Sunlie Thomas Alexander
http://suaramerdeka.com/
BAYANGAN nosfratu tak pernah dipantulkan oleh cermin. Karena itulah kau berkelit menjauh, ketika Ros, kucing manis itu —demikian kau selalu menggodanya— mencoba merengkuh tubuhmu. Hm, wangi parfumnya memang kelewat menggairahkan, nyaris memabukkan seperti aroma anyir darah…
Melangkah ke kain gordin merah tua yang tersibak lebar, dari kaca jendela kau melihat rintik gerimis yang masih berebahan di jalanan muka rumah kontrakan penari berpinggul molek itu semakin tipis, berpendar keperakan oleh cahaya lampu jalan dan satu-dua kendaraan yang sesekali melintas lewat. Sesaat kau termangu. Jalanan tiba-tiba saja terasa begitu asing dan mencemaskan bagimu. Entahlah, kau merasa seolah-olah melihat bayang-bayang neraka jahanam yang mengendap penuh ancaman, dengan lidah-lidah apinya seperti menari-nari girang di tembok bangunan. Kau menggeleng-geleng, mencoba mengusir bayangan pemandangan menakutkan itu dari benakmu. Ketika mendongak, kau menemukan bulan separo yang perlahan menyembur dari balik gumpulan awan. Membuatmu sedikit terperangah oleh suatu perasaan yang sulit dibahasakan. Hm, cukup lama kau menengadah, seakan mencari-cari sesuatu di keluasan langit yang mulai kembali cerah. Bintang-bintang kecil dengan sinarnya yang lembut mulai tampak lagi satu persatu. Ah, mereka yang tak berasal dari masa kini, tapi telah jauh melintasi ruang-waktu, menempuh jarak ribuan tahun cahaya untuk sampai ke matamu. Dari abad-abad silam, melampaui riwayatmu di dunia yang renta ini.
Tentunya kau mafhum, kalau malam akan segera berakhir dan kau harus segera pergi sebelum matahari terbit lagi. Atau sinarnya yang celaka akan menghanguskan tubuhmu jadi tebaran debu. Ah, kesunyian seperti mengunyah hatimu. Seandainya saja kalian bisa bersama sepanjang waktu, batinmu sambil menyeringai kecut. Tapi kau tahu itu mustahil. Bukankah setelah berabad-abad lamanya menanggung kutuk sebagai makhluk celaka yang mengepak keluar serupa kelelawar malang tatkala malam telah sempurna turun, kau cukup paham jika impian itu hanyalah semata-mata impian? Tak bakal ada seorang pun dari kaummu yang bisa melenggang di bawah hangatnya sinar matahari sampai kapan pun. Tidak dengan serum, atau ritual darah di bawah pancang salib hitam…
Oh, nosfratu yang celaka! Masih adakah yang kauharapkan dari kisah asmara, wahai makhluk sial yang selalu bermimpi berjalan di siang bolong? Kau mengusap wajahmu dan berpaling. Ah, kucing manis itu memang begitu memukau. Kini ia duduk merajuk di depan cermin yang tampak bergelombang oleh temaram lampu kamar. Bibirnya yang merah ranum tampak sedikit merengut. Dan rambut panjang legamnya tersibak memperlihatkan sebentuk leher putih jenjang yang begitu menggiurkan.
Kau ingin tertawa, selepas malam-malam yang kalian lewati bersama di kota yang sumpek ini. Ah, kota dagang yang seolah menyimpan kutuk sebagaimana kota-kota lainnya.
***
DUA bulan yang lalu kau mengenal kucing manis itu di sebuah klub malam di pinggiran kota, belum lama berselang setelah kau menginjakkan kaki di kota hibuk yang dibelah oleh sungai besar ini. Kala itu kau merasa begitu penat usai perjalanan jauh. Tak mudah menemukan tempat hiburan yang sesuai selera di kota ini meskipun kau punya banyak uang, kata seorang penjaga malam yang terkantuk-kantuk di simpang lorong dekat penginapanmu. Tapi malam itu, barangkali kau cukup menikmati suasana hingar-bingar penuh sesak di ruangan remang yang sesekali disambar kilatan cahaya aneka warna itu.
Orang-orang berjingkrak seperti kerasukan mengikuti hentakan musik remix. Bahu-bahu terbuka mulus, paha-paha licin mengkilap diterpa kelebatan lampu, dan leher-leher jenjang berkilau oleh peluh. Berkali-kali kau meneguk air liur, berusaha keras menekan hasrat dan rasa hausmu. Ah, aroma parfum bercampur alkohol dan bau keringat memang membuatmu semakin terlena.
Penari berpinggul molek itu ada di sana, berlenggak-lenggok indah di atas panggung bersama kelompok sexy dancers-nya. Kau begitu mengagumi tungkai kakinya yang panjang, terlebih pinggulnya yang sintal terbalut lingerie berwarna transparan. Gerakannya binal bak seekor kucing liar dengan mulut tak henti-hentinya mendesis dan lirikan mata yang begitu tajam seakan sedang mengintai mangsa. Sekilas membuatmu teringat pada Elvira, putri kucing hitam pasangan Count Dracula dalam legenda kuno. Perasaanmu terasa berdebar walau telah lama kau tak punya detak jantung.
Perlahan kau melangkah mendekati panggung. Musik semakin riuh reda. Cahaya-cahaya lampu kini mengalir seperti sungai. Menyulap seluruh ruangan menjadi hijau tosca. Seorang penari lain dari keempat sexy dancers di atas panggung yang semarak itu tampak membuka sebotol minuman. Buih alkohol membuncah ke udara seperti sambutan kemenangan dalam sebuah turnamen balap motor grandprix. Kucing manis itu menyambar botol dan melangkah gemulai ke tepi panggung. Sambil mengerling nakal ia menuangkan cairan merah dari botol ke mulut-mulut clubbers yang berdesakan ke bibir panggung.
Oh, matanya yang binal itu berkerdip tatkala melihatmu. Mata kalian bertatapan di tengah keriuhan serupa dua arus sungai yang bertemu. Tapi kesunyian seolah menggantung di udara yang pengap oleh asap rokok dan luapan keringat. Ia seperti menunggu dengan botol di tangannya, namun kau berhenti sekitar lima langkah dari bibir panggung. Terpana, kaget bercampur heran. Selama beberapa saat kau seolah-olah merasa melihat kekasihmu yang telah mengabu ratusan tahun silam hidup kembali.
Ya, itu dua bulan yang lalu. Dan kota ini belum sesumpek sekarang. Setiap kota yang kau singgahi, entahlah, semakin lama selalu saja kian memuakkan! Itulah sebabnya kau merasa dirimu tak ubahnya seorang pelarian dari sesuatu yang entah. Aha, sudah berapa lama kau resmi menjadi pengelana dari satu kota ke kota lain? Waktu terasa begitu nyeri. Tiba-tiba kau terbayang lagi pada sebuah kota kecil yang menganggu pikiranmu…
***
HM, kota kecil itu kau lihat di televisi menjelang subuh tiga hari yang lalu. Entah dalam sebuah film atau warta berita, kau sudah lupa. Agaknya kau tertidur di sofa ketika sedang mencoba mengingat-ingat di mana persisnya letak kota itu. Lagipula, hanya selintas lewat kota itu muncul di layar televisi. Tapi kau merasa tak asing dengan suasana malam kota kecil tersebut, semua pemandangannya terasa begitu akrab bagimu. Meskipun rasanya ada begitu banyak hal yang telah berubah di kota kecil itu dari yang dapat kau kenang, namun jelas kau mengenali sejumlah bangunannya, persimpangan jalan, juga sebuah patung lelaki berseragam perwira militer yang tampak kusam menyedihkan. Ah, sudah berapa lama? Dua tahun, lima tahun? Atau sudah belasan tahun? Apakah telah ratusan tahun berlalu sejak terakhir kali kau melihatnya? Mungkin saja.
Sia-sia kau meraih segenap ingatanmu. Walau telah berpikir keras, tak juga kau berhasil mengumpulkan lebih banyak kenangan tentang kota kecil itu. Kau merasa kesal dengan penyakit amnesiamu. Apakah kota kecil itu kota kelahiranmu? Atau barangkali sebuah kota di mana kau pernah tinggal selama bertahun-tahun? Bisa jadi kota itu hanyalah sebuah kota yang sempat kau lewati dalam perjalanan malammu. Ada begitu banyak kemungkinan, ada begitu banyak kebenaran.
Tapi entah kenapa, kau tak juga bisa mengenyahkan bayangan kota kecil yang kau lihat di televisi itu dari pikiranmu. Adakah sesuatu yang begitu menarik dari sekilas pemandanganóserupa lanskap dari jendela bus ituóyang sempat kau tangkap di layar kaca sambil menahan kantuk di sofa? Ah, sofa terkutuk! Mungkin lebih baik besok-besok kau tidur di peti jenazah seperti dongeng tentang nenek moyang kaum penghisap darah! Umpatmu dalam hati. Atau, lantaran kota itu memang diam-diam hidup dalam suatu kenangan indah yang telah mengabur di alam bawah sadarmu? Kau jadi semakin kesal.
Sungguh, kau tidak mengerti kenapa tiba-tiba merasa begitu merindukan kota kecil itu. Mendadak kota kecil itu jadi demikian menenteramkan dalam bayanganmu, setelah kota demi kota yang kau jelajahi. Apalagi kota yang gaduh ini, yang pada malam ini terasa lebih sumpek dari biasa. Oh, seandainya kau bisa mengingat sebuah petunjuk kecil saja tentang keberadaan kota kecil itu… Tentunya kau berharap membawa kucing manis itu ke sana. Di mana kalian mungkin bisa berbahagia untuk selama-lamanya seperti pangeran dan puteri dalam cerita anak-anak. Kau menyeringai kecut.
Perlahan kau mulai membayangkan sebuah rumah mungil dengan halaman rumput yang hijau. Ada anak-anak yang berlarian, berteriak-teriak kegirangan di ayunan bawah pohon. Ah, diam-diam kau merasa malu. Setelah sekian waktu lewat, ternyata kau kembali mengangankan kehidupan manusia yang hangat. Sebuah kehidupan yang wajar, tanpa hingar-bingar atau kesenyapan malam yang begitu mengiriskan. Adakah yang salah?
Kota kecil itu barangkali memiliki pantai yang molek dengan pasir putih. Atau sebuah pelabuhan mungil dengan kapal berwarna-warni, orang-orang yang ramah, makanan yang enak. Di mana kau tak usah lagi meringkuk dalam kegelapan di siang hari, yang membuat pemilik kamar sewaanmu kerap menaruh curiga pada pekerjaanmu. Kau tak bisa berhenti berkhayal. Sudah begitu lama kau tidak merasakan hangatnya sinar matahari di kulitmu, sudah begitu lama pula tak pernah menikmati makanan manusia yang wajar. Hm, sejak tubuh Sonia mengabu ratusan yang lalu di tangan para jahanam pemburu vampir, kau telah memutuskan berhenti menghisap darah manusia dan menggantikannya dengan darah binatang. Meskipun setiapkali kau masih suka tergoda melihat leher-leher putih mulus yang kau temui di berbagai tempat dan waktu.
Kau mafhum, semuanya hanya akan seperti mimpi. Dan di saat-saat begini, kau merasa dahagamu akan darah segar seolah tak tertahankan. Membuat gigimu bergemeletukan, sekujur tubuhmu terasa menggigil. Semakin kau berusaha bertahan, rasa dahaga itu semakin sulit dibendung, semakin menyiksamu. Malam memang begitu celaka!
Lantas, kenapa kau tidak menggigit leher jenjang kucing manis itu? Lalu kalian mungkin akan menjelma jadi sepasang makhluk malam yang penuh sukacita.
Ah, selalu saja kau terkenang pada Sonia yang malang.
***
KOTA mungil dalam lukisan kusam yang sudut-sudutnya sudah dimakan ngengat di dinding kamar sewaanmu itu jelas bukanlah kota kecil yang kau saksikan di layar televisi. Kota kecil itu mungkin tak ada lagi kini, entah telah menjelma sebuah metropolitan atau justru tinggal puing-puing masa silam. Tapi selama beratus tahun, kau masih saja membawa lukisan kota kecil tersebut ke mana pun kau pergi —seolah-olah dengan itu kau bertekad melawan amnesia.
Ya, di kota kecil itulah kau bertemu dengan Sonia. Kau memang tak pernah menghitung berapa lama sudah pastinya waktu berlalu. Tapi kau tak pernah melupakan tanggal kematianóah, kematian kedua yang abadiógadis yang begitu kau cintai itu, dan setiap hari itu tiba, kau selalu ingat menyalakan sebatang lilin untuk dirinya sembari berusaha mengenyahkan bayang-bayang neraka jahanam yang dengan kejam menyerbu pikiranmu. Ah, bukankah dulu kau pengikut Tuhan yang setia?
Apa salahnya jatuh cinta? Gadis itu begitu cantik, gadis tercantik yang pernah kau lihat. Kerap kau menatap lukisan kusam di dinding itu dengan nanar, memperhatikan rumah-rumah berbata merah dan ruas jalan yang pernah menjadi bagian terindah dalam hidupmu yang panjang dengan rasa sedih kelewat mendalam. Hanya lukisan kota kecil itulah yang tersisa, selalu menemanimu berkelana atau meringkuk dalam keremangan ruangan.
Mungkin saja penduduk kota kecil dalam lukisan kusamóyang tak seberapa populasinya itu sejak kecil sudah dapat menerka takdir mereka, yang sebagaimana orang tua mereka: besar, bekerja dan kemudian meninggal di kota terpencil itu. Semuanya hanya seperti roda, bersiklus dari generasi ke generasi. Bila tidak membuka toko sourvenir, mereka menjajakan makanan di pinggir jalan atau menjadi pemandu bagi para pelancong. Beberapa di antaranya membuka atau bekerja di penginapan, dan sejumlah gadis muda diam-diam menjadi perempuan penghibur. Tapi kau yang pada mulanya datang sebagai seorang pelancong, tentunya tak pernah dapat meraba takdirmu, tak juga percaya kalau nasib manusia bisa diramalkan lewat bola kristal dan kartu-kartu seperti halnya penduduk kota kecil itu.
Hmm, sampai kau bertemu dengan Sonia, seorang gadis beraksen daerah Selatan yang tiba di kota kecil itu beberapa hari setelah kedatanganmu. Dan segera jatuh hati pada kecantikan, kebeliaan dan kelembutannya. Ah, siapa duga, ia menggigit lehermu pada malam pertama kalian bercinta…
Sejak itu semua memang berubah. Tak ada lagi siang hari, tak ada lagi hangatnya sinar matahari, tak ada lagi bayangan di cermin. Namun kalian lewatkan malam demi malam untuk bercinta, dan akhirnya memutuskan untuk menetap di kota kecil itu —menjadi teror bagi para penduduk dan pelancong yang sial. Apakah kau menyesal?
”Kau sudah janji untuk bersamaku selamanya kan? Tak akan peduli siapa diriku dan dari mana asalku?” tanya gadis menatapmu dengan sayu.
***
YA, tak ada lagi yang tersisa selain kenangan pedih dan lukisan tua kota kecil ituÖ
Kalau saja para jahanam pemburu vampir itu tak pernah datang, mungkin kalian akan senantiasa bersama selamanya. Hingga tak seorang pun dari penduduk kota kecil itu yang tersisa dan tak ada lagi pelancong yang bertandang. Oh, sampai lonceng pengadilan terakhir berdentang!
Balik ke waktu sekarang, kau melihat Ros masih duduk di depan cermin meja riasnya. Di depan rumah, gerimis sudah reda. Tapi jalanan masih saja terasa begitu asing dan mencemaskan. Ingin sekali kau mendekap kucing manis itu dan menceritakan segalanya tentang dirimu kepadanya. Ya, segalanya! Namun kau hanya berdiri saja di ambang jendela, membiarkan malam terus beranjak. Kesedihan seolah mengental dalam kamar yang temaram ini.
Kemudian entahlah, kau merasa wajah cantik yang menghadap cermin lonjong itu semakin mirip dengan Sonia. Ah, serupa itukah ekspresi wajah vampir jelita tersebut pada malam terakhirnya ketika merajuk memintamu keluar mencari seorang bayi merah? Seharusnya kau tidak pergi, seharusnya kau tidak meladeni dahaga laknatnya malam itu. Bukankah alam kegelapan sebetulnya telah mengirimkan isyarat-pertanda berupa ribuan kelelawar yang tiba-tiba memenuhi langit sejak senja jatuh? Yang membuat para penduduk kota kecil itu begitu tercengang sekaligus ketakutan.
Tatkala kau kembali menjelang subuh, kau hanya temukan rumah tempat kalian berdiam telah tinggal puing-puing membara. Dan tubuhnya… Tubuhnya tanpa sisa. Selain bayangan sosok hangus dan liontin emasnya yang putus di atas hamparan rumput di halaman. Ratusan tahun telah berlalu, tapi kau merasa kedua matamu kembali berkaca-kaca. Ai, kau jadi menyesal telah menguburkan liontinnya di sebuah bukit sebelah timur kota kecil itu sebagai makam bagi Sonia.
Kau melirik Ros, kucing manis itu, dan cermin di hadapannya yang takkan pernah memantulkan bayanganmu, silih berganti dengan mata nanar.
”Aku ingin kau menikahiku…,” terngiang lagi olehmu kata-katanya yang memeras. Kata-kata yang entah telah berapa kali dibisikannya dalam dua minggu terakhir ini. Kau semakin bimbang, apakah akan memberikan jawaban padanya sekarang atau segera pergi meninggalkannya sebelum matahari terbit. Dari warna langit yang tampak di luar jendela, kau tahu tak lama lagi fajar akan menyingsing. Ah, bayangan bulan telah memudar.
Tentunya kau takkan hijrah dari kota pengap ini untuk melanjutkan jalan hidupmu tanpa membawanya bukan?
Palembang-Yogyakarta, Juli-Oktober 2008
/cerita buat dahlia
Catatan: Nosfratu: vampir, drakula
(Judul yang sama pernah digunakan Bre Redana untuk sebuah cerpennya)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 09 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar