S. Jai
Radar Surabaya, 24 Okt 2010
SETELAH sembilan tahun berlalu, Trisna mengutarakan rasa rindunya yang mendalam pada orang-orang yang pernah dia cintai dan mencintai dirinya. Hal itu diungkapkan pada istrinya di suatu pagi yang cerah, di emperan rumahnya yang hanya terhalang pohon sirsak dari pandang mentari.
“Semalam terbawa dalam mimpi. Aku berjumpa dengan bapak, nenek dan kakek. Aku rindu betul dengan mereka,” ucapnya tanpa mengubah arah pandangnya pada matahari pagi.
“Syukurlah, itu artinya karena Mas telah lama tidak menziarahi mereka,” bisik istrinya.
Suaminya memejamkan matanya kuat-kuat, sebelum akhirnya mengangguk dan menitikkan beberapa butir airmata.
“Kerinduan yang banyak dirasa orang baik menjelang lebaran seperti ini. Lebaran nanti kita telah tahu apa yang harus kita lakukan, bukan?” Sang istri mempertontonkan kebahagiaannya bersuamikan Trisna.
“Sekarang rindu itu berbeda sekali rasanya, dibandingkan waktu sebelumnya.”
“Aku mengerti, Mas,” dipeluknya Trisna kuat-kuat.
“Apakah kau mengerti pula apa arti airmata suamimu ini?”
Nurjanah diam sejenak. Tatap matanya yang dalam mencoba memberi jawab tanpa keraguan—mata yang kemudian diharapkannya dimiliki pula sejak matahati hingga ujung jemarinya saat menyentuh bagian-bagian tubuh suaminya.
Pagi itu, seperti hari-hari sebelumnya sejak beberapa bulan terakhir ini, Trisna senantiasa berjemur di bawah kemilau cahaya mentari. Ditatapnya cahaya itu, sambil menikmati burung-burung prenjak yang tak lagi membawa nujum pasti. Burung-burung itu melompat dari ranting-ranting pohon mangga hinggap di antena TV yang tak lagi berguna. Trisna menghangatkan tubuhnya, sendiri tanpa ditemani secangkir teh pun.
Ya, dokter telah tak mengizinkan sembarang makanan dan minuman mendampingi hari-hari Trisna. Satu-satunya teman setianya adalah istrinya, Nurjanah, bila selepas mengantar seorang putrinya yang berusia 8 tahun pergi ke sekolah, ia sempatkan sejenak menghampiri suaminya. Itupun jika Trisna mau. Seringkali dia ingin menyendiri, dan Nurjanah memahami keinginan suaminya untuk merenungi diri.
Bila itu terjadi, Nurjanah hanya bisa mengintip dari balik korden apa yang dilakukan Trisna. Saat Trisna menatap lama sekali cahaya mentari, mengunduh hangat dan kemilau itu ke dalam matanya. Bila dirasa cukup ia pun lantas memejamkan pelupuknya lalu menderailah airmatanya. Dari balik tirai, berderai pula airmata Nurjanah.
Peristiwa seperti itu, bagiku, seorang istri yang kerab dilibatkan perasaanku oleh Nurjanah, bagai puisi. Aku teringat salah sebuah puisi Dua Sejoli, Subagio Sastrowardoyo pada bait-bait:..tetapi kalau kebetulan berlintasan pandangan, dengan tidak sadar mengalir airmata di pipi.” Sayangnya, ini bukan puisi. Ini kenyataan dan betapa kejamnya aku membandingkan pahit getir keluarga itu dengan puisi.
Jelas saja sungguh beda antar keduanya. Puisi itu mengisahkan dunia batin sepasang suami-istri yang telah menua. Pada keluarga itu, airmata sejoli yang masih belia karena baru sembilan tahun mengarungi bahtera rumah tangga. Walaupun sejujurnya, penderitaannya sulit untuk dikisahkan sekalipun dengan kekejaman yang ada di lubuk terdalam jiwaku. Sebab itu, hanyalah pikiran orang yang kurang kerjaan membandingkan hibuk duka keluarga itu dengan metafora.
Sebetulnya, kekejaman itu hanya untuk diriku sendiri. Sementara pada Nurjanah, sesama seorang istri, aku hanyalah iri padanya. Aku iri pada kekuatan hati seorang istri, yang hanya diberikan cobaan padanya bagi yang bersitahan dan mampu saja.
“Jadi, maafkan aku Nurjanah. Jikapun airmataku turut berderai melihat suamimu menatap kemilau cahaya mentari itu oleh karena tidak ada yang bisa saya lakukan untukmu, keluargamu, terlebih suamimu. Airmata itu datang dari hati seorang istri yang hancur berkeping, melihat keluargamu dicintai oleh yang maha hidup,” suaraku tersendat dalam mikrofon telepon selularku.
“Ngomong apa kamu ini, Mbak Kholifah,” tukas Nurjanah.
“Andai Tuhan memberiku cobaan sepertimu, pasti aku…”
“Aih..aih…Dulu kau yang mengajari aku tentang kekuatan cinta dan ketabahan seorang istri, kenapa tiba-tiba kamu jadi sentimentil begini sih?” Nurjanah balik membombardir.
“Ah…sudahlah. Aku cuma bicara tentang diriku sendiri, kok. Maafkan, aku tidak bermaksud membebani pikiranmu.”
“Aku masih ingat, hanya kamu diantara teman-teman kita dulu yang menakar agar aku mau menjadi istri Trisna, hingga kau menimbang mengapa orangtua kekasihku itu memberinya nama Trisna—nama yang bukan sembarang orang ngerti artinya kecuali bagi makhluk yang dibukakan pintu hatinya dari cahaya. ”
Serbuan Nurjanah membuatku mati kutu.
“Aku pun merasa belum mengerti artinya, Nur.”
“Apakah kamu kira kami sudah mengerti?”
Tidak ada jawaban kecuali pemandangan keluarga itu yang saban pagi mandi cahaya.
Bukan cuma itu. Sudah beberapa bulan terakhir ini, halaman rumah keluarga itu dibersihkan dari rerimbunan tumbuhan yang jadi penghalang masuknya cahaya matahari ke dalam ruangan. Banyak batang ditumbangkan hanya menyisakan beberapa pohon sirsak, mangga di belakang rumah dan jambu biji terbaik untuk putrinya bila trombosit darahnya merendah.
Di dalam rumah keluarga itu, seluruh ruangan utamanya kamar-kamar, lampu listrik diganti yang benar benar benderang, lampu mercury berdaya tinggi, meskipun telah tahu bahaya bahan kimia mercury bagi pencemaran udara yang merusak kesehatan. Terlebih bila bola-bola lampu itu pecah dan serbuknya dibiarkan bebas menari di sekitar hidung kita. Sepanjang hari lampu itu musti menyala, terkecuali manakala listrik padam. Bahkan pada siang hari. Tak lain karena keluarga itu sungguh merindukan cahaya. Sulit kubayangkan betapa hancur jiwanya saat sekarang listrik seringkali padam. Sulit juga kubayangkan bagaimana dahulu Nurjanah menerapi diri karena takut pada listrik, menyusul putrinya yang pernah memegang arus listrik oleh karena keteledorannya. Listrik juga menumbuhkan firasat dalam dirinya perihal masa depan keluarganya yang gelap, saat tepat akad pernikahannya lampu-lampu padam. Begitu pula ketika upacara tujuh bulan putrinya cukup hanya di bawah lampu minyak karena tanpa sebab arus listrik pun lenyap.
Akan tetapi ini soal kerinduan pada cahaya, bukan masalah listrik. Atau lebih tepatnya keinginan Trisna untuk melihat bayang-bayang dari balik cahaya itu. Bayang-bayang yang diharapkannya bisa jatuh pada matanya agar kemudian ia bisa bercerita tentang kehidupan kepada dirinya sendiri, perasaannya, hatinya, jiwanya. Tak lain agar Trisna tak malu pada diri sendiri, pada namanya sendiri tatkala bertutur kisah perihal katrisnan, cinta pada hidup dan mati.
“Jangan pernah bicara soal mati, Sayangku,” tutur Nur suatu ketika.
“Aha…yang realistis saja, Nurjanah. Kalau sudah hidup yang kita harus pertimbangkan ya soal mati, bukan? Harus jujur kita akui pada saat inilah episode sisa hidup kita, Istriku, menuju…” cetus Trisna.
“Kenapa tiba-tiba kau bicara begitu, suamiku. Berbulan-bulan kubangkitkan semangat hidupku sebagai istri mendampingi suami yang dirundung musibah. Kata-katamu seperti itu tidak saja meluluhlantakkan harapanmu tetapi juga padaku, pada keluarga kita. Pikirkanlah baik-baik. Tidakkah kita bercermin pada gairah hidup anak kita, Mas Trisna?”
Mendengar Nurjanah menyebut putri mereka, wajar bila malah melumpuhkan segala rasa Trisna. Anak, tentu saja tembok terakhir pertahanan cinta pada hidup. Kelucuannya, keluguannya, bening matanya, senyumnya, keceriaannya, keingintahuannya, gelegar jiwanya juga kelembutannya sanggup mengukuhkan tiang-tiang kasih sayang. Semakin lembut anak itu, kian kokohlah bangunan sebuah rumah tangga.
“Rupanya engkau telah tahu keadaan isi ruang batinku, Istriku. Bahwa bagiku anak adalah cahayaku yang lain selain engkau. Tentu kau telah tahu sejak lama, itulah titik kelemahanku, tetapi aku sendiri baru menyadari belakang hari akan hal itu sejak aku mulai kehilangan penglihatanku justru di usia semuda ini. Oh.. mengapakah jiwaku baru pulang sekarang? Lalu kemanakah jiwaku pergi selama ini? Ooh…ya Tuhan,” betapa setiap langkah juga jalan pikiran Trisna demikian sumir dekat dengan penyesalan.
“Kau tidak sendiri, Mas. Jangan cemas. Kau bisa jadikan aku matamu,” bisik Nurjanah begitu dekat di telinga suaminya.
***
ADAKAH yang lebih tinggi dari angka sembilan?
Pertanyaan itu sering bergelanyut di dalam rongga mata Trisna segelap bayang-bayang yang diharapkannya jatuh pada dinding retinanya. Pertanyaan tanpa jawaban pasti yang sering dilayangkan pada istrinya dan kemudian kerap hinggap pada benakku setelah berkali-kali dilemparkannya ke para tetangga. Lalu mereka pun saling berbicara pada dirinya sendiri, di antara anggota keluarga mereka sendiri perihal sosok angka sembilan.
“Aku sendiri tidak tahu ada rahasia apa di balik ini semua yang hendak dipecahkan oleh Tuhan. Dimanakah berdiri takdir di atas angka sembilan bagi keluargaku? Mengapakah berturut-turut keluargaku dirundung malang selepas meninggalkan angka sembilan? Aku tahu sesudah angka sembilan adalah nol, apakah ini artinya seluruh kehidupanku harus bermula lagi dari nol? Jawab pertanyaanku sahabatku?” dalam sebuah perjumpaan sesama istri, Nurjanah menghujani pertanyaan padaku.
Pikiranku bagai tanah kering—senang mendapat hujan, tapi tidak tahu hendak memberi apa padanya. Kukira, Nurjanah tak lagi membutuhkan nasehat apalagi puisi. Dia sekadar ingin memuntahkan gelegak ombak yang dikatakannya padaku. Sementara ujung tertinggi lidah ombak kata-katanya disentuh-sentuhkan pada hati siapa saja. Juga pada hatinya sendiri yang berjarak dengan pikirannya, dengan jiwanya, berjarak dengan laku tubuhnya yang penuh derita.
Sejujurnya kendati kami telah lama bersahabat, kini saya lebih suka menikmati tarian burung kenari di sangkar milik tetangga—hiburan baruku dari jerat kesuntukan hariku—ketimbang soal timbang saran hidup keluarga sahabatku itu.
“Apakah masih pantas bagiku memintamu untuk berdoa?” sahutku setelah lama kutimbang-timbang..
“Bicaralah, apa saja, Mbak Kholifah.”
Terang permintaan Nurjanah membuatku makin hancur lebur.
“Apapun nasehatku adalah buah dari rasa kasihanku padamu, suami dan juga keluargamu, Nurjanah. Perasaan yang selama ini tak pernah terjadi padaku karena kondisi ekonomi keluargakulah selama ini yang telah kau kasihani. Setiap bantuanmu kuartikan demikian selama ini dan maafkan aku kalau keliru. Tapi sekarang? Kamu tidak sedang berhadapan dengan orang, apalagi dokter atau paranormal dan ahli nujum. Kau berhadapan dengan takdirmu, langsung dengan Tuhan. Apalah aku ini? Karena itu di depanku sebetulnya yang kau butuhkan hanyalah memuntahkan ceritamu dan aku mendengar semuanya sambil menikmati kemunafikanku karena hanya kasihan padamu, Nurjanah.”
Kukuatkan betul batinku berkata demikian pada Nurjanah lebih dari sebagai sekadar sesama istri. Semakin bergelora muntahan katanya, semakin pula diayun-ayun tubuh dan perasaanku bagai berkendara kora-kora di dunia fantasi tapi nyata. Kujaga diriku menerima segala beban luka sahabatku itu dengan menundukkan penglihatanku pada kerasnya batu. Kubawa anganku pada tegarnya pohon trembesi. Kususun segala puisi ini tak lain hanya untuk diriku sendiri menjaga kemunafikanku.
Sementara tak ada sesuatu pun bisa kuberikan pada Nurjanah dan keluarganya. Sejujurnya harus kukatakan, bahkan untuk mendengar jeritan luka hati Nurjanah saja aku sudah kehabisan cara. Aku sudah lama membenci Tuhan. Salah caraku mendengar serbuan keluh kesah Nurjanah bisa kian memupuk amarah dan dendamku pada Tuhan. Karena itu tak ada lagi pretensi apapun padaku atas segala gundah dan resah kisah Nurjanah.
Wahai Nurjanah bertuturlah sekalipun dengan sumpah serapah!
Maka Nurjanah pun bercerita dengan isak tangis.
Bagiku hampir tiada beda antar keduanya: kisah dan derai airmatanya.
“Saudara-saudara, sembilan tahun kami hidup bahagia. Bahkan sangat bahagia. Meskipun pernikahan kami dibanjiri cucuran airmata sanak keluarga, tanpa undangan dan pesta oleh karena dua minggu sebelumnya ayah kami tercinta dipanggil oleh yang maha kuasa. Belum lelah kami berduka, seminggu sebelum upacara akad nikah, nenek kami menyusul ke alam baka. Betapa bisa anda bayangkan bagaimana rasa bahagia yang berdiri di pondasi mahaduka?
“Ya, sembilan tahun kami hidup bahagia. Bahkan sangat bahagia. Gaji suami saya boleh dikata berlebih tanpa korupsi. Rumah mewah, mobil ada, makan berlimpah, rekreasi bisa kemana-mana, motor tiga, kulkas dengan seperangkat minuman bersoda. Bahkan kamipun sebetulnya telah lupa bahwa tengah berbahagia. Sebagaimana kami melupakan telah ada jaminan surga karena kebiasan membantu orang lain yang kesusahan karena meringankan beban orang miskin bagi kami adalah kebiasaan. Kebahagian itu baru kami rasa tatkala bagi kami dunia ini seperti jeruk purut yang cepat beringsut.
“Ya, sesuatu memang pernah kami punya sembilan tahun lamanya. Juga keindahan di atas dunia yang telah terlupakan bagaimana menikmatinya bagi kami—suamiku tercinta, putriku dan keluargaku tercinta. Sebagaimana saudara-saudara ketahui sekarang, suami saya tercinta, Mas Trisna, kedua matanya telah buta selepas divonis dokter mengalami gagal ginjal stadium lima lalu cuci darah seminggu dua kali dan menyebabkan tensi darahnya menyerang saraf matanya. Kami meninggalkan rumah kami, suami saya dipindah pekerjaannya, putri kami berpindah sekolah. Kami pun sudah tak memiliki apa-apa dan tak punya keinginan suatu apapun. Yang dibutuhkan suami saya hanyalah cahaya untuk menangkap kelebat bayang istri dan anaknya.
“Kami sudah hampir putus asa. Kami hanya membutuhkan doa dari saudara-saudara. Karena hanya doalah yang saya yakin bisa menyelamatkan kami dari kesombongan dan dari dua pilihan antara hidup dan mati—keadaan yang belakangan ini sering terjadi pada istri-istri yang mengajak mati anak-anaknya bagai hendak rekreasi berdandan rapi dengan minyak wangi. Kami sudah hampir putus asa. Ketika suami saya menyatakan rindu dan bermimpi berjumpa mendiang bapaknya saya bayangkan itu tak lain kerinduan pada kematiannya. Hanya doa dari saudara-saudara pulalah kami ingin mimpi itu tak lain waskita yang menerbitkan rindu untuk ziarah pada mendiang orang-orang yang pernah dicintai dan mencintai kami. Maafkanlah, kami mengundang saudara-saudara sekalian karena memohon dengan sangat atas kesediaan, kerelaan dan keiklasannya mendoakan keselamatan suami dan keluarga kami. Hanya itu.”
Semenjak Nurjanah menuturkan kisahnya di hadapan orang-orang kampung, mereka tidak saja memberikan apa yang diminta: doa. Tetapi juga lampu-lampu rumah mereka dipasang dengan daya tinggi supaya terang cahayanya. Siapa tahu Trisna hendak bertamu ke rumah mereka? Orang kampung tak pernah ragu, juga tak pernah percaya slogan dari perusahaan listrik negara agar berhemat di rumah sementara banyak pencurian listrik di kediaman orang-orang kaya dan pabrik-pabrik konglomerat yang rajin mengajarkan hidup sederhana.
Orang-orang kampung tak ingin kehilangan kesempatan untuk menikmati keindahan dunia dengan benderang bagai hari raya sepanjang masa karena seorang suci telah mengajarkan: lampu-lampu itu berbeda, tapi cahayanya sama, datang dari sumber yang sama.
***
SELEPAS senja dan di tempat yang sama matahari memanggang rerontokan pohon jati, kini bulan yang sempurna bertengger di ranting akasia. Di balik bunyi jangkrik, Nurjanah mengisahkan dongeng-dongeng kepada putrinya tentang Candra Kirana, Timun Mas dan Ande-Ande Lumut yang menyeberang sungai tepat saat purnama menebar cahayanya dengan kemurahannya.
“…Penduduk pun menjadi kaya raya dan sejahtera. Karena sungai itu mengalirkan cahaya emas dan keperakan yang melimpah, sayang,” tutur Nurjanah.
Rosa, sang putrinya itu pun takjub mendengar cerita. Matanya bersinar terang.
“Sekarang giliran Rosa, dong! Katakan pada Mama dan Papa tadi di sekolah disuruh cerita apa oleh Bu Guru?” pinta Nurjanah.
“Rosa disuruh menggambar, Mama.”
“Oya? Rosa menggambar apa?”
“Menggambar bulan, bintang dan kunang-kunang, Mama.”
“Adik tidak takut dengan kunang-kunang?” cetus Trisna.
“Tidak, Pa. Kunang-kunangnya baik sekali. Rosa selalu ditemaninya jalan-jalan menangkap bintang. Bintangnya buayyaaaakkkkk…. Mengambang di langit yang biruuuu…. Kalau besar Rosa mau ambil beberapa untuk Mama dan Papa. Oya, Ma, ada pesawat terbang yang lewat juga. Lampunya seperti bintang berjalan, Ma, Pa.”
Rosa bergairah sekali mengisahkannya. Matanya turut berbinar-binar. Demikian juga dengan binar mata Trisna. Binar yang membayang hitam di batinnya. []
Lamongan, 4 September 2010
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Kamis, 09 Juni 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar