Peresensi: Imron Tohari
Judul Buku: Harmonika Lelaki Sepi (Kumpulan Puisi)
Copyright: Andi Muhammad Era Wirambara
Cetakan pertama: Oktober 2010
Penyunting: Anindra Saraswati
Proof Reader: Irwan Bajang
Desain Sampul: Leo Baskoro
Tata Letak: Indie Book Corner Team Work
Endorsmen: Khrisna Pabicara, Pringadi AS, Nanang Suryadi
ISBN: 978602-97441-3-2
Tebal buku: 94 halaman.
Harga: Rp. 30.000,-
http://sastra-indonesia.com/
“Cinta dan iman bersemi dan tumbuh dari proses spiritual yang sedikit mengandalkan kemampuan indrawi ( Helen Keller ).
“Menjadi manusia seutuhnya mahal harganya sehingga hanya sedikit orang yang memiliki cinta dan keberanian untuk membelinya. Seseorang harus melepaskan hasrat untuk mencari rasa aman dan harus menghadapi resiko hidup dengan kedua belah tangannya. Seseorang harus memeluk kehidupan seperti memeluk seorang kekasih”. (Morris West – Novelis).
Saya yakin semua orang pasti pernah merasakan rindu,merasakan pergolakan cinta yang tak berkesudah yang membawanya menyusuri labirinlabirin sunyi, yang pada akhirya entah ia (mereka) menemukan suatu sugest positip atau justru akan kian terjerat dalam lingkaran labirin tersebut.
Melalui larik-larik sunyi “ Harmonika Lelaki Sepi”, Andi Wirambara yang lebih dikenal sebagai Ikan Biroe di dunia virtual, ingin menyampaikan tentang hasil renungannya dalam merasakan serta memandang rindu, cinta, dengan segala pernak-pernik kehidupan.
Andi Wirambara penulis belia kelahiran 24 September 1991, mewakili perasaannya sebagai sosok lelaki muda dalam menyikapi rindu dan cinta, saya rasa cukup dewasa dan bijak dalam meletupkan pemikiran-pemikirannya melalui larik-larik sajak,puisi.
Rasa rindu yang membuncah, dan rasa cinta yang bergelora, pada dasarnya tiada beda antara perasaan lelaki dan wanita: samasama memanggil sunyi!. Jadi siapa bilang lelaki yang dibekap rindu dan didera cinta tidak bisa sentimentil?
Bermuasal dari rindu dan rasa sunyi inilah terbersit di imaji piker penyair tentang “lelaki” yang mewakili aku lirik, dan “Harmonika” yang mewakili geletar irama jiwa dalam hisapan sunyi. Ya, harmonika sebuah alat musik yang paling mudah dimainkan hanya tinggal meniup dan menghisapnya, namun justru dari “tiup” dan “hisap” yang berkaitan dengan nafas inilah kesan pergolakan yang tengah berkecamuk amuk dalam jiwa akibat hisapan sunyi sangat terwakili. Sejarah harmonika berasal dari alat musik tradisional China yang bernama ‘Sheng’ yang telah digunakan kira-kira 5000 tahun yang lalu sejak kekaisaran Nyu-kwa. Dan biasanya alat tiup ini sering dipakai remaja yang lagi rindu kekasih,kampong halaman,patah hati,atau mencoba membebaskan tekanan perasaan agar tetap kuat dalam menjalani kehidupan berikutnya.
Perjalanan sunyi aku lirik dalam “Harmonika Lelaki Sepi” dibuka dengan puisi romantic humanis yang begitu indah dan disajikan dengan gaya sampaian yang begitu membumi, yang justru kian membuat puisi ini terasa lebih manusiawi, baca kutipan bait 1 puisi bertajuk “Sesendok Saja” yang membungkus rasa rindu dan kesetiaan, di halaman 1,:
“Sesendok saja aku ingin menyuapimu
Ingin melihat peram matamu, melihat
Bagaimana parfait lumer dan pernik
Cokelat terjepit di merah bibir cerimu
Pada pucuk muffin yang kusentil dan
Terbang hinggap di jendela
Seperti kakaktua yang begitu setia
Pada nenek bergigi dua
Seperti segala rasa yang bersepakat
Sewaktu-waktu bermelankolia”
Dan pada halaman 29, Andi Wirambara, masih dengan tema rindu kekasih, pada puisi “Apel” begitu piawai menyembunyikan gejolak perasaan rindunya melalui simbolik poetika (metaphor/bahasa symbol), namun tetap mudah untuk dicerna oleh yang dituju tanpa kehilangan unsur puitisnya.
Apel
entah rindu apa kau punya
hingga kau bawa aku pada
wangi embun yang sejuk dan
ranum?
betapapun senyummu kuingat pada
kabutkabut tipis tatkala embun berlahan
turun dan singgah
anggun dikulit yang basah
sebagaimana aku terkenang
sayupmu di antara dahan pohon yang tenang
dan aku, menanti
kau temui pun lembut kau petik
apel yang kugelantungkan bersama sebalas
rindu, apel wewangi rindu.
Dari dua karya Andi Wirambara yang saya kutipkan sebagian, dan yang satunya saya kutipkan secara penuh tersebut, walau pilihan diksi terkesan sederhana, namun betapa detak kejujuran penyairnya bisa kita rasakan, dan hal inilah yang membuat karya ini mampu menarik imaji penikmat baca kedalam roh penjiwaan karya termaksud. Kesadaran akan kejujuran ini pula yang membawa D. Zawawi Imron tegas mengatakan : “ Sebuah sajak yang saya tulis tanpa kejujuran hati nurani tak akan pernah mengarungi perjalanan waktu sehingga tak akan punya nilai abadi.” (Sastra Pencerahan ; halaman 129-130).
Perihal puisi, Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur. Sedang Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris, pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturut-turut secara teratur).
Dan pemikiran saya sendiri, seperti yang sering saya tulis pada setiap esai yang saya buat, saya lebih suka menyebut “puisi” sebagai rainkarnasi bahasa hati,pikiran ( samsara bahasa ) dari masing-masing pribadi/individu pengkarya cipta yang dituangkan ke dalam bentuk bahasa tulis pun lisan yang pada akhirnya menciptakan letupan-letupan imajinatip di alam imajinasi pengkarya cipta itu sendiri maupun penikmat baca/apresiator puisi. Di mana muatan emosi “puisi” sangat beragam, ada suka ada duka, ada kegembiraan ada kemarahan. Puisi sebagai permainan bahasa, mentranslate rasa/gejolak jiwa, melalui selubung simbol-simbol, atau tanda-tanda yang terangkum pada larik/baris/bait dalam menyampaikan pesan gejolak rasa jiwa dari penulis/penyair, yang merupakan hasil dari saripati sunyi (baca: perenungan!).
Kenapa saya lebih senang menyebut “puisi” sebagai rainkarnasi bahasa atau samsara bahasa?
Samsara sebagai kata sifat mempunyai arti sengsara (berdasarkan kamus bahasa Indonesia), samsara berdasarkan yang termaktub pada surat Bagavad-gita (Budha)dan Weda ( Hindu ) samsara berarti kelahiran kembali/reinkarnasi, namun dalam kelahiran kembalipun (samsara ) , yang merupakan perpindahan jiwa ini dari satu tubuh ke tubuh yang lain atau disebut reinkarnasi eksternal (samsara atau samsriti didalam bahasa sansekerta). Srimad Bhagavatam (Bhagavata Purana) 5.11.5-7 menyebutkan bahwa pikiran terikat oleh indera kesenangan, saleh atau tidak saleh. Kemudian hal itu tertuju pada tiga model dari alam material dan menyebabkan penyesuaian kelahiran dalam berbagai tipe tubuh, lebih tinggi atau lebih rendah. Oleh karena itu, jiwa menderita ketidak bahagiaan atau menikmati kebahagiaan karena pikiran,kemudian pikiran di bawah pengaruh ilusi menciptakan aktivitas-aktivitas yang saleh dan aktivitas-aktivitas yang tidak saleh, ( berdasarkan ajaran agama Budha ) dan pengertian akan samsara ini juga tidak jauh beda dengan apa yang ada pada ajaran agama Hindu ; di dalam Weda disebutkan bahwa “Penjelmaan jiwatman yang berulang-ulang di dunia ini atau didunia yang lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran yang berulang-ulang ini membawa akibat suka dan duka. Dan juga akan dipengaruhi akan adanya karma baik dan buruk disaat-saat sebelumnya.Dari sudut pandang saya selaku orang Islam, yaitu kelahiran kembali dari kematian di akhirat kelak,dengan segala pertimbangan baik buruknya semasa kehidupan di dunia.
Begitu hal dalam setiap proses penciptaan puisi, dalam kesunyiannya pasti akan terjadi suatu pertarungan batin dan atau pertarungan piker pada diri pengkarya cipta (pertarungan sinergi positip dan sinergis negatip). Puisi sebagai reinkarnasi bahasa/samsara bahasa, pada kelahirannya kembali, tidak terlepas dari proses/ritus suasana baik buruk yang mempengaruhi rasa imajinatip pengkaryacipta. Dalam pengertian, melalui puisi penyair berusaha menghidupkan imaji tersembunyi ke dalam tubuh “bahasa”. Tubuh bahasa dari bayangan diri, baik bayangan diri penyairnya maupun bayangan diri penikmat bacanya yang sudah menyatu pada bayangan puisi itu sendiri!, maka jadilah bayangan diantara bayangan; diri membayang pada puisi, puisi membayang pada diri. Dan puisi yang baik, adalah puisi yang ditulis dengan penuh ketulusan, serta tetap mengacu pada estetika moral, sehingga nantinya bisa memberi pencerahan positip dan atau bisa menciptakan pola piker baru yang baik bagi pencipta maupun apresiator yang membacanya.
Pergulatan sunyi penyair tidak berhenti sampai pada karya-karya di atas, karena pada karya-karya selanjutnya, Andi lebih berani lagi membungkus perasaannya pada permainan simbolik poetika/metaphor, tanpa mesti kehilangan daya hisap serta pesan makna yang ingin dihantarkan kepermukaan. Lihat saja pada puisinya yang bertajuk “Ini Pilu”, “ Bintang Pulang”, Petasan”Dikamarku yang Berantakan”. Dan tentunya pada “Harmonika Lelaki sepi (hal. 39 – 40)” yang sekaligus dijadikan tajuk pada buku kumpulan puisi ini. Baca kutipan lengkapnya di bawah:
Harmonika Lelaki Sepi
harmonika
telah lekat ia pada bibir yang
mengatup
menada pada tiang-tiang malam
: pada rerumputan
Embun hendak turun, menyusur sisi ilalang
Yang tajam
Mengiris nadi
Ia nada rerumputan;merunduk
: pada bintang yang bergandengan
rasi bersenandung
mengangguk kepala
meniti
rangkai melodial langit
: pada bulan yang ringkih
menyapa ia,
menyiul sepi bersama sembilu angin
merayap
merayap lirih
sendu,
pada damaiku
(dan harmonika, telah kutitip nafasku tadi
Mainkan lagi, jangan sudi tercumbu sunyi)
Dari sekian puisi yang ada di buku ini, puisi “Malam yang Sempat Hilang”, tepatnya pada bait pertama, membuat saya terperanggah. Kelugasan dan pemilihan symbol-simbol alam untuk menyampaikan maksud, serta keindahan puitisasi bahasa yang dibalut dengan rima, mengingatkan saya dengan puisi/sajak-sajak klasik para penyair cina yang begitu menggeletarkan setiap hati pembacanya.
Bagaimana lelaku angin menyisir lamunku
Tentang sayupmu di dahan pohon yang tenang
Tentang gores angin laut yang lalu
Mengukir namamu pada karang-karang
Kukatakan memang, selalu ada yang kulaku seraya
menyeruput dingin yang menaiki bulu mata. Menjungkat-jungkit
daripadanya, jatuh ke muka pipi yang kaku, dan merayap
naik menyelinap ke bola mata, yang juga menggigil
melompat mencari selimut, di balik kenang yang mengungun
kala tiba aku bertamu pada malam
yang santun menuang bayang-bayang
nexts….
(Fragmen/1/ bait 1dan 2 “Malam yang Sempat Hilang” hal 18 Sekumpulan puisi “Harmonika Lelaki Sepi”)
Sayang kekuatan dan keindahan itu Andi tidak bisa menjaga rimanya pada bait 2 dan selanjutnya, padahal bait awalnya demikian kuat structural poetika bahasanya, yang kalau boleh aku kata, pada bait pertama tidak kalah indah dan kuat dalam bermain metaphor dan atau bahasa-bahasa symbol, juga sampaian pesannya tidak kalah dengan karya-karya sastra puisi china klasik yang patuh pada rima serta kekuatan penyair dalam mengeksplore alam sebagai sarana/symbol menyampaikan perasaan hati.
Mari kita lihat salah satu karya indah salah satu penyair zaman dinasti Wei yang menjadi acuan argumentasi pendapat saya mengenai bait 1 “Malam yang Sempat Hilang” karya Andi W.
Angin musim gugur pilu menderu udara membeku,
Daun rumput gugur melayang embun menjadi salju.
Sekawan wallet pulang angsa terbang ke selatan,
Mengingat kau yang dirantau kalbu dirundung angan.
(bait 1 “Nyanyian Bumi Yan” karya Cao Pi (187-226; Wei)
Sebagai akhir tulisan, saya memandang Andi W dalam kesunyiannya justru telah berhasil menaklukan sunyi seperti yang di tulis pada bait akhir Puisi “ Harmonika Lelaki Sepi “
: (dan harmonika, telah kutitip nafasku tadi
Mainkan lagi, jangan sudi tercumbu sunyi).
Salam lifespirit!
Pecinta sastra puisi, 7 Desember 2010.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar