Gunawan Tri Atmojo
http://suaramerdeka.com/
TAK pernah terlintas sedikit pun di benakku untuk mengusut kekeliruan penciptaan apalagi sampai menyalahkan Sang Pencipta atas segala yang menimpaku, karena aku yakin, bahwa Ia memang Maha Sempurna. Bahkan ketika Ia menciptakan mahkluk kurang lengkap sekali pun, aku percaya ada kesempurnaan di balik ketidaklengkapan itu. Tuhan tak mungkin lupa menyisipkan kebahagiaan di garis tangan. Semua sudah tersurat dengan akurat dalam bingkai takdir. Ya, takdir. Aku selalu merasa nyaman bila mendengar kata itu. Kata itu selalu dapat melipur lara dengan caranya sendiri yang sederhana.
Aku diciptakan dengan ketidaklengkapan kecil di tubuhku. Aku terlahir hanya dengan satu daun telinga. Daun telinga kananku sempurna sedang daun telinga kiriku mengerut hampir menutupi lubang telinga. Aku menyebutnya ketidaklengkapan kecil karena masih banyak kutemui orang-orang dengan ketidaklengkapan yang lebih dari aku. Ketidaklengkapan orang-orang itu, bagiku, sungguh merenggut sebagian dari hidup mereka sedang ketidaklengkapan yang kusandang hampir tak ada pengaruhnya dalam kehidupanku sehari-hari. Aku tak kehilangan fungsi utama telinga karena masih dapat mendengar dengan baik. Hal ini membuatku makin yakin dengan kebesaran Sang Pencipta dan memetik sebuah pelajaran berharga bahwa Ia menciptakan manusia berbeda-beda agar ada yang masih bisa bersyukur. Seperti ketika orang-orang menemukan ketidaklengkapan pada tubuhku, tentu di hati mereka terpantik rasa syukur karena diciptakan lebih lengkap daripada aku. Tak akan ada tangis karena kondisi fisikku ini. Aku tak akan memusuhi cermin ketika melihat kembaranku di depan sana menyandang ketidaklengkapanku. Seperti janjiku pada diriku sendiri, aku akan selalu berusaha bahagia.
Tentu ada kelebihan lain yang disematkan Sang Pencipta di tubuhku yang membuat segalanya jadi terasa impas. Wajahku cantik dengan raut bulat dan kulit bersih kuning langsat. Rambut panjang sepinggang yang selalu terurai. Aku begitu menyukai rambutku ini dan tak mungkin memangkasnya jadi potongan pendek. Selain serasi dengan bentuk wajahku, rambut panjangku ini dapat menyamarkan telinga kiriku. Hal ini kulakukan bukan lantaran malu dengan kenyataan berdaun telinga kurang sempurna tapi karena aku juga harus menjaga kenyamanan orang lain. Sebisa mungkin aku harus membuat nyaman pandangan orang-orang di sekitarku. Itu adalah salah satu tanggung jawabku sebagai customer service di tempatku bekerja. Selain itu, otakku juga lumayan cerdas yang mampu dengan cepat merespon perkataan dan perbuatan orang lain.
Dengan kondisi telinga yang tersamar rambut panjang, aku tampak tak ada beda dengan perempuan normal lainnya. Beberapa laki-laki datang silih berganti dalam hidupku. Mereka datang menawarkan cinta dengan segenap alasan dan rayuan yang kebanyakan tak masuk akal, tapi aku yakin mereka adalah lelaki hidung belang yang tidak mengerti kondisi fisikku selengkapnya dan hanya menginginkan romansa berahi sesaat. Mulai dari rekan sekantor ketika masa awal aku bekerja, klien, baik yang masih bujangan atau yang sudah beristri, sampai pada orang yang sama sekali baru kutemui.
Laki-laki yang muda selalu berkata ingin mencari pendamping hidup. Lelaki yang sudah berkeluarga selalu berkata bersedia menceraikan istrinya. Adapun laki-laki yang belum kukenal ada yang bilang, ”Aku terobsesi dengan perempuan yang berbicara dengan telepon menempel di telinga sebelah kanan, terkesan seksi.” Mereka mengatakan rayuan itu dengan nada yang sama. Kesamaan lainnya adalah mereka sama-sama lari ketika melihat telinga kiriku.
Ada kenikmatan tersendiri bagiku ketika melihat mereka meninggalkanku. Prosesinya selalu hampir serupa. Aku membuat suasana sedramatis mungkin. Kuberi mereka kesempatan mengajakku makan malam —setiap pendekatan selalu butuh makan malam— lalu di tengah keromantisan menikmati hidangan makan malam, sengaja kusibakkan rambut yang menutupi telinga kiriku sambil mengajak lelaki di hadapanku bicara. Sengaja aku ingin menunjukkan pada mereka telinga kiriku. Dan reaksi mereka sungguh luar biasa. Ada yang kesulitan menelan makanan yang sudah terkunyah di mulut, ada yang bengong lalu minta izin ke toilet dan aku yakin mereka akan muntah di sana, ada yang tiba-tiba gugup lalu segera berusaha menjaga sikap, dan seperti biasa setelah makan malam berakhir tidak ada lagi yang menghubungiku. Aku menikmati setiap ekspresi terkejut dan tindakan mereka. Aku menamai kebiasaan ini sebagai Prosesi Jati Diri dan menganggap ritual ini sebagai humor penghibur yang akan memompa semangatku menghadapi hari esok.
Sebenarnya ritual ini berawal dari rasa kekecewaan yang mendalam. Aku pernah dikecewakan dengan cara ini. Dulu aku pernah jatuh cinta pada seorang lelaki dan lelaki itu juga membalas cintaku. Mungkin itu salah satu saat terbahagia dalam hidupku yang ”harus bahagia”. Kami menjadi sepasang kekasih. Kejadiannya pun hampir serupa. Setelah makan malam di sebuah restoran kami memutuskan untuk jalan-jalan menghabiskan malam. Di tengah jalan, hujan turun dengan deras. Kami pun memutuskan untuk menginap di sebuah motel. Di kamar motel, kami sudah basah kuyup. Aku berusaha mengeringkan rambut panjangku dengan handuk. Tiba-tiba kekasihku itu menghampiriku. Dengan lembut, ia ikut membelai rambut panjangku yang basah. Aku berusaha menepis belaiannya karena aku tak ingin ia melihat telinga kiriku. Aku belum siap memperlihatkan telinga kiriku padanya dan kukira ia juga belum siap dengan kenyataan ini. Aku menahan napas ketika dia bersikeras ingin mencumbu telingaku. Mula-mula di telinga sebelah kanan. Aku dengar napasnya tak beraturan dan degup jantungku berdetak lebih kencang. Kemudian saat yang kucemaskan datang, bibirnya melewati tengkukku beralih ingin mencumbu telinga kiriku. Ia sibakkan rambutku. Kemudian diam. Kulihat ia terperangah seperti melihat setan dan tidak meneruskan aksinya. Aku tahu nafsu berahinya mendadak padam.
Ia lantas minta izin membeli rokok di warung yang berada di sebelah motel. Dari jendela kamar motel di lantai dua, aku lihat kekasihku itu bergegas ke jalanan. Ia berlari tanpa memedulikan hujan. Mataku mengikutinya sampai bayangannya hilang. Sejak saat itu aku tak pernah melihat kekasihku itu lagi. Saat itu hatiku sungguh tersayat, mungkin sakitnya jauh lebih hebat dibanding hujatan talak.
Kini aku telah menyulap kekecewaan ini menjadi hiburan. Aku anggap setiap lelaki yang mendekatiku tak beda dari kekasihku yang pengecut itu. Dan sejauh ini, anggapanku ini terbukti benar. Tak ada laki-laki yang dengan ikhlas menerima kekuranganku. Selalu saja tak ada kelanjutan setelah mereka melihat telinga kiriku.
Apapun yang terjadi, aku tetap menikmati hidupku, tapi tidak kedua orang tuaku. Mereka ingin segera menimang cucu dari aku, anak tunggal mereka. Kedua orang tuaku adalah orang Jawa tulen. Sifat kekolotan orang Jawa masih mengalir deras dalam diri mereka. Mereka menganggap perawan tua sebagai aib. Mereka ingin aku segera menikah karena usiaku sudah hampir tiga puluh tahun. Aku mengerti perasaan mereka tapi aku juga berharap mereka memahami perasaanku. Memang tak pernah terjadi pembicaraan secara langsung perihal pernikahan apalagi perjodohan, tapi dari canda mereka, aku tahu bahwa mereka begitu berharap aku segera menikah. Mereka selalu mengatakan bahwa seorang suami akan menggenapkan kehidupanku yang sudah mapan dan jika sudah semakin mapan maka hidup akan berjalan pelan dan menyenangkan. Semoga mereka juga tidak melupakan betapa susahnya mencari pasangan bagi perempuan bertelinga seperti aku.
Tidak dapat kumungkiri keinginan kedua orang tuaku lama-kelamaan menjadi tekanan bagiku. Aku mulai sedikit serius dengan setiap laki-laki yang berusaha mendekatiku. Awal keseriusanku ini masih berakhir sama getirnya. Setiap laki-laki masih tetap lari setelah melihat telinga kiriku. Hingga akhirnya lelaki yang kesekian datang juga.
Nama lelaki itu Karna. Lelaki berumur tiga puluh limaan yang sederhana dan tidak meledak-ledak. Kelewat sederhana untuk kehidupan kota zaman sekarang. Aku bertemu dengannya secara tak sengaja di sebuah seminar mengenai kesehatan telinga. Kebetulan ia duduk di samping kananku dan kami pun ngobrol untuk sekadar basa-basi. Ternyata obrolan ringan itu merupakan awal bagi hubungan serius kami. Karna orang yang menyenangkan dan berpengetahuan luas. Yang paling kusukai darinya adalah kesediaannya menjadi seorang pendengar yang baik. Selama ini aku selalu berhubungan dengan laki-laki yang sibuk menceritakan dirinya sendiri padahal aku juga ingin didengarkan dan itu membuatku merasa diperhatikan. Karna telah membuat awal yang mengesankan, mungkin aku juga, sehingga kami sepakat bahwa ini bukan pertemuan terakhir kami.
Setelah seminar itu, hubungan kami terus berlanjut. Beberapa kali kami bertemu dan merasa hati kami bertaut. Setiap kali teringat Karna, hatiku mendadak menjadi riang. Namanya mengingatkanku pada cerita wayang yang selalu didongengkan Bapak untuk mengantarku tidur ketika aku masih kecil. Karna adalah kakak tiri Pandawa yang membela kubu Kurawa tapi bukan itu atau pilihan hidupnya yang menarik perhatianku. Aku tertarik karena Karna dilahirkan lewat telinga oleh ibunya, Dewi Kunti. Sedang ayahnya adalah seorang dewa yakni Betara Surya. Dongeng dari Bapak itu sampai kini selalu menjadi pemicu semangat bagiku, seakan mengajakku untuk memiliki kebesaran hati seperti Kunti yang melahirkan Karna lewat telinga. Kebetulan kami sama-sama bermasalah dengan telinga. Tapi Bapak lebih menginginkanku sebagai Subadra, istri Arjuna yang lemah-lembut, yang lebih mencerminkan sosok wanita Jawa.
Kini dalam kehidupan nyata aku bertemu dengan Karna. Tak bisa kumungkiri benih cinta mulai bertunas di hatiku. Satu hal yang masih dan selalu mengganjal hatiku, Karna belum mengetahui ësesuatuí di telingaku. Aku masih ragu apakah ia dapat menerima kekuranganku sementara dari hari ke hari aku semakin dalam mencintainya dan takut kehilangannya.
Hari ini tepat ulang tahunku yang ketiga puluh. Lampu kuning bagi status lajangku. Malam nanti kami berjanji akan merayakannya dengan makan malam. Seribu trauma dan kenangan buruk menyerangku tapi aku bertekad akan menunjukkan Prosesi Jati Diri padanya. Tak peduli apapun reaksinya, aku akan menerimanya sebagai kado ulang tahunku.
Hati telah kutata, perasaan telah kusiapkan, bibir telah kumerahkan. Malam itu Karna datang tepat waktu dan mengucapkan selamat padaku. Aku tersenyum tapi ada yang memburu di jantungku. Kami segera menikmati makanan yang telah dipesan. Aku membuka percakapan ringan dan sebentar lagi harus memulai aksiku menyibak rambut bagian kiri. Kulihat wajah Karna tenang dan berwibawa. Kupikir sebentar lagi wajah itu akan menjadi pucat.
Tapi ternyata aku salah besar. Bahkan sampai dengan jelas kuperlihatkan telinga kiriku tepat di wajahnya, reaksinya tetap tidak berubah. Ia malah tersenyum dan justru aku yang menjadi cemas. Dengan isyarat, ia memintaku memejamkan mata. Aku tahu ia mengambil sesuatu dari balik bajunya. Lalu kudengar ia memintaku membuka mata.
Di hadapanku, kulihat sebuah kado sebesar bungkus rokok. Ia memintaku membukanya. Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat isi kado itu. Sebuah telinga kiri asli dalam plastik. Ia tersenyum melihat keterkejutanku dan berkata dengan penuh keyakinan, ”Maukah kau menjadi istriku, Badra?”
Aku hampir pingsan mendengar ucapannya barusan. Aku tergeragap tapi segera kututupi dengan mengajukan pertanyaan mengenai muasal telinga dalam kado itu. Karna dengan tenang menjawabnya, ”Telinga itu baru sore tadi kuperoleh dari pasienku dan ia mengizinkan aku meminjamnya untuk meyakinkanmu. Kau hanya tahu aku seorang dokter tapi pembicaraan lebih lanjut seakan tak penting lagi dalam keintiman kita. Aku adalah dokter khusus penyakit kusta. Setiap hari aku menghadapi pemandangan yang dianggap orang lain menyeramkan. Semoga dengan selembar telinga kiri ini, kau bersedia jadi istriku. Maukah kamu, Subadra?”
Aku terharu mendengar ucapan Karna. Kukembalikan kado telinga itu kepadanya. Dengan kado itu, aku dapat mengukur kebesaran hatinya. Dia telah meyakinkan aku dengan caranya sendiri. Kurasa keajaiban hidup hanya terjadi sekali dan aku menjumpainya saat ini. Dengan berurai air mata, kuterima pinangannya.
Solo, 2009
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar