Selasa, 09 Maret 2010

Ayah Sering Mencuri Lipstik Ibu

Indra Tranggono
http://suaramerdeka.com/

AKU sering melihat Ayah mencuri lipstik Ibu untuk memerahkan bibirnya semerah bibir Ibu. Aku juga sering melihat dia mengoleskan pemerah pipi dan eye shadow, hingga wajahnya tampak lebih cantik dari wajah Ibu. Diam-diam, Ayah pun sering memakai BH Ibu dan menyum­pal­nya dengan gumpalan kain, hingga dadanya tampak padat berisi. Tak ketinggalan, Ayah memakai wig blonde Ibu, memadunya dengan gaun hitam dan blus war­na musim semi. Ayah pun ber­­putar-putar di depan cermin, mengagumi pe­nampilannya.
Sesudah ”upacara” itu selesai, Ayah selalu mengambil tas kecil. Dan yang paling ganjil, dia selalu memasukkan belati, kemudian pergi. Menembus malam. Esok pagi, tersiar kabar ditemukan seorang lekaki yang menjadi korban penganiayaan.
Aku menggigil mengingat peristiwa itu dan tidak punya nyali untuk mengaitkannya. Ayah punya mata teduh, bukan mata seorang pembunuh. Senyum Ayahku juga selalu mengembang kepada siapa saja. Setiap saat mulut Ayah pun selalu merangkai doa untuk kami sekeluarga, handai tolan, dan tetangga. Ayah juga sangat tidak berbakat menggenggam uang kuat-kuat. Kesusahan orang lain selalu membuat hatinya ambrol hingga uang dalam genggamannya pun bobol. Maka, aku selalu berjuang untuk memelihara keyakinanku: Ayah bukan pembunuh. Tapi sampai kapan keyakinan ini bertahan?
Di dalam benakku, aku sama sekali juga tidak pernah berniat menggambar sosok Ayah yang memiliki jiwa ganjil hanya karena ia berdandan dengan gaya perempuan. Bukankah, gaya laki-laki-perempuan kini makin tipis saja bedanya. Mereka sama-sama pesolek. Makin umum kini laki-laki bergincu, memakai bedak bahkan juga celak. Bukan hanya laki-laki metroseksual saja yang melakukannya, tapi juga para pejabat negara yang sibuk membangun citra diri di depan kamera.
Aku menganggap Ayah tidak berbeda dari mereka para pesolek itu. Apalagi secara fisik, Ayah punya banyak kelebihan. Aku sangat bangga punya Ayah berwajah lembut, berhidung mancung, berbibir merah-tipis, berpipi separo buah durian dan berdagu agak runcing. Ia terlalu cantik untuk seorang lelaki.
Ayahku laki-laki sejati. Dua anaknya —aku dan Bogie menjadi bukti. Hubungan cinta Ayah dan Ibu juga sangat hangat. Dari kebahagiaan yang mereka tampakkan, aku menduga percintaan mereka masih seperti sepasang remaja, seperti diriku: selalu menggebu.
Jika setiap kali Ayah bersolek, aku menduga ia hanya ingin iseng saja. Sekadar mencari sensasi. Bukan ingin bercinta dengan laki-laki dan lalu melukai atau membunuhnya. Tapi kenapa peristiwa Ayah bersolek hampir selalu diikuti dengan peristiwa penganiayaan dan bahkan pembunuhan lelaki?
Pernah suatu malam, aku membuntuti Ayah yang diam-diam keluar rumah, dengan dandanan khas perempuan yang sangat memesona. Berjalan lembut seperti peragawati di atas cat walk, ia menyusuri lorong-lorong berlumur tempias lampu temaram. Ia berhenti di pojok gedung Bank Diamond. Menyalakan rokok dan terus mondar-mandir. Ia tampak gelisah. Seperti ada yang ditunggu.
Jantungku terasa berhenti berdegup, ketika muncul seorang laki-laki setengah baya berbadan tegap. Ayah mendekati laki-laki itu. Mereka saling sapa. Tapi tak berjabat tangan. Aku menduga, mungkin mereka akan saling peluk dan saling cium. Tapi, dugaanku keliru. Mereka hanya berdiri berhadapan seperti saling memandang. Ada pembicaraan kecil, tapi aku tak mendengarnya. Aku sedikit gemetar melihat laki-laki tegap itu menyentuh kening dan memegang wig Ayah. Lebih kurang ajar lagi, laki-laki itu makin mendekatkan wajahnya ke wajah Ayah. Mungkin ia mencoba mencium pipi Ayah. Namun, mendadak Ayah mengelak. Dari kejauhan kudengar tawa Ayah. Mereka kemudian berangkulan. Menghilang diringkus kegelapan.
Aku ingin menjerit. Tapi, lidahku kelu-kaku. Aku ingin berteriak dan memanggil-maggil, tapi tubuhku terasa menggigil. Tubuhku terasa berputar dan terlempar ke dunia terpencil.
Aku pun beranjak pergi. Tapi tak langsung pulang. Aku ingin pergi sangat jauh, membuang perasaan rusuh. Tapi, wajah Ibu seperti memanggilku untuk pulang. Ketika sampai di teras, dari balik kaca jendela aku melihat Ayah sedang duduk membaca koran. Di wajahnya tidak tampak sisa-sisa rias. Ketika aku masuk, Ayah tersenyum. Aku merasa menjadi orang sangat tolol. Diam-diam keyakinanku atas sosok Ayah yang selalu kulukiskan dengan warna-warna cerah dan teduh, semakin mengabur. Lukisan wajah Ayah berubah merah-hitam, warna-warna darah yang selalu berceceran di semak dan jalanan.
***
PAGINYA tersiar kabar, seorang lelaki terkapar di balik semak-belukar dengan goresan di dada dan tangan. Urat nadinya nyaris putus. Seorang peronda menemukan dan langsung membawanya ke rumah sakit. Jiwaku kembali mengigil. Aku semakin tidak berani memandang wajah Ayah. Dia telah mengirimkan badai dalam rongga dadaku dan rongga kepalaku. Dan setiap saat kurasakan mulut Ayah semakin membesar dan meniupkan badai yang tak pernah usai. Aku ingin membungkam mulut itu. Atau mencekik lehernya agar badai tercekat di kerongkongan dan berbalik memompa perut. Aku ingin seluruh tubuh Ayah meledak; terburai ususnya. Aku ingin membakar atau membuangnya ke sungai. Atau melemparkan ke tong sampah biar dimakan anjing-anjing liar.
Tapi nyaliku terlalu lembek, bahkan hanya untuk sekadar menatap mata Ayah. Tatapan matanya semakin kurasakan serupa tatapan monster. Ya, monster yang cantik, sangat menggemaskan namun bengis dan mematikan.
***
DI dalam keluarga kami, hanya aku yang gelisah hidup satu atap dengan monster. Kenapa Ibu tenang-tenang saja? Apakah ia tidak pernah memeregoki Ayah mencuri lipstik, BH, eye shadow, wig-nya? Seperti Columbus menemukan benua Amerika, aku mengabarkan semuanya kepada Ibu. Tapi, aku sangat kaget dan kecewa, ternyata Ibu tak ubahnya bangsa Indian yang sudah tahu persis benua Amerika itu hingga ceruk-meruknya. Semua yang kukatakan tak ada yang memancing ia heran, marah, cemas, atau sedih.
Aku mendesak Ibu. Kuharap ia marah bahkan mengutuk Ayah. Tapi ia menjawab dengan dua aliran anak sungai yang mengalir di parit-parit pipinya.
”Ibu tahu semua ini sejak lama?”
Ibu mengangguk.
”Kenapa Ibu diam?”
”Aku sangat menghargai kejujuran Ayahmu. Sejak kamu dan Bogie tumbuh remaja, ia mengaku mengalami kehampaan dalam percintaan kami. Ia mengaku, hatinya selalu berdebar setiap memandang laki-laki tampan. Dan aku menghormati pilihannya. Tapi kami tidak harus bercerai.”
”Maaf…apakah Ayah…,” aku tidak tega meneruskan pertanyaanku.
Namun Ibu langsung memotong, ”Ayahmu bercinta dengan lelaki yang dicintai atau yang mau membayarnya. Setiap Ayahmu pergi ke luar kota, yang selalu dia katakan karena ada urusan pekerjaan, sebenarnya demi memenuhi panggilan para tamu. Itu terjadi sejak Ayahmu kena PHK.”
Dadaku semakin sesak serasa ditumbuhi semak-semak. Jiwa perih serasa dikuliti pisau paling berkarat. Pisau itu menari-nari di antara jutaan pori-pori dan leluasa memasuki seluruh rongga tubuhku. Menancap dalam jantungku.
”Terserah kamu menganggap Ayahmu itu apa. Tapi jangan ajak Ibu untuk berdebat soal kemuliaan, kehormatan, atau martabat. Semuanya telah lenyap. Lenyap. Karena kita sesungguhnya hanya suka menaruh kata-kata itu di lidah… Hanya sebagai ucap,” Ibu mengusap air matanya.
Aku diam-diam mengagumi ketegaran Ibu. Juga ungkapannya yang tajam dan menjotos.
Ibu mencoba tersenyum, meski aku dapat merasakan hatinya ngilu. Aku memeluknya. Kehangatan mengalir dalam jiwaku.
”Tapi kenapa Ayah sering melukai dan bahkan membunuh pasangannya?”
Ibu memandangku. Tatapannya sangat tajam.
”Kamu pernah melihatnya? Atau hanya menduga?” nada bicara Ibu sedikit tinggi.
Aku meredakan suasana dengan senyuman. Tapi, Ibu tidak mengedorkan tatapannya.
”Aku hanya melihat sekali Ayah berjumpa dengan laki-laki. Mereka berangkulan dan menghilang dalam kegelapan. Setelah itu, ditemukan mayat seorang lelaki.”
”Kamu yakin, pelakunya itu Ayahmu?”
Aku gelapan. Mata Ibu terus menikam. Menghujam. Aku berusaha menarik hujaman tatapan itu.
”Belum. Tapi…kenapa setiap Ayah pergi malam-malam, paginya selalu ada orang terbunuh atau dilukai?”
Ibu terdiam. Sunyi mengurung ruangan. Kurasakan suasana kaku mulai tumbuh. Namun Ibu mendadak berucap, ”Sayang. Kamu tak perlu mengembangkan dugaan yang tidak berdasar. Aku tetap percaya dia lelaki terbaik pilihanku. Apa pun anggapan orang. Bahkan anggapan anakku sendiri. Aku tidak peduli.”
Kesunyian kembali mengeras dan menekanku. Ucapan Ibu membadai dalam kepalaku, dalam hatiku. Badai paling bertenaga yang seperti datang dari gua yang paling purba. Badai itu mengempas. Jiwaku terpelanting. Terbanting.
”Sayang, Ibu hanya ingin kamu adil dan tidak gampang menghukum orang lain, berdasarkan gambaran dan sangkaan yang kamu sukai,”Ibu meremas tanganku. Kembali kurasakan kehangatan mengalir dalam jiwaku.
Mendadak wajah Ayah melintas, masih menyerupai monster yang cantik dan keji.
”Kenapa kamu mendadak gugup?” Ibu meremas tanganku.
Aku menggeleng.
Wajah Ayah kembali melintas. Ia menyeringai menunjukkan taring giginya. Matanya merah. Tubuhku terasa menggigil.
”Kamu sakit?” Ibu menyeka keringat di keningku.
Aku menggeleng.
Mata merah Ayah serupa mata banaspati terus menghujam. Mata itu terus mengikutiku. Setiap gerakanku selalu diawasinya, serinci-rincinya. Bahkan, ia sanggup menghitung berapa kali aku menarik napas.
”Jangan khawatir. Ayahmu tidak pernah berubah. Dia tetap menyayangi kita,” Ibu meremas tanganku.
Mata Ayah masih terus memburu. Terus membidikku.
Mata itu menguasai seluruh ruangan. Dinding, atap, lubang angin, monitor komputer, meja, buku-buku, ranjang, bantal, selimut, sepatu, sandal jepit, lantai, penuh dengan tatapan mata Ayah.
Setiap pagi, aku selalu disergap kabar laki-laki mati digorok lehernya atau ditikam lambungnya. Aku selalu sulit menghapus wajah Ayah dalam peristiwa itu. Ucapan Ibu soal kebaikan Ayah selalu mencair dan menguap.
Mata Ayah terus memburuku. Membidikku.
Aku ingin mencucuk mata monster itu.

Yogyakarta, Agustus-September 2009

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir