Jumat, 10 September 2010

Mencipta Kembali Tradisi Teater Jatim

Catatan untuk F Aziz Manna dan R Giryadi
S. Jai*)
Kompas JaTim, 19 Agustus 2010

JAWA TIMUR, tepatnya Surabaya dan Sidoarjo pernah memiliki tradisi teater yang kuat—bahkan menggerakan tradisi teater modern di Indonesia. Ketika pada 1891 Komedi Stamboel berkibar dan pada 1926. Lalu Dardanella (The Malay Opera) berjaya yang diprakarsai Willy Klimanoff.

Di tangan mantan awak sirkus Komedi Stamboel itu, Dardanella dimodernkan sebagai teater yang mengutuhkan esensi laku dramatik dan menghilangkan nuansa lelucon dan tarian yang menyimpang dari esensi itu. Dari kelompok teater inilah berkembang pesat teater modern melalui awak-awak panggungnya. Bolero, Orion yang didirikan Miss ribort, Tjahaya Timoer yang didirikan Andjar Asmara. Termasuk Teater Maya di Jakarta, di bawah asuhan Usmar Ismail 1944.

Yang menarik dari pemodernan teater ini, dengan melakukan pembaruan spirit tradisi teater dengan mendekatkan diri pada peristiwa sehari-hari melalui naskah-naskah yang tertulis dan bukan lagi improvisasi atas tradisi lisan dari mitologi, epos dsb—yang tentu saja telah dianggapnya ketinggalan zaman.

Beberapa dasawarsa berikutnya, dalam peta tradisi teater tanah air, Jawa Timur—Surabaya, melahirkan tradisi baru berteater, bahkan sanggup menguatkan identitas teaternya ketika era 1970-1980-an. Munculnya sejumlah nama, utamanya yang pertama bisa saja disebut nama Akhudiat dan yang Kedua Basuki Rachmat, yang sezaman dengan Emil Sanosa, Max Arifin, sesudah generasi Lutfi Rachman yang kemudian terjun ke dunia film.

Nama Akhudiat dan Basuki Rachmat amat disegani dengan orisinalitas kentrung rock dan mendunianya ludruk (Istilah alm Profesor Umar Kayam). Melalui tangan dan pikiran dingin Basuki Rachmat teater ludruk campur kentrung mendunia berkat lakon-lakon Bertold Brecht, semacam Darmi-Darmo dan Lingkaran Keadilan dan dipentaskan keliling Indonesia. Estetika teater Surabaya mampu menembus khazanah “Teater Indonesia.”

Bahkan konon mencuatnya Teater Sampakan di Surabaya sempat mempengaruhi gaya teater Yogyakarta yang kiranya perlu dicatat pencapaiannya dan penting bagi sejarah teater Surabaya. Melalui Emha Ainun Nadjib yang memang pernah bergaul dengan anak-anak Bengkel Muda Surabaya (BMS—tempat Akhudiat dan Basuki Rachmat besar dan membesarkan teater), pada saat Yogya dikuasai gaya Mataraman Bengkel Teater Rendra, gaya sampakan merasuk dan diproses Teater Dinasti yang berlanjut Teater Gandrik, Teater Paku sebelum akhirnya menjadi semacam aliran yang mewabah dan banyak penganutnya.

Kini pelbagai kalangan—termasuk seniman teater sendiri—berpendapat bahwa tradisi itu hampir tak ada lagi, lebih karena tidak adanya sikap kritis, mentalitas, spirit dan intelektualitas menghadapi fenomena kultural dan konteks sosial di belakang teks realitas. Walaupun sebetulnya, lebih tegasnya gejala itu tidak hanya terjadi pada teater. Melainkan seluruh aspek kebudayaan.

Saat ini, jurang kemelaratan melampaui kemiskinan yang diidentifikasi budayawan Rendra—kegagahan dalam kemiskinan. Bahkan kita ini telah melarat dari—istilah Kant—kemampuan untuk mengajar dirinya sendiri untuk bagaimana memaknai hidup dan punya identitas. Jelasnya, kemiskinan atas demensi subtansial kebudayaan yang disebut Herry Tjahjono—martabat bangsa, nilai-nilai bangsa, rasa memiliki, kebanggaan dan rasa aman.

Spirit mempertimbangkan tradisi pernah dicetuskan Rendra dalam proses kreatifnya pada 1971. Bahwa tradisi ibarat ayah kandung kita. Tradisi adalah kebiasaan yang turun-menurun dan ia merupakan kesadaran kolektif sebuah masyarakat. Secara implisit justru Rendra mengakui usahanya itu lebih berhasil di dunia kepenyairan ketimbang drama. Meskipun pada spirit nilai tradisi puisi-puisinya itu diakui tak lain adalah tradisi abad 18 hasil karya raja-raja boneka dan bupati yang tidak aristokrat.

Kepada Profesor Umar Khayam, Rendra mengaku iri pada tradisi teater tradisional—wayang orang (ngestipandowo, sriwedari) ketoprak (mataram, siswobudoyo) dan juga srimulat—yang selalu dibanjiri penonton. Sementara konon salah sebuah pertunjukkan Rendra pernah hanya ditonton 7 orang, itu pun sebagian tertidur pada akhir pentas.

Dengan penuh kerendahan hati, diharapkan tulisan ini sanggup memberi kerangka yang menginspirasi seniman-seniman teater untuk mencari ruh teater kita. Oleh sebab itu model pertanyaan-pertanyaan berikut dimaksudkan sebagai jalan menemukan kembali ruh penciptaan tradisi teater Jawa Timur.

Pertama, kita musti bergelut dalam proses berteater dengan menjawab pertanyaan: Apa yang bisa kita lampaui dari pencapaian Rendra dalam mempertimbangkan untuk kemudian mencipta tradisi?

Boleh jadi, dunia penciptaan apapun sama—puisi, teater, prosa—hanya bahasanya yang berbeda. Apakah bahasa puitik ataukah bahasa dramatik. Meminjam kosa kata penyair Arab modern, Adonis: Dunia penciptaan, tidak lagi meniru model tradisional, dan juga tidak lagi meniru “realitas.” Kreasi dimungkinkan pertama-tama hanya dengan menjauhi peniruan dan “realitas” sekaligus. Ia merupakan penciptaan yang dipraktekkan…, terkait dengan penciptaan jarak antara dia dengan tradisi di satu sisi, dan antara dia dengan “realitas” di sisi yang lain.

Dalam kepenyairan Rendra mengaku dibimbing tembang dolanan anak-anak Jawa, tembang-tembang palaran Jawa, bahasa koran, mitologi Dewa Ruci. Juga dalam pertunjukan teaternya dibimbing teater rakyat Bali, foklore dan permainan image tembang dolanan.

Rupanya, keadaan ini pula yang dicoba ditaklukkan Goenawan Mohamad dalam esai “Sebuah Pembelaan untuk Teater Mutakhir” pada 1973. Bahwa teater membutuhkan publik yang intim karena ada perbedaan antropologi publik dengan antropologi teater. Waktu itu dia memilih kosa kata: pertunjukkan akan enak dinikmati bila jarak keduanya diperpendek.

Sampai di sini betapa jarak antropologi publik dengan antropologi teater masih menjadi medan tempur konsep berteater.

Antropologi Teater

Kedua, pertanyaan penting untuk digali adalah: Adakah kini yang mengatasi jarak keduanya—antropologi teater dan antropologi publik lalu menjadikan medan tempur baru berteater?

Pada kenyataannya, yang penting dipecahkan dalam “dialog-dialog” ekperimentasi teater, bahwa di atas pencapaian tradisi teater kita, teater mengampu pada tradisi lisan. Tradisi yang menopang teater kita inilah yang kemudian digugat Afrizal Malna sebagai politik yang mengontruksi tubuh dan berlangsung dalam pergaulan sehari-hari.

Karena itu, menurutnya penggunaan tradisi sebagai benteng identitas, juga mengandung resiko yang tidak sederhana. Tubuh-identitas lebih bermain di tingkat sikap (ideologis) dan bukan di tingkat bentuk. Tubuh-identitas yang masih bermain di tingkat bentuk, akhirnya hanya akan menghasilkan sikap verbal dari primordialisme. Pada gilirannya tubuh-identitas yang dikonstruksi sebagai tubuh-tradisi, itu bisa dibaca dengan sinis sebagai “sampah lokal” yang gagap menghadapi pergaulan dunia.

Ketiga, sedemikian sakralkah “dialektika antara realitas dan idealitas” sejak teater pra-modern, modern hingga kontemporer di atas sehingga masih menjadi panglima teater kita?

Pertanyaan ini tentu mewakili suara orang dari jurubicara pembela identitas seni kita yang menyakini teater kita haruslah sanggup menembus proses “tranformasi” menuju kulminasi identitas teater pasca-modern Indonesia atau teater pasca mitos kita.

Kiranya pencarian identitas dalam berteater musti memiliki paradigma baru yang berdiri di atas pertanyaan-pertanyaan penting di atas. Setidaknya pengalaman Teater Studi Klub Bandung mengingatkan akan hal itu. Teater Studi Klub Bandung mencoba menjawab sesuai epistemologi ketiganya—baik dialektika, realitas, idealitas sebagai produk dari suatu aliran filsafat barat—justru kemudian menempatkan kelompok teater itu sebagai wakil dari barat. Sementara Putu Wijaya bersama Teater Mandiri era 1970-an mencoba memecahkannya dengan membawa penonton hingga ke luar gedung, dan pertunjukan dilanjutkan di luar. Yang menginspirasi teater-teater generasi berikutnya untuk merambah ruang-ruang publik.

Di Surabaya cukup menarik apa yang ditawarkan Sutradara Zaenuri dari Bengkel Muda Surabaya dengan estetika “mencangkok ruang teater di antara kepanikan publik”-nya. Ekperimen teater Zaenuri yang masuk dan melipatkan para napi di Rutan Medaeng, teater para anak-anak urakan bonek Surabaya kiranya adalah upaya untuk penciptaan tradisi sekaligus estetika baru teater. Menurutnya Teater adalah riil. Teater adalah cara mengaktualisasikan diri dalam kapasitas peran yang berlebih dan panggung adalah kehidupan sehari-hari. Singkat kata teater harus berguna dengan memindahkan ruang estetis dari problem publik ke ruang yang katarsis—pencerahan.

Hal-hal inilah yang perlu disikapi teater mutakhir dalam penciptaan tradisinya menyongsong masa depan tradisi teater Jawa Timur, tanpa mendikotomi diri antara teater kampus atau non kampus, umum atau khusus. Selamat bereksperimen! []

*) Pengarang, kepala bidang seni-budaya Center for Relegious and Community Studies (CeRCS) Surabaya.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir