Selasa, 02 November 2010

Sosok ”Orang Lain” dalam Sastra Bali Modern

Darma Putra
http://www.balipost.co.id/

Penampilan sosok “orang lain” (the other) sebagai tokoh sentral cerita atau puisi sudah lama muncul dalam sastra Bali tetapi sifatnya sporadis. Lihatlah misalnya tokoh Cina dalam “Geguritan Sampek Eng Tay” (1915). Dalam karya-karya mutakhir, seperti cerpen “Ketemu ring Tampaksiring” karya Made Sanggra, pembaca menjumpai tokoh orang Belanda. Selain sebagai tokoh cerita, sosok “orang lain” itu juga menjadi fokus tema, sarana, serta arena penjabaran estetika.

SASTRAWAN Bali modern yang dengan sadar dan berulang-ulang menggunakan sosok “orang lain” sebagai fokus dalam karyanya adalah Windhu Sancaya. Hal ini bisa dilihat dari kumpulan puisi dan cerpennya yang baru terbit, yaitu “Coffe Shop” (2003), yang sudah ditetapkan sebagai penerima Hadiah Sastera Rancage 2004. Sosok asing yang ditampilkannya umumnya orang Barat termasuk turis. Selain itu ada juga sosok dari etnis Cina. Dominannya karya yang menampilkan sosok “orang lain” ini menjadi salah

satu ciri khas kumpulan “Coffe Shop”, yang tidak dijumpai dalam karya-karya sastrawan Bali lain. Salah satu sosok “orang lain” yang dijadikan sajak oleh Windhu adalah Roelof Goris. Doktor Jawa Kuna dari Belanda ini datang pertama ke Indonesia pada 1926 dengan tugas mempelajari bahasa-bahasa daerah terutama Jawa Kuna di Indonesia. Dia berkantor di Batavia. Ketika itulah, dia sempat jalan-jalan ke Bali tahun 1926 dan 1927 serangkaian dengan kunjungan sastrawan India, Rabindranath Tagore ke Bali.

Mulai 1928, Goris mendapat pos di Bali sampai tahun 1939, dengan berbagai tugas utamanya mempelajari sastra Jawa Kuna, prasasti, adat, dan agama Bali. Dia termasuk orang yang menentang program misionaris di Bali. Selama di Bali, dia menetap antara lain di Singaraja dan Bangli. Tahun 1940-an, Goris sempat bolak-balik Jakarta-Holland. Setelah kemederkaan, Goris menetapkan hati untuk menjadi orang Indonesia. Dia kembali ke Bali tahun 1950-an, bekerja di Lembaga Penyelidikan Bahasa dan Kebudayaan (kini menjadi Balai Penelitian Bahasa). Tahun 1951, Goris sempat mengajar di SMA dan SGA Singaraja. Banyak sastrawan dan intelektual Bali dekat dengannya, antara lain Wayan Bhadra dan Panji Tisna.

Setelah memasuki masa pensiun tahun 1958, Goris mengabdikan dirinya menjadi pustakawan di Fakultas Sastra Udayana yang baru dibangun. Di Fakultas Sastra inilah dia kemudian menjadi “research profesor”. Tugasnya antara lain mengajar sejarah (Bali kuna) dan epigrafi.

Goris meninggal 4 Oktober 1965, dikuburkan di Denpasar, yang kemudian dipindahkan ke Mumbul. Fakultas Sastra terus mengenang jasa Goris, buktinya setiap HUT Faksas, warga Faksas mengadakan kunjungan suci ke kuburan Goris di Mumbul. Jasanya sebagai ilmuwan dan dosen (bukan dekan) yang berpengetahuan dalam dikenang sampai kini. Bukunya “Sejarah Bali Kuna” (1950) dan “Bali Atlas Kebudayaan” (1953) banyak diacu para sarjana.

Prestasi akademik Goris itulah yang tampaknya memukau Windhu Sancaya untuk menciptakan puisi berbahasa Bali berjudul “Roelof Goris”. Dari sajak ini terkesan bahwa Windhu kagum terhadap “orang asing” yang begitu menguasai ilmu bahasa Bali dan mengajari orang Bali ilmu bahasa Bali. Berbeda dengan penyair lain yang biasanya mendedikasikan puisinya kepada tokoh yang dikagumi, Windhu langsung menjadikan tokohnya sebagai judul sajak.

Goris dan Helen

Sajak “Roelof Goris” terdiri dari lima bait dan dengan tepat memotret sosok kecendekiaan Goris dan jasanya pada pengetahuan sejarah Bali kuna. Beginilah sajak itu dibuka: “titiang tan tandruh/ rumasa ring beloge kalintang” (saya tak tahu apa, terasa terlalu bodoh). Pembukaan yang merendahkan diri ini adalah hal biasa dalam sastra Bali (tradisional) karena hanya dengan demikian penyair bisa melambungkan tokohnya ke atas dengan puja-puji.

Pada bait ke-3, Windhu menulis kehebatan Goris sebagai ilmuwan yang karyanya dianggap sebagai sinar yang menerangi jalan untuk mengetahui sejarah Bali kuna: “ring lawat sastrane panggihin titiang/ pemargine tumus/ kasujatianne manguranyab/ mengendih/ manyunarin/ ngawinan prasida mamanggihin margine ring purwakala” (dalam sastra saya menjumpai/ sejarah lengkap/ kebenarannya bersinar/ menyala/ menyinari/ makanya bisa diketahui sejarah masa lalu).

Tentang apa yang dipelajari dari buku sejarah kuna Goris, sajak itu menulis: “ring purwakala/ titiang manggihin nateng bali sri ugrasena, udayana-gunapriya/ anak wungsu/ sriaji jaya pangus./ katatwan sameton ring wawengkon bintang danu/ tenganan pageringsingan, bebetin, serai, srokadan./ suksmane kalintang-lintang” (di masa lalu/ saya menjumpai raja Bali Sri Ugrasena, Udayana-gunapriya, Anak Wungsu, Sriaji Jaya Pangus. Filsafat masyarakat Bintang Danu (Kintamani), Tenganan Pagringsingan, Bebetin. Serai, Srokodana.Banyak-banyak terima kasih). Kekaguman penyair terhadap Goris juga disampaikan dengan ungkapan “yukti sutindih ring pulina bali’ (sungguh berani membela Pulau Bali). Komitmen Goris membela adat dan budaya Bali mungkin merupakan refleksi sikapnya yang anti-misionaris walau penyair tidak secara eksplisit mengungkapkan dalam sajak ini.

Sajak penghormatan kepada sarjana Barat yang begitu teguh meneliti bahasa-sastra Bali juga diciptakan Windhu untuk Dr. Helen Creese (ahli Jawa Kuno, Australia), Nyoman Umbara (nama samaran sarjana Parancis yang tengah berusaha menyusun kamus Bali-Perancis), dan Tuan Willem van Der Mollen (Belanda). Sarjana ini adalah orang-orang yang dikenal dekat. Windhu, misalnya, pernah membantu Helen untuk menstranskripsikan sejumlah naskah kuna. Sajak “Helen Creese” mengibaratkan Helen sebagai “sesapi putih”, ungkapan yang tidak saja menimbulkan asosiasi kepada orang yang berkulit putih tetapi juga kepada sosok dinamis berwawasan luas. Windhu melukiskan: “sesapi putih makebur nuju kaler kangin/ mengindang kampidnyane kebah/ ngigel maelogan/ ngulangunin/ suarannyane alit nyeksek ring keneh/ solahnyane alep tan pakrisikan/ manahnyane jimbar nguub sadaging jagat” (sesapi putih terbang utara-timur/ berputar-putar sayapnya mekar/ menari gemulai/ mengagumkan/ suaranya halus masuk sukma/ lagaknya kalem diam). Burung sesapi ini dikontraskan dengan “paksi gagak” yang bulunya penuh lumpur dan terbang ke arah selatan (arah yang cemar). Kontras ini tak hanya mempertegas sosok yang ditonjolkan tetapi juga membuat struktur puisi “Helen Creese” terasa indah.

Helen sering datang ke Bali, antara lain untuk penelitian dan seminar. Dia memang pendiam, tapi disegani sejawatnya karena karyanya banyak antara lain buku “Parthayana, The Journeying of Partha, an Eighteenth-century Balinese Kakawin” (KITLV, 1998). Yang mengenalnya akan merasa bahwa sajak Windhu dengan tepat menggambarkan sosok Helen yang pendiam tetapi lincah ibarat “burung sesapi” dalam dunia ilmu.

Pengkontrasan

Sajak-sajak Windhu dan cerpennya yang menampilkan orang asing tak hanya menambah tema-tema baru ke dalam khasanah sastra Bali modern, tetapi juga menunjukkan eksplorasi estetik penciptaan puisi berbahasa Bali. Salah satu pola estetika yang bisa ditangkap dalam karyanya adalah pengkontrasan gagasan seperti “cerdas vs tidak tahu” dalam sajak “Roelof Goris” dan “sesapi putih vs burung gagak” pada sajak “Helen Creese”. Estetika berpola kontradiktif ini juga terasa dalam sajaknya yang lain.

Pilihan Windhu menampilkan sosok “orang lain” dalam karyanya karena dia percaya terhadap pepatah “gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan tampak jelas”. Pandangan Windhu ini bisa disimak dari baris terakhir sajaknya yang berjudul “Coffe Shop” yang berbunyi “ipun manggihin tityang saking doh!” (dia menemui saya dari jauh). Yang dimaksud dengan “ipun” tentu adalah Goris, Helen Creese, Van Der Mollen, dan seterusnya.

Sosok “orang lain” dalam sajak-sajak Windhu agak berbeda dengan yang tampak dalam karya sastrawan lain, misalnya cerpen Made Sanggra “Ketemu ring Tampaksiring”. Tokoh Belanda dalam cerpen ini digunakan pengarang untuk mengungkapkan sisi humanis masa kolonial. Kalau penjajahan sering dikaitkan dengan penindasan, perang atau gerilya, dalam cerpen ini Made Sanggra justru mengungkapkan romantisme, pernikahan antara tentara Belanda dengan wanita Bali dan pertemuan tak terduga anak-anak mereka setelah lama berpisah. Pengenalan identitas ini juga mencegah terjadinya perkawinan adik-kakak alias inses.

Perlu segera dicatat bahwa perbedaan penggambaran sosok “orang lain” dalam sastra Bali modern bukan karena yang satu tampil dalam puisi, sedangkan yang lain dalam cerpen atau novel, tetapi lebih pada niat sastrawan dan narasi atau puisi yang dihasilkan. Dalam literatur postkolonial, “orang lain” cenderung dianggap ancaman (threat), dalam karya-karya sastrawan Bali yang dibahas di atas, “orang lain” adalah cermin (mirror) untuk mengenali budaya dan jati diri Bali. Penelitian terhadap lebih banyak teks sastra Bali modern yang menggambarkan sosok “orang lain” tentu akan bisa memperkuat atau menggugat kesimpulan sementara ini.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir