Indra Tranggono
http://suaramerdeka.com/
AKU sering melihat Ayah mencuri lipstik Ibu untuk memerahkan bibirnya semerah bibir Ibu. Aku juga sering melihat dia mengoleskan pemerah pipi dan eye shadow, hingga wajahnya tampak lebih cantik dari wajah Ibu. Diam-diam, Ayah pun sering memakai BH Ibu dan menyumpalnya dengan gumpalan kain, hingga dadanya tampak padat berisi. Tak ketinggalan, Ayah memakai wig blonde Ibu, memadunya dengan gaun hitam dan blus warna musim semi. Ayah pun berputar-putar di depan cermin, mengagumi penampilannya.
Sesudah ”upacara” itu selesai, Ayah selalu mengambil tas kecil. Dan yang paling ganjil, dia selalu memasukkan belati, kemudian pergi. Menembus malam. Esok pagi, tersiar kabar ditemukan seorang lekaki yang menjadi korban penganiayaan.
Aku menggigil mengingat peristiwa itu dan tidak punya nyali untuk mengaitkannya. Ayah punya mata teduh, bukan mata seorang pembunuh. Senyum Ayahku juga selalu mengembang kepada siapa saja. Setiap saat mulut Ayah pun selalu merangkai doa untuk kami sekeluarga, handai tolan, dan tetangga. Ayah juga sangat tidak berbakat menggenggam uang kuat-kuat. Kesusahan orang lain selalu membuat hatinya ambrol hingga uang dalam genggamannya pun bobol. Maka, aku selalu berjuang untuk memelihara keyakinanku: Ayah bukan pembunuh. Tapi sampai kapan keyakinan ini bertahan?
Di dalam benakku, aku sama sekali juga tidak pernah berniat menggambar sosok Ayah yang memiliki jiwa ganjil hanya karena ia berdandan dengan gaya perempuan. Bukankah, gaya laki-laki-perempuan kini makin tipis saja bedanya. Mereka sama-sama pesolek. Makin umum kini laki-laki bergincu, memakai bedak bahkan juga celak. Bukan hanya laki-laki metroseksual saja yang melakukannya, tapi juga para pejabat negara yang sibuk membangun citra diri di depan kamera.
Aku menganggap Ayah tidak berbeda dari mereka para pesolek itu. Apalagi secara fisik, Ayah punya banyak kelebihan. Aku sangat bangga punya Ayah berwajah lembut, berhidung mancung, berbibir merah-tipis, berpipi separo buah durian dan berdagu agak runcing. Ia terlalu cantik untuk seorang lelaki.
Ayahku laki-laki sejati. Dua anaknya —aku dan Bogie menjadi bukti. Hubungan cinta Ayah dan Ibu juga sangat hangat. Dari kebahagiaan yang mereka tampakkan, aku menduga percintaan mereka masih seperti sepasang remaja, seperti diriku: selalu menggebu.
Jika setiap kali Ayah bersolek, aku menduga ia hanya ingin iseng saja. Sekadar mencari sensasi. Bukan ingin bercinta dengan laki-laki dan lalu melukai atau membunuhnya. Tapi kenapa peristiwa Ayah bersolek hampir selalu diikuti dengan peristiwa penganiayaan dan bahkan pembunuhan lelaki?
Pernah suatu malam, aku membuntuti Ayah yang diam-diam keluar rumah, dengan dandanan khas perempuan yang sangat memesona. Berjalan lembut seperti peragawati di atas cat walk, ia menyusuri lorong-lorong berlumur tempias lampu temaram. Ia berhenti di pojok gedung Bank Diamond. Menyalakan rokok dan terus mondar-mandir. Ia tampak gelisah. Seperti ada yang ditunggu.
Jantungku terasa berhenti berdegup, ketika muncul seorang laki-laki setengah baya berbadan tegap. Ayah mendekati laki-laki itu. Mereka saling sapa. Tapi tak berjabat tangan. Aku menduga, mungkin mereka akan saling peluk dan saling cium. Tapi, dugaanku keliru. Mereka hanya berdiri berhadapan seperti saling memandang. Ada pembicaraan kecil, tapi aku tak mendengarnya. Aku sedikit gemetar melihat laki-laki tegap itu menyentuh kening dan memegang wig Ayah. Lebih kurang ajar lagi, laki-laki itu makin mendekatkan wajahnya ke wajah Ayah. Mungkin ia mencoba mencium pipi Ayah. Namun, mendadak Ayah mengelak. Dari kejauhan kudengar tawa Ayah. Mereka kemudian berangkulan. Menghilang diringkus kegelapan.
Aku ingin menjerit. Tapi, lidahku kelu-kaku. Aku ingin berteriak dan memanggil-maggil, tapi tubuhku terasa menggigil. Tubuhku terasa berputar dan terlempar ke dunia terpencil.
Aku pun beranjak pergi. Tapi tak langsung pulang. Aku ingin pergi sangat jauh, membuang perasaan rusuh. Tapi, wajah Ibu seperti memanggilku untuk pulang. Ketika sampai di teras, dari balik kaca jendela aku melihat Ayah sedang duduk membaca koran. Di wajahnya tidak tampak sisa-sisa rias. Ketika aku masuk, Ayah tersenyum. Aku merasa menjadi orang sangat tolol. Diam-diam keyakinanku atas sosok Ayah yang selalu kulukiskan dengan warna-warna cerah dan teduh, semakin mengabur. Lukisan wajah Ayah berubah merah-hitam, warna-warna darah yang selalu berceceran di semak dan jalanan.
***
PAGINYA tersiar kabar, seorang lelaki terkapar di balik semak-belukar dengan goresan di dada dan tangan. Urat nadinya nyaris putus. Seorang peronda menemukan dan langsung membawanya ke rumah sakit. Jiwaku kembali mengigil. Aku semakin tidak berani memandang wajah Ayah. Dia telah mengirimkan badai dalam rongga dadaku dan rongga kepalaku. Dan setiap saat kurasakan mulut Ayah semakin membesar dan meniupkan badai yang tak pernah usai. Aku ingin membungkam mulut itu. Atau mencekik lehernya agar badai tercekat di kerongkongan dan berbalik memompa perut. Aku ingin seluruh tubuh Ayah meledak; terburai ususnya. Aku ingin membakar atau membuangnya ke sungai. Atau melemparkan ke tong sampah biar dimakan anjing-anjing liar.
Tapi nyaliku terlalu lembek, bahkan hanya untuk sekadar menatap mata Ayah. Tatapan matanya semakin kurasakan serupa tatapan monster. Ya, monster yang cantik, sangat menggemaskan namun bengis dan mematikan.
***
DI dalam keluarga kami, hanya aku yang gelisah hidup satu atap dengan monster. Kenapa Ibu tenang-tenang saja? Apakah ia tidak pernah memeregoki Ayah mencuri lipstik, BH, eye shadow, wig-nya? Seperti Columbus menemukan benua Amerika, aku mengabarkan semuanya kepada Ibu. Tapi, aku sangat kaget dan kecewa, ternyata Ibu tak ubahnya bangsa Indian yang sudah tahu persis benua Amerika itu hingga ceruk-meruknya. Semua yang kukatakan tak ada yang memancing ia heran, marah, cemas, atau sedih.
Aku mendesak Ibu. Kuharap ia marah bahkan mengutuk Ayah. Tapi ia menjawab dengan dua aliran anak sungai yang mengalir di parit-parit pipinya.
”Ibu tahu semua ini sejak lama?”
Ibu mengangguk.
”Kenapa Ibu diam?”
”Aku sangat menghargai kejujuran Ayahmu. Sejak kamu dan Bogie tumbuh remaja, ia mengaku mengalami kehampaan dalam percintaan kami. Ia mengaku, hatinya selalu berdebar setiap memandang laki-laki tampan. Dan aku menghormati pilihannya. Tapi kami tidak harus bercerai.”
”Maaf…apakah Ayah…,” aku tidak tega meneruskan pertanyaanku.
Namun Ibu langsung memotong, ”Ayahmu bercinta dengan lelaki yang dicintai atau yang mau membayarnya. Setiap Ayahmu pergi ke luar kota, yang selalu dia katakan karena ada urusan pekerjaan, sebenarnya demi memenuhi panggilan para tamu. Itu terjadi sejak Ayahmu kena PHK.”
Dadaku semakin sesak serasa ditumbuhi semak-semak. Jiwa perih serasa dikuliti pisau paling berkarat. Pisau itu menari-nari di antara jutaan pori-pori dan leluasa memasuki seluruh rongga tubuhku. Menancap dalam jantungku.
”Terserah kamu menganggap Ayahmu itu apa. Tapi jangan ajak Ibu untuk berdebat soal kemuliaan, kehormatan, atau martabat. Semuanya telah lenyap. Lenyap. Karena kita sesungguhnya hanya suka menaruh kata-kata itu di lidah… Hanya sebagai ucap,” Ibu mengusap air matanya.
Aku diam-diam mengagumi ketegaran Ibu. Juga ungkapannya yang tajam dan menjotos.
Ibu mencoba tersenyum, meski aku dapat merasakan hatinya ngilu. Aku memeluknya. Kehangatan mengalir dalam jiwaku.
”Tapi kenapa Ayah sering melukai dan bahkan membunuh pasangannya?”
Ibu memandangku. Tatapannya sangat tajam.
”Kamu pernah melihatnya? Atau hanya menduga?” nada bicara Ibu sedikit tinggi.
Aku meredakan suasana dengan senyuman. Tapi, Ibu tidak mengedorkan tatapannya.
”Aku hanya melihat sekali Ayah berjumpa dengan laki-laki. Mereka berangkulan dan menghilang dalam kegelapan. Setelah itu, ditemukan mayat seorang lelaki.”
”Kamu yakin, pelakunya itu Ayahmu?”
Aku gelapan. Mata Ibu terus menikam. Menghujam. Aku berusaha menarik hujaman tatapan itu.
”Belum. Tapi…kenapa setiap Ayah pergi malam-malam, paginya selalu ada orang terbunuh atau dilukai?”
Ibu terdiam. Sunyi mengurung ruangan. Kurasakan suasana kaku mulai tumbuh. Namun Ibu mendadak berucap, ”Sayang. Kamu tak perlu mengembangkan dugaan yang tidak berdasar. Aku tetap percaya dia lelaki terbaik pilihanku. Apa pun anggapan orang. Bahkan anggapan anakku sendiri. Aku tidak peduli.”
Kesunyian kembali mengeras dan menekanku. Ucapan Ibu membadai dalam kepalaku, dalam hatiku. Badai paling bertenaga yang seperti datang dari gua yang paling purba. Badai itu mengempas. Jiwaku terpelanting. Terbanting.
”Sayang, Ibu hanya ingin kamu adil dan tidak gampang menghukum orang lain, berdasarkan gambaran dan sangkaan yang kamu sukai,”Ibu meremas tanganku. Kembali kurasakan kehangatan mengalir dalam jiwaku.
Mendadak wajah Ayah melintas, masih menyerupai monster yang cantik dan keji.
”Kenapa kamu mendadak gugup?” Ibu meremas tanganku.
Aku menggeleng.
Wajah Ayah kembali melintas. Ia menyeringai menunjukkan taring giginya. Matanya merah. Tubuhku terasa menggigil.
”Kamu sakit?” Ibu menyeka keringat di keningku.
Aku menggeleng.
Mata merah Ayah serupa mata banaspati terus menghujam. Mata itu terus mengikutiku. Setiap gerakanku selalu diawasinya, serinci-rincinya. Bahkan, ia sanggup menghitung berapa kali aku menarik napas.
”Jangan khawatir. Ayahmu tidak pernah berubah. Dia tetap menyayangi kita,” Ibu meremas tanganku.
Mata Ayah masih terus memburu. Terus membidikku.
Mata itu menguasai seluruh ruangan. Dinding, atap, lubang angin, monitor komputer, meja, buku-buku, ranjang, bantal, selimut, sepatu, sandal jepit, lantai, penuh dengan tatapan mata Ayah.
Setiap pagi, aku selalu disergap kabar laki-laki mati digorok lehernya atau ditikam lambungnya. Aku selalu sulit menghapus wajah Ayah dalam peristiwa itu. Ucapan Ibu soal kebaikan Ayah selalu mencair dan menguap.
Mata Ayah terus memburuku. Membidikku.
Aku ingin mencucuk mata monster itu.
Yogyakarta, Agustus-September 2009
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar