Hilal Ahmad
http://oase.kompas.com/
Ayah bilang, setiap istri adalah bidadari. Tapi ayah tidak pernah menjelaskan, bahwa bidadari tak pernah pulang pagi.
**
Aku memandangi Arale, putriku yang masih berusia 10 bulan. Wajahnya nampak lucu. Matanya yang lentik sesekali mengedip ke arahku. Gadis kecilku ini baru saja terdiam setelah 15 menit lalu menangis hebat karena lapar.
Mulut mungilnya baru terdiam setelah menyedot susu formula yang kubuatkan dan kutaruh dalm dot botol. Jam dinding yang mengantung tepat di sebelah lemari di kamarku, menunjukkan pukul 11.45 WIB. Sebentar lagi tengah malam. Dan aku hanya berdua dengan Arale buah hatiku. Dan istriku, entah. Aku tak tahu ia berada di mana.
Mataku sangat berat. Dan sepertinya sudah sulit untuk diajak kompromi, pun untuk membuka lima menit saja. Padahal Arale masih asyik mengajakku bermain.
Tidak seharusnya aku begini. Besok pagi aku harus menghadapi setumpuk tugas kantor yang seharusnya kuselesaikan malam ini. Tapi Arale? Harus kuserahkan pada siapa?
Bukan aku tidak percaya untuk memberikan pengasuhan Arale pada orang lain. Tapi aku akan lebih bahagia jika menemani Arale selepas pulang kerja. Pengasuh Arale hanya bekerja sejak pagi sampai sore hari.
Tak perlu menanyakan kemana Ibunya. Karena itu akan membuatku sakit. Menorehkan luka mendalam.
***
Sore itu, aku baru saja mengganti pakaian kerjaku dengan baju santai.
“Aku pulang larut lagi malam ini Man!”
Itu suara istriku. Ia tengah meminta persetujuanku untuk pulang larut malam ini. Oh, bukan. Ia hanya memberitahuku. Atau itu hanya sebagai gertakan bahwa ia akan bekerja hingga larut pada malam ini.
Entahlah, aku enggan meladeninya. Dan untuk entah yang ke berapa kali, aku hanya mengagguk. Entah tanda setuju atau pasrah. Itulah diriku yang dipenuhi kata entah.
Dan tak lama setelah ia melontarkan kalimat itu, ia melenggok di depanku dengan busana yang aduhai. Gaun yang ia kenakan memiliki model dengan potongan leher yang amat rendah, tak berlengan, dan rok sepuluh senti di atas paha. Cukup glamor seperti artis dangdut yang ditanggap di kampung-kampung. Belum lagi parfumnya yang menyengat.
Aku tak berani bertanya ia akan pergi kemana malam ini. Karena aku yakin jawaban yang kudapat pasti sama, pertengkaran. Dan itu sungguh tidak berhasil mengorek apa yang ia lakukan setiap keluar malam.
Hanya kalimat pedas yang kuterima. “Aku kan melakukan ini untuk Arale juga. Kamu bayangkan Man, kalau aku hidup mengandalkan gajimu yang pas-pasan itu, tidak mungkin Arale dapat minum susu formula dan punya pakaian bagus. Lalu siapa yang menggaji si Rokayah buat menjaga anak kamu itu!”
Kalimat itu memang terlontar tiga bulan lalu. Saat aku mulai curiga perubahan sikap istriku yang kerap pulang malam setelah ia mengaku diterima bekerja. Tapi rasa sakit yang ditimbulkan, masih membekas sampai sekarang.
Kalau tahu begitu, menyesal aku mengizinkannya bekerja. Tapi ia juga benar, jika mengandalkan gajiku yang hanya pegawai rendahan di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang jasa pengiriman, akankah kebutuhan Arale terpenuhi. Mampukah aku membayar Rokayah untuk menjaga Arale saat aku bekerja.
Kepalaku berdenyut. Sebelum migrainku kumat, aku langsung berlari ke kotak obat. Nihil. Aku lupa membeli obat migraine yang biasa kusimpan di kotak persediaan. Belum sempat aku berpikir banyak, saat melewati kamarku Arale menangis keras.
Tak ada siapa-siapa di rumah itu kecuali aku dan Arale. Rokayah, sejak 20 menit lalu pulang ke rumahnya yang berada di desa tetangga. Sedangkan istriku, baru saja berlalu. Hanya jejak parfumnya saja yang tertinggal.
Ingin rasanya aku menggapai Arale, namun migarin ini semakin menjadi. Kepalaku berdenyut semakin keras. Jantungku berdetak lebih kencang, seakan dua kali lebih keras memompa darah ke semua organ tubuhku. Selanjutnya, aku tak ingat apa-apa. Terakhir kali aku ingat, badanku bergedebum jatuh ke lantai.
***
Saat mataku terbuka, kudapati diriku di atas ranjang bersprei biru. Aku berada di kamarku yang hanya berukuran 4×4 m2. Belum sempat benakku menjawab siapa yang menolongku berbaring ke tempat tidur, suara Rokayah langsung terdengar di telinga.
“Maaf Pak, tadi saya balik lagi ke sini ada barang saya yang tertinggal. Eh taunya liat bapak lagi pingsan deket meja makan. Arale juga nangis. Jadi, saya temenin dulu Arale sampai Bapak bangun.”
Aku hanya mengangguk pelan dan mendengarkan cerita Rokayah. Ya Tuhan, terimakasih telah memberi penyelamat lain. Seharusnya ini adalah tugas bidadariku yang menjaga dan memperhatikan aku dan Arale. Aku mengambil nafas panajng dan menghembuskan nafas berat.
Tak terasa air mataku meleleh. Sebelum Rokayah menyadari, aku langsung mengelapnya kasar.
“Saya tidak apa-apa. Kalau kamu pulang, lebih baik sekarang. Sebelum terlalu malam,” ujarku seraya melirik jam dinding yang menujukkan pukul delapan malam.
Rumah Rokayah berada di Kasemen, kampung sebelah di mana aku tinggal yakni Unyur. Meski jalur rumah kami berada di Jalan Raya Banten Lama, tapi angkutan tidak berkeliaran 24 jam. Dan cukup sulit mencari angkutan umum seperti angkot di atas jam 9 malam. Dan akhirnya Rokayah pamit. Tinggal aku dan Arale.
Malam ini, meski aku sangat letih, aku tetap mengerjakan tugas tambahan, menggantikan Rokayah saat malam. Dan mungkin hingga pagi hari. Karena bidadariku itu baru datang sebelum kokok ayam berbunyi menyambut matahari.
Dan saat ia datang, bukan harum surgawi yang dibawanya. Kadang parfum pria dan bau rokok yang tercium. Dan bahkan bau alkohol kerap terendus dari bibirnya yang mungil.
Terkadang aku merutuki takdir sebagai suami yang bertugas ganda sebagai istri.
***
Aku terjaga saat Arale merengek minta diganti celana. Gadis kecilku ini senantiasa menjadi pelipur lara dan peredam duka. Pun saat pagi buta bidadariku itu pulang ke rumahku. Tentu saja dengan muka masam.
Dan aku enggan melontarkan sepatah katapun. Saat tubuhnya ambruk di ruang tamu sebelum ia berganti baju, aku masih tanpa suara. Saat Arale kembali merengek lagi dan aku membuatkan susu, aku masih bisu.
Bisu memang bukan sifatku. Dulu, Ayahku selalu mengabulkan apa saja yang kuminta. Saat di bangku sekolah dasar, guruku pun selalu kewalahan menjawab lusinan pertanyaan yang menurutnya hanya untuk anak di bangku SMA. Tapi kebiasaan itu terkikis sudah sejak kehadiran bidadari dan gadis kecilku.
Aku masih sangat ingat kalimat yang dilontarkan Ayah dua hari sebelum aku menikah.
“Rumah tangga bukan hanya menyatukan dua cinta, tapi dua ego. Jika setiap hari diisi dengan benci dan amarah, maka tak adalagi cinta. Yang tersisa hanya puing-puing kehancuran masa depan buah hati kita.”
Aku meresapi benar kalimat itu. Ayahku memang lihai dalam urusan ini. Sejak Ibu pergi meninggalkan kami dengan alasan sudah tidak ada lagi kecocokan, Ayah dengan sabar mendidikku hingga aku mandiri.
Ia pun termasuk tipe pria yang luar biasa. Di saat para pria lain sibuk berselingkuh di balik istri, Ayahku yang duda tetap konsisten dan tidak mau menikah lagi. Ia selalu berujar, seorang yang pandai tentu tidak akan jatuh pada lubang yang sama.
Aku masih mengingat Ayah saat kulihat gadis kecilku tertidur lelap. Haruskah kuputuskan sesuatu. Meninggalkan bidadari yang selalu datang pagi hari demi menjaga perasaanku yang kian hari kian terluka. Lalu jawaban apa yang kuberikan, jika Arale bertanya kemana dan mengapa Ibunya pergi dan meninggalkannya denganku.
Lagipula, akankah aku kuat seperti Ayah, tidak akan menikah lagi. Masih banyak beribu tanya lain yang bergumpal di kepalaku. Sebelum tanya itu bertambah, aku menuju kamar mandi untuk membersihkan badanku dan mengambil wudhu, menenangkan diri dan berkeluh kesah kepada sang kuasa.
***
Aku siap menyantap menu sarapan pagi saat wanita yang dengan terpaksa kupanggil istri itu membuka mata. Aku mengacuhkannya. Pun saat ia mendekatiku dan maracau beberapa kata.
Dia masih mabuk, batinku. Parahnya dia memanggilku dengan nama lain. Aku yang sejak tadi mencoba menenangkan hatiku, tak mampu lagi mengontrol emosi.
Tanpa kuasa, kucekik lehernya dan kuhempaskan ia ke lantai. Ia mengaduh, serupa bidadari kehilangan nyali. Wangi surgawinya lenyap begitu saja. Hawa neraka menyergap melalui tatapan mata yang menyalang. Aku siap menghadapi ini semua.
Rokayah kuperintahkan untuk membawa Arale pergi ke rumah tetangga.
Aku masih membisu dengan tatapan kaku. Kutatap sosok wanita yang kunikahi dua tahun lalu. Tak ada belas kasihan sedikitpun. Karena sejak pertama biduk rumah tangga ini kurajut, ia nampak tidak peduli.
Hampir setiap malam, sejak malam pengantin, ia merutuki pernikahan ini. Ia menganggapnya sebagai pernikahan sial dan pembawa bencana. Lalu, saat kutanya mengapa ia mau menikah denganku. Dengan lantang ia menjawab, karena mengikuti perintah orangtuanya. Ia pun mengatakan, aku adalah dewa yang dapat mengubah perangai buruknya. Sejak pertengkaran itu, aku tak lagi banyak tanya. Pun saat ia mengaku, mengandung anakku.
Aku semakin bisu, dimulai tiga bulan lalu. Tepat saat ia mengungkit tentang penghasilanku. Dan dengan alasan itu, ia memiliki tiket emas untuk kembali menggeluti dunia malam yang sebelumnya akrab dengan kehidupannya sebelum menikahiku.
Lagi-lagi aku mengenang pernikahanku yang berwajah buram. Aku berniat melangkah menuju pintu keluar.
“Kau selalu bisu, setiap aku melakukan sesuatu!” erangnya. Tubuhnya yang lunglai beranjak berdiri.
“Lalu, apa yang kau mau?” ujarku tanpa membalikkan badan.
“Kau mau aku jadi pembantumu yang menunggui anakmu, sedang kau pergi entah kemana?” aku mulai bersuara banyak. Dua puluh empat bulan adalah waktu yang terlalu lama untuk berdiam diri. Maafkan aku Ayah, jika suatu saat kau mengetahui perihal ini.
“Ini anak kita Herman!”
Aku membuang muka. “Bukan! Ini anakmu dan aku pembantumu.” Ujarku tanpa intonasi.
“Tapi kau suamiku!” ujarnya bersikeras.
Aku membalik tubuh dan menghampirinya. “Suami! Bisa kau jelaskan di mana kau posisikan aku sebagai suami.”
Ia terdiam.
Sebisa mungkin aku menahan diri. Seperti saat aku melihat video mesum yang diperlihatkan teman sekantorku, berisi dua pria dan seorang wanita tanpa busana. Setiap erangan yang terdengar, sangat menyakitkan. Karena wanita dalam video itu berwajah seperti bidadariku.
Ia masih terdiam.
“Suami bukanlah seseorang yang kau tempatkan sebagai guling anakmu dan robot pembuat susu saat malam ketika ia lelah karena bekerja seharian. Suami pun bukan seseorang yang hanya bisa menghirup parfum sisa setelah istrinya dipakai puluhan orang di jalanan.”
“Cukup Herman!”
“Sudahlah Maria. Aku sudah tahu semua. Juga dengan Arale. Kalau kau keberatan mengasuhnya, biar aku yang merawatnya!”
“Apa maksudmu Herman…” kulihat sang bidadari mendekatiku dengan wajah kusut. Saat ia mendekat dan hendak memelukku, aku memberi jarak.
“Dua tahun waktu yang cukup untuk kebersamaan kita Maria. Terimakasih untuk semuanya.”
Aku melangkah pergi. Meninggalkan bidadari yang tersedu di belakangku.
Aku enggan mencari tahu, apa makna isakan itu. Bahagiakah ia, atau wujud penyesalan. Lagi-lagi entah. Yang kutahu, aku sangat bahagia setelah melihat Arale yang langsung tergelak menatapku saat keluar dari rumah.
Ia memnag bukan darah dagingku, karena seorang pria dua hari lalu mengatakan bahwa Arale adalah anaknya. Dan aku tahu itu karena aku masih sangat ingat, sejak dua tahun lalu, saat memulai mengganti statusku sebagai seorang suami, aku tahu tak akan pernah bisa memberikan keturunan pada Maria.
Aku merasa puas dengan keputusan ini. Sejenak kulupakan wajah Ayah yang tenang di alam sana. Ini hidupku Ayah, dan aku berhak menentukan arah kemana aku melangkah. Selamat tinggal bidadariku. Aku takkan menantimu lagi saat malam berganti pagi. (*)
Serang, 050410
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar