Catatan untuk F Aziz Manna dan R Giryadi
S. Jai*)
Kompas JaTim, 19 Agustus 2010
JAWA TIMUR, tepatnya Surabaya dan Sidoarjo pernah memiliki tradisi teater yang kuat—bahkan menggerakan tradisi teater modern di Indonesia. Ketika pada 1891 Komedi Stamboel berkibar dan pada 1926. Lalu Dardanella (The Malay Opera) berjaya yang diprakarsai Willy Klimanoff.
Di tangan mantan awak sirkus Komedi Stamboel itu, Dardanella dimodernkan sebagai teater yang mengutuhkan esensi laku dramatik dan menghilangkan nuansa lelucon dan tarian yang menyimpang dari esensi itu. Dari kelompok teater inilah berkembang pesat teater modern melalui awak-awak panggungnya. Bolero, Orion yang didirikan Miss ribort, Tjahaya Timoer yang didirikan Andjar Asmara. Termasuk Teater Maya di Jakarta, di bawah asuhan Usmar Ismail 1944.
Yang menarik dari pemodernan teater ini, dengan melakukan pembaruan spirit tradisi teater dengan mendekatkan diri pada peristiwa sehari-hari melalui naskah-naskah yang tertulis dan bukan lagi improvisasi atas tradisi lisan dari mitologi, epos dsb—yang tentu saja telah dianggapnya ketinggalan zaman.
Beberapa dasawarsa berikutnya, dalam peta tradisi teater tanah air, Jawa Timur—Surabaya, melahirkan tradisi baru berteater, bahkan sanggup menguatkan identitas teaternya ketika era 1970-1980-an. Munculnya sejumlah nama, utamanya yang pertama bisa saja disebut nama Akhudiat dan yang Kedua Basuki Rachmat, yang sezaman dengan Emil Sanosa, Max Arifin, sesudah generasi Lutfi Rachman yang kemudian terjun ke dunia film.
Nama Akhudiat dan Basuki Rachmat amat disegani dengan orisinalitas kentrung rock dan mendunianya ludruk (Istilah alm Profesor Umar Kayam). Melalui tangan dan pikiran dingin Basuki Rachmat teater ludruk campur kentrung mendunia berkat lakon-lakon Bertold Brecht, semacam Darmi-Darmo dan Lingkaran Keadilan dan dipentaskan keliling Indonesia. Estetika teater Surabaya mampu menembus khazanah “Teater Indonesia.”
Bahkan konon mencuatnya Teater Sampakan di Surabaya sempat mempengaruhi gaya teater Yogyakarta yang kiranya perlu dicatat pencapaiannya dan penting bagi sejarah teater Surabaya. Melalui Emha Ainun Nadjib yang memang pernah bergaul dengan anak-anak Bengkel Muda Surabaya (BMS—tempat Akhudiat dan Basuki Rachmat besar dan membesarkan teater), pada saat Yogya dikuasai gaya Mataraman Bengkel Teater Rendra, gaya sampakan merasuk dan diproses Teater Dinasti yang berlanjut Teater Gandrik, Teater Paku sebelum akhirnya menjadi semacam aliran yang mewabah dan banyak penganutnya.
Kini pelbagai kalangan—termasuk seniman teater sendiri—berpendapat bahwa tradisi itu hampir tak ada lagi, lebih karena tidak adanya sikap kritis, mentalitas, spirit dan intelektualitas menghadapi fenomena kultural dan konteks sosial di belakang teks realitas. Walaupun sebetulnya, lebih tegasnya gejala itu tidak hanya terjadi pada teater. Melainkan seluruh aspek kebudayaan.
Saat ini, jurang kemelaratan melampaui kemiskinan yang diidentifikasi budayawan Rendra—kegagahan dalam kemiskinan. Bahkan kita ini telah melarat dari—istilah Kant—kemampuan untuk mengajar dirinya sendiri untuk bagaimana memaknai hidup dan punya identitas. Jelasnya, kemiskinan atas demensi subtansial kebudayaan yang disebut Herry Tjahjono—martabat bangsa, nilai-nilai bangsa, rasa memiliki, kebanggaan dan rasa aman.
Spirit mempertimbangkan tradisi pernah dicetuskan Rendra dalam proses kreatifnya pada 1971. Bahwa tradisi ibarat ayah kandung kita. Tradisi adalah kebiasaan yang turun-menurun dan ia merupakan kesadaran kolektif sebuah masyarakat. Secara implisit justru Rendra mengakui usahanya itu lebih berhasil di dunia kepenyairan ketimbang drama. Meskipun pada spirit nilai tradisi puisi-puisinya itu diakui tak lain adalah tradisi abad 18 hasil karya raja-raja boneka dan bupati yang tidak aristokrat.
Kepada Profesor Umar Khayam, Rendra mengaku iri pada tradisi teater tradisional—wayang orang (ngestipandowo, sriwedari) ketoprak (mataram, siswobudoyo) dan juga srimulat—yang selalu dibanjiri penonton. Sementara konon salah sebuah pertunjukkan Rendra pernah hanya ditonton 7 orang, itu pun sebagian tertidur pada akhir pentas.
Dengan penuh kerendahan hati, diharapkan tulisan ini sanggup memberi kerangka yang menginspirasi seniman-seniman teater untuk mencari ruh teater kita. Oleh sebab itu model pertanyaan-pertanyaan berikut dimaksudkan sebagai jalan menemukan kembali ruh penciptaan tradisi teater Jawa Timur.
Pertama, kita musti bergelut dalam proses berteater dengan menjawab pertanyaan: Apa yang bisa kita lampaui dari pencapaian Rendra dalam mempertimbangkan untuk kemudian mencipta tradisi?
Boleh jadi, dunia penciptaan apapun sama—puisi, teater, prosa—hanya bahasanya yang berbeda. Apakah bahasa puitik ataukah bahasa dramatik. Meminjam kosa kata penyair Arab modern, Adonis: Dunia penciptaan, tidak lagi meniru model tradisional, dan juga tidak lagi meniru “realitas.” Kreasi dimungkinkan pertama-tama hanya dengan menjauhi peniruan dan “realitas” sekaligus. Ia merupakan penciptaan yang dipraktekkan…, terkait dengan penciptaan jarak antara dia dengan tradisi di satu sisi, dan antara dia dengan “realitas” di sisi yang lain.
Dalam kepenyairan Rendra mengaku dibimbing tembang dolanan anak-anak Jawa, tembang-tembang palaran Jawa, bahasa koran, mitologi Dewa Ruci. Juga dalam pertunjukan teaternya dibimbing teater rakyat Bali, foklore dan permainan image tembang dolanan.
Rupanya, keadaan ini pula yang dicoba ditaklukkan Goenawan Mohamad dalam esai “Sebuah Pembelaan untuk Teater Mutakhir” pada 1973. Bahwa teater membutuhkan publik yang intim karena ada perbedaan antropologi publik dengan antropologi teater. Waktu itu dia memilih kosa kata: pertunjukkan akan enak dinikmati bila jarak keduanya diperpendek.
Sampai di sini betapa jarak antropologi publik dengan antropologi teater masih menjadi medan tempur konsep berteater.
Antropologi Teater
Kedua, pertanyaan penting untuk digali adalah: Adakah kini yang mengatasi jarak keduanya—antropologi teater dan antropologi publik lalu menjadikan medan tempur baru berteater?
Pada kenyataannya, yang penting dipecahkan dalam “dialog-dialog” ekperimentasi teater, bahwa di atas pencapaian tradisi teater kita, teater mengampu pada tradisi lisan. Tradisi yang menopang teater kita inilah yang kemudian digugat Afrizal Malna sebagai politik yang mengontruksi tubuh dan berlangsung dalam pergaulan sehari-hari.
Karena itu, menurutnya penggunaan tradisi sebagai benteng identitas, juga mengandung resiko yang tidak sederhana. Tubuh-identitas lebih bermain di tingkat sikap (ideologis) dan bukan di tingkat bentuk. Tubuh-identitas yang masih bermain di tingkat bentuk, akhirnya hanya akan menghasilkan sikap verbal dari primordialisme. Pada gilirannya tubuh-identitas yang dikonstruksi sebagai tubuh-tradisi, itu bisa dibaca dengan sinis sebagai “sampah lokal” yang gagap menghadapi pergaulan dunia.
Ketiga, sedemikian sakralkah “dialektika antara realitas dan idealitas” sejak teater pra-modern, modern hingga kontemporer di atas sehingga masih menjadi panglima teater kita?
Pertanyaan ini tentu mewakili suara orang dari jurubicara pembela identitas seni kita yang menyakini teater kita haruslah sanggup menembus proses “tranformasi” menuju kulminasi identitas teater pasca-modern Indonesia atau teater pasca mitos kita.
Kiranya pencarian identitas dalam berteater musti memiliki paradigma baru yang berdiri di atas pertanyaan-pertanyaan penting di atas. Setidaknya pengalaman Teater Studi Klub Bandung mengingatkan akan hal itu. Teater Studi Klub Bandung mencoba menjawab sesuai epistemologi ketiganya—baik dialektika, realitas, idealitas sebagai produk dari suatu aliran filsafat barat—justru kemudian menempatkan kelompok teater itu sebagai wakil dari barat. Sementara Putu Wijaya bersama Teater Mandiri era 1970-an mencoba memecahkannya dengan membawa penonton hingga ke luar gedung, dan pertunjukan dilanjutkan di luar. Yang menginspirasi teater-teater generasi berikutnya untuk merambah ruang-ruang publik.
Di Surabaya cukup menarik apa yang ditawarkan Sutradara Zaenuri dari Bengkel Muda Surabaya dengan estetika “mencangkok ruang teater di antara kepanikan publik”-nya. Ekperimen teater Zaenuri yang masuk dan melipatkan para napi di Rutan Medaeng, teater para anak-anak urakan bonek Surabaya kiranya adalah upaya untuk penciptaan tradisi sekaligus estetika baru teater. Menurutnya Teater adalah riil. Teater adalah cara mengaktualisasikan diri dalam kapasitas peran yang berlebih dan panggung adalah kehidupan sehari-hari. Singkat kata teater harus berguna dengan memindahkan ruang estetis dari problem publik ke ruang yang katarsis—pencerahan.
Hal-hal inilah yang perlu disikapi teater mutakhir dalam penciptaan tradisinya menyongsong masa depan tradisi teater Jawa Timur, tanpa mendikotomi diri antara teater kampus atau non kampus, umum atau khusus. Selamat bereksperimen! []
*) Pengarang, kepala bidang seni-budaya Center for Relegious and Community Studies (CeRCS) Surabaya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar