Eka Kurniawan
http://suaramerdeka.com/
”KAMU masih sering dipukul orang?” tanya teman lamaku, waktu kami berjumpa di rumah nenek, Lebaran lalu. ”Ya, enggak, lah,” jawabku sambil nyengir.
Ia mengingatkanku pada masa kecil kami. Saat itu ibuku baru melahirkan adik, dan bapak menitipkanku ke rumah nenek di kampung. Di sekolah yang baru, hanya aku yang pakai sepatu dan hanya aku yang punya rautan pensil. Sial sekali memang. Dengan tubuh kecil, ringkih, hidung penuh ingus dan sering pilek, aku menjadi bulan-bulanan teman sekelas. Setiap hari mereka merampok uang jajanku.
Satu hari tiga anak memukuliku, karena aku sengaja tidak membawa uang jajan. Nenek mengetahuinya. Seharusnya Nenek mendatangi Kepala Sekolah dan mengadukan kelakuan anak-anak itu. Atau mengembalikan aku ke rumah ibuku, seperti keinginanku.
Rupanya Nenek punya cara sendiri. Sore hari ia membawaku ke sebuah gubuk di tepi mata air. Kelak aku mengetahui, pekerjaan pemilik gubuk itu memang menjaga mata air tersebut. Gubuk itu mungil saja, dengan asap mengepul dari celah atap sirapnya. Barangkali penghuni rumah sedang memasak di tungku dapur. Nenek mengetuk dan tak lama kemudian pintu terbuka.
Di depan kami berdiri seorang lelaki tua yang langsung mempersilakan Nenek duduk. ”Enggak usah, aku cuma mampir sebentar,” kata Nenek sambil menoleh ke belakang lelaki tua itu. Di sana berdiri seorang anak lelaki, lebih tua dariku, memerhatikan kami dengan penasaran. ”Kelas berapa anakmu, si Rohman itu?” tanya Nenek.
”Kelas empat,” si lelaki tua menjawab sambil menoleh ke anaknya dan berkata kepada anak itu, ”Suruh emakmu bawa teh.”
Tapi Nenek buru-buru memberi isyarat Rohman agar tidak pergi, dan menyuruh mendekat. Rohman menghampiri Nenek, dan tanpa mempedulikan lelaki tua itu, Nenek berkata kepada Rohman:
”Dengar, mulai besok, kamu belajar di kelas dua dan duduk satu bangku dengan cucuku ini. Jika seseorang mengganggunya, kau boleh menghajar mereka sesuka kamu.”
Dengan kebingungan, Rohman menoleh ke ayahnya. Si lelaki tua hanya tersenyum, kemudian berkata, ”Jangan khawatir. Besok ia akan duduk di kelas dua.”
Begitulah cara Nenek menyelesaikan persoalanku. Sejak saat itu, Rohman turun kelas dua tingkat. Hebat juga anak itu, sejak ia duduk sebangku denganku, tak seorang pun berani menggangguku lagi. Sepatuku terbebas dari injakan kaki-kaki dekil. Ah ya, kadang-kadang di luar sekolah, masih ada anak yang tak tahu apa-apa menggangguku, dan esok harinya, Rohman bisa menghajarnya hingga babak-belur.
Tapi tak lama setelah itu, Ayah mengambilku kembali dari rumah Nenek. Aku tak tahu apa yang terjadi. Ibu hanya pernah bercerita, aku menangis berhari-hari meminta pulang. Aku tak ingat apa yang membuatku menangis. Aku juga tak tahu apa yang terjadi dengan Rohman: apakah ia kembali melompat dua kelas sebagaimana mestinya, atau tetap meneruskan tingkatannya saat itu. Di sekolah yang baru, kadang-kadang ada yang mengganggu, tapi aku bisa mengatasinya. Di SMP, aku punya banyak teman dan tak ada yang mengganggu. Di SMA aku mengencani beberapa gadis cantik dan pintar, dan karena ”gadis cantik yang pintar” jarang jadi rebutan, aku nyaris tak punya saingan. Aku masuk universitas dan jadi kutubuku. Aku bahkan nyaris lupa pernah punya teman sebangku bernama Rohman. Kini aku bertunangan dengan anak gadis bosku, Raisa, dan tak seorang pun berani mengusik hubungan kami.
Kemudian, Lebaran lalu aku mengunjungi Nenek dan berjumpa dengan si Rohman ini, dan pertanyaannya sungguh konyol: ”Kamu masih suka dipukuli orang?”
Kami berdua duduk di beranda dan berbagi segala hal yang kami tidak ketahui selama perpisahan itu. Rohman berkata, ”Setiap kali pulang kampung, aku selalu menemui nenekmu hanya untuk tahu kabar tentangmu.” Aku hanya tersenyum dan menepuk lututnya. Lalu ia menambahkan, ”Sampai sekarang aku masih sering kuatir, ada orang memukulimu.”
Aku tertawa dan kembali menepuk lututnya. ”Enggak usah berlebihan begitu.”
Tapi dengan tatapan serius ia memandangku dan kembali berkata, ”Di mana kamu sekarang tinggal? Aku akan memberimu sebuah jimat.”
”Jimat?”
”Jimat. Kamu bakal tahan pukul dan kebal senjata.”
***
JIMAT itu sekarang berada di tanganku. Namanya jimat sero. Kata Rohman, yang sengaja datang ke apartemenku, itu memang terbuat dari ekor sero. Rubah.
Karena tak tahu harus berbuat apa, aku bertanya apakah aku harus membayar? Berapa? Rohman hanya tertawa sambil menggeleng. Tidak, katanya, kamu tak perlu membayar sepeser pun. Ia memberikan jimat itu benar-benar karena ia mengkhawatirkanku. Ingat, katanya, dulu ia berjanji untuk menjagaku. Tapi ia tak mungkin menjagaku terus-menerus. Ia hanya bisa memberiku jimat itu.
Aku yang tak terbiasa memperoleh sesuatu secara cuma-cuma mencoba bertanya mengenai pekerjaannya. Barangkali ia punya anak, dan seperti kebiasaan orang desa, barangkali ia mencoba menitipkan anaknya untuk dimasukkan ke perusahaan tempatku bekerja, atau ke kantor-kantor kenalanaku. Tapi jelas ia tak membutuhkan apa pun. Ia sudah jadi juragan kopra di Banten selatan dan anaknya yang paling tua masih berumur sebelas tahun. Ia benar-benar tak membutuhkan apa pun dariku.
Setelah memaksanya menginap semalam dan mengajaknya berkeliling Jakarta untuk sekadar bersantai, ia akhirnya pulang.
Dan jimat itu bersamaku. Jimat sero.
Selama beberapa hari aku mencoba menghiraukannya, tapi semakin aku mencoba melupakan bahwa aku memiliki jimat, semakin aku mengingatnya. Jimat itu tebungkus dalam kantung kain katun kecil, dengan tali untuk mencantelkan, sebesar gelang tangan. Aku sudah memeriksanya, dan memang itu tampak seperti ekor binatang yang sudah kering. Tak ada tanda-tanda benda itu memiliki kesaktian apa pun. Bahkan aku ragu ia bisa melindungi dirinya sendiri.
”Kamu harus membawanya jika ingin merasakan keampuhan jimat ini. Masukkan ke saku celana sudah cukup,” begitu kata Rohman sebelum pergi.
Aku malah menggeletakkannya di meja, di samping komputerku.
Sampai kemudian terpikir olehku bahwa satu-satunya cara untuk meyakinkan apakah benda itu berguna atau tidak adalah dengan menjajalnya. Tapi sebelum itu tentu saja aku harus memastikan sesuatu. Sepuluh hari selepas kunjungan Rohman, aku meneleponnya.
”Setahuku setiap jimat selalu ada pantangannya,” kataku. ”Katakan apa yang tidak boleh kulakukan?”
Rohman tertawa dan menggeleng, ”Tak ada yang perlu kamu risaukan.”
***
SEUMUR hidup aku tak pernah berkelahi. Tentu saja bukan berarti aku tak pernah memiliki masalah dengan orang lain. Apa pun yang terjadi, aku selalu mencoba mengakhiri setiap perselisihan dengan siapa pun tanpa berkelahi. Teman-temanku bilang, aku pandai dalam hal membuat musuh menjadi teman. Tapi sejujurnya, adakalanya aku harus menghindar. Lebih tepatnya, mengalah.
Saat pertama kali kupikirkan untuk mencoba jimat sero, aku langsung membayangkan beberapa orang yang menyebalkan, yang seharusnya kuhajar: sopir taksi yang pernah mengajakku berkeliling sambil berpura-pura tersesat, lalu memaksaku membayar dengan harga argometer yang melambung ke langit; preman kecil yang pernah menodongku di Tanah Abang, bertahun-tahun lalu ketika aku pertama kali datang ke Jakarta; dan barangkali seorang kolonel yang pernah aku lihat menabrak seorang perempuan tua di pinggir jalan, lalu pergi begitu saja seolah tak merasa bersalah.
Dengan sedikit was-was, kuambil jimat sero dari atas meja dan kutimang-timang sejenak di telapak tangan. Benarkah aku percaya omong-kosong mengenai jimat ini? Bukan hal yang aneh jika orang semacam Rohman bisa memiliki jimat, bahkan membuatnya. Aku tak tahu bagaimana seorang anak kecil tukang berkelahi menjelma seorang lelaki penuh klenik yang mampu menyediakan jimat. Tapi setelah kupikir-pikir, itu bukan hal yang aneh, sebenarnya.
Ayahnya, si tukang menjaga mata air, konon juga pemilik beragam ajian. Dan selama bertahun-tahun, ia merupakan orang kepercayaan Nenek dan Kakek. Ayah dan ibuku tak pernah menyinggung soal itu dan aku juga tak terlalu menaruh perhatian, tapi aku mengetahui hal itu.
Kumasukan jimat ke saku kiri celanaku. Itu tempat yang aman, sebab aku tak pernah menaruh apa pun di sana. Jimat itu tak akan jatuh secara tidak sengaja (misalnya karena aku mengambil uang receh atau telepon genggam). Dan untuk sejenak kucoba merasakan sekiranya ada tanda-tanda tertentu yang diberikan jimat itu kepadaku.
Tak ada apa-apa.
Rasanya aku jadi agak ragu-ragu. Benarkah ia membuatku kebal pukul dan senjata? Jangan-jangan jika aku mencobanya, aku malah babak-belur. Masih untung jika tidak langsung mati.
Aku bergidik dan kulirik pisau cukur.
”Tidak, kamu akan berdarah jika kamu lakukan sendiri. Jimat itu hanya bekerja jika seseorang memukulmu atau mencoba melukaimu dengan senjata.”
Tak ada cara lain untuk membuktikannya, pikirku. Setelah memikirkan hal itu selama beberapa saat, akhirnya aku pergi ke tempat kerjaku. Tak apa, toh sebenarnya tak ada keharusan untuk membuktikannya. Jika aku takut jimat itu ternyata tak bekerja sebagaimana yang dijanjikan, aku tak perlu berkelahi dengan siapa pun. Aku bisa melanjutkan hidupku sebagaimana biasa, sebagaimana hari-hari ketika jimat sero belum ada.
Umurku dua puluh sembilan tahun, dan aku baik-baik saja tanpa jimat sero. Dengan pikiran seperti itu, entah kenapa, aku tetap membawa jimat sero di saku celanaku.
***
AKU berjalan kaki ke apartemenku sambil menggigil. Aku tak tahu seberapa kusut diriku. Orang-orang melihatku dengan tatapan curiga. Aku tak peduli dan terus berjalan. Kulihat tanganku. Darah kering di mana-mana. Bahkan kemejaku juga berpelotan. Aku bisa melihat jemariku meregang satu sama lain dan aku tak yakin bisa menggerakkannya. Mereka bergerak sendiri. Ikut menggigil.
Terbayang olehku tubuh Nasrudin tersungkur ke pojok kamar mandi. Ada darah dari sudut bibirnya. Aku sangat senang melihat darah itu. Ternyata darah tidak semerah yang kubayangkan. Darah lebih gelap daripada merah. Merah itu warna bendera dan darah tidak berwarna seperti bendera. Darah lebih seperti warna kelopak mawar yang membusuk. Dan aku suka warna itu mengalir dari sudut bibir Nasrudin.
”Itu untuk mulut najismu,” kataku.
Aku membencinya sejak lama. Ia selalu mencari muka di depan bosku, dan selalu berupaya menjatuhkanku. Ia selalu punya cara untuk membantah gagasan-gagasanku, dan menjungkirkannya seolah-olah gagasanku merupakan gurauan orang bodoh. Aku tahu bosku termakan omongannya, tatapannya memandangku sedih. Hanya karena aku bertunangan dengan Raisa, tempatku di kantor tak tersentuh siapa pun. Meskipun begitu, sungguh, sesekali aku ingin menghajar Nasrudin.
Ingatan tersebut kembali membuatku menggigil.
Hari itu aku berhasil membuatnya marah dan aku menunggu apakah ia akan memukulku. Peristiwa itu terjadi di kamar mandi, setelah sebagian besar teman kerja kami pulang. Ia tidak memukulku, maka aku kembali memancingnya. Akhirnya ia menghampiriku, menyentuh pangkal kemejaku dan bertanya:
”Maumu apa?”
Aku meludahi mukanya.
Ia tercekat sejenak. Tentu saja ia tak akan percaya aku melakukan itu. Ia mengusap mukanya dengan lengan kemajanya, tanpa melepaskan genggamannya di pangkal kemejaku. Ia memandangku. Aku tersenyum mengejek. Ia masih memandangku. Kupandang kembali matanya. Itu saat-saat yang sangat menegangkan. Aku menunggu apa yang akan dilakukannya.
Lalu, bug, ia mengirimkan jotosannya ke rahangku. Aku terdorong beberapa langkah, tapi aku tak merasakan apa pun. Aku tersenyum dan menghampirinya.
Ia memukulku lagi. Aku tak merasakan pukulannya. Ia kembali memukul. Aku menerimanya bagaikan karung pasir. Ia memukuliku selama sekitar sepuluh menit, atau tiga puluh menit? Ia benar-benar kebingungan pukulannya tak berpengaruh apa-apa padaku. Hingga akhirnya aku melancarkan serangan balasan.
Satu pukulan mengirimnya ke samping pintu. Pukulan kedua membuat memar dahinya. Pukulan ketiga membuatnya terhuyung-huyung. Entah pukulan keberapa ia tersungkur di sudut kamar mandi dan darah mulai keluar dari ujung bibirnya.
”Ampun, ampun,” katanya.
Aku keluar dari kamar mandi. Aku tersenyum. Lalu tertawa. Lalu menggigil.
Aku masih menggigil tapi juga dilanda kesenangan ketika membuka kunci pintu apartemen. Ketika aku masuk ke dalam, aku merasa ada orang di dalam apartemenku. Tentu saja itu Raisa, pikirku. Raisa memiliki kunci apartemenku, dan ia bisa datang dan pergi sesuka hatinya. Kadang-kadang ia tidur di tempatku, dan saat-saat seperti itu tentu saja kami akan bercinta. Pagi hari ia akan pulang, kembali ke rumah orang tuanya.
Kunyalakan lampu dan kulihat Raisa di tempat tidur. Yang tidak biasa, ia di sana tidak sendirian. Ia bersama seorang lelaki. Aku hanya duduk di sofa, sambil memandang mereka melalui pintu kamar terbuka.
Aku mencopot sepatu, melepas kaus kaki. Kupandangi tanganku yang penuh noda darah. Kuintip kembali Raisa dengan lelaki itu. Kudengar desahan suara Raisa yang sangat kukenal.
Kemudian segalanya selesai.
Ia turun dari tempat tidur dan menghampiriku. ”Hai, sudah pulang?” tanyanya. Suaranya kukenal baik. Rohman.
Aku tak menjawab. Aku tak tahu apakah aku tertidur atau tidak. Mungkin di antara itu.
***
KEMUDIAN aku teringat apa yang dulu membuatku menangis berhari-hari di rumah Nenek. Malam itu, aku melihat Nenek di atas tempat tidur bersama si penjaga mata air. Kakek hanya duduk di dipan rotan. Pemandangan itu menakutkanku, dan aku menangis sejak malam itu.
Entah bagaimana aku bisa melupakannya. Tapi malam ini, bertahun-tahun kemudian, aku mengingatnya. Tapi aku senang-senang saja. Aku senang melihat darah di tanganku. Aku senang melihat Raisa mandi keringat di tempat tidur. Aku senang melihat Rohman berjalan telanjang ke arahku. Terutama aku senang memiliki jimat sero di saku kiri celanaku.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 09 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar