Sunlie Thomas Alexander
http://www.jawapos.co.id/
Shanghai, Maret 1943
DARI suara radio yang sayup-sayup sampai lantaran menipisnya tenaga baterai, kau tahu kalau pasukan nasionalis kian terdesak. Kehidupan rakyat makin tak menentu, setiap hari selalu saja jatuh korban yang sulit dihitung di luar medan perang. Yang mati tertembak, sakit, atau kelaparan. Pengungsi bertebaran di mana-mana. Tak di desa, tak di kota. Shanghai memang tinggal menunggu kejatuhannya, pikirmu. Seperempat Cina telah dikuasai Jepang, mau apa lagi? Para konsul Barat sudah lama meninggalkan gedung-gedung kedutaan.
Mendongak, langit tampak mendung seperti berkabung. Bendera Republik Cina melambai sayu di atap sebuah gedung sekolah bertembok kusam. Kau menghirup kopimu, terasa pahit karena gula yang sedikit. Berita radio kini dengan serak meneriakkan sebuah propaganda agar rakyat bersatu, yang terdengar di telingamu lebih mirip celoteh tukang obat di pasar. Suara sang penyiar kemudian terdengar begitu bimbang ketika melaporkan pertempuran terakhir di Ghuangzou. Pasukan komunis masih bertahan di kantong-kantongnya, di desa dan hutan-hutan, kata penyiar itu seperti orang demam. Kau menggerutu tak jelas, bernada gusar. Seharusnya mereka simpan dulu pertikaian, pikirmu dengan kemarahan yang meruap ke ubun-ubun. Apalagi yang ditunggu? Sekadar gengsi atau dendam naïf tak berkesudahan? Ah, sampai kapan?
Chiang Kai Sek telah menandatangani surat kesepakatan dengan Amerika, Belanda, Inggris, dan Rusia untuk bahu-membahu melawan Jepang. Tapi kau merasa tak banyak yang bisa diharapkan dari surat kesepakatan itu. Harapan hanya ada pada persatuan. Jika saja Chiang Kai Sek mau berpikir sebagai seorang negarawan, melupakan segala perseteruan dan perbedaan ideologi dengan Mao!
Kau merasa kagum pada semangat Tentara Rute Kedelapan yang begitu ulet melancarkan serangan gerilya. Ah, anak-anak muda yang separonya bahkan tak pernah mengenal bangku sekolah itu, yang biasanya cuma tahu memegang cangkul! Entah bagaimana mereka memperoleh kemahiran berperang melawan pasukan Jepang yang terlatih dan bersenjata lengkap. Kalau saja semua pemuda di negeri ini memiliki semangat seperti mereka…
Kemudian kau teringat seorang pelajar sekolah menengah yang berteriak-teriak di atas podium di depan gedung sekolahnya dua minggu lalu, berorasi panjang dengan muka merah padam menyerukan agar kaum muda berhenti memikirkan keselamatan diri sendiri dan mulai memikirkan bangsa. Tetapi alangkah naïfnya ketika pemuda tanggung itu kemudian mengeluarkan sebilah belati dan hendak menikam perutnya sendiri sebagai tanda kekecewaan. Semangat mungkin tak cukup, tidak pernah cukup… Pikirmu menggeleng-geleng.
Kau menghirup kopi pahit untuk kesekian kali, ketika A Ming, keponakanmu, masuk ke toko dengan wajah muram.
”Paman, ada surat tagihan hutang dari Paman Hung…,” bisik A Ming ragu-ragu. Kau mendongak dengan kesal. Kopi hampir tersembur keluar dari mulutmu.
”Bilang sama dia, nunggu dua hari lagi! Kalau belum bisa kubayar juga, dia boleh sita semua barang yang tersisa di toko ini!” kau berteriak meradang. A Ming tersurut mundur, wajahnya betapa muram, ”Iya, iya Paman. Akan kusampaikan…”
Kau menghempaskan tangan dengan keras ke atas meja. Hingga cangkir porselin berisi kopimu yang tinggal seperempat bergoyang, berputar di atas piring kecil alasnya. Dengan kecut A Ming buru-buru keluar dari toko melalui pintu samping. Kau menghela nafas panjang dan memperhatikan sekelilingmu, memperhatikan barang-barang tersisa yang tak terjual. Sebagian telah kau pakai untuk melunasi hutang.
Di kejauhan, bendera Republik Rakyat Cina tampak semakin sayu, kini bahkan layu. Angin berhenti berhembus. Gerimis mulai jatuh satu-satu. Bunyinya seperti suara isakan, mengingatkanmu pada sebuah opera Cina yang sedih di gedung Teater Piere French Concession yang kau tonton menjelang Peh Cun.
***
Belinyu, Oktober 1952
SEREMPAK penonton di bioskop kecil itu berdiri. Mereka bertepuk tangan riuh ketika di kain layar muncul wajah pemimpin Mao. Lalu seperti dikomando, hampir semua mulut serentak terbuka, menyanyikan Mars Sukarelawan yang kini telah menjadi lagu kebangsaan Republik Rakyat Cina dengan lantang: ”Chilai… Chilai! Pu yen co nuli jen men…!”
Kau ikut berdiri, tetapi hanya tertegak diam di depan tempat dudukmu, bungkam membiarkan suara-suara nyanyian penuh gelora itu menghunjam kedua telingamu. Juga ketika lagu berganti, ”Tung fang fung, thai yang sen… Chung Kuo cut liau ke Moa Tze Tung…!” Seperti paduan suara anak sekolah saat peresmian Chung Hwa Hwee Koan atau parade militer di jalan-jalan Shanghai ketika Jepang menyerah, batinmu geli.
Semua orang seperti kelelahan ketika wajah sang pemimpin besar menghilang digantikan wajah riang sepasang suami istri dengan anak laki-laki mereka yang berkuncir layaknya anak dewa. Adegan makan malam yang bersahaja selepas panen raya yang girang gemilang. Orang-orang di sisi kiri-kananmu, juga di bangku deretan depan kini duduk membisu, dengan mata terpaku pada kain layar seolah tak ingin terusik dari kenikmatan menonton.
”Ratusan mil di seberang laut dari kampung halaman, mereka masih saja seperti orang bodoh,” keluhmu antara jengkel dan takjub di dalam hati.
Kau merasa sedikit kegerahan. Tetap saja kau tak bisa menghilangkan rasa geli melihat sang suami di kain layar bersendawa keras karena kekenyangan. Sebuah film propaganda yang manis, gerutumu ingin sekali meninggalkan tempat duduk, tak tahan gerah. Pikiranmu melayang-layang ke Festival Barong pada perayaan Cap Goh Me musim semi itu, sebelum perang pecah, saat terakhir kalinya kau turun laga bersama grup barongmu. Petasan dibunyikan di jalan-jalan, begitu meriah. Orang-orang berkumpul di pinggir jalan melambai-lambaikan bendera kecil dan angpao.
Seolah ruh para dewa benar-benar merasuk, barongmu meliuk-menerjang, melompat-berputar. Demikian lincah dan gesit. Orang-orang bertepuk riuh, bersuit-suit. Sekilas, di tengah atraksi, kau melihat istrimu tersenyum di antara kerumunan orang di pinggir jalan. Begitu cantik dalam balutan cheongsam birunya.
Untuk beberapa lama, pikiranmu melambung ke masa lalu. Ngungun. Sebuah medali perak, sebuah kebahagiaan dan kehormatan yang lewat. Kau tersadar ketika kembali terdengar tepuk tangan ramai memenuhi gedung bioskop kecil itu. Film berakhir penuh gumam. Lampu dinyalakan petugas proyektor. Kau bangkit dari tempat dudukmu dengan lesu dan mengantre di belakang barisan panjang penonton untuk keluar dari gedung bioskop.
”Mendingan nonton atraksi Cong Po Min jual obat gosok…,” seseorang terdengar berbisik di belakangmu. Kau tak bisa menoleh, karena desakan di punggungmu. Tiba-tiba kau dengar suara ribut-ribut di luar pintu bioskop. Ada suara perempuan menjerit.
”Ada apa? Ada apa?” pertanyaan-pertanyaan memperibut suasana. Kau terdorong-dorong ke depan. Terdengar makian dalam bahasa Melayu.
”Ada orang berkelahi!” seseorang berseru di dekat pintu keluar. Kau meringis ketika kakimu dipijak seseorang.
***
Belinyu, Desember 1965
MENDUNG bergelayut di langit sejak pagi, tapi hujan tak turun. Tak ada toko yang buka, padahal menjelang Tahun Baru Imlek. Semua orang Tionghoa memilih berdiam diri di rumah, di antaranya mungkin meringkuk di kolong ranjang. Hanya orang-orang Melayu yang berani berkeliaran di jalan, itu pun tak banyak. Tentara dan polisi terus berpatroli.
”Tidak ada apa-apa, Suk. Saya jamin toko-toko di sini aman!” kata Suminto, kapolsek bertubuh jangkung itu padanya dua hari lalu.
Ah, teman yang baik, pikirnya kecut. Suminto selalu datang ke toko setiap awal bulan untuk membeli beras, gula, dan kebutuhan lainnya. Tapi ia tak pernah meminta bayaran.
”Ah, bawa sajalah, Pak. Untuk teman…,” katanya sambil tersenyum. Suminto tertawa lebar dan mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Ia kenal polisi itu ketika menjenguk Min Cung, kawan adik iparnya yang tertangkap menggelar judi kodok-kodok. Min Cung ketakutan setengah mati di dalam sel. Karena tak tega, akhirnya ia menemui kapolsek. Min Cung boleh pulang, kata Suminto setelah ia memasukkan angpao ke saku seragam kapolsek itu.
Kakinya sudah agak hangat, tidak lagi kesemutan setelah direndam air panas yang disediakan menantunya. Ia tahu, semua orang tegang. Berita orang ditangkap, hilang, atau mayat-mayat yang mengambang di sungai dan di laut masih terus terdengar. Chung Hwa Hwee Koan sudah diambil alih oleh pemerintah. Sekelompok tentara mendatangi gedung sekolah ketika pelajaran sedang berlangsung. Putri bungsunya, Ai Ling, berlari pulang sambil menangis. Guru-guru ditahan, kata Ai Ling dengan mata sembab.
Karena itu ia malas mendengar siaran RRI. Ia lebih senang mendengar siaran pacuan kuda dari radio Singapura, meski sesekali berita tentang kerusuhan di negeri ini tersiarkan juga dalam warta berita Singapo Kuo Ci Tien Thoi. Partai komunis sedang diberangus di Indonesia setelah gagal dalam kudeta, demikian laporan berita-berita itu.
Ia ingat teman-teman dan sanak-saudaranya yang ikut menyingkir ke Taiwan bersama pasukan Chiang Kai Sek, ketika dulu partai komunis berhasil merebut kekuasaan di daratan Cina. Ia memilih datang ke negeri ini, menyusul keluarga istrinya. Tidak mudah, mereka harus membayar mahal kepada petugas imigrasi. Perempuan malang itu baru berhenti menangis setelah mereka sampai ke Bangka. Adik bungsunya sendiri bergabung dengan tentara nasionalis. Tapi adik nomor duanya pengagum berat pemimpin Mao, memutuskan masuk Fakultas Pertanian di Beijing. Kini sudah menjadi dosen di Nanjing.
Ia tahu, barangkali ia memang tidak bisa menulikan telinga dari berita-berita itu. Adik iparnya, misalnya, tadi pagi dengan berbisik-bisik menceritakan padanya kalau sekelompok pemuda Melayu membakar kelenteng di Pangkalpinang.
”Ah, mereka punya masalah dengan komunis! Apa perkaranya dengan kelenteng?” tukasnya meradang.
”Mereka benci orang Tionghoa, Ko. Karena Perdana Menteri Zhou Enlai membantu Aidit…,” tukas adik iparnya. Ia juga mendengar, hubungan diplomatik pemerintah Indonesia dengan pemerintah RRC sudah diputus. Bahkan kedutaan besar RRC di Jakarta diobrak-abrik massa.
Ia menerawang. Cemas dan lelah. Ia ingat lagi festival-festival barongsai yang diikutinya di kampung halaman. Ingat medali-medali kemenangan kelompok barongnya yang kini tersimpan di lemari khusus. Kakinya kembali terasa kesemutan.
Belinyu, April 2000
AI LING mengusap matanya yang sembab. Ditancapkannya batang-batang dupa merah itu di hadapan nisan marmer ayahnya. Lelaki tua yang keras hati itu telah lama terbaring di bawah gundukan makam. Subuh belum lagi sempurna benar. Tapi langit seolah lebih terang. Ah, hari Cin Min yang bersih… Pemakaman yang dikelilingi perkebunan karet itu begitu hibuk oleh orang-orang yang datang bersembahyang. Setiap tahun, setiap hari ziarah Cin Min tiba, ia memang selalu menyempatkan diri untuk pulang. Meskipun kakak-kakaknya tidak.
Ai Ling tersedu di depan makam. Entah kenapa, tiba-tiba ia merasa begitu bersedih. Di kejauhan para pemusik tanjidor yang disewa khusus untuk menghibur para peziarah masih terus bermain. Musik menghentak-hentak dalam irama mars, lalu pelan-pelan berganti irama sedih yang mendayu-dayu mengibakan hati. Ditatapnya dinding nisan sang ayah. Bibirnya berdesis, terbata-bata mengeja huruf-huruf hanji berwarna emas di dinding nisan. Air matanya kembali bergulir. Dalam genggamannya, sebuah medali perak bergambar kepala barong dengan pita merah panjang terasa dingin. Medali perak kebanggaan sang ayah.
Ia terkenang pada sekelompok barongsai yang ikut tampil pada karnaval 17 Agustus… Gagah dan cukup piawai ketika beratraksi meskipun tampak sedikit grogi. Kini, di mana-mana klub-klub barong bermunculan lagi. Anak-anak muda, ternyata masih menaruh minat pada tradisi leluhur. Mungkin lantaran film-film kungfu, pikirnya lalu menyeringai kecil. Tapi syukurlah, masih banyak orang tua yang diam-diam memelihara keahlian bermain barong sehingga dapat menurunkan kepada mereka. Sejak Presiden Gus Dur menyatakan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur bagi yang merayakan, tak ada lagi pembatasan terhadap aktivitas kebudayaan yang berbau Tionghoa.
Terbayang lagi olehnya wajah sang ayah sebelum menghembuskan napas terakhir. Wajah pucat pasi yang terbaring tak berdaya di atas tempat tidur. Sepasang mata orang tua itu menatapnya sayu berkaca-kaca, nyaris kehilangan sinar. Tangan keriput sang ayah terasa gemetaran ketika meraih lengannya, ”Ling, seandainya saja papa bisa menonton barongsai sebelum mati…”
Suara itu nyaris berbisik, tapi masih begitu jelas terngiang di telinganya. Ai Ling menangis terisak-isak di depan makam. Wewangian asap dupa terasa sesak di paru-parunya. Ia menggigit bibirnya keras-keras. Entahlah, dalam pandangannya yang mengabur oleh air mata, ia merasa seolah-olah melihat asap dupa gaharu yang meliuk-liuk liar di depan nisan itu menjelma jadi tarian barong. Seperti juga hari itu, ia tak pernah lupa, bagaimana asap hitam tebal yang membumbung dari ruko suaminya di bilangan Pasar Minggu bagai berarak perlahan menuju langit ketiga puluh tiga…***
*) Gaten, Yogyakarta, 2007-2010
: Mengenang Gus Dur
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar