Maman S. Mahayana *
Minggu waktu duha. SMS seperti hujan. Aku baru saja menikmati gelombang ombak dalam gelas: sebuah tanggapan dari orang tak dikenal atas tulisanku di Media Indonesia Minggu. Ia cukup lihai cari popularitas dengan memanfaatkan ide pihak lain. Tak ada informasi baru di sana. Kulihat burung pipit lahap mengisap bunga benalu. Sebuah SMS masuk lagi: “Itu pseudo!” Mungkin, pikirku sambil mengingat sejumlah artikel Lekra awal tahun 1965-an.
Telepon berdering. Anakku berteriak, “Ayah, dari Payakumbuh!”
Aku bergegas. Menarik gagang telepon. O, Gus tf Sakai! Sastrawan Minang yang sangat santun ini menanyakan kiriman karya terbarunya, Tiga Cinta, Ibu; sebuah novel tipis yang di sana-sini tersembul semangat eksperimentasi. Rupanya, Sakai masih sangat setia pada kegelisahan kulturalnya, seperti juga tampak dari sejumlah cerpennya. Minang memang sarat problem. Dan ia memanfaatkan kekayaan kulturalnya lantaran ia bernafas dan hidup di situ. Aku memahami penolakannya untuk berselingkuh dengan kultur lain. Maka, mengertilah kini jika ia, dulu, tidak ikut tergoda gadis Jawa, keturunan Madura, yang mengganggunya di Cipayung. Sakai terlalu setia pada anak-istri beserta ninik-mamak dan tanah leluhurnya.
Boleh jadi itulah representasi orang Minang. Lihat saja Darman Moenir–Bako, Yusrizal—“Sang Pengeluh” yang cintanya pada tanah leluhur dilakukan lewat ‘otokritik’, seperti yang juga diperlihatkan Navis. Setidaknya, mereka tak dapat melepaskan diri dari kegelisahan kulturalnya. Kesetiaan mengusung sesuatu yang diketahuinya benar, penting artinya agar tempatnya sebagai sastrawan yang berpribadi tak tergoyahkan. Itu pula yang terjadi pada diri Wisran Hadi—Puti Bungsu atau Chairul Harun–Warisan. Minangkabau seperti tiada habisnya melahirkan sastrawan sejak awal kesusastraan negeri ini dibangun.
Dunia Minang itu kini seolah menyeretku untuk mengenang beberapa peristiwa di Riau: Pulau Penyengat, Pekanbaru, Rempang, Batam, Karimun, dan Dumai. Darah Raja Ali Haji yang meresap pada Idrus Tintin, BM Syam, Ediruslan, Taufik Ikram Jamil, Hoesnizar Hood, Syaukani Al Karim, Samson Rambah Pasir, dan sederet panjang nama lain, kubayangkan laksana lulur penebar semangat. Juga tidak lupa Sutardji Calzoum Bachri yang membuat monumen lewat mantra. Mereka, sastrawan Melayu itu, sadar betul pada tradisi. Mereka juga tidak dapat menyembunyikan luka sejarah. Dalam Sumpah Pemuda, bahasanya diikhlaskan menjadi bahasa Indonesia. Dan mereka selama bertahun-tahun sekadar menjadi penonton saat minyak diangkuti dan pulau belukar dibuat perumahan mewah orang-orang Jakarta. Salahkah jika kini mereka mengusung sejarah masa lalunya yang terluka, kekayaan kulturnya yang telah mengurat-daging, dan coba mentransformasikan kisah-kisah lama yang tercecer? “Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang,” begitu teriak Hang Jebat.
***
Seekor kecoa melintas. Ia seperti mengeluarkan nazis. Ada cipratan tengik. Dan menempel di sebuah artikel yang baru saja kubaca.
***
Seperti biasa, Hudan Hidayat datang dengan sepenggal besi di tangan kanan dan provokasi di tangan kiri. “Itu tak adil, Kang,” ujarnya, “Masa menilai cerpen dengan kira-kira.” Dalam beberapa hal, aku setuju pernyataannya. Tulisan itu cukup banyak menebar syakwasangka: saya kira. Jangan-jangan penulisnya punya kelainan. Kukatakan juga, “Orang Sakit-mu telah berganti kelamin dan ngaku-ngaku jadi pengamat.” Hudan diam. Gerahamnya gemeletuk. Sastrawan asal Palembang ini terkadang memang agak meletup-letup: temperamental. Dan sungguh, semangatnya menyita pesona. Lebih mengagumkan lagi, ia piawai mengolah problem psikologis menjadi kekuatan karakterisasi tokoh-tokoh fiksinya. Itulah argumen yang melandasi pandanganku bahwa fiksionalisasi “Orang Sakit” potensial mengangkat problem psikologis dibandingkan kecenderungan sufistik “Khidir”. Tentu itu tidak berarti ada larangan untuk memasuki wilayah lain. Kegamangan “Orang Sakit” menunjukkan arus kuat peristiwa pikiran dan trauma psikis berjalin-kelindan dengan tindakan fisik. Sementara tafsirnya mengenai keangkuhan Musa dan kesucian Khidir, terkesan sekadar mencetak rangkaian peristiwa transformatif, dan bukan simbol-simbol sufistik sebagaimana yang dibangun para sastrawan sufi.
Apa maknanya bagi Hudan? Pendalaman peristiwa merupakan keniscayaan dan pengungkapan makna di balik peristiwa mesti menjadi sasaran tematisnya. Tanpa itu, ia akan terjebak pada peristiwa artifisial. Sekadar usul, gagasan ini bisa saja menjadi bahan renungannya atau bisa pula langsung masuk keranjang sampah. Mereka yang mengaku wakil rakyat di DPR saja menyediakan begitu banyak keranjang sampah, apa salahnya sastrawan kita melakukan hal yang sama. Tokh, Tuhan pun tak melarang orang bersaran.
Kami terlibat diskusi panjang tentang peta cerpen Indonesia dan keikutsertaan dalam Jurnal Cerpen yang dirintis Joni Ariadinata. Maka, tak terhindarkan, ada semacam daftar nama yang muncul di sana. Kukatakan, Joni Ariadinata mulai berani melebarkan sayapnya pada nafas sufistik. Periksa saja Air Kaldera-nya. Di sana, ada masjid yang kosong, penduduk pemuja demit, lelaki bergamis, kopral dan serdadu palsu, Jembatan Langit sampai Tuan Presiden. Ironinya kokoh; kadangkala sangat paradoksal. Joni masih menyimpan kekuatan dahsyat lantaran persahabatannya dengan dunia gaib. Oleh karena itu, meski dalam Air Kaldera, usahanya menyemaikan simbolisme –dalam hal tertentu– masih terfokus pada peristiwa dan bukan makna di sebaliknya, ia tidak bakal kehabisan lahan jika ia tak menghentikan eksplorasinya pada kekayaan folklor sekelilingnya. Lihat saja, betapa Arifin C. Noer –sampai akhir hayatnya– tiada henti menggali folklor.
Sehelai daun kering jatuh. Geraknya melayang ringan. Angin seperti menyangga untuk bertahan pada tamparan sinar matahari. Aku terpesona. Mendadak ingat Danarto yang menafsir Al-Fatihah, Ayat Kursi dan dua ayat Al-Imran jadi lempengan-lempengan cahaya. Sangat inspiratif, meski polanya menyerupai “Setangkai Melati di Sayap Jibril.” Cerita dibiarkan mengalir entah ke mana, tetapi di dalamnya menyeruak makna-makna. Dalam soal makna, “Rembulan di dasar Kolam” lebih simbolik. Terasa, konsep Ibu di sana lebih hidup dan berjiwa. Simbolisme semacam ini mengingatkan pada Kuntowijoyo “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”. Tarik-menarik pengaruh antara Kakek—Aku—Ayah—membawa tokoh Aku memandang tokoh Ibu. Tokoh-tokohnya sangat simbolik dan merepresentasikan ideologi tertentu.
***
Makna! Inilah substansi sebuah cerita. Dapatkah kita menangkapnya pada karya-karya populer atau kisah-kisah telenovela selain obral hiburan dan iming-iming hadiah? Itulah tuntutan yang di dalam kerangka cultural studies dimasukkan dalam kotak high culture untuk membedakannya dengan popular culture. Mereka yang memilih masuk ke wilayah high culture dihadapkan pada sejumlah konsekuensi. Catatan kritis terhadapnya mesti disikapi secara arif, sebab itu merupakan salah satu bentuk apresiasi, bukan caci-maki. Apresiasi memancar dari sebuah prestasi yang mampu melahirkan nilai-makna. Tanpa itu, percumalah melakukan apresiasi, sebab bakal sia-sia menemukan nilai-makna.
Makna agaknya mustahil mengkristal tanpa proses. Itulah sebabnya kukatakan, eksplorasi kultur etnik merupakan peluang. Ia menjanjikan lahan yang sangat berlimpah. Oka Rusmini (Bali), Gus tf Sakai (Minang), Taufik Ikram Jamil (Melayu), Yanusa (Jawa) adalah beberapa contoh yang telah memanfaatkan kultur etniknya dengan sangat cerdas. Ingat juga Umar Kayam, Linus Suryadi, Darman Moenir, Korrie Layun Rampan, Zawawi Imron, Tohari, dan sederet nama lain yang berlimpah. Proses persenggamaannya dengan sosio-kultural yang mengelilingnya, telah berhasil disuguhkan dalam berbagai kisah yang penuh kristal makna. Memang itu pilihan. Tetapi, begitu memilih, di depannya terhampar konsekuensi. Jadi, jika konsekuensinya menggenggam kristal makna, wajar saja mereka memilih itu. Lalu, apa yang harus dipenjara jika memilih hakikatnya sebuah kebebasan.
Tengoklah Abidah El-Khalieqy. Dalam Menari di Atas Gunting, ia telah memilih narasi-imajinatif, dan bukan narasi atas peristiwa an sich. Maka yang muncul kemudian adalah sebuah pengembaraan imajinatif yang mengingatkan kita pada Javid Namah-Iqbal. Ia memang lebih leluasa mempermainkan ruang dan waktu. Tokoh-tokoh yang merepresentasikan ideologi tertentu bisa ditarik ke masa kini, masa lalu atau masa datang. Tentu saja itupun bukan tanpa risiko. Kita dibawa pada deretan nama yang beberapa di antaranya memaksa kita membuka catatan sejarah atau lembaran ensikopledi. Dalam hal itulah, tidak jarang, sentuh estetik (aesthetic contact) kita, menghadapi hingar; terganggu.
“Manusia akan terus-menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan. Atau ini, atau itu. Dan memilih salah satu di antaranya adalah sebuah putusan bebas. Dan putusan itu hanya akan bermakna jika ia telah melakukan pilihan.” Begitulah sebagian gagasan Kierkegaard tentang kebebasan manusia untuk memilih. Abidah telah memilih jalurnya sendiri, sama dengan Agus Noor, Shoim Anwar, Kurnia, Ratna Indraswari Ibrahim, Herlino Soleman, atau siapa pun yang namanya sering kita jumpai di hari Minggu. Keberadaan mereka itu, justru tidak sekadar membentuk warna-warna pelangi, melainkan ruh keindonesiaan yang hakikatnya bersumber dari heterogenitas. Maka, tidak dapat lain, memetakan cerpen (atau kultur) Indonesia, hendaknya tak terjerat pada satu nama.
Masih ingatkah tragedi percintaan Fuyuko dan Husen dalam Gairah untuk Hidup dan untuk Mati-Nasyah Djamin? Itulah novel Indonesia pertama yang secara mendalam menghadapkan harakiri dalam persepsi kultur Jepang dengan bunuh diri menurut konsep Islam. Sebuah konflik kultural telah disajikan Djamin dengan sangat memikat. Maka, jika kini hadir Herlino Soleman mengangkat Koinobori, tidakkah itu merupakan sumbangan penting untuk melihat kultur dan masyarakat Indonesia dalam pandangan Jepang atau sebaliknya? Tidakkah ia menyentuh persoalan kultural: konsep keberanian dan keringat dilihat dari persepsi dua kultur yang berbeda? Sebuah sentuhan kultural yang terasa sedap. Lalu, mengapa pula ia mesti dilarang? Ingat saja ketika Sitor Situmorang merasa gamang dalam Salju di Paris atau Umar Kayam dalam Seribu Kunang-Kunang di Manhattan? Tidakkah itu juga berkaitan dengan problem kultural?
***
Hudan Hidayat pergi ke entah. Pasti aku akan rindu pada provokasi dan sepotong besi yang setia menemaninya. Kapan pula Joni datang membawa kisah-kisah gaibnya. Atau Sakai dan Jamil yang tak bakal tergoda melakukan perselingkuhan kultural. Mereka suka sekali memberi banyak PR. Sungguh aku dijerat rindu. Hanya Jamal D. Rahman yang tahu, betapa persenyawaan kultural sering sangat menggelisahkan.
Minggu yang cerah. Seorang perempuan, masih agak muda, memasuki halaman rumahku. Tangannya menenteng sebuah map kertas yang lusuh-kucel. Sesudah melepas salam, ia menerangkan bahwa dirinya diutus oleh sebuah yayasan yatim-piatu untuk mencari dana pembangunan pondokan yayasan itu. Ia juga menyodorkan secarik kertas identitas yang tak jelas. Jangan-jangan itu juga nama samaran, pikirku. Buru-buru aku membuang prasangka buruk. Ah, jika saja anak-anak yatim itu bersekolah dan dididik dengan baik, sangat mungkin –jika benar—dari yayasan itu akan lahir sastrawan besar atau minimal penulis yang baik yang tentu saja tidak sekadar ngaku-ngaku penulis.
Istriku datang menimbrung. Keduanya terlibat pembicaraan entah apa. Kemudian ia masuk, membungkus sesuatu, meraup beberapa keping recehan, dan menyerahkannya kepada perempuan itu. Sambil merapikan rambutnya yang agak kusut, ia membungkuk, menyampaikan terima kasih dan salam. Aku berharap, semoga itu bukan penipuan.
Kembali aku sibuk dengan koran-koran. Ah, kemana pula koran yang tadi kubaca. Kutanya istriku. Ia tampak menyesal. Koran itu telah dipakainya membungkus nasi untuk perempuan tadi. Baru kali ini aku tidak merasa kehilangan sesuatu. “Sudahlah,” kataku sambil mengenang ombak dalam gelas.
***
_____________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar