Maman S. Mahayana
Hasanuddin WS, dkk. Ensiklopedi Sastra Indonesia (Bandung: Titian Ilmu, 2004, xiii + 889 halaman)
Dibandingkan kamus yang penjelasan tentang entrinya lazim dalam bentuk sinonim atau keterangan ringkas, ensiklopedi menguraikannya secara luas. Malahan, sering kali penjelasannya itu cenderung lebih rinci dan mendalam. Itulah yang membedakan kamus dengan ensiklopedi. Demikian juga dengan Ensiklopedi Sastra Indonesia ini.
Penjelasan setiap entrinya hampir mendekati itu. Bahkan, beberapa novel yang masuk sebagai entri ensiklopedi ini, dibuat ringkasannya, dan disertakan pula gambar jilidnya. Dengan cara itu, kita tidak hanya akan mengetahui gambar jilid dan data publikasi tentang sebuah novel, tetapi juga mengetahui isi ringkas novel bersangkutan. Cukup menarik memang, meski tak ada penjelasan, mengapa hanya beberapa novel saja yang dibuat ringkasannya. Atas dasar apa, hanya beberapa novel saja yang dibuat ringkasannya. Sebuah masalah yang sebenarnya tidak perlu terjadi jika penyusun ensiklopedi ini menyampaikan pertanggungjawaban sebagaimana yang seharusnya dilakukan.
Di dalam pengantar, Redaksi (penyusun) mengatakan, bahwa “Entri yang dihimpun dan dijelaskan secara keseluruhan berkaitan dengan kesusastraan Indonesia yang dapat dikategorikan pada tiga kelompok, yaitu (1) istilah sastra, (2) tokoh sastrawan dan ahli sastra, dan (3) karya sastra” (hlm. ix). Ternyata, di dalamnya, termuat juga nama-nama lembaga –termasuk penerbit, dan surat-surat kabar atau majalah yang dianggap penting atau memberi kontribusi bagi perkembangan sastra Indonesia. Jadi, secara keseluruhan, ensiklopedi ini menghimpun berbagai hal yang berkaitan dengan dunia sastra. Dalam sistem sastra, wilayah ini mencakupi pengarang, teks sastra, lembaga penerbitan –termasuk media massa, dan pembaca (kritikus).
Dibandingkan buku sejenis yang terbit sebelumnya, Ensiklopedi Sastra Indonesia (ESI), memang paling tebal. Dengan jumlah 2820 entri pokok yang beberapa di antaranya dilengkapi dengan entri turunan, maka dapat dipastikan, ESI melampaui jumlah entri yang terdapat dalam buku leksikon atau kamus sastra Indonesia. Dilihat dari sudut ini, tentu saja ESI menempati kedudukan penting. Mengingat ketebalan dan jumlah entrinya itu, buku ini tampak begitu gagah, dan sepertinya juga berwibawa. Ternyata ketebalan dan penambahan jumlah entri itu dimungkinkan dengan masuknya istilah drama dan teater –yang boleh jadi bersumberkan Istilah Drama dan Teater yang disusun Riris K. Sarumpaet (1977)—serta istilah filologi dan sastra tradisional. Maka, dalam ESI kita akan menemukan beberapa ringkasan hikayat dan contoh-contoh pantun.
Hal yang juga penting disampaikan buku ini adalah penyusunannya yang alfabetis itu termasuk nama-nama sastrawan. Dalam hal ini, urut abjad nama sastrawan, kritikus atau peneliti sastra, tidak diawali dengan nama marga atau nama belakang. Entri Merari Siregar (hlm. 507), misalnya, tidak ditempatkan dalam entri yang dimulai dengan huruf S (Siregar), melainkan huruf M (Merari). Begitulah urutan penulisan entri nama-nama orang, secara konsisten dimulai dengan nama depan, dan bukan nama marga, nama suami, atau nama belakang, seperti yang lazim digunakan secara internasional dalam konvensi penulisan nama. Sebuah cara yang menurut penyusunnya dapat memudahkan pencarian entri yang menyangkut nama orang.
Sementara itu, sejumlah istilah atau konsep sastra yang dimasukkan sebagai entri ESI, dijelaskan berikut contohnya dalam karya sastra Indonesia. Tujuannya, agar pembaca Indonesia dapat mengkaitkannya dengan karya Indonesia sendiri. Dengan demikian, istilah atau konsep yang berasal dari khazanah sastra asing itu, dapat lebih dipahami lantaran adanya cantelan yang jelas bersumberkan khazanah sastra Indonesia. Mengenai hal ini, dalam beberapa kasus, tampak juga penyusun kesulitan menyertakan contoh kasus yang berasal dari khazanah sastra Indonesia. Untuk entri yang seperti itu, terpaksa kita menerima begitu saja penjelasannya, meski kadangkala, agak kabur juga penjelasannya.
Dibandingkan Buku Pintar Sastra Indonesia yang disusun Pamusuk Eneste (Jakarta: Kompas, 2001; xx + 290 halaman) yang memuat 1105 entri atau Leksikon Sastra Indonesia yang disusun Korrie Layun Rampan (Jakarta: Balai Pustaka, 2000; xv + 576 halaman) yang memuat 1382 entri, ESI dilihat dari bentuk fisik dan jumlah entrinya (2820 entri), tentu saja tampil lebih memukau. Secara sepintas, kesan itulah yang segera muncul saat memandang kehadiran ESI. Meskipun demikian, tentu saja kita tidak perlu terburu-buru silau pada jumlah entri dan bentuk fisiknya. Ada konvensi yang berlaku dalam penyusunan ensiklopedi. Ada ketentuan-ketentuan yang idealnya patut diperhatikan oleh para penyusun ensiklopedi. Konvensi atau ketentuan itu, tidak hanya berkaitan dengan teknis penulisan, melainkan juga kriteria dan dasar pertimbangan masuk-tidaknya kata atau istilah tertentu sebagai entri. Maka, ketika konvensi dilanggar, seketika itulah eksiklopedi itu seperti sengaja mengundang masalah. ESI, tak pelak lagi adalah contoh yang baik, bagaimana pelanggaran terhadap konvensi, justru dapat melahirkan banyak masalah.
Masalah pertama menyangkut pertanggungjawaban. Dalam banyak kamus atau ensiklopedi modern, pertanggungjawaban adalah hal yang sangat penting. Dari sanalah penyusun mempunyai dasar, kriteria, atau pertimbangan tentang apapun yang akan menjadi entrinya. Pertanggungjawaban adalah titik berangkat redaksi mempertimbangkan, memilih, dan menyusun segala hal yang akan menjadi entri. Di sinilah, argumen harus dimunculkan. Dalam kasus ESI, patut kita mempertanyakan, mengapa sejumlah entri yang sebenarnya tidak ada hubungan langsung dengan kesusastraan, mesti ada di sana. Sebutlah, misalnya, kata doa, dogma, doktrin (hlm. 222—3), gambang, gamelan (272) atau generalisasi (279). Apa alasannya kata-kata itu dijadikan entri, adakah kaitan langsung dengan bidang sastra?
Masih berkaitan dengan soal pertanggungjawaban, mengapa begitu banyak istilah drama masuk sebagai entri, sementara dramawannya sendiri tak lebih banyak dari apa yang dicatat Pamusuk Eneste dan Korrie Layun Rampan. Mengapa pula ringkasan novel Kasih tak Terlarai (hlm. 397—400) yang tipis itu (61 halaman), jauh lebih panjang dibandingkan ringkasan Keluarga Gerilya (hlm. 408) yang tebalnya 300 halaman atau beberapa novel lain yang dijadikan entri ESI. Sesungguhnya, penyusun punya hak penuh untuk memasukkan hal apapun. Tetapi hak itu berkaitan pula dengan bidang yang dipilihnya. Di situlah secara langsung melekat pertanggungjawaban.
Masalah kedua menyangkut sumber yang digunakan. Dapat dipastikan, tak ada satu pun ensiklopedi yang penyusunannya tidak menggunakan sumber rujukan. Ensiklopedi Sunda (Jakarta: Pustaka Jaya, 2000, xv + 719 halaman) yang disusun Ajip Rosidi, dkk., misalnya, menggunakan sumber rujukannya dengan memanfaatkan 10 buah naskah lama berbahasa Sunda, 12 majalah, suratkabar, dan almanak, dan 190 buku. Hasilnya, hampir 4000 entri tercatat di sana. Sementara itu, Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern (Jakarta: Pusat Bahasa, 2003, xii + 271 halaman) yang disusun Tim Pusat Bahasa, meskipun hanya memuat 151 entri, mereka mendasari penyusunannya dengan menggunakan 14 artikel dari suratkabar dan majalah, dan 51 buku sebagai sumber rujukannya. Bandingkanlah dengan buku Buku Pintar Sastra Indonesia, Pamusuk Eneste yang menggunakan 35 sumber dan buku Leksikon Sastra Indonesia, Korrie Layun Rampan yang menggunakan 83 sumber.
Lalu berapa sumber yang digunakan penyusun ESI ini? Sungguh mengagetkan! Buku yang tebalnya 889 halaman yang memuat 2820 buah entri, hanya menggunakan 13 sumber rujukan (5 kamus, 3 antologi, 2 buku teks, dan masing-masing satu buku leksikon, ringkasan roman, dan sejarah sastra). Satu langkah yang sulit dipahami. Masalahnya, ESI disusun seorang gurubesar (Prof. Dr. Hasanuddin WS., M.Hum.) dengan empat gurubesar (Mursal Esten, Yus Rusyana, Suminto A. Sayuti, dan Riris K. Toha-Sarumpaet) bertindak sebagai Redaktur Ahli Penyelia. Bagaimana sesungguhnya peran keempat gurubesar itu?
Dalam tradisi penyusunan ensiklopedia di Amerika atau Eropa, Ketua Tim Penyusun atau Pemimpin Redaksi (Managing Editor), kerap bertindak sebagai “manajer” dan sekaligus editor. Ia mengumpulkan para ahli, memintanya menulis mengenai biografi seseorang atau bidang tertentu, pengumpul bahan yang ditulis para ahli itu, dan menyusun kembali semua bahan, mengurutkannya secara alfabetis atau berdasarkan periode jika berpretensi menyusun sejarah nengenai satu bidang tertentu. Maka, satu entri atau satu bidang ilmu, bisa saja disusun oleh satu orang dengan sumber rujukan yang bertumpuk. Periksa saja, delapan jilid buku British Writers (1979), sebuah buku yang memuat biografi dan pembahasan karya-karya sastrawan Inggris. Untuk biografi William Shakespeare (I: 295—330), misalnya, Stanley Wells, penyusunnya, menggunakan lebih dari 150 sumber rujukan. Demikian juga, biografi Rudyard Kipling (VI: 165—206), A.G. Sandison memerlukan sekitar 100 sumber rujukan.
Hal yang sama sesungguhnya pernah dilakukan Prof. Dr. Mr. T.S.G. Mulia (Jakarta) dan Prof. Dr. K.A.H. Hidding (Leiden) atas tiga jilid Ensiklopedia Indonesia (Bandung: NV W. Van Hoeve, ?). Untuk bidang yang berkaitan dengan agama Islam, meskipun itu ditulis para ahli (Indonesia), Mulia dan Hidding meminta M. Natsir bertindak sebagai penanggung jawabnya. Sejumlah entri lain diserahkan penyusunannya kepada ahlinya di bidang itu. Demikian, mengingat ensiklopedia disiapkan sebagai buku rujukan yang dapat diandalkan, maka otoritas penyumbang tulisan (kontributor) sangat menentukan kewibawaan ensiklopedia yang bersangkutan.
Bagaimanapun juga sumber rujukan bagi penyusunan kamus atau ensiklopedi merupakan hal yang mutlak penting. Dengan cara itu, penyusun tidak hanya ikut menambahkan dan melengkapi apa yang telah dilakukan orang sebelumnya, tetapi juga memperbaiki, merevisi, dan menyempurnakannya jika di dalamnya terdapat kesalahan atau kekeliruan yang tak perlu. Sebagai contoh, periksa saja apa yang dilakukan Pamusuk Eneste atas bukunya, Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (Gramedia, 1982: I; 1983: II) yang memuat 309 entri. Pada cetakan berikutnya (Djambatan, 1990), terjadi tambahan entri menjadi 582 entri, dan pada edisi keempat (Kompas, 2001) yang judulnya berganti menjadi Buku Pintar Sastra Indonesia, Pamusuk melakukan revisi di sana-sini dengan penambahan entri menjadi 1105 entri.
Korrie Layun Rampan yang menyusun Leksikon Susastra Indonesia (Balai Pustaka, 2000) memperlakukan buku Pamusuk sebagai rujukan utamanya. Dengan dasar itu, ia melakukan semacam perbaikan dan penambahan entri berikut penjelasannya. Maka, entri dalam buku Korrie berjumlah 1382 dengan perincian 1231 entri nama orang (sastrawan, kritikus, peneliti dan penerjemah) dan 151 istilah. Demikianlah, setiap buku sejenis yang terbit kemudian, mutlak perlu tidak mengabaikan buku yang terbit sebelumnya. Dengan cara itu, ia akan dapat melakukan revisi, perbaikan, dan penambahan, termasuk di dalamnya melengkapi data dan keterangan mutakhir.
Yang dilakukan Ahmadun Y. Herfanda, dkk. dalam menyusun Leksikon Sastra Jakarta (Yogyakarta: Bentang Budaya dan Dewan Kesenian Jakarta, 2003, xi + 258 halaman) juga seperti itu. Meski tak menyebutkan buku Pamusuk Eneste dan Korrie Layun Rampan sebagai rujukan utamanya, Ahmadun Y. Herfanda, dkk. mendasari penyusunannya atas kedua buku itu. Maka, terhimpunlah nama-nama sastrawan, kritikus, peneliti, dan penerjemah yang lahir atau berkarier di Jakarta dan sekitarnya sebanyak 489 nama, ditambah dengan 13 komunitas sastra, tanpa menyertakan penerbit, suratkabar dan lembaga tertentu. Dengan demikian, jelas bahwa sumber rujukan sangat penting dalam penyusunan buku sejenis itu. Jika ESI tidak mengabaikan sumber-sumber penting seperti buku-buku antologi, kamus, sampai ke buku yang disusun E.U. Kratz, Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah: Drama, Prosa, Puisi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988: x + 903 halaman), niscayalah jumlah halanan dan entrinya akan membengkak jauh lebih besar, dan niscaya pula menjadi lebih berwibawa.
Masalah ketiga menyangkut konsistensi. Jika masalahnya sekadar salah ketik, tentu kita dapat memakluminya sebagai kelalaian manusiawi, meski dalam ESI kelalaian seperti ini cukup menonjol. Periksa misalnya, entri Taufiq Ismail (hlm. 793—5). Secara konsisten kita akan menjumpai satu nama dengan dua penulisan berbeda, yaitu Taufiq Ismail dan Taufik Ismail. Ini hal sepele, tetapi penting mengingat penulisan Taufiq (dengan q) dan Taufik (dengan k) sama banyaknya. Sebagai buku yang diharapkan menjadi rujukan, tentu saja cara penulisan yang seperti itu akan membingungkan pembaca.
Persoalan konsistensi itu juga berkaitan apa yang disebut sebagai rujuk silang. Satu entri yang sama yang menggunakan rujuk silang, mestinya tidak diberi keterangan yang berbeda. Dan itu terjadi cukup banyak. Periksa misalnya, entri alinea (hlm. 41) yang di akhir penjelasannya dikatakan, bahwa nama lain alinea adalah paragraf dan perenggan. Tetapi lihatlah entri paragraf (hlm. 587—9). Ternyata keterangannya berbeda dengan keterangan yang diberikan pada entri alinea. Bahkan, dalam entri paragraf, disertakan pula 14 entri turunannya, mulai dari Paragraf Argumentasi sampai Paragraf Sebab-Akibat. Lalu carilah entri perenggan, dan kita akan menjumpai kesia-siaan belaka. Hal yang sama juga terjadi pada entri dulce et utile (hlm. 236) yang keterangannya agak berbeda dengan utile et dulce (hlm. 826). Untuk dua kasus entri alinea dan dulce et utile, sesungguhnya penyusun akan lebih aman jika menggunakan rujuk silang dengan mengatakan, lihat ….
Kelalaian seperti ini terjadi pula pada entri point of view ( 626—7) dan pusat pengisahan (hlm. 645) yang keterangannya agak menyesatkan. Perhatikanlah keterangan mengenai point of view berikut: “Istilah dari teori cerita atau naratologi yang menunjukkan kedudukan atau tempat berpijak juru cerita terhadap ceritanya. …” (hlm. 626). Bandingkan dengan keterangan mengenai pusat pengisahan berikut ini: “Dari istilah Inggris point of view dan istilah Perancis point of vue. Posisi pengarang di dalam cerita; dari sudut mana si pengarang melihatperistiwa yang terdapat di dalam ceritanya. …” (hlm. 645).
Cukup banyak kekeliruan seperti itu terjadi dalam sejumlah entri lain. Termasuk di dalamnya penjelasan mengenai entri yang bersangkutan. Entri feministis yang dikatakan sebagai “sastra dan studi sastra yang mengarahkan fokus kepada wanita dan hal-hal yang berhubungan dengan persoalan wanita. Aliran ini berkembang sejak tahun 60-an yang lahir sebagai protes terhadap dominasi pria, dan mencari identitas khusus seorang wanita. Di Indonesia boleh disebut nama-nama Marianne Katoppo, Nh Dini, Tuti Heraty, dan lain-lain.” (hlm. 261).
Selain terjadinya cukup banyak keterangan yang mengaburkan, beberapa kesalahan teknis terjadi pada penempatan foto, yaitu foto A.A. Bunggu yang tertukar dengan foto A.D. Donggo, dan foto Asep Sambodja yang tertukar dengan foto entah siapa.
***
Bahwa ESI menghadirkan cukup banyak kelalaian, tentu saja mesti disikapi secara sewajarnya. Beberapa nama penting yang tak dimasukkan ke dalam ESI, seperti Ida Sundari Husen dan Talha Bachmid (penerjemah), Iyut Fitra (penyair), Asma Nadya dan Lilimunir C (novelis), Linda Christanty (cerpenis), dan deretan sastrawan Riau serta para peneliti sastra Indonesia dari Malaysia, anggap saja itu pun sebagai kelalaian manusiawi. Kelaian yang juga terjadi pada nama Yus Rusyana, yang justru menjadi Redaktur Ahli Penyelia ESI ini. Oleh karena itu, bagaimanapun juga, patut kita berpikir positif dan menempatkan kehadiran ESI sebagai hal yang penting dan tentu saja memberi kontribusi yang tidak kecil bagi pencatatan dan pendokumentasian sastrawan Indonesia. Paling tidak, ESI telah cukup banyak memasukkan entri istilah drama, meski juga lalai mencatat nama Ratna Sarumpaet sebagai dramawan dan penulis drama. Niscaya, kelak kita akan melihat, ESI edisi revisi akan tampil lebih tebal, gagah, dan berwibawa.
Satu hal yang harus kita jadikan sebagai bahan sangat penting dari kehadiran ESI ini adalah sebuah pelajaran sangat berharga, bahwa ketergopohan dengan ambisi membuat monumen, cenderung menyisakan cacat yang tak perlu. Mencantumkan tokoh-tokoh penting, termasuk menteri sekalipun, bukanlah sekadar papan nama. Ada tanggung jawab moral dan tanggung jawab profesional di sana. Dalam konteks itu, kita seyogianya masih percaya, bahwa ESI edisi revisi akan segera terbit secara meyakinkan. Ia akan menjadi rujukan terpercaya bagi dunia sastra Indonesia di masa mendatang. Kita lihat saja nanti!
http://sastra-indonesia.com/2010/07/ensiklopedi-sastra-indonesia-tebal-dan-gagah/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar