Selasa, 02 November 2010

Mencari Identitas Sastra Indonesia

Temu Sastrawan Indonesia II: Sastra Indonesia Pascakolonial, 30 Juli-2 Agustus 2009
Y. Thendra BP
http://langit-puisi.blogspot.com/

Sastra moderen Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perpanjangan dan politik kolonial Belanda dengan keberadaan Balai Pustaka-nya pasca lingua franca, bahasa Melayu menjadi bahasa administratif pemerintahan lewat pengajaran di sekolah. Keberadaan sastra moderen Indonesia sebagai sastra pascakolonial, tentu berbeda dengan sastra pascakolonial di negara-negara Dunia Ketiga lainnya. Masing-masing memiliki ciri khas dan problemnya sendiri. Sastra Indonesia berbeda dengan sastra Amerika Latin, sastra Afrika, atau sastra negara-negara Asia bekas jajahan Barat lainnya. Sebagai bekas jajahan Belanda misalnya, kita tak pernah meneruskan bahasa Belanda sebagai ekspresi (sastra) kita, berbeda dengan kalangan sastrawan hibrid India, yang menulis dalam bahasa bekas jajahannya (Inggris).

Lantas, apakah yang disebut dengan sastra Indonesia itu sastra yang yang berbahasa Indonesia, atau ditulis oleh orang Indonesia, ataukah sastra yang berisi segala sesuatu tentang Keindonesian? Bagaimana pula posisi sastra berbahasa daerah, atau sastra populer yang dalam sejarahnya juga bagian dari sastra alternatif?

Persoalan di atas menjadi garis besar yang diangkat dalam Temu Sastrawan Indonesia II di Pangkalpinang, Propinsi Bangka Belitung, pada 30 Juli-2 Agustus 2009. Dengan tema “Sastra Indonesia Pascakolonial”.

Dalam diskusi sesi 1, Jum’at (31 Juli 2009), dengan tema “Merumuskan Kembali Sastra Indonesia: Definisi, Sejarah, Identitas” dengan pembicara Agus R. Sarjono, Saut Situmorang, Haryatmoko dan moderator Joni Ariadinata.

Menurut Agus R Sarjono, Sastra Indonesia didominasi oleh gambaran rumah yang hilang, retak, hancur, atau tak tergapai. Maka hampir dapat disimpulkan bahwa selepas kolonialisme para sastrawan Indonesia sebagian besar tak berumah. Kajian atas pewacanaan lahirnya bangsa sebagaimana direpresentasikan dalam novel Keluarga Gerilya Pramoedya Ananta Toer dan Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis, berakhir pada kesimpulan bahwa Indonesia adalah sebuah negeri tanpa rumah.

Saut Situmorang yang mengusung “Politik Kanon Dalam Sastra Indonesia: Beberapa Catatan” sebagai bagian persoalan dari definisi, sejarah, identitas sastra Indonesia, melihat adanya ketidakjujuran dalam peta sastra Indonesia. Kepentingan yang tidak lepas dari nilai “politik” suatu kelompok. Misalnya karya sastra yang dianggap sebagai Kanon tanpa melalui sebuah kritik sastra yang pantas.

“Pada umumnya politik kanonisasi sastra diyakini lebih banyak dipengaruhi oleh politik kekuasaan demi kepentingan ideologis, politis dan nilai-nilai ketimbang sekedar karena kedahsyatan artistik karya. Pada saat yang sama politik kanonisasi sastra juga membuktikan betapa naifnya, betapa ahistorisnya, betapa tidak membuminya, para sastrawan yang masih yakin bahwa teks sastra adalah segalanya, bahwa tidak ada apa-apa di luar teks sastra, apalagi yang bisa mempengaruhi eksistensinya, bahwa ’substansi’ sastra adalah ukuran karya sastra, karena ’substansi’ adalah ‘estetika’ sastra yang ’sublim’, sastra yang menjadi itu,” ujarnya.

Apa yang disampaikan oleh tiga pembicara di atas bukanlah jawaban final dari permasalahan sastra Indonesia yang berlarat-larat dengan eksistensinya. Akan tetapi, memberikan ruang bagi pertanyaan-pertanyaan dalam perjalanan sastra Indonesia, dulu-sekarang-dan akan datang. Begitu pula pada Diskusi Sesi II di hari yang sama.

Mengambil tema “Kritik Sastra Indonesia Pascakolonial” dengan pembicara Dr. Syafrina Noorman, Yasraf Amir Piliang, Katrin Bandel, Zen Hae, dan moderator Willy Siswanto. Pertanyaan tentang identitas sastra Indonesia itu menukik pada persoalan ‘keberadaan’ kritik sastra yang kurang dari khazanah sastra Indonesia.

Yasraf Amir Piliang berpendapat, tugas kesusasteraan masa depan adalah membangun ‘imajinasi’ mandiri (self imagination), dengan meninggalkan ‘imajinasi-imajinasi kolonial’ atau imajinasi produksi ’sang lain’, untuk mampu menghasilkan ‘perbedaan’ dan ‘otentisitas’, melalui sebuah sebuah proses ‘menjadi diri sendiri’ (becoming one-self). Dunia sastra diharapkan mampu membangun sebuah proses pertandaan (signification) yang melaluinya tanda-tanda budaya-budaya diperbedakan, makna-makna diproduksi, dan nilai-nilai dikembangkan. Sebuah proses ‘resemiotasi’ kebudayaan (cultural re-semiotizatian) melalui kekuatan sastra dapat diusulkan, dalam rangka pengkayaan dan penganekaragaman bentuk, makna dan nilai-nilai kebudayaan itu sendiri.

Pada hari ke dua, Sabtu (1 Agustus 2009), Diskusi Sesi III “Membaca Teks dan Gerakan Sastra Mutakhir: Mencari Subjek Pascakolonial” dengan pembicara Nenden Lilis Aisyah, Nurahayat Arif Permana, Zurmailis, Radhar Panca Dahana dan moderator Triyanto Triwikromo.

“Dalam perkembangan sastra kita pada era yang untuk sementara secara simplis saya sebut era reformasi ini, tema karya sastra cukup beragam. Namun, di antara tema-tema tersebut ada tema yang mendapat banyak sorotan. Tema yang dimaksud adalah tema mengenai femisme, dan tema seksualitas dan tubuh. Sorotan itu terjadi karena; pertama, radikal dan berani; kedua, karena dianggap ideologi barat,” ucap Nenden Lilis Aisyah.

Dikusi yang semustinya menarik—merujuk pada tema yang dihadirkan—terasa agak hambar. Selain pembicara yang kurang mampu menghidupkan diskusi, juga banyaknya kursi peserta yang kosong. Sementara pada Diskusi Sesi IV, “Penerjemah Sastra Muktahir: Mencari Subjek Pascakolonial” dengan pembicara Anton Kurnia, Arif Bagus Prasetyo, John McGlym dan moderator Tia Setiadi.

Menurut Arif Bagus Prasetyo, penerjemahan adalah kegiatan yang amat kompleks. Bahasa itu sendiri sudah kompleks, tapi faktor-faktor yang terlibat dalam wacana manusia bahkan lebih kompleks. Tujuan terjemahan begitu beragam, dan pembaca karya terjemahan juga sangat beragam. Rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa penerjemahan, mengutip pakar studi terjemahan, I. Richards, barangkali jenis peristiwa paling kompleks yang dihasilkan dalam evolusi jagad raya.

“Betapa memprihatikan kondisi karya terjemahan kita secara umum. Di antara sejumlah karya terjemahan yang bisa dibilang baik, amat banyak karya terjemahan yang buruk. Menurut Alfons yang pernah menjadi Ketua Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI), para penerjamalah yang paling bertanggung jawab atas kualitas karya terjemahan mereka. Namun, ia pun mengakui adanya faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seorang penerjemah, seperti situasi sosial ekonomi, akses terhadap refrensi, serta penghargaan orang terhadap penerjemah dan hasil karyanya,” tutur Anton Kurnia.

Sementara John McGlynn dari Yayasan Lontar menilai tentang usaha penerjemahan Sastra Indonesia ke dalam bahasa Inggris, memiliki beberapa hambatan, yaitu kwalitas karya, ongkos penerbitan, sikap xenofobis, dan kurangnya visi pemerintah.

“Sebagaimana halnya dengan Indonesia yang mendapatkan hikmah dari pengetahuan mengenai kebudayaan lain, negara-negara lain dapat memperoleh manfaat dari ilmu yang berasal dari Indonesia—sebuah hal yang tidak akan terjadi kecuali orang Indonesia dapat mempromosikan diri secara aktif,” tukasnya.

Di mana Identitas Sastra Indonesia?

Selain Diskusi Sastra, TSI II 2009 yang dihadiri oleh pelaku sastra (Sastrawan dan Penikmat Sastra) dari berbagai wilayah yang ada di tanah air—yang setidaknya mewakili kantung sastra, baik muda mapun tua dalam proses kreatif—juga diisi dengan malam Apresiasi Sastra dan pertunjukan pembacaan karya sastra, peluncuran buku antologi sastra “Pedas Lada Pasir Kuarsa” (kumpulan puisi TSI II 2009) dan “Jalan Menikung ke Bukit Timah” (kumpulan cerpen TSI II 2009), Bazar Buku, dan Wisata Budaya.
Sudahkah identitas sastra Indonesia ditemukan? Terlalu naif jika dalam 4 hari untuk menagihnya.

Peristiwa sastra di pulau Timah itu, barangkali bisa jadi ‘modal’ untuk menggali sastra Indonesia ‘lebih’ dan merangsang proses kreatif sastrawan. Di mana sastra Indonesia tidak sekedar selesai sebagai ‘teks’ semata dan tidak ada apa pun di luar ‘teks’ itu—hal ini bisa kita lihat dari penghargaan karya sastra yang ada, bahkan sekelas Nobel pun!–sebab omong kosong yang indah apabila sastra terbebas dari nilai di luar sastra itu sendiri. Sehingga ketika karya (sastra) selesai ditulis, pengarang cukup berleha-leha saja gara-gara salah kaprah memahami istilah, “pengarang sudah mati”.

Namun, bagaimana event sastra seperti Temu Sastrawan Indonesia itu tidak dijadikan sekedar sebuah pesta laiknya beberapa event sastra di Indonesia yang konon katanya bertaraf internasional. Bukan ajang ‘bersolek’ para sastrawan semata. Inilah tantangan bagi penyelenggara Temu Sastrawan Indonesia berikutnya 2010 di Kota Tanjung Pinang, Propinsi Kepulauan Riau.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir