Kamis, 05 Agustus 2010

Merangkul Tabu, Meretas Kekerasan Tersamar

Tren Perjuangan Perempuan dalam Sastra
R. Sugiarti
http://www.sinarharapan.co.id/

Hari perempuan sedunia yang jatuh tanggal 8 Maret lalu diperingati dengan cukup provokatif. Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat perempuan di Jakarta menuntut pemerintah dan DPR untuk memprioritaskan hak dan kesejahteraan perempuan (SH, 9 Maret 2002). Bulan ini, perempuan Indonesia pun merayakan Hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April setiap tahun. Esensi kedua hari penting bagi perempuan adalah sama: memperjuangkan hak-hak perempuan di segala bidang.

Lalu bagaimana perjuangan perempuan di bidang sastra? Ternyata telah muncul fenomena pemberontakan perempuan dalam sastra yang bisa kita sebut spektakuler.

Selama ini, jumlah buku sastra Indonesia boleh dibilang sangat sedikit, apalagi bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Lebih parahnya lagi, karya fiksi yang sedikit ini tak banyak yang mempunyai kekuatan untuk menarik perhatian publik. Hingga akhirnya muncul Ayu Utami dengan Saman dan Larung-nya serta Dewi Lestari dengan Supernova.

Membakar Kebekuan

Fiksi sastra yang ditulis kedua pengarang perempuan ini mampu membakar kebekuan gerilya sastra sekaligus meruntuhkan tembok pembatas antara sastra pop dan sastra serius. Keduanya mampu menjadi trend dan dibaca oleh kalangan yang kompleks, mulai dari mereka yang gemar berburu buku-buku porno stensilan hingga doktor-doktor ilmu sastra yang mejanya penuh dengan naskah-naskah seminar. Lalu apa resep mereka dalam mendobrak kebekuan sastra selama ini?

Yang jelas, salah satu kesamaan menonjol dari sisi feminisme kedua novelis perempuan ini adalah keberanian mereka dalam mengemas cinta dan seks dalam bungkus yang benar-benar berbeda. Mereka berani melawan tabu yang selama ini menjadi magma terpendam pada masyarakat yang sarat dengan konvensi-konvensi budaya. Seks menarik justru karena melanggar kenormalan dalam masyarakat tradisional. Melalui perlawanan terhadap tabu ini, mereka meretas fenomena kekerasan tersamar terhadap perempuan, terutama dalam hal seks.

Kehadiran buku-buku ini bagai oase bagi masyarakat yang ”kepanasan” oleh etika timur yang kuat tetapi tak berani melawannya secara frontal. Mengalir deras di tengah masyarakat yang dilanda proses diseminasi sosial yang semakin cepat. Beradaptasi dengan terjadinya proses pelipatgandaan dan penyebaran secara sosial tanda, citra, informasi, dan benda-benda komoditas, khususnya yang bermuatan erotis.

Tanpa disengaja mereka menolak tegas kultur yang menekan eksistensi seks perempuan timur sekaligus mengejek terma dalam masyarakat komoditas, di mana tubuh (body), tanda-tanda tubuh (body signs) serta potensi libido di balik tubuh (libidinal value) menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya komoditas, yang membentuk semacam sistem libidonomics yaitu sebuah sistem ekonomi yang mengeksploitasi setiap potensi libido, semata untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Mereka mampu merepresentasikan seks sebagai eksistensi keperempuanannya, bukan sebagai komoditas masyarakat kapitalis semata.

Eksistensi Seks

Dalam Larung, Ayu menunjukkan keberanian dalam bercerita tentang eksistensi seks perempuan, lewat diary tokoh Cok, tahun 1996: ”Cerita ini berawal dari selangkangan teman-temanku sendiri: Yasmin dan Saman, Laila dan Sihar” (hal.77).

Cerita tentang perselingkuhan Yasmin dan Saman serta kecintaan Laila pada Sihar membawa tokoh-tokohnya bertualang di negeri Paman Sam. Sebuah negeri yang bisa jadi dianggap sebagai media pelarian ketertekanan seksual sang tokoh pada kultur yang membesarkannya. Mungkin karena Amerika–lah yang dianggap negeri yang mampu mewakili representasi eksistensi seksual perempuan. Di mana industri seks-nya melimpah, bahkan ada jenis komoditi yang menjanjikan seks-seks ilegal, bahkan abnormal semisal bondage sadomasochis (seks sadis), voyeurism (ngintip), amateur, mature dan older (orang bangkotan), sampai surveillance sex (dokumentasi seks orang-orang biasa)

Problema-problema seks perempuan, yang selama ini menjadi endapan dalam masyarakat Indonesia yang patriarkal, pecah dalam tingkah laku tokoh-tokoh novel ini. Tokoh Yasmin—yang sempurna, cantik, cerdas, kaya, beragama, berpendidikan, bermoral pancasila, setia pada suami—kembali menemukan kebebasan seksualnya bersama Saman, sang bekas frater.

Itu karena suaminya, Lukas, tak pernah mengolah kekejaman pada dirinya meskipun hanya sebatas imajinasi. Lukas lebih tertarik pada eksplorasi posisi fisik daripada eksplorasi relasi psikis seperti yang dikhayalkan Yasmin. Padahal Yasmin merasa berbeda dengan para perempuan yang mengukuhkan patriarki. Melokalisasinya pada fantasi seksual. ”Mereka menerima dominasi pria sebagai suatu ide yang total dan murni, suatu ideal. Aku menerimanya dan melakukan seksualitas terhadapnya. Mereka menerimanya sebagai nilai moral, aku sebagai nilai estetis.” (hal. 160)

Kerinduan Yasmin kepada Saman lebih karena perasaan superioritasnya terhadap laki-laki ini. ”…Kamu biarkan aku mengikatmu pada ranjang seperti kelinci percobaan. Kamu biarkan jari-jariku bermain-main dengan tubuhmu seperti liliput mengeksplorasi manusia yang terdampar. Kamu biarkan aku menyakitimu seperti polisi rahasia mengintrogasi mata-mata yang tertangkap. Kamu tak punya pilihan selain membiarkan aku menunda orgasmemu atau membiarkan kamu tersiksa tak memperolehnya. Membuatmu menderita oleh coitus interuptus yang harfiah.” (hal. 157)

Eksistensi seksualitas perempuan Indonesia yang selama ini terkungkung budaya patriarki dilibas habis oleh Ayu Utami. Hanya saja, seks yang digambarkan Ayu bukanlah teknik persetubuhan melainkan pemaparan problema yang bisa jadi dialami banyak wanita.

Misalnya cerita tentang bagaimana Cok melepas keperawanannya. Bagaimana mitos kesucian keperawanan membuat Cok membiarkan sang lelaki bermasturbasi dengan payudaranya. ”… tapi membiarkan lelaki masturbasi dengan payudara kita bukanlah pengalaman yang menyenangkan kalau terus-terusan. …Lalu kupikir-pikir, kenapa aku harus menderita untuk menjaga selaput daraku sementara pacarku mendapat kenikmatan? …Aku pun melakukannya, senggama.”

Ejekan atas keperawanan yang menjadi momok pengaturan laki-laki terhadap perempuan dilakukan Ayu melalui tokoh Laila meskipun sosok ini mampu melawan gender keperempuanannya. Semasa sekolah dia paling banyak berlatih fisik. Naik gunung, berkemah, turun tebing, cross country, dan lain-lain jenis olahraga kelompok yang kebanyakan anggotanya lelaki. Juga, tidur bersisian dengan kawan lelaki dalam tenda dan perjalanan. Tapi dialah yang paling terlambat mengenal pria secara seksual. Pada masa itu ada rasa bangga bahwa dia memasuki dunia lelaki yang dinamis.

”…tidak semua anak perempuan bisa melakukan itu, menyangkal hal-hal yang lembek, dan ia merasa ada supremasi pada dirinya.” (hal. 118)

Ternyata supremasi itu tidak dapat dibawa tokoh Laila sampai dewasa. Ia tak bisa masuk ke dalam dunia pria dewasa. Tapi keperawanan Laila yang terjaga —seperti layaknya yang diagungkan budaya Indonesia—justru menjadi problema. Ekspresi libido seks Laila terhambat. Lelaki takut padanya. Keperawanan dinilai sebagai tanggung jawab. Itu sebabnya ia tak bebas ketika telah sama-sama telanjang dengan Sihar. Tak pernah terjadi persetubuhan yang sebenarnya.

Peran tokoh Shakuntala (Tala) yang androgini dimunculkan Ayu secara estetis sebagai representasi kebebasan untuk memilih. Kerinduan Laila pada Sihar membuatnya mampu melihat faktor lelaki pada diri Tala. Gabungan sosok Saman dan Sihar, dua lelaki yang dicintai Laila muncul pada diri Tala. Hingga akhirnya Laila melupakan Tala sebagai perempuan. Ketertarikan Laila ditanggapi Tala sehingga dalam Larung ini muncul sebuah relasi seksual di mana lelaki benar-benar diabaikan.

Dalam hal ini Ayu masih mencoba membela kaumnya. Tala bukanlah seorang androgini yang maniak. Ia hanya ingin menyelamatkan Laila. ”…Kamu berbaring di sisiku dan kulihat air mengalir dari matamu ke arah rambut. …Kupeluk kamu. Aku mengelus di punggung dan mencium di kening. Dan aku tak pergi. Aku tahu kamu belum pernah mengalami orgasme. Juga ketika bercumbu dengannya. Kini tak kubiarkan kamu menemani lelaki itu sebelum kamu mengetahuinya. Sebelum kamu mengenali tubuhmu sendiri.” (hal. 153)

Penggambaran tentang dunia lesbian, yang benar-benar belum bisa diterima kultur Indonesia dilakukan Ayu dengan metafora yang sangat indah.

Jebakan Politik Tubuh

Memang keberanian Ayu Utami dalam Saman dan Larung, juga Dewi Lestari dalam Supernova-nya, bisa menjerumuskan mereka dalam jebakan politik tubuh (body politics), yang terurai dalam tiga terma.

Pertama, ”ekonomi politik tubuh” (political economy of the body) yaitu bagaimana tubuh digunakan dalam berbagai kerangka relasi sosial dan ekonomi, berdasarkan konstruksi sosial atau ”ideologi” tertentu. Persoalan politik tubuh berkait dengan eksistensi tubuh dalam kegiatan ekonomi-politik, dilihat dalam berbagai relasi sosial.

Kedua, ”ekonomi politik tanda (tubuh)” (political economy of signs) yaitu bagaimana tubuh diproduksi sebagai tanda-tanda di dalam sebuah sistem ekonomi pertandaan (sign system) masyarakat informasi yang membentuk citra, makna, dan identitas tubuh di dalamnya. Politik tanda berkaitan dengan eksistensi tubuh (pria atau wanita) yang dieksploitasi sebagai tanda atau komoditas tanda (sign comodity) dalam berbagai media.

Ketiga, ”ekonomi politik hasrat” (political economy of desire) yaitu bagaimana sistem ekonomi menjadi sebuah ruang berlangsungnya pelepasan hasrat dari berbagai kungkungan, dan penyalurannya lewat berbagai kegiatan ekonomi (produksi, distribusi, konsumsi). Dalam ekonomi-politik hasrat, sifat-sifat rasionalitas ekonomi dikendalikan sifat-sifat irasionalitas hasrat.

Ketika kreativitas ekonomi dikuasai dorongan hasrat dan sensualitas, yang tercipta adalah sebuah ”budaya ekonomi”, yang dipenuhi berbagai strategi penciptaan ilusi sensualitas, sebagai cara untuk mendominasi selera (taste), aspirasi, dan keinginan masyarakat dieksploitasinya. Sensualitas dijadikan kendaraan ekonomi dalam rangka menciptakan keterpesonaan dan histeria massa (mass hysteria) sebagai cara mempertahankan kedinamisan ekonomi.

Akibatnya, apa yang beroperasi di balik aktivitas ekonomi adalah semacam ”teknokrasi sensualitas” (technocracy of sensuality)—di dalamnya nilai-nilai budaya ekonomi ditopengi tanda-tanda sensualitas, yang menciptakan semacam ”erotisasi kebudayaan”. Berbagai bentuk khayalan lewat voyeurisme diciptakan, yang mengondisikan orang memuja ”citra tubuh”.

Bisa jadi ekspresi kebebasan dua perempuan pengarang ini dijadikan media penumpahan keliaran libido laki-laki. Ekspresi perlawanan terhadap kekerasan tersamar dalam ranah seks perempuan, justru menjadi perangsang laki-laki untuk membacanya. Bukan untuk menyelami ketertekanan perempuan tapi sebagai media eskapisme erotisme otak mereka.

Namun, memang tak gampang meretas kultur yang telah tertanam kuat. Yang jelas, setidaknya mereka berdua telah memulainya dan berhasil menarik perhatian publik. Setapak langkah perbaikan telah dimulai dari dunia sastra.

Penulis adalah Relawan pada UNICEF Indonesia, Pengamat Perempuan & Budaya.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir