampai akarakarnya. Ladangladang memuntahkan perih
atas lukanya. Sementara para penjarah itu bebas tertawa, dimanamana dan kapansaja.
Leher mereka kembali terjerat dasi dengan harga triliuanan rupiah. O siapa yang mau peduli
dengan nasib bangsa ini?
(Aguk Irawan MN – Empat Tahun Lapindo –)
lampu-lampu botol menyala
surut
angin mendesah
sumbu-sumbu repah
(Muhajir Arifin – Semalam di Tanggul Porong –)
Aguk Irawan dalam puisinya di atas terbaca jelas begitu kuat keinginannya untuk mengekspresikan gagasan. Bahasa pun dihadirkan sebagai alat untuk mengkomunikasikan gagasan tersebut kepada pembaca. Akibatnya sebagai sebuah totalitas karya, puisi tersebut tidak mengajak pembaca berdialog ke dalam sebuah ruang publik dalam pusinya. Pembaca tidak diundang untuk melakukan tafsir atas puisi yang ditulisnya, karena gagasan menjadi milik penuh penyair. Bisa jadi kekuatan puisi ini terletak pada keinginan penyair mengedepankan gagasan.
Muhajir Arifin yang mengangkat peristiwa yang sama yaitu peristiwa Lapindo melakukan tafsir terhadap teks alam atau peristiwa lebih dahulu sebelum diekspresikannya ke dalam puisi. Akhirnya ia mampu menangkap esensi atau hakikat, bukan yang harafiah disadari oleh indranya. Erich Kahler berpendapat bahwa “Art is human activity which explores, and hereby creates, new reality in a suprarational, visional manner and presents it symbolically or metaphorically, as a microcosmic whole signifying a macrocosmic whole.” Sebuah karya seni, termasuk karya sastra pada hakikatnya adalah kreasi seniman setelah bersentuhan dengan peristiwa-peristiwa, melahirkan sebuah realita baru yang bisa jadi suprarasional yang disajikan secara simbolik dan metaforik, sebuah jagad kecil yang mengejewantahkan jagad besar secara utuh.
Simak lagi kedua penggalan puisi berikut ini.
kau letakkan batu kesejajaran
membangun musium peradaban
antarkepercayaan
antargolongan
antartrah keturunan
kau bisikkan sebait kebebasan
dalam hati
dalam pikiran
dalam ucapan
dalam dalam
walau hanya sejenak kau bertahan
di puncak kekhalifahan
dan kini, hanya prasasti langkahmu tersisa di jantungku
menjadi cermin batin yang tak retak terbentur prahara laku
(Imamuddin SA – Seratus Hari dalam Kegaiban –)
kepada malam yang menyimpan gelap
aku akan pulang dari menyusur arus waktu
mendayung perahu pada muara akhirmu
pelayaran tak berujung
tak bertepi
(Javed Paul Syatha – Pada Muara Akhirmu –)
Kedua puisi di atas ini sama-sama diilhami oleh kehidupan Gus Dur, Sang Bapa Bangsa. Bedanya puisi Imamuddin SA tidak ada jarak estetika antara teks dan realita, sedangkan puisi Javed Paul Syatha mengandung jarak estetika antara teks puisi dengan realitas Gus Dur. Puisi Imamuddin lebih mengedepankan kekuatan gagasan, puisi Javed membangun sebuah simbolisasi dan metaforikal. Dalam puisinya Imamuddin seakan menjadi pengajar yang sedang berceramah kepada pembacanya, sedangkan Javed lebih mengajak pembaca untuk berdiskusi bersama memecahkan satu rahasia hidup yang serba samar.
Begitulah kesan subjektifku terhadap puisi-puisi yang terkumpul pada Tabir Hujan ini. Tak mungkin rasanya membahas seluruh penyair dan puisi-puisi di tempat serba terbatas. Hanya yang perlu aku tegaskan adalah bahwa kerja kepenyairan adalah proses yang tidak pernah selesai. Sesungguhnya penyair tidak memiliki halte untuk sungguh-sungguh beristirahat. Dia hanya berhenti sebentar lalu jalan kembali. Dalam proses bisa jadi seorang penyair menemukan materi-materi baru dengan cara berucap yang baru. Itu sah saja. Itulah dinamika itu. Aku pun yang sudah 52 tahun ini masih terus berproses, dan tidak pernah puas berhenti pada halte tertentu. Teruslah menulis, teruslah berproses.
Malang-Surabaya, 10-19 Oktober 2010
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar