Isbedy Stiawan ZS
http://www.suarakarya-online.com/
DI kompleks perumahan type 21 banyak hal bisa terjadi dan selalu berbau rakyat jelata. Berbeda dengan perumahan elite yang terkadang antartetangga tak saling kenal dan tak salingsapa, di perumahan type 21 sesama tetangga saling kenal dan kerap bersenda-gerau. Selain itu, sepertinya rahasia paling rahasia dalam satu rumah keluarga, tetangga lain cepat sekali mengetahuinya. Entah caranya bagaimana kabar yang terjadi dalam suatu rumah tangga bisa begitu cepat menyebar. Ibaratnya jarum jatuh di dalam rumah, tetangga paling ujung jalan akan tahu beritanya. Apatah lagi perabot rumah tangga ataupun lemari yang hancur karena suami-istri bertikai.
Sebagai warga di perumahan type 21 harus pandai-pandai menjaga perasaan. Kalau Anda gampang murah atau punya sifat dengki, jangan berangan-angan hendak menetap di sini. Sebab akan sakit sendiri dan mati! Bagaimana tidak, kalau sebentar-sebentar berang pada tetangga lantaran tetangga sebelah atau depan atau tetangga yang berada dapur menyetel radio, tape, maupun televisi dengan suara amat keras. Belum lagi jika kita bertetangga dengan ibu-ibu yang doyan berkaraoke dangdut.
Mau marah, lalu bilang: “Memangnya dunia ini milik anda, coba kecilkan suaranya. Saya pening, lagi skait gigi..”?
Kalau tetangganya tahu diri, ia akan memaklumi dan minta maaf sambil mengecilkan-bagus langsung mematikan-radio atau televisi dan berhenti berkaraoke. Tetapi, jika sebaliknya volumennya makin dikeraskan: a;amat bertikai terjadi. Belum lagi kalau dengki melihat tetangga yang membeli kulkas, motor, mobil, dan seterusnya. Timbul iri: “Ah, paling-paling dari hasil korupsi.”
Untunglang saya punya istri yang tidak suka keluar rumah mengobrol dengan tetangga. Istriku tak biasa ngerumpi, bahkan di tempat kerjanya pun ia tak suka berkongkow-kongkow. Maka begitu pulang kerja, ia akan memberesi rumah sebelum ia istirahat siang. Tetapi, istriku akan menjadi orang pertama yang berkunjung ke tetangga jika ia mendengar ada tetangga yang meninggal, sakit, maupun melahirkan. Itulah yang saya sukai, sekaligus membuat saya makin mencintainya. Sehingga hampir 20 tahun menempati rumah type 21 yang belum juga saya renovasi, kami belum pernah berselisih dengan tetangga.
Saya tak pernah mengusik tetangga, tapi akan saya beli jika ada tetangga yang menjual masalah dengan saya. Itu prinsif hidup saya berkerabat. Akan tetapi, kalau ada kesempatan untuk mengalah, lebih saya pilih berdamai saja. “Tak ada untungnya berselisih dengan tetangga. Memangnya kita hidup di hutan yang tidak memerlukan bantuan atau menolong,” ujar saya pada istri sebelum kami memutuskan mengambil rumah di kompleks perumahan ini.
Istri saya memaklumi. Karena itu ia sudah siap bertetangga. Saya juga memberi bayangan bagaimana hidup di komp;eks perumahan, seperti juga mereka yang hidup di rumah susun. Kalau mau hidup nyaman, ya tingga di kawasan atau perumahan elite. “Cuma jangan terlalu berharap tetangga akan membantu, kalau kita mendapatkan kesulitan. Bisa-bisa ketika rumah kita disatroni permapok, tetangga sebelah pun tak tahu sama sekali.”
Istri saya makin maklum. Seperti juga ia memaklumi tatkala tersebar gunjing bahwa keluarga saya dinilai tak bisa bertetangga. “Ibu Is itu kan tak mau bergaul dnegan kita karena dia orang kantoran. Kita dianggap tidak level. Mentang-mentang..”
“Ah, Ibu Is itu kan takut sama suami. Itu lo, katanya sih, Pak Is itu galak dan ringan tangan,” timpal ibu yang lain.
“Bukan cuma itu,” imbuh ibu lainnya. “Itu lo, Pak Is pencemburu, tak suka istrinya keluar rumah..”
“Memangnya kita-kita ini perempuan-perempuan genit. Bu Is itu yang..” Seorang ibu hendak menambahkan, tapi urung ia teruskan kalimat akhir tersebut.
Gunjingan itu saya tahu dari Masturi. Siapa Masturi? Inilah yang akan saya ceritakan kemudian..
MASTURI, suami Lasmi, tetangga yang menempati rumah di ujung Jalan Begal. Ia tak punya pekerjaan tetap, meski ia lulusan universitas negeri. Hidup sehari-seharinya bersama istri dan satu anaknya masih disubsidi oleh orang tua istrinya. Masturi lebih dikenal sebagai “Laki-laki Penguping” tinimbang namanya sendiri. Tidak sedikit dari kami justru tidak mengenal namanya, karena sudah terbiasa dengan julukannya itu.
Kenapa ia disapa dengan Laki-laki Penguping? Ceritnya, sebenarnya panjang, hanya intinya karena ia bisa menguping para istri saat mengobrol (tepatnya: ngerumpi) persis di dekat rumahnya. Ia tahu persis tanpa sedikitpun ia lupakan apa yang dikatakan para ibu rumah tangga di perumahan type 21. Masturi kemudian, awalnya, cuma untuk menghidupkan suasana saat kami-para suami-bergadang pada malam Minggu, atau sedang menyaksikan pertandingan bolasepak pada Piala Dunia, maupun sekedar bertemu usai rapat perkumpulan sukaduka tiga bulan sekali.
Saat itulah Masturi menceritakan tentang apa yang dicakapkan para ibu rumah tangga. Misalnya, dari soal apa yang dimasak pada hari itu, makan kesukaan suami masing-masing, atau sedang kesal pada suami disebabkan suaminya melirik dan memuji kecantikan perempuan. Sampai masalah ukuran serta warna BH dan celana dalam yang dipakai. “Ibu RT pernah cerita kalau suaminya justru menyukai buah dadanya yang besar,” kata Masturi sambil tertawa, dan diikuti oleh yang lain.
Masturi akan semakin asyik bercerita apabila disuguhi minuman alkohol. Cerita hasil menguping para istri itu akan makin seru, sehingga kami yang mendengar terbahak dan terpingkal-pingkal. Ibram, tetangga sebelah saya, yang juga tengah mabuk berat paling besar tertawanya, sampai-sampai matanya basah. Sepertinya aroma alkohol membuat Masturi kian “cerdas” mengumpulkan bahan lucu yang didapatnya saat mendengarkan para perempuan di perumahan berkumpul.
Ketika ditanya bagaimana cara ia menguping para perumpi, tanpa sungkan Masturi menjelaskan. Katanya, ia pura-pura mencuci piring di dekat garasi rumahnya yang tak memiliki mobil itu. Dari tempat itu ia jelas sekali mendengar percakapan para ibu rumah tangga tersebut. Kalau tak pura-pura sedang mencuci piring, sambil menyiram bunga ataupun membersihkan halaman rumah.
“Ibu memangnya tidak curiga, pak Masturi?” tanya Ibram masih terkekeh.
Ia menggeleng. “Perempuan dilahirkan untuk dibohongi laki-laki, dan istri ditakdirkan mudah dikibuli suami. Makanya suami lebih sering berselingkuh tapi tak pernah ketahuan dibanding istri karena laki-laki amat licik,” jawab Masturi dan kelopaknya matanya terpejam-pejam. Kami pun yang mendengar tertawa.
Masturi juga terkenal pandai melucu. Meski bahan lawakannya itu ia dapatkan dari menguping para ibu rumah tangga. Karena itu, jangan tersinggung apalagi emosi, kalau kami yang mendengar ceritanya kerap juga dijadikan bahan tertawaannya.
Karena itu pula, tak urung Masturi kami gelari sebagai laki-laki penguping. Dan, ia tak pernah tersinggung. Bahkan, gelar itu dengan bangga ia sematkan di antara namanya: Masturi Laki-laki Penguping yang disingkat jadi Masturi LP. Dari kebiasaan mencuri percakapan para istri itu, kemudian ia jadikan pencarian tak resmi untuk membeli rokok. Soalnya Masturi selalu kami butuhkan untuk menghidupkan suasana mengobrol saat begadang. Ia juga tanpa sungkan meminta rokok atau uang, jika kami hendak mendengar ceritanya.
“Mau bayar berapa, kali ini ceritanya lebih seru..” tantang Masturi.
“Apa dulu cerita yang kau dapat dari para istri itu? Jangan mengulang kisah yang sudah kami dengar..” ujar Ibram bersemangat. “Kalau seru aku siap memberimu sebungkus rokok Djoi Sam Soe, dan sebotol anggur!”
“Pasti baru dan seru!” potong Masturi. “Dua bungkus rokok bagaimana?
“Oke, sebungkusnya saya yang kasih!” kata pak Marwanto. “Dasar penjual cerita!”
“Lo, pengarang cerita di koran-koran saja dapat honor kalau tulisannya dimuat. Iya kan pak Is?” Masturi tak mau kalah sembari meminta pembenaran dariku. Aku hanya mengangguk.
Dari pekerjaan menceritakan apa yang didengar dari percakapan para ibu rumah tangga itu, Masturi tak lagi pening memikirkan untuk membeli rokok dan menikmati minuman alkohol. Ia cukup menyambangi para suami yang sedang mengobrol di depan rumah setiap malam Minggu atau seusai pertemuan anggota sukaduka yang biasa dilanjutkan kongkow hingga larut malam. Pada saat itulah Masturi muncul. Kalau tidak, ada yang diutus untuk menjemputnya.
Memang Masturi tak pernah berbohong. Ibarat pedagang ia akan selalu memuaskan pembeli. Baginya, seperti juga para pedagang bahwa pembeli adalah raja yang mesti dilayani dan dipuaskan. Maka tak pernah cerita yang dibawanya telah ia jual sebelumnya. Selalu ada yang baru dan selalu seru.
Tetapi, lama-lama kami curiga. Masturi sebenarnya memunyai kepadandaian bercerita, dan apa yang dia ceritakan kepada kami itu bukan seluruhnya ia peroleh hasil mencuri percakapan para istri di perumahan kami. Alasan kecurigaan kami, disebabkan tidak setiap para ibu rumah tangga bertemu akan bercerita seperti apa yang diungkapkan Masturi pada kami. Pasti ada juga yang positif, tentang kreativitas masing-masing ibu itu. Bukankah para istri itu tak semuanya hanya ibu rumah tangga? Ada yang bekerja di isntansi pemerintah dan swasta.
“Ini bukan karanganku, sungguh aku mendengar dengan kupingku. Jelas sekali..”
“Jadi, Ibu Minul itu sering dibawa bosnya jalan-jalan dan makan siang?” tanya Marwanto penasaran.
“Ya. Itu yang kudengar langsung dari mulut Ibu Minul. Ia malah bangga saat menceritakannya.”
“Kalau cuma makan tempe terus di rumah mana enak, sekali-sekali ya ganti makan daging di luar,” kata Minul seperti diceritakan Masturi lalu terkekeh. “Sekali jalan dapat ini..” kata Minul sambil menggosok-gosok jari jempol dan tengahnya.
Minul juga bercerita, demikian Masturi, tetap memberi kehangatan pada suaminya. Sehingga ia tak pernah dicurigai bermain belakang. “Artinya, perempuan juga pandai berbohong kan?” pungkas Masturi sambil tertawa.
“Ah, Maman saja yang bodoh! Kok tak pernah bisa mencium kebusukan istri sendiri?” timpal Ibram.
Lalu kami terkekeh. Diam-diam Marwanto ingin sekali mencari kebenaran ceriota Masturi tentang Minul. Siapa tahu benar, siapa tahu bisa memergoki Minul sewaktu jalan bersama bosnya. “Siapa tahu bisa dimanfaatkan hahaha.”
“Benar juga.” hampir bersamaan kami bersuara.
KETIKA kami merindukan cerita-cerita Masturi soal ibu-ibu di perumahan ini, tukang cerita itu tak mau lagi dipanggil. Laki-laki penguping itu sudah jarang ke luar malam. Kalau pun bisa keluar dan berkumpul, ceritanya sudah basi karena sudah pernah diceritakan sebelumnya. Akhirnya kami malas menanggapnya. Kami juga tak lagi sokongan membeli rokok untuknya.
Entah kenapa tiba-tiba si penguping itu kehabisan bahan cerita. Padahal, ibu-ibu masih sering berkumpul setiap jelang maghrib di dekat rumah Masturi. Pastilah Masturi bisa mencuri percakapan para ibu, seperti para setan sebagaimana hadis Nabi kerap mencuri rahasia langit yang lalu dibawa dan diberikan kepada para dukun dan orang-orang pintar.
Suatu malam, Masturi muncul. Wajahnya tak lagi seceriah seperti biasanya. Kami menunggu ia bercerita, tapi Masturi hanya diam. Kami sudah coba memancing dengan meletakkan beberapa botol anggur di meja, ia tak juga menyentuh. Ibram menawarkan rokok, Marwanto sudah membelikan bebera bungkus rokok lalu digeletakkan di meja. Masturi tak juga mengambil, bahkan sebatang pun.
“Ada cerita lucu yang baru?” saya yang tak tahan menunggu bertanya.
Masturi menggeleng.
“Wah, kalau koran tidak ada berita. Apa yang bisa dibeli?”
“Aku bukan koran.”
“Tapi masih punya stock cerita, kan?” kejar Ibram.
“Juga tak ada. Sudah habis!”
“Lo, memangnya ibu-ibu tak lagi ngerumpi?”
“Masih.”
“Memangnya tak ada yang menarik, seru, dan lucu?”
“Sudah tak ada lagi,” jawab Masturi ringan. “Sepertinya para ibu itu sudah tahu kalau ada yang mencuri percakapan mereka. Bahkan, setuap ibu-ibu itu bertemu, percakapan hanya satu tema..”
“Apa itu?” Marwanto penasaran.
“Para ibu itu membicarakan aku,” jawab Masturi pelan. Mendesah. “Kata para ibu, orang yang mencuri percakapan orang lalu diceritakan kembali kepada orang lain apalagi untuk mencari keuntungan, sama seperti memakan bangkai hewan!”
Kini giliran kami yang menertawakan Masturi. Ia seperti hewan bahkan lebih rendah lagi: binatang yang sudah mati. Di hadapan kami..
Lampung, 22-26 Oktober 2006
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar