Selasa, 09 Maret 2010

Pulung Gantung

Mahwi Air Tawar
http://suaramerdeka.com/

MARDI tersentak dan lekas beranjak. Sementara, ngiokkeokkoak…, suara burung gagak dari sela balik ranting-ranting kering bergelantungan membuat suasana perkampungan yang sunyi semakin mencekam. Dan sontak, setelah tak seberapa lama jedah dari suara burung gagak itu, terdengar suara lecutan rotan disertai lengking panjang seseorang.
Pyaarrr…, suara lecutan rotan bagai disentakkan ke udara seketika, dan seketika itu juga dari balik ranting-ranting kering gugusan cahaya putih kebiruan melesat cepat seiring ngiokkeokkoak kepak tiga burung gagak dari arah kuburan tua samping surau seperti digiring angin meniti reranggas tanah kering kerontang.
”Tuhan datang mengirim pulung dari surga,” desis lelaki penjaga surau.
”Alangkah Maha Pemurah Tuhan, cepat tabuh kentongan,” suara teriakan dari kampung seberang bersahutan.
”Ya, cepat tabuh.”
”Dupa. Kemenyan,” yang lain tak mau ketinggalan.
”Kita sambut kedatangan utusan Tuhan,”orang-orang beriring, yang perempuan sambil menggendong bayinya, sementara para lelaki lebih mempercepat langkah menuju makam yang telah dianggap keramat.
”Eh, susul Mardi,” perintah seorang lelaki bertubuh kekar.
”Kentongan,” teriak yang lain.
”Siapa itu? Lecutkan lagi. Terus. Waduh, Gusti… Lecutkan jangan sampai lewat.”
Sementara, diam-diam Mardi penjaga surau itu menyelinap, mengambil rotan yang tergeletak kemudian melecutkannya ke udara sambil membayangkan diri tengah menunggangi kuda seakan menuju gerbang hidup yang lebih abadi, tenteram, pulung memberinya restu. Setidak-tidaknya, akan lekang aib mendekap dalam jenjang jurang nasib serta dendam yang terus bersemayam lantaran berbulan-bulan terpanggang kemarau panjang, bahkan ketika anaknya mati pada saat mengusung air untuk ber-wudlu hingga sampai sekarang, sejak kematian anaknya, Mardi tinggal seorang diri.
”Kilauan cahaya itu dari atas bubungan suraumu, Mardi,” Mardi membisu. Menahan sesuatu. Barangkali geli. Toh apa pun yang terjadi malam ini tak akan membuatnya rugi. Tunggulah sampai pagi, orang-orang dari luar kampung lain akan mengerubunginya, berdecak naif atau kagum atas dipilihnya seorang guru mengaji, meski dalam situasi tak menentu, ketika orang-orang kampung dalam kelaparan sebab kermarau panjang tak kunjung lekang berujung hingga untuk sesuap nasi pun mereka mesti menunggu pasokan dari luar daerah.
Dan malam ini, Mardi tahu, malam ini untuk kali terakhir menyaksikan orang-orang yang hidupnya dililit nasib malang, sementara dirinya akan terbang ke langit ke tujuh terbang bersama ribuan malaikat, sebagaimana selalu ia kisahkan kepada anak-anak yang belajar mengaji bahwa, orang-orang yang selama hidupnya beramal baik akan dibawa ke surga. Ah, bukankah Mardi setiap hari mengajari anak-anak ilmu agama, menganjurkan orang-orang termasuk santrinya agar selalu berbuat baik, bukankah itu kebajikan?
”Pantaslah.. Mardi layak menerima pulung dari surga,” seseorang yang lebih tua berdecak kagum.
”Mampuslah kamu, Pak Tua,” seorang pemuda lainnya berkomentar geram.
”Huh…Dasar.”
”Kamu musti pergi, Di.”
Bersamaan dengan itu setelah lama orang-orang bungkam seperti tak percaya akan pemandangan yang dilihatnya, ketika hendak beranjak, dari arah makam keramat terdengar suara tangis, lalu suara lain mendesah lirih, sontak orang-orang berjalan beriring dengan langkah gegas, dari arah surau sekelompok burung gagak berkoak-koak menambah suasana semakin mencekam sekaligus membuat orang-orang cemas. Berbagai firasat pun membiak dalam benak masing-masing.
”Dari mana cahaya itu berawal?” tanya seseorang.
”Dari surga yang jelas. Tapi itu tak penting. Masalahnya cahaya itu jatuh di teras itu,” yang lain menunjuk ke teras rumah Suliman.
”Dan tiga burung gagak berputar-putar di atas bubungan rumahnya,” sambung yang lain.
”Ke mana, Suliman?”
”Barangkali di surau.”
”Aneh,” dalam diam seseorang yang lebih tua mendesis.
”Apanya yang aneh, Pak Tua?”
”Suliman, kok tiba-tiba…”
”Ualah…, susul Suliman.”
Ketika orang-orang hendak pergi, tiba-tiba dari pekarangan seorang gadis kecil mungil muncul, sontak kehadiran gadis kecil itu membuat orang-orang kaget dan tidak percaya ketika gadis kecil itu mengabarkan tentang kematian kakaknya, Suliman. Ya, mereka, lebih-lebih perempuan tua yang sedari tadi terus mengumbarkan senyum kebanggaan tidak percaya perihal kabar yang baru saja didengar dari cucu perempuannya akan kembali menyerundukkan cucunya pada liang lengang nasib yang tak kunjung lekang hingga pada usianya, yang tinggal sejengkal.
”Kak Sulim…,” erangnya sambil memeluk mbahnya.
”Kenapa dengan Suliman?”
”Kak, Suliman mati nggantung.”
”Mati gantung?”
”Gantung diri?”
”Benarkah pulung gantung?”
”Syukurlah…,” desahnya tenang.
***

MARDI tampak gemetar. Menunduk tak beranjak. Orang-orang menatapnya curiga. Adik dari Suliman masih berisak-senik.
”Kita mesti melakukan sesuatu.”
”Tunggu sampai pagi,” Mardi mendesah lirih.
Tiba-tiba perempuan tua itu menatap nanap pada Mardi, yang gemetar.
”Apa kamu bilang, Di?” suaranya lantang menantang, ”Tunggu sampai pagi?” Mardi menunduk, takdzim, ”Aku yakin putuku dipilih Tuhan. Putuku akan masuk surga.”
”Ya, Mbah, tapi ini masih malam.”
”Untuk menyambut tamu agung harus menunggu pagi?”
Orang-orang tak mengerti. Bertambah heran. ”Mari semua, talkin-i putuku. Ia akan masuk surga, kita patut berbangga.”
Ya, Nenek Suliman, perempuan tua itu seperti mendapatkan kekuatan. Entahlah, hingga pada usia yang sudah uzur ia masih lantang menantang kehendak Mardi, menurunkan tubuh Suliman, dari gantungan harus menunggu pagi. Sementara Mardi tampak bimbang, menimbang antara melanjutkan niatnya atau mengurungkan.
Sementara orang-orang yang semula melingkarinya memberi jalan pada Nenek Suliman, sebelum akhirnya mereka mengikutinya dari belakang menuju surau.
Ketika orang-orang berjalan beriring menuju surau. Mardi menyelinap ke tempat yang lebih gelap hingga ketika orang-orang sudah menjauh, lekas Mardi menyelinap menuju area makam yang dianggap keramat. Lalu, ia pandangi lilitan tali yang sudah disiapkan sejak orang-orang di ladang tadi. Tali itu terikat di sela ranting kering, di ujung tali yang menjulur hingga persis di atas keranda ia berpegang sambil mengayun-ngayunkan temali, sesekali mendesis bangga, buliran air mata kebahagian dan kepuasan membasahi pipinya. Sesekali menerawang jauh mengikuti jejak orang-orang yang tengah menuju surau.
Tak lama berselang, Mardi mengikat ujung tali itu sambil tak henti berdoa. Ketika perlahan-lahan ia men-jinjit-kan ujung jemari jempolnya pada tepi keranda hingga ketika ujung jemari jempolnya sudah tak berpijak, Mardi merasa tengah meniti padang arsy, saat itulah, ia benar-benar merasa bahagia, kebahagiaan yang tak pernah ia bayangkan selama menjadi guru mengaji hingga diam-diam menjadi dukun.
***

BAGAIMANA pun Mardi bosan, hidup serbakekuarangan. Mula-mula ia menerima kekurangan itu, sebagai kehendak Tuhan, begitu selalu ia memberi nasihat kepada anaknya, yang mati satu tahun lalu agar bersabar dan menerima semua cobaan Tuhan. Bertahun-tahun menjadi guru mengaji, namun tak seorang pun di antara mereka mau datang. Bersembahyang ke surau pun tidak.
Sungguh orang-orang tak pernah hirau. Ia merasa tertekan. Merasa selama ini tak berhasil mengajari mereka ilmu agama. Apalagi tiga tahun belakangan, ketika kemarau panjang tak kunjung berujung. Panen selalu berujung malang. Orang-orang lebih banyak di luar kampung, bekerja serabutan di desa lain agar bisa makan.
Ketika dalam kondisi tak menentu itulah, Mardi mulai jarang berada di surau. Persis, sebagaimana juga mereka, Mardi pergi, dan datang seminggu sekali, lalu pergi kembali untuk waktu yang tak tentu. Namun pada suatu sore yang tenang, ketika orang-orang pulang dari kampung lain tersiar kabar, seseorang yang sempat bertemu dengan Mardi bercerita, tentang keberadaannya di sebuah gubuk bersama lelaki tua tak jauh dari pantai.
”Apa yang dilakukannya?”
”Mungkin bertapa, minta restu leluhur.”
”Tapi lelaki itu, benar-benar licik.”
”Apa kamu bilang?”
”Licik. Masa tiap hari ongkang-ongkang di surau, dapat makan.”
”Celaka.”
”Biarlah…”

***
ENAM bulan berselang, Mardi datang, dan sejak itu Mardi tak pernah keluar kampung lagi. Sementara orang-orang kampung belum ada yang tertarik mendatangi surau untuk mengaji. Sebaliknya, banyak orang-orang dari kampung lain justru pada datang mengunjunginya.
Anehnya, semakin hari orang-orang yang berkunjung semakin bertambah jumlahnya hingga tak jarang menyebabkan orang-orang kampungnya sendiri berdecak kagum, meski tak sedikit di antara mereka curiga, dan diam-diam ingin mengetahui apa yang dilakukannya. Tetapi secara pasti mereka tak berhasil, mereka hanya tahu, selepas seseorang yang mengunjunginya pulang, selalu seseorang itu merasa puas, dan sepanjang jalan mengulum senyum sumringah.
Hingga pada suatu ketika, Nenek Suliman penasaran dengan Mardi, yang nyaris setiap hari didatangi orang-orang dari luar kampung. Nenek Suliman akhirnya menyuruh cucunya, kembali belajar mengaji sebagaimana dulu. Bahkan, orang-orang kampung mulai ikut-ikutan.
Bila tiba waktunya mengaji, disuruhnya anak-anaknya pulang lebih dulu, agar tak terlambat ke surau, dan Mardi sendiri senang dan riang. Bukan. Mardi senang bukan tersebab merasa berhasil mengajari mereka ilmu agama, namun Mardi akan merasa aman berpraktik sebagai dukun, sebab kedatangan anak-anak termasuk Suliman kembali mengaji ia akan dipandang orang paling sabar dan patut dihargai.
Dan Suliman, lain dari yang lain. Begitu Mardi, memuji. Ya, memang, Suliman, yang pendiam, suaranya khas, dan dapat dipastikan setiap adzan akan menyisahkan decak kagum dari orang-orang kampung. Ah, setiap mendengar suara Suliman, baik ketika mengaji maupun sedang azan, mereka seperti lupa dalam waktu tempo akan kesengsaraan yang melilit dan tak kunjung lekang itu. mereka lupa besok hari makan apa. Suliman, yang sampai sekarang tak kenal bapak ibunya.
Adakah ia bagian dari Bilal, budak belian, si tukang adzan di Jazirah Arab sana? Ah, tak penting para orang tua memersoalkan ke mana ibu Suliman pergi. Siapa bapaknya. Tetapi anak-anak? Duh.. alangkah polosnya mereka. Dari siapakah mereka tahu, Suliman anak genderuwo, sebagian bilang, keturunan Ratu Selatan, yang kesasar. Sebagian yang lain mengejek, Suliman anak pelacur jalanan, tak berbapak-tak-beribu.
Begitulah cerca dan caci harus Suliman terima setiap hari. Tapi kenapa berlawanan? Sementara para orang-orang tua memujinya, termasuk neneknya sendiri, yang dengan bangga selalu bercerita, Suliman anak istimewa. Dan anak-anak? Adakah ucapan-ucapan yang mereka tuju pada Suliman, keluar dari kepolosan pikiran sebagai anak-anak?
Di surau, meski Suliman diistimewakan oleh Mardi, Suliman tetap tertekan, sakit hati dengan cerca-cacian anak-anak itu. Pada suatu waktu ia pergi dengan diam-diam, beberapa hari tak ada di surau sebagaimana biasanya, orang-orang kampung merasa kehilangan, dan segera mencari. Ternyata Suliman, berada di pantai. Seorang diri. Menangis sedih. Orang-orang kampung melarang keras anaknya agar tidak lagi mengejek, mencaci Suliman, bahkan di antara mereka mengancam tak akan memberikan makan.
”Suliman mengadu pada Ibunya, Ratu Selatan,” usil anak-anak cekikikan, susul-menyusul.
Adalah suatu sore, sepulang anak-anak dari surau, Suliman tak segera pergi. Di bawah pintu ia berdiam diri, berisak senik.
”Sudahlah, Sul,” ujar, Mardi, ”namanya anak-anak.”
”Tapi benar, kan?” Mardi tak segera menjawab, ”Benar kan, aku anak pelacur?”
”Karena mereka iri, Sul. Kamu bukan anak pelacur jalanan, bukan sembarang pelacur. Tapi pelacur dari surga,” hibur Mardi.
Suliman membeku. ”Nah, buktinya, kamu lahir dengan kepandaian, yang tak mereka miliki. Suaramu. Sikapmu. Bukankah itu suatu keistimewaan yang jarang dimiliki orang, termasuk anak-anak itu?” Hening. ”Tidak usahlah bersedih hati. semua di mata Tuhan sama. Ya, sekalipun kamu anak dari seorang pelacur.”
”Ke mana Ibu pergi?”
”Apakah nenekmu tak memberi tahu, Sul?”
”Ibumu, Sul, pergi sejak kamu lahir. Orang-orang tidak tahu, ke mana ibumu sesungguhnya pergi. Dari nenekmulah kami mengerti bahwa, ibumu bekerja, entah di mana juga tak jelas. Ibumu baru dua kali pulang dalam beberapa tahun ini. Pertama, saat melahirkanmu, dan pergi lagi, dan pulang untuk kedua kalinya dalam keadaan hamil, lalu setelah melahirkan adikmu, ibumu pergi lagi.”
Saat itu Suliman membuang pandang ke pekarangan, seketika meraung. Mardi, mengulum senyum seperti menyimpan sesuatu. Sepotong senja menggantung. Tiga ekor burung gagak berkoak-koak, terbang dan kemudian menukik, memutari surau sebelum akhirnya hinggap di beranda surau hingga membuat Suliman terpana, seperti tak percaya.
”Sabar, Sul,” Mardi menyeringai, ”Azan kalau sudah magrib.”
Mardi pergi. Suliman menatap nanar. Sepotong senja menyusut. Tiba-tiba dari balik jelaga awan yang berarak, seperti menyeruak sepotong senja dengan percikan cahaya merah kesumba. Aneh, gumam Suliman. Seekor burung gagak melintas. Sejenak ia beranjak. Berjalan ke arah barat, dan kembali menatap dengan nanap. Sontak, ia seperti disergap pikiran-pikiran aneh: percakapan bersama Mardi, gurunya mengaji, dan anak-anak, yang tak jemu mengejeknya sebagai anak tak berbapak, tak beribu. Perlahan, percikan-percikan cahaya senja itu seketika tersekap gelap.
Petang di pekarangan menyebabkan kunang-kunang berkerubung, magrib pun tiba, Suliman beranjak, namun ketika tiba di bawah kudung pintu, kembali ia berdiri, seolah sesuatu yang lain kembali merasuk, dan spontan ia seperti menemukan jalan keluar dari cerca dan caci yang selama ini tak lekang menandanginya: ia tatap langit-langit surau itu lekat-lekat.
Seperti seorang pesilat dengan cekatan ia memanjat lewat jendela, setelah mengikat erat ujung sarung, yang sering ia pakai saat bersembahyang pada salah satu usuk, sekarang Suliman mengikat antara ujung sarungnya hingga tampak seperti sebuah kalung. Sesudah itu, Suliman turun, dan pergi ke jamban, tak lama berselang kembali Suliman masuk ke dalam surau dengan wajah basah. Suliman menggelar sajadah, sehabis sholat, wajah
Suliman tampak lebih tenang, sangat tenang. Sambil mengulum senyum, Suliman menatap bundelan sarung yang menyerupa kalung itu, dan perlahan-lahan ia memanjati jendela seraya berdoa, Suliman memasukkan lehernya pada sarung yang terikat kuat sebelum akhirnya menjatuhkan kakinya dari sela kudung jendela.

Yogyakarta, Oktober 2008-Maret 2009.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir