A.S. Laksana*
http://www.jawapos.co.id/
Sekali waktu kau perlu mendengarkan rintihan benda-benda atau apa saja di sekitarmu yang tak pernah kau beri perhatian. Mungkin itu sebutir kerikil, mungkin seekor kadal, atau sebatang alang-alang, atau apa saja.
Sekarang akan kusampaikan kepadamu sebongkah batu yang menangis. Ia mungkin menyampaikan cerita agar kau lebih berhati-hati. Maksudku, kau pasti akan merasa serba tak enak jika suatu saat burung penguinmu ditonton orang di mana-mana dan dijadikan bahan ketawaan. Mungkin burung itu terlalu kecil atau terlalu besar atau mempunyai codet sedikit, namun kalaupun ukurannya sempurna dan wajahnya tampan, ia tetaplah tak pantas dipentaskan di layar-layar handphone atau layar-layar komputer semua orang. Bagaimanapun burung itu bukanlah penyanyi atau tukang sulap atau badut ulang tahun yang memerlukan panggung. Ia lebih baik mendekam saja di sangkarnya dan tidak perlu diumbar di hadapan orang ramai.
Jadi, kuncilah kandangnya baik-baik. Memang ia tidak akan terbang meninggalkanmu kalaupun kau membuka kandangnya seharian, tapi kuncilah. Kautahu, ia jenis penguin yang hanya bisa menyelam. Konon ia memiliki kehendaknya sendiri yang kau kadang-kadang kesulitan mengendalikannya. Maka kau mungkin terdorong menuruti apa saja keinginannya, menyelam ke dasar palung-palung keramat, seperti seorang penyelam yang tergila-gila pada dasar laut, atau seperti para penjelajah yang mengembarai tempat-tempat muskil di alam semesta. Orang-orang akan bilang itu godaan, kau mungkin menganggapnya tantangan. Menurutku, akan sulit bagimu menjadi pejabat yang baik jika kau tak bisa mengendalikan kegemaranmu untuk menyelam dan menjelajah secara serampangan.
Dengan kegemaran menyelam yang tak terkendalikan itu, suatu saat atraksi penguinmu bisa menjadi tontonan banyak orang. Apakah seorang penyanyi dangdut atau pengamen keliling yang bakal menyebarkannya, bukan itu persoalannya. Persoalannya, burungmu tidak perlu disebar-sebarkan ke hadapan orang-orang. Kau tentu berharap penyelaman-penyelaman yang ia lakukan, atau penjelajahan yang ia jalani, sebisa-bisanya tetap menjadi rahasia. Istrimu perlu diyakinkan bahwa burungmu selalu mendekam patuh di kandangnya pada saat kau keluar rumah. Anakmu tak perlu mendengar atau melihat atraksi burungmu di layar handphone temannya. Dan orang-orang tak perlu tahu juga apakah penguinmu selucu kodok atau segagah elang atau cuma semungil berudu.
Kau tahu kejadian seperti ini pernah menimpa seorang pejabat. Seorang penyanyi dangdut menyebarkan atraksi burung yang ia rekam dan kemudian gambar itu beredar dengan cepat sekali dan kau tak lagi mendengar nama pejabat itu. Si penyanyi dangdut sedikit laris beberapa saat, tetapi surut lagi beberapa waktu kemudian. Aku tidak tahu apakah pejabat itu melakukan operasi plastik untuk berganti muka, atau dia dikirimkan ke luar negeri untuk tugas belajar oleh partainya dan pulang bertahun-tahun nanti sebagai orang pandai yang siap memegang jabatan baru. Setelah berganti muka, ia bisa menjadi apa saja. Kejadian seperti ini mungkin masih akan terjadi lagi -pada pejabat lain atau pada orang-orang bukan pejabat, atau pada anak-anak sekolah yang menirukan perilaku pejabat. Entahlah.
Pada waktu orang-orang ribut membicarakan pertunjukan burung itu, aku sungguh mengagumi istri si pejabat yang membela mati-matian suaminya. Kau tidak pernah tahu apa yang terjadi di dalam rumah mereka. Mungkin mereka berantam, istrinya memaki-maki dan si suami tidak bisa menjawab apa-apa. Tetapi apa kau begitu ingin tahu urusan rumah tangga orang?
Yang perlu kau jaga adalah jangan sampai hal serupa terjadi padamu. Itu akan merepotkanmu, apalagi jika kau bukan pejabat. Kau tak punya uang untuk membiayai bedah plastik mengganti wajahmu. Dan kurasa istrimu tak akan membelamu mati-matian di depan orang-orang. Mungkin ia justru mencacimu sepanjang waktu sampai kau merasa bahwa rumah tangga kalian tidak bisa dipertahankan lagi. ”Kami tak ada lagi kecocokan,” katamu pada akhirnya.
Tentu saja. Memang tampaknya tidak ada perempuan yang cocok berumah tangga dengan pemilik burung yang suka menyelami palung-palung lain. Seperti kau sendiri tak merasa cocok dengan perempuan yang membuka palungnya untuk diselami penguin-penguin lain.
Kusampaikan hal ini sebab ada tetangga kita yang mengalami nasib buruk ketika burungnya tiba-tiba ditonton banyak orang dan segerombol anak remaja kulihat cekikikan di depan layar handphone mereka. Aku tidak tahu apakah ada anakmu di antara mereka.
”Aku dihancurkan oleh musuhku,” kata lelaki itu.
Kurasa ia berlebihan. Tak ada untungnya menghancurkan pegawai negeri kecil-kecilan di pelosok Grobogan. Jika aku bertemu dengannya, pasti kutanyakan, ”Siapa yang menghancurkanmu?”
Namun, bisa saja ia benar. Pertarungan tidak hanya terjadi pada orang-orang besar, pada orang melarat pun terjadi pertarungan. Pertandingan sepak bola tidak hanya seru pada kompetisi Piala Dunia, pertandingan antarkampung pun bisa sangat seru. Nah, yang terjadi pada pegawai Grobogan itu kukira sama serunya dengan sepak bola kampungan. Seperti pertandingan persahabatan yang berakhir ricuh.
Lelaki itu melakukan atraksi penguin di sebuah rumah makan yang menyediakan dangau-dangau untuk para pengunjung. Itu tempat makan yang menyenangkan. Di bawahnya ada kolam tempat ikan-ikan piaraan berenang-renang beberapa waktu sebelum ditangkap dan dimasak. Di sekelilingnya petak-petak sawah terhampar luas, padi-padinya meranggas. Di salah satu dangau di rumah makan itulah ia melakukan atraksi. Aku kagum dan sedih melihat film itu. Pada saat penguinnya menyelam, lelaki itu tetap menampilkan paras muka seperti orang yang sedang makan. Itu mengagumkan. Tetapi aku sedih oleh kenyataan lain di benakku.
”Bajingan itu tak mungkin bisa sembuh,” istri si lelaki meradang ketika film suaminya menyebar. ”Sudah tiga kali ia melakukannya.”
Perempuan itu pantas mengamuk bukan semata karena ia perempuan. Ia juga dulunya pasangan atraksi si lelaki, yang kemudian dinikahi sebagai istri ketiga setelah laki-laki pemilik penguin itu menceraikan istri keduanya. Jika kita percaya ucapannya bahwa lelaki itu sudah tiga kali melakukannya, mungkin istri kedua lelaki itu juga didapat melalui atraksi di dangau yang sama, yang membuat istri pertamanya meracau dan minta cerai.
Tetapi aku tak tahu persis soal istri kedua dan pertama, hanya kutahu riwayat istri ketiga. Perempuan itu terus mengamuk, si lelaki tidak berkutik. Ia bukan pejabat dan tidak ada wartawan yang mengejarnya untuk wawancara dan istrinya tidak membelanya dengan mengatakan bahwa ia ayah dan suami yang baik. Tidak ada pula yang mengirimkannya sekolah ke luar negeri, atau mengirimnya transmigrasi ke pulau lain untuk pulang lagi dengan jabatan baru bertahun-tahun kemudian.
Paling banter ia hanya bisa meratapi nasib buruknya. Mengapa bukan burung orang lain yang dipertontonkan di muka umum? Mengapa burungnya? ”Apa sebenarnya salah saya?” tanyanya, seperti bayi baru lahir yang dikutuk oleh nasib buruk pada hari pertama ia dilahirkan, seperti orang suci yang dihukum karena mengajarkan kebenaran. Sampai hari ini ia tidak tahu siapa yang telah merekam dan siapa yang menyebar-nyebarkan atraksi penguinnya.
Tentang istri ketiganya, orang yang kuketahui riwayatnya, ia masih mengamuk bertahun-tahun setelah kejadian itu, bahkan bertahun-tahun setelah mereka bercerai. Perempuan itu terus menyambar-nyambar dengan mulutnya yang tak terkendalikan. Aku mendengar setiap amukannya sebab ia kemudian menjadi istriku dan ia terus meracau, mengutuk bahwa setiap lelaki tak ada bedanya. Ketika atraksi pejabat dan penyanyi dangdut itu menyebar, ia juga menyalak. ”Pejabat atau kere sama saja,” katanya. ”Istri pejabat itu munafik-fik-fik-fik!”
Yah, kau bisa mengukur tingkat kemarahannya dengan menghitung jumlah ”fik” yang ia ucapkan. Aku sebetulnya ingin mengatakan bahwa ia pun pernah melakukan hal yang sama dengan bekas suaminya sebelum mereka menjadi suami istri dan ketika lelaki itu masih menjadi suami perempuan lain. ”Janganlah melupakan sejarahmu sendiri,” aku ingin mengatakan begitu, tetapi kutahan saja. Apa gunanya? Istriku terus mencaci. Aku seperti tenggelam dalam pusaran yang keruh dan membuatku sulit bernapas. Kurasa aku bisa mati lemas jika perempuan itu tak menghentikan caciannya.
Tentu saja aku menyadari bahwa masa lalunya pahit dan itu tak mudah dilupakan. Kenangan pahit, kau tahu, akan melekat lebih kuat di dalam pikiran ketimbang kenangan manis. Jika kau berpasangan dengan orang yang penuh kenangan pahit, kau harus selalu bisa membuat hatinya tenteram, sebab hal-hal kecil bisa membuat pasanganmu meradang-menerjang dan ia akan menyamakanmu dengan orang-orang yang pernah mengecewakannya.
”Semua lelaki tak ada bedanya,” katanya, seolah-olah ia telah dikhianati oleh semua lelaki. Seolah-olah ia pernah menjadi istri semua lelaki, dan sudah pernah dikhianati oleh sejuta lelaki.
Sebetulnya aku merasa sakit hati setiap kali ia mengutuk bekas suaminya itu. Menurutku ia tak pantas terus-menerus membicarakan lelaki itu di depanku, apa pun alasannya. Bagaimanapun, sekarang akulah suaminya. Dan kemarahan perempuan itu, yang tak pernah reda, membuatku merasa tak berarti. Aku merasa bahwa ia tak sopan terus menyebut-nyebut lelaki itu di hadapanku, tetapi ia berkali-kali melakukannya.
Ketika aku menanyakan kepadanya dengan suara gemetar apakah ia mau menjadi istriku, aku sama sekali tidak menduga keadaannya akan seperti ini. Aku tahu ia seorang janda dan ia merasa dikhianati bekas suaminya. Ia sering menceritakan lelaki itu selama kami berpacaran dua bulan sebelum menikah. ”Kau mungkin pernah melihat film itu,” katanya.
Aku mengangguk. Sudah kubilang kepadamu, aku sedih melihat film itu.
”Kurasa rumah makan itu akan mendapat kutuk sepanjang masa,” katanya.
”Mungkin begitu,” kataku.
”Pasti begitu,” katanya. ”Tempat itu dilekati kutuk sepanjang masa, yang ditinggalkan si keparat mesum itu. Dan kurasa tak ada lagi orang yang mau makan di sana.”
Beberapa hari sebelumnya aku makan di tempat itu bersama beberapa kawan dan aku tidak mengatakan itu kepadanya. Kurasa tak ada gunanya mengatakan hal itu kepada perempuan yang sedang berkobar-kobar menyampaikan kutukannya. Kau tahu, rumah makan itu masih ramai dikunjungi orang ketika aku makan di sana. Kurasa kutukan perempuan itu akan menjadi kenyataan jika semua pengunjung yang makan di sana tidak membayar apa yang mereka makan.
Perempuan itu empat puluh tiga tahun ketika kami menikah dan aku lima puluh empat tahun dan itu pernikahan pertamaku. Itu pernikahan yang kutunggu-tunggu dengan orang yang diam-diam selalu kuinginkan menjadi istriku. Setahun setelah pernikahan, aku pensiun dari pekerjaanku.
Aku jatuh cinta padanya dua puluh tahun sebelum kami menikah, pada bulan pertama ia masuk bekerja, dan ia tidak pernah tahu aku mencintainya. Usiaku 34 ketika dia mulai masuk bekerja di kantor tempatku bekerja dan aku tidak pernah menunjukkan rasa cintaku padanya meskipun aku menginginkan ia menjadi istriku. Tujuh tahun kemudian, ketika umurnya 30 dan aku 41, ia berpacaran dengan lelaki yang sudah beristri, orang dari kantor sebelah yang usianya lima tahun di bawahku.
Lelaki itulah yang kemudian menikahinya, setelah menceraikan istrinya (tepatnya, istri keduanya), dan tujuh tahun kemudian perkawinan mereka bubar. Si keparat, begitu ia selalu menyebut lelaki itu, berselingkuh dengan perempuan lain dan melakukan atraksi lagi di dangau sebuah rumah makan. Aku diam-diam menangis ketika orang-orang membicarakan perbuatan lelaki itu. Aku menangisi nasib buruk perempuan yang kucintai -ia dikhianati oleh suaminya. Kenapa seburuk itu nasib perempuan yang kucintai?
Tujuh tahun sebelumnya aku juga menangis ketika perempuan itu keluar dari tempat kerja kami untuk menikah dengan si keparat. Rasanya seperti aku sendiri yang dipandang semua orang dengan tatapan mengejek. Aku merasa semua orang di kantor menganggapku lelaki tolol yang tak mampu melindungi perempuan yang dicintai dari terkaman bangsat.
Enam tahun setelah perceraiannya, aku bertemu lagi dengan perempuan yang kucintai. Ia tampak menyedihkan tetapi kepada perempuan itu aku membuktikan bahwa rasa cinta bisa abadi. Aku hampir menangis bertemu lagi dengannya di sebuah rumah makan dan kami menikah dua bulan kemudian. Kami menjalani rumah tangga dengan cara tersendat-sendat dan aku selalu ingin menangis sepanjang sembilan tahun sejak pernikahan setiap kali mendengar ia mencaci-maki bekas suaminya.
Apa saja bisa membuatnya mengutuk si keparat yang pernah menjadi suaminya itu. Begitupun ketika rekaman atraksi pejabat dan penyanyi dangdut itu menyebar di handphone orang-orang. Istriku terus meracau bahwa semua lelaki adalah bajingan. Pernikahan kami sudah hampir sepuluh tahun, dan umurku sebentar lagi 65. Sudah saatnya aku memikirkan ketenteraman seperti resi-resi zaman dulu, menghabiskan air mata di tempat sunyi. Maka aku menyelinap malam-malam ke selatan, ke sebuah gua di kaki bukit.
Dan, kautahu, Tuhan mengabulkan keinginanku. Aku menangis sepanjang malam di dalam gua itu dan segalanya berubah ketika aku terbangun keesokan harinya. Mungkin aku tertidur 300 tahun seperti orang-orang dari cerita lama. Atau… oh, aku di negeri para raksasa. Kulihat ada beberapa raksasa kanak-kanak mendekatiku. Salah satu dari mereka memungutku.
”Ia terus menangis,” katanya.
Ia mendekapku dan membawaku pulang ke rumahnya. Aku terus menangis dan air mataku membawa keberuntungan bagi anak itu dan keluarganya. Mereka menarik bayaran kepada orang-orang yang datang menontonku: sebongkah batu kecil berbentuk kelinci yang meneteskan air mata sepanjang hari. ***
*) Cerpenis dan esais. Tinggal di Jakarta
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar