Wina Bojonegoro
http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/
Awalnya sungguh manis. Sangat memacu adrenalin.
”Tunggu aku di pojok es krim seperti biasa, jam makan siang.” Tetapi pesan singkat melalui ponsel itu terlalu pagi, pada jam di mana biasanya ia masih berbasa-basi dengan istrinya. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang yang sedang kasmaran selain menyambutnya dengan suka cita? Kebodohan atau naluri? Sama-sama tak mengenal batas. Manusia sering melupakan sebuah fakta bahwa hal-hal natural itu terkadang identik dengan kedunguan. Andai saja pada saat yang bersamaan akal sehat mampu berperan, memberi secercah cahaya di antara gelap gulitanya siang yang benderang.
Dengan lancangnya jari jemariku memencet huruf-huruf pada ponsel: ”Ok. Tak bisa menunggu lebih lama. Pesonamu terlalu cemerlang untuk kuabaikan.”
Sengaja kalimat binal itu kukirimkan, lelaki normal sepertinya pasti membutuhkan sesuatu untuk menariknya dari rutinitas yang membosankan. Percayalah! Tak ada satu pun lelaki yang tak menetes air liurnya ketika ada seorang perempuan, apalagi pacar gelap, menantangnya dengan gaya superbinal menggoda.
Keyakinan itu membuatku berjalan menyusuri trotoar di antara pohon-pohon angsana di mana kami sering melewatkan beberapa jenak dengan menikmati es potong atau es puter yang dijajakan tukang es dorong yang mangkal di sepanjang jalan itu. Romansa kami sungguh sangat sederhana. Menikmati jadah bakar dan wedang ronde di Alun-alun Jogja merupakan sebuah kemewahan, meskipun dia mampu membayar makan malam romantis di sebuah hotel bintang lima. Tetapi kami membuat semacam kesepakatan bahwa kindahan tidaklah berbanding lurus dengan kemewahan. Justru dalam hal-hal sederhana kami merajut keakraban dan menciptakan keintiman yang dalam. Beberapa orang di sekitarku mengatakan betapa bodohnya aku, meletakkan hati pada sebuah hubungan gelap tanpa mendapat imbalan setimpal. Apa peduliku? Ketika aku merasakan betapa indahnya hubungan kasih dua orang dewasa yang saling melengkapi, maka itulah klimaks sebuah ikatan cinta.
Pelayan menyambutku seperti biasa, mengerling dengan penuh arti pada sebuah sudut di mana kami biasanya menghamburkan tatapan mesra. Dia tak ada di situ, seperti biasa aku selalu mendahului. Aku orang yang efisien. Jika segala sesuatu bisa dimulai lebih awal maka haram hukumnya menjadikannya lebih lambat. Ketika semangkuk es krim vanilla telah menunggu dengan manis di atas meja, tiba-tiba mataku terpikat pada sebuah penampilan yang rasanya pernah mampir di kelopak mataku. Rambut ikal ala polwan, berat badan 67 berwarna kuning langsat itu ada di dompetnya, laptop-nya, juga di meja kerjanya.
Rasanya memang aku belum terlalu pikun untuk mengenali sosok nyata dari sebuah gambar. Memang dia. Dan dia berjalan ke arahku, dengan pandangan yang susah dijelaskan. Tanpa permisi ia menarik kursi di depanku lalu duduk dengan wajah menyimpan senyum kemenangan. Jantungku memang berdebar, tetapi perjalanan hidup yang lama telah mengajariku banyak hal, salah satunya bagaimana memainkan peran dalam sebuah adegan drama di panggung, atau membangun sebuah suasana bagi sekelompok orang yang tak punya tujuan hidup, lalu membayar beberapa ratus ribu dalam sebuah kelas yang diberi label: motivasi. Yes baby…sekarang saatnya bermain.
”Sayalah yang mengirim SMS tadi pagi.” Kami beradu pandang. Aku tersenyum sopan.
”Kenalkan, saya Dhanty…” Ia mengulurkan tangan, dan aku sambut dengan mantap layaknya calon klien yang akan menggunakan jasaku sebagai konsultan. Aku berdiri dari kursi, seperti adegan perkenalan profesional, tapi yang sebenarnya aku ingin mengukur tinggi tubuhnya, yang ternyata aku masih lebih tinggi dari dia. He he, tentu saja karena high heel yang kukenakan. Menurut telaah psikologi yang kupelajari, tinggi badan seseorang turut berperan dalam menentukan tinggi rendahnya kepercayaan diri.
”Saya Winda…”
”Saya tahu.”
”Terima kasih. Pesan sesuatu?”
Ia tak menjawab pertanyaanku, tetapi menjentikkan jemarinya ke arah seorang pelayan. Wow! Gayanya sungguh boleh, begitu anggun dia melakukannya. Aristokrat sejati, kentara dari cara dia mengangkat dagu dan memandang orang-orang di sekitarnya. Kulitnya kuning langsat dan mulus, ciri khas aristokrat yang melarang anak-anaknya terpanggang matahari atau lasak, sehingga coreng-moreng seperti kulitku yang cokelat petang.
Seorang pelayan menghampiri, nyonya itu memesan sesuatu dan aku pun mulai menikmati pesananku, dengan sedikit tanda-tanya, kira-kira pertanyaan apa yang akan telontar pertama kali. Ini bukan sekadar perang, psywar antara dua wanita dengan topik seorang lelaki.
”Saya tahu suami saya terpikat pada Anda.” Suaranya datar, aku sedang mencari-cari di mana letak kelemahannya.
”Dan Anda bukan perempuan pertama dalam riwayat perselingkuhannya.” Aku tahu, dia sudah menceritakan semuanya. Bahkan aku yakin ada beberapa nama yang tak mungkin diketahui oleh sang istri. Laki-laki tak akan menceritakan seluruh rahasianya pada istri resminya, kalau tak ingin bencana menimpanya. Tetapi terhadap perempuan simpanan, dia akan lebih terbuka, karena tak ada beban apa pun. Tak ada ketakukan dan kecemasan kehilangan sesuatu. Justru keterbukaan pada pasangan gelap akan menunjukkan sikap kesatria. Dan, perempuan-perempuan bodoh sepertiku, meskipun mengenyam pendidikan tinggi, tetap saja terpedaya oleh trik-trik busuk yang basi dari para lelaki. Sayangnya, kami para perempuan menikmati itu semua, padahal kami tahu itu hanya sampah busuk.
”Dia memang laki-laki yang manis. Lembut. Mampu menaklukkan persendian para wanita dengan tutur katanya yang lembut dan memesona. Dia juga pandai membangkitkan harga diri para wanita, membuat mereka seolah wanita perkasa, kuat, berdaya. Dia sungguh piawai dalam hal itu.” Itu juga aku tahu. Sejak awal memang hal itulah yang mebuatku jatuh cinta padanya. Aku tahu dia berpengalaman, meski dia pernah mengatakan dirinya amatir soal wanita.
”Lalu kenapa Anda tidak membuat langkah-langkah pencegahan agar petualangannya segera berakhir?”
”Dia laki-laki yang mudah hanyut. Ketika dia menemukan lawan bicara yang menyenangkan, dia akan terpikat. Ketika dia menemukan wanita yang gigih berjuang membela sesuatu, dia akan kagum, lalu mencari tahu dan mendekati. Begitulah. Dan saya sangat menyayangkan, Anda seorang wanita terhormat yang menjadi korban suami saya yang nampak begitu tenang dan menyejukkan itu.”
Es krim vanilla dalam mangkuk begitu menggoda untuk dilumat habis. Sambil menjilati sendok es krim aku menyimak kalimat-kalimat perempuan hebat ini tentang suaminya. Ia sungguh-sungguh tahu kelemahan suaminya, kekasih gelapku. Ia berhenti sejenak untuk mencicipi es krim caramel pesanannya. Lalu kembali menatapku.
”Saya tidak datang untuk meminta Anda berhenti berhubungan dengan suami saya, karena itu akan percuma. Saya tahu ketika hubungan kalian dibendung maka kalian akan melompat lebih tinggi. Saya datang untuk mengingatkan Anda bahwa dia bukan laki-laki terhormat, dia bukan laki-laki baik-baik. Banyak perempuan salah menilai dirinya.” Tiba-tiba aku ingin tertawa. Melihat itu dia menelan kembali kalimat yang hendak ditumpahkan berikutnya.
”Silahkan, jika ada yang ingin disampaikan.”
Inilah kesempatanku. Aku perlu waktu sejenak untuk mengatur napas dan merapikan sisa-sisa es krim di sekitar bibirku. Standar operasi yang wajar bagi seorang pembicara tak boleh ada benda asing nangkring di areal wajah.
”Nyonya, jika Anda tahu dia bukan pria terhormat, mengapa Anda masih bertahan menjadi istrinya?”
Dia nampak sedikit tersentak, tetapi dengan segera memulihkan diri.
”Keyakinan kami melarang perceraian.”
”Ohh!! Ya, saya lupa. Baiklah Nyonya, apakah kita akan membahas mengapa bisa terjadi hubungan antara kami berdua?”
Dia lebih tersentak lagi. Urat-urat lehernya nampak menegang.
”Jika Anda membutuhkan klarifikasi, kalau tidak maka pembicaraan kita selesai.”
Nyonya muda yang semula tampak tegar itu kini menunjukkan tanda-tanda kejatuhan. Tetapi dia pasti punya harga diri, maka dia memintaku melanjutkan pembicaraan.
”Nyonya, pihak pertama yang patut dipersalahkan adalah Tuhan…” Perempuan itu tambah tegang. Gambaran itu tercermin jelas dari kerut di dahinya, sorot matanya, gerak bibirnya, dan lehernya yang bergaris-garis kalung usus. Aku tak peduli.
”Saya telanjur percaya bahwa cinta adalah anugerah Tuhan yang paling indah. Saya harus mengakui bahwa saya, lebih tepatnya kami, saling jatuh cinta.” Aku menanti reaksinya. Menatap matanya yang mulai meredup. Tidak ada bantahan, aku melanjutkan.
”Kadang saya berpikir bahwa Tuhan itu aneh. Bukankah Tuhan itu mahakuasa, mengapa dibiarkan dua insan yang seharusnya terlarang ini tertanam benih cinta? Kita semua tahu bahwa cinta itu tidak tumbuh karena rekayasa, tetapi alamiah dan mandiri. Dan, seperti halnya mozaik kehidupan yang lain, segala sesuatu tak akan terjadi tanpa campur tangan Tuhan, tanpa izin Beliau. Kami jatuh cinta seketika pada pandangan pertama, bahkan sebelum saya tahu siapa dia meski saya tahu ada cincin kawin di jari kirinya.”
”Dan Anda tidak berusaha menghindar?”
”Apa yang bisa kita lakukan ketika panah asmara menembus dua hati yang bertemu? Nyonya, saya juga pernah mengalami hal serupa dengan Anda. Ketika suami saya memilih jatuh cinta lagi dan menyemaikannya, maka saya lepaskan dia. Saya percaya bahwa cinta yang benar adalah melepaskan, bukan menggenggam. Dan, itu pasti menyakitkan. Saya sakit dan memelihara rasa sakit itu hingga sembilan tahun lamanya. Sampai akhirnya tiba-tiba saya mendapati diri saya tak mampu berpaling dari suami Anda, Wibi, laki-laki yang telah berpengalaman dengan berbagai jenis perempuan. Laki-laki yang membuat saya rela melakukan apa saja di saat situasi tidak mungkin. Apakah kita bisa menyangkal bahwa itu bukan rasa cinta?”
Perempuan di depanku itu terdiam. Ia tak lagi menatap mataku seperti awal pertemuan tadi. Sekarang ia lebih asyik dengan sendok mungil dan mangkuk es krim.
”Terkadang dalam geram saya pada masa lalu, saya tertawa lepas. Sekarang saya bisa merasakan bagaimana menjadi perempuan kedua dalam kehidupan sebuah pasangan. Tetapi ini bukan aksi balas dendam, sama sekali bukan. Ini hanya sebuah kecelakaan.”
Perempuan bernama Dhanty itu menatapku lagi dengan sisa-sisa harga dirinya. Aku senang, paling tidak kami bisa saling mengukur keberanian masing-masing.
”Seharusnya Anda mengundurkan diri ketika mengetahui bahwa dia laki-laki kotor,” ia bergumam.
”Mungkin di balik kekuatan saya sebagai perempuan, masih tersisa kadar naif yang lumayan besar. Saya melihat bahwa dia juga jatuh cinta pada saya. Meski saya tahu dia juga mencintai Anda, dan dia sangat mencintai anak kalian. Dia laki-laki yang takut kehilangan keluarga.”
”Saya tahu…saya tahu….” Ada serak di antara kata-katanya. Sampai di sini aku merasa yakin bahwa air mata akan segera mengalir dari kedua pelupuk matanya. Wajah kuning langsatnya yang tak tertutup make up membersitkan warna kemerahan pertanda ada emosi dalam hatinya. Aku menatapnya lekat-lekat. Dan, tiba-tiba aku merasa begitu kotor. Serangkaian kalimat yang tadi telah tersusun baik dalam kepalaku, sekarang berubah orientasi.
”Kesadaran itulah yang akhirnya muncul setelah beberapa bulan. Saya akhirnya menyadari bahwa saya tidak mendapat apa pun dari hubungan ini kecuali debar jantung dan kemesraan. Saya hanya diberi waktu beberapa menit setiap hari, itu pun di antara jam-jam istirahat, sementara Anda mendapatkan sepanjang malam, sepanjang akhir pekan. Ketika saya merasa kesepian dan rindu belaian, dia sedang membelai Anda dan bahkan mungkin sedang bercinta. Ketika saya sedang bangkrut, saya harus mencari pinjaman di sana-sini sendiri, dia tak mungkin memberi saya uang karena gajinya milik Anda. Saat saya sakit di rumah sakit, saya tak bisa bermanja-manja dan berharap kehadirannya, karena jam bezuk selalu jam di luar kantor, sementara Anda selalu menghitung waktu berapa lama perjalanan dari kantor ke rumah.
Bayangkan, saat saya ketakutan di malam buta oleh ulah pencuri yang menggasak barang-barang di rumah saya, kepada siapa saya mengadu? Kepada teman-teman kantor, bukan kepadanya, karena saat itu mungkin saja kalian sedang berpelukan hangat di atas kasur yang empuk. Hubungan ini benar-benar tak berguna buat saya. Saya tak bisa setiap saat menelepon, tak bisa bertemu kapan pun sesuai keinginan saya. Saya harus mengikuti peraturannya, menataatinya seperti tak boleh SMS di luar jam kerja dan hari libur, sementara pada jam kerja dia sibuk setengah mati. Saya merasa hubungan ini tidak setimpal. Dan, pada akhirnya saya merasa letih mengikutinya.”
Aku tahu perempuan ini juga merasa lelah. Ia pasti sangat lelah. Setiap saat harus menjaga suaminya, mengobati lukanya sendiri, memadamkan bara api yang setiap saat bisa berkobar. Aku tahu bagaimana rasanya. Dan, luka yang ada di hatinya pasti telah bernanah, menyaksikan suaminya yang tampak lembut dan sopan, berpendidikan dan menjadi panutan di kalangan tertentu, tetapi memiliki sejarah panjang dengan berbagai perempuan. Meski aku yakin dapat mempertahankan laki-laki itu, seleraku telah rusak. Dan, tiba-tiba aku merasa demikian bodoh telah menghabiskan banyak energi, waktu, pikiran, dan uang untuk menyemaikan hubungan itu. (*)
Sby, Nov ‘07 Jawa Pos Group, 22 Juni 2008
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar