Darma Putra
http://www.balipost.co.id/
Penampilan sosok “orang lain” (the other) sebagai tokoh sentral cerita atau puisi sudah lama muncul dalam sastra Bali tetapi sifatnya sporadis. Lihatlah misalnya tokoh Cina dalam “Geguritan Sampek Eng Tay” (1915). Dalam karya-karya mutakhir, seperti cerpen “Ketemu ring Tampaksiring” karya Made Sanggra, pembaca menjumpai tokoh orang Belanda. Selain sebagai tokoh cerita, sosok “orang lain” itu juga menjadi fokus tema, sarana, serta arena penjabaran estetika.
SASTRAWAN Bali modern yang dengan sadar dan berulang-ulang menggunakan sosok “orang lain” sebagai fokus dalam karyanya adalah Windhu Sancaya. Hal ini bisa dilihat dari kumpulan puisi dan cerpennya yang baru terbit, yaitu “Coffe Shop” (2003), yang sudah ditetapkan sebagai penerima Hadiah Sastera Rancage 2004. Sosok asing yang ditampilkannya umumnya orang Barat termasuk turis. Selain itu ada juga sosok dari etnis Cina. Dominannya karya yang menampilkan sosok “orang lain” ini menjadi salah
satu ciri khas kumpulan “Coffe Shop”, yang tidak dijumpai dalam karya-karya sastrawan Bali lain. Salah satu sosok “orang lain” yang dijadikan sajak oleh Windhu adalah Roelof Goris. Doktor Jawa Kuna dari Belanda ini datang pertama ke Indonesia pada 1926 dengan tugas mempelajari bahasa-bahasa daerah terutama Jawa Kuna di Indonesia. Dia berkantor di Batavia. Ketika itulah, dia sempat jalan-jalan ke Bali tahun 1926 dan 1927 serangkaian dengan kunjungan sastrawan India, Rabindranath Tagore ke Bali.
Mulai 1928, Goris mendapat pos di Bali sampai tahun 1939, dengan berbagai tugas utamanya mempelajari sastra Jawa Kuna, prasasti, adat, dan agama Bali. Dia termasuk orang yang menentang program misionaris di Bali. Selama di Bali, dia menetap antara lain di Singaraja dan Bangli. Tahun 1940-an, Goris sempat bolak-balik Jakarta-Holland. Setelah kemederkaan, Goris menetapkan hati untuk menjadi orang Indonesia. Dia kembali ke Bali tahun 1950-an, bekerja di Lembaga Penyelidikan Bahasa dan Kebudayaan (kini menjadi Balai Penelitian Bahasa). Tahun 1951, Goris sempat mengajar di SMA dan SGA Singaraja. Banyak sastrawan dan intelektual Bali dekat dengannya, antara lain Wayan Bhadra dan Panji Tisna.
Setelah memasuki masa pensiun tahun 1958, Goris mengabdikan dirinya menjadi pustakawan di Fakultas Sastra Udayana yang baru dibangun. Di Fakultas Sastra inilah dia kemudian menjadi “research profesor”. Tugasnya antara lain mengajar sejarah (Bali kuna) dan epigrafi.
Goris meninggal 4 Oktober 1965, dikuburkan di Denpasar, yang kemudian dipindahkan ke Mumbul. Fakultas Sastra terus mengenang jasa Goris, buktinya setiap HUT Faksas, warga Faksas mengadakan kunjungan suci ke kuburan Goris di Mumbul. Jasanya sebagai ilmuwan dan dosen (bukan dekan) yang berpengetahuan dalam dikenang sampai kini. Bukunya “Sejarah Bali Kuna” (1950) dan “Bali Atlas Kebudayaan” (1953) banyak diacu para sarjana.
Prestasi akademik Goris itulah yang tampaknya memukau Windhu Sancaya untuk menciptakan puisi berbahasa Bali berjudul “Roelof Goris”. Dari sajak ini terkesan bahwa Windhu kagum terhadap “orang asing” yang begitu menguasai ilmu bahasa Bali dan mengajari orang Bali ilmu bahasa Bali. Berbeda dengan penyair lain yang biasanya mendedikasikan puisinya kepada tokoh yang dikagumi, Windhu langsung menjadikan tokohnya sebagai judul sajak.
Goris dan Helen
Sajak “Roelof Goris” terdiri dari lima bait dan dengan tepat memotret sosok kecendekiaan Goris dan jasanya pada pengetahuan sejarah Bali kuna. Beginilah sajak itu dibuka: “titiang tan tandruh/ rumasa ring beloge kalintang” (saya tak tahu apa, terasa terlalu bodoh). Pembukaan yang merendahkan diri ini adalah hal biasa dalam sastra Bali (tradisional) karena hanya dengan demikian penyair bisa melambungkan tokohnya ke atas dengan puja-puji.
Pada bait ke-3, Windhu menulis kehebatan Goris sebagai ilmuwan yang karyanya dianggap sebagai sinar yang menerangi jalan untuk mengetahui sejarah Bali kuna: “ring lawat sastrane panggihin titiang/ pemargine tumus/ kasujatianne manguranyab/ mengendih/ manyunarin/ ngawinan prasida mamanggihin margine ring purwakala” (dalam sastra saya menjumpai/ sejarah lengkap/ kebenarannya bersinar/ menyala/ menyinari/ makanya bisa diketahui sejarah masa lalu).
Tentang apa yang dipelajari dari buku sejarah kuna Goris, sajak itu menulis: “ring purwakala/ titiang manggihin nateng bali sri ugrasena, udayana-gunapriya/ anak wungsu/ sriaji jaya pangus./ katatwan sameton ring wawengkon bintang danu/ tenganan pageringsingan, bebetin, serai, srokadan./ suksmane kalintang-lintang” (di masa lalu/ saya menjumpai raja Bali Sri Ugrasena, Udayana-gunapriya, Anak Wungsu, Sriaji Jaya Pangus. Filsafat masyarakat Bintang Danu (Kintamani), Tenganan Pagringsingan, Bebetin. Serai, Srokodana.Banyak-banyak terima kasih). Kekaguman penyair terhadap Goris juga disampaikan dengan ungkapan “yukti sutindih ring pulina bali’ (sungguh berani membela Pulau Bali). Komitmen Goris membela adat dan budaya Bali mungkin merupakan refleksi sikapnya yang anti-misionaris walau penyair tidak secara eksplisit mengungkapkan dalam sajak ini.
Sajak penghormatan kepada sarjana Barat yang begitu teguh meneliti bahasa-sastra Bali juga diciptakan Windhu untuk Dr. Helen Creese (ahli Jawa Kuno, Australia), Nyoman Umbara (nama samaran sarjana Parancis yang tengah berusaha menyusun kamus Bali-Perancis), dan Tuan Willem van Der Mollen (Belanda). Sarjana ini adalah orang-orang yang dikenal dekat. Windhu, misalnya, pernah membantu Helen untuk menstranskripsikan sejumlah naskah kuna. Sajak “Helen Creese” mengibaratkan Helen sebagai “sesapi putih”, ungkapan yang tidak saja menimbulkan asosiasi kepada orang yang berkulit putih tetapi juga kepada sosok dinamis berwawasan luas. Windhu melukiskan: “sesapi putih makebur nuju kaler kangin/ mengindang kampidnyane kebah/ ngigel maelogan/ ngulangunin/ suarannyane alit nyeksek ring keneh/ solahnyane alep tan pakrisikan/ manahnyane jimbar nguub sadaging jagat” (sesapi putih terbang utara-timur/ berputar-putar sayapnya mekar/ menari gemulai/ mengagumkan/ suaranya halus masuk sukma/ lagaknya kalem diam). Burung sesapi ini dikontraskan dengan “paksi gagak” yang bulunya penuh lumpur dan terbang ke arah selatan (arah yang cemar). Kontras ini tak hanya mempertegas sosok yang ditonjolkan tetapi juga membuat struktur puisi “Helen Creese” terasa indah.
Helen sering datang ke Bali, antara lain untuk penelitian dan seminar. Dia memang pendiam, tapi disegani sejawatnya karena karyanya banyak antara lain buku “Parthayana, The Journeying of Partha, an Eighteenth-century Balinese Kakawin” (KITLV, 1998). Yang mengenalnya akan merasa bahwa sajak Windhu dengan tepat menggambarkan sosok Helen yang pendiam tetapi lincah ibarat “burung sesapi” dalam dunia ilmu.
Pengkontrasan
Sajak-sajak Windhu dan cerpennya yang menampilkan orang asing tak hanya menambah tema-tema baru ke dalam khasanah sastra Bali modern, tetapi juga menunjukkan eksplorasi estetik penciptaan puisi berbahasa Bali. Salah satu pola estetika yang bisa ditangkap dalam karyanya adalah pengkontrasan gagasan seperti “cerdas vs tidak tahu” dalam sajak “Roelof Goris” dan “sesapi putih vs burung gagak” pada sajak “Helen Creese”. Estetika berpola kontradiktif ini juga terasa dalam sajaknya yang lain.
Pilihan Windhu menampilkan sosok “orang lain” dalam karyanya karena dia percaya terhadap pepatah “gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan tampak jelas”. Pandangan Windhu ini bisa disimak dari baris terakhir sajaknya yang berjudul “Coffe Shop” yang berbunyi “ipun manggihin tityang saking doh!” (dia menemui saya dari jauh). Yang dimaksud dengan “ipun” tentu adalah Goris, Helen Creese, Van Der Mollen, dan seterusnya.
Sosok “orang lain” dalam sajak-sajak Windhu agak berbeda dengan yang tampak dalam karya sastrawan lain, misalnya cerpen Made Sanggra “Ketemu ring Tampaksiring”. Tokoh Belanda dalam cerpen ini digunakan pengarang untuk mengungkapkan sisi humanis masa kolonial. Kalau penjajahan sering dikaitkan dengan penindasan, perang atau gerilya, dalam cerpen ini Made Sanggra justru mengungkapkan romantisme, pernikahan antara tentara Belanda dengan wanita Bali dan pertemuan tak terduga anak-anak mereka setelah lama berpisah. Pengenalan identitas ini juga mencegah terjadinya perkawinan adik-kakak alias inses.
Perlu segera dicatat bahwa perbedaan penggambaran sosok “orang lain” dalam sastra Bali modern bukan karena yang satu tampil dalam puisi, sedangkan yang lain dalam cerpen atau novel, tetapi lebih pada niat sastrawan dan narasi atau puisi yang dihasilkan. Dalam literatur postkolonial, “orang lain” cenderung dianggap ancaman (threat), dalam karya-karya sastrawan Bali yang dibahas di atas, “orang lain” adalah cermin (mirror) untuk mengenali budaya dan jati diri Bali. Penelitian terhadap lebih banyak teks sastra Bali modern yang menggambarkan sosok “orang lain” tentu akan bisa memperkuat atau menggugat kesimpulan sementara ini.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar