Putu Fajar Arcana
http://suaramerdeka.com/
SETIAP petang tiba Ibu selalu menyuruh kami buru-buru masuk rumah. Padahal terus terang kami masih ingin berlama-lama mengantar matahari pulang. Itulah saat-saat kami menikmati keheningan, ketika burung-burung bergerak serentak ke arah selatan desa menuju Rawa Suwung. Sayap-sayap mereka mengepak seperti mengumpulkan sisa cahaya senja untuk kemudian menghangatkan tubuh anak-anaknya di dalam sarang.
Di tengah kekhusyukan menikmati alam dari sisi tebing di bawah serumpun bambu, Ibu selalu memanggil-manggil dengan suaranya yang parau.
”Sudah jamnya masuk rumah. Ayo, sebentar lagi gelap,” Ibu selalu berteriak.
Sementara biasanya kalau Ayah di rumah, ia akan cepat-cepat menjemput kami lalu membopong kami satu per satu menuruni tebing. Itu tandanya Ayah tak mau berselisih paham dengan Ibu. Ia sudah merasa lelah setelah seharian berkubang air dan menggali tanah untuk tambak kecil kami di Rawa Suwung. Tak ada tenaga lagi untuk mendebat Ibu.
Soal Rawa Suwung itu, mungkin perlu sedikit kuceritakan kepadamu. Asal tahu di rawa itu tumbuh pohon buyuk, sejenis nipah, yang mahaluas. Aku tak bisa mengukurnya, yang jelas pohon-pohon itu menghampar dari tepi sawah yang dibelah Sungai Ijogading sampai ke muara di Desa Kumbading. Kalau kau bersampan melintasi sungai mungkin butuh waktu dua jam sampai ke muara. Kira-kira dua kilometer dari tepi sawah, kami memiliki sebidang tanah yang dipenuhi pohon buyuk. Sejak aku naik ke kelas tiga SD, Ayah membuat tambak kecil yang langsung berhubungan dengan cengcengan, anak sungai kcil yang menembus hamparan buyuk. Pada saat pasang, air sungai bisa meluap sampai membuat genangan-genangan di bawah akar buyuk. Itulah saatnya ikan dan udang dari sungai naik ke darat. Ayah tak perlu menabur benih, ia cukup membuka jaring di mulut tambak agar ikan-ikan leluasa masuk. Menjelang surut Ayah akan kembali memasang jaring agar ikan-ikan terhalang. Begitu air benar-benar habis dan dalam tambak hanya terdapat genangan-genangan kecil, itulah saatnya panen. Aku dan dua kakakku bisa dengan leluasa memunguti ikan jerejet, udang, bandeng, dan kepiting. Kalau beruntung kami bisa mendapatkan ikan bengkuku, yang mirip kakap putih. Ayah cukup mengawasi dan bila perlu membantu kami jika berhadapan dengan kepiting. Capitnya yang kuat selalu membuat aku takut, meski sudah berkali-kali diajari Ayah cara menangkapnya.
Tambak kecil di Rawa Suwung menjadi sumber penghidupan kami sehari-hari. Singkatnya hidup kami amat tergantung dari pasang surut air Sungai Ijogading. Memang terkadang ayah mencari kerang toktok dengan menggores-goreskan sabit di bawah akar-akar buyuk, tetapi sering usaha itu gagal. Ayah bilang ujung sabitnya sudah jarang menyentuh cangkang kerang saat ia menggores lantaran banyaknya pemburu. Kerang toktok termasuk jenis kerang besar yang bisa hidup di dalam lumpur. Rasanya lezat dan karena itu harganya cukup mahal.
****
KETIKA aku menginjak kelas enam dan dua kakakku telah duduk di bangku SMP, kehidupan kami benar-benar morat-marit. Setelah banjir besar akibat Sungai Ijogading meluap dan merendam kota, alur sungai yang berkelak-kelok itu diluruskan. Sungai Ijogading tidak lagi menjadi sumber penghidupan tetapi menjelma menjadi banjir kanal yang lempeng sampai ke laut.
Tambak pun tak lagi bisa jadi tumpuan hidup, karena air pasang tak pernah memasuki tambak-tambak kami. Ayah memutuskan beralih pekerjaan. Betapa pun dua kakakku sudah butuh biaya untuk meneruskan sekolah. Ayah tak mau anak-anaknya gagal seperti dirinya yang terpaksa berhenti sekolah karena membantu Kiang, kakek kami mengurus tanah rawa. Padahal menurut cerita Ibu, kalau tidak berhenti Ayah tentu sudah jadi guru, karena dulu ia berpendidikan sekolah guru bawah atau SGB. Waktu itu profesi guru di desa kami cukup terhormat.
Ayah mencoba menjadi buruh tani sembari menganyam bambu bersama ibu di rumah. Kami kemudian tumbuh sebagai keluarga perajin bambu yang membuat tempat nasi, kukusan, dan niru, terkadang juga bubu penangkap udang. Meski hasilnya tak seberapa, tetapi itulah cara kami mempertahankan hidup di desa.
Kebetulan di barat rumah kami tumbuh serumpun bambu yang kata Ayah sejak ia lahir sudah ada.
”Mungkin kakeknya kakek yang menanamnya,” kata Ayah setiap kali kami bertanya tentang siapa yang menanam rumpun bambu itu. Bambu ini berasal dari jenis tali, yang memiliki serat-serat liat dan lentur, tidak mudah patah kalau dianyam. Rumpunnya terpelihara dengan baik, padahal kulihat Ayah nyaris tak pernah membersihkan ranting-rantingnya. Ayah juga tidak pernah tebang pilih. Ia akan memotong bambu sesuai dengan urutan rumpun yang selalu tumbuh melingkar. Hebatnya Ayah hafal benar urut-urutan tumbuh batang bambu. Ia tidak akan menebang sebatang bambu yang tumbuh belakangan karena usianya lebih muda dibanding yang tumbuh sebelumnya.
Selain itu, Ayah tidak pernah menebang bambu setiap hari. Pada hari-hari yang disebut kajeng, ia pantang memotong. Bahkan membelah batang bambu yang sudah ia tebang pun tak mau. Pada hari itu Ayah hanya duduk seharian menganyam bilah-bilah bambu yang sudah ia siapkan beberapa hari sebelumnya.
Suatu kali aku iseng bertanya, ”Mengapa saat kajeng tak boleh menebang, Yah?”
Ayah tak langsung menjawab. Ia sibuk memperhatikan anyaman kukusan kakakku yang rupanya tidak sempurna. Setelah beberapa saat membetulkan alur anyaman, Ayah berkata, ”Ibu bambu sedang sibuk.”
Kupikir Ayah menjawab sekenanya. Bukan jawaban itu yang kuharapkan. Tetapi jawaban sekenanya itu telah memancingku terus ingin tahu.
”Memangnya bambu punya ibu?”
”Sudah tentu, jika tidak bagaimana ia bisa lahir,” kata Ayah.
”Siapa namanya ibu bambu itu?”
”Kalau bangun dinihari, dengarkan tangisan dari sudut tanah milik Pak Welem.”
Ibu memang pernah melarang kami bermain sampai ke tegalan milik lelaki berambut perak, yang baru kutahu namanya itu. Di tegalan Pak Welem tumbuh beberapa rumpun bambu jenis gesing yang berbatang besar dan tinggi. Dulu, kata Ayah, para nelayan memakai gesing sebagai kantir penyeimbang sampan dan tiang layar untuk perahu. Tetapi rumpun bambu milik Pak Welem sudah kelihatan saling belit. Batang-batangnya pun sudah tumbuh jauh di atas tanah. Kalau kau ingin menebangnya harus menerabas duri untuk mencapai ketinggian di mana pangkal bambu tumbuh. Dan itu pekerjaan tak mudah, karena gesing terkenal dengan durinya yang tajam.
Perkataan Ayah telah mengingatkan aku pada tindakan Ibu yang selalu meminta kami segera masuk rumah begitu petang menjelang. Dulu hampir setiap malam memang aku dengar suara tangisan perempuan. Setiap kutanyakan, Ibu selalu menjawab itu tetangga kami terdekat yang jaraknya kira-kira 500 meter dari rumah kami.
”Suaminya sering main pukul dan menyiksa istrinya,” kata Ibu.
”Kenapa suami suka menyiksa?” kataku agak ceriwis.
”Karena mereka lelaki.”
Aku diam sesaat.
”Kok bisa ya Bu?” tanyaku lagi.
”Ya karena mereka berkuasa.”
Pada kesempatan lain aku tanyakan pula kepada Ayah.
”Mengapa lelaki itu dianggap berkuasa sehingga membuat perempuan suka mengangis, Yah?”
Ayah membelalak. Jelas sekali raut wajahnya menunjukkan kekagetan yang tak dibuat-buat. ”Kamu dengar dari siapa itu?” tanya Ayah kemudian setelah terdiam agak lama. Giliranku yang tak mampu berkata-kata. Tentu aku tak mau mengadu Ayah dengan Ibu. Ia pasti memarahi Ibu jika kusampaikan perkataannya. Aku tak ingin Ibu menangis karena disiksa Ayah seperti yang terjadi pada tetangga kami.
”Kamu dengar dari siapa?” desak Ayah.
”Pohon bambu…” kataku sekenanya.
Wajah Ayah yang galak tiba-tiba berubah penuh ketakutan.
”Jadi kamu pergi ke rumpun bambu Pak Welem? Jangan diulangi. Di situ banyak wong samar yang bisa saja menculikmu sekali waktu.”
”Ayah bilang yang menangis ibu bambu?”
”Ya wong samar itu ibu bambu, peri yang selalu bersedih sepanjang hari.”
Aku sungguh kaget. Cukup lama tak berani bertanya lagi. Ayah mengalihkan perhatian pada anyaman sokasi, mirip bakul nasi, yang sedang ia buat. Dua kakakku menjelang sore itu sedang sibuk membantu Ibu membereskan pesanan beberapa niru dari seorang pedagang di pasar desa.
”Seperti apa sih wajah wong samar itu Yah?”
”Mungkin seperti ibumu…”
Kupikir lagi-lagi Ayah menjawab sekenanya. Ia tak melihat reaksi wajahku yang tiba-tiba memerah. Seluruh aliran darah seperti tersedot dan jika mungkin memancur dari seluruh permukaan mukaku. Kulihat Ayah biasa saja. Lelaki ini, pikirku, terlihat dingin tetapi tak jarang mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan. Coba kau pikirkan, Ibu yang selama ini sangat kucintai, meski ia terkadang bersikap keras, tiba-tiba disamakan dengan wong samar. Aku memang belum pernah melihat wong samar di rumpun bambu Pak Welem. Tetapi dua kakakku pernah bercerita kalau wong samar itu bukan peri baik. Mereka selalu mengintai seluruh aktivitas manusia, untuk kemudian pada suatu hari ambil kesempatan mengganggu.
Pernah, katanya, seorang pemuda tetangga desa kami, ditemukan meninggal di tengah rumpun bambu. Ia hanya pamit menebang bambu untuk membuat kantir sampan. Setelah seharian tidak juga pulang, ibu dan kakak-kakaknya cemas, sebelum akhirnya memberi tahu pemuka desa. Hampir separo dari warga desa dikerahkan untuk menelisik setiap pelosok termasuk semak-semak. Pada hari ketiga pemuda itu ditemukan tewas terjepit di tengah rumpun bambu gesing. Cerita yang beredar kemudian menyebutkan, ia meninggal karena telah memutuskan menikah dengan peri bambu. Selamanya pemuda desa itu akan hidup bersama peri. Mungkin itulah sebabnya rumpun bambu gesing itu selalu terlihat lebat, saling belit, dan jarang ada yang berani membersihkan. Tangisan yang selalu terdengar dinihari seperti yang diceritakan Ayah tak lain dari akal-akalan peri menarik perhatian manusia. Begitu cerita yang beredar dari mulut ke mulut.
Suatu hari, saat Ibu terlihat senggang kutanyakan perihal itu kepadanya.
”Apakah peri itu selalu perempuan, Bu?”
”Untuk apa kau tanyakan itu?”
”Ayah cerita kalau wajah peri itu seperti Ibu.”
Wajah Ibu tiba-tiba berubah muram. Tanpa mengucapkan kata-kata lagi ia bergegas masuk ke dalam rumah. Aku merasa bersalah. Harusnya tidak kukatakan perkataan Ayah sebagaimana dulu tidak kukatakan perkataan Ibu kepadanya. Dua kakakku yang sebelumnya ikut bersamaku belajar menganyam bubu, tamapk tak suka dengan ulahku. Sejak aku sering bertanya, mereka menganggap aku terlalu ceriwis, suka mempersoalkan hal-hal yang tidak perlu.
Dua kakakku memang berbeda. Mereka cukup pendiam. Bahkan terkadang kalau diajak bicara oleh Ayah atau Ibu, cuma manggut-manggut sebelum akhirnya ngeloyor pergi.
****
SEJAK Ibu masuk rumah dan mengunci pintu kamar, ia tak pernah keluar lagi. Padahal matahari sudah lama terbenam, dan itu artinya sudah hampir seharian ia mengurung diri. Ayah belum lagi pulang dari membawa hasil kerajinan kami ke kota. Jarak kota dengan desa kami memang hanya berkisar 30 kilometer, tetapi karena Ayah menempuhnya dengan berjalan kaki sambil memanggul barang, ia butuh waktu seharian pergi dan pulang. Tak jarang di saat pulang ia singgah dulu di beberapa rumah kerabat kami di pinggiran kota.
Aku memutuskan tidur di balai-balai yang tergeletak begitu saja di serambi. Dua kakakku mungkin tidur di kamar. Tetapi aku tak tahu pasti. Sejak mereka menampakkan muka masam, aku tak berani berkata-kata lagi kepada mereka.
Malam ini gelap begitu sempurna. Hanya beberapa kunang-kunang yang sempat melintas di halaman. Suara burung kukugan sesekali terdengar dari kejauhan. Itu biasanya menandakan air Sungai Ijogading menjelang pasang. Pada saat waktu telah melewati beberapa hari dari bulan purnama, air pasang di malam hari biasanya terjadi sekitar pukul 12.00 malam. Sebegini larut aku tak dengar Ayah sudah pulang. Terakhir kudengar daun kelapa jatuh dari tegalan milik Pak Welem, sebelum akhirnya tertidur…
****
IBU membuka kamar. Ia melongok ke kamar tempat dua kakakku sedang lelap tertidur. Setelah mengucapkan sesuatu yang tak jelas benar kudengar, Ibu membuka-buka lemari seperti sedang mencari sesuatu. Dari serambi kuperhatikan ia duduk di ruang tengah rumah kami sembari memandang ke arah rumpun bambu. Ia sengaja membuka jendela lebar-lebar, sehingga gelap malam leluasa menembus ke dalam ruangan.
Tak berapa lama, ia menuju serambi dan kemudian duduk di pinggiran balai-balai di mana aku sedang tertidur. ”Ning,” Ibu menyebut panggilan kesayangannya kepadaku, nama yang ia penggal dari kata ”cening”, yang artinya anak. ”Ini uang kepeng, kusimpankan di saku celanamu. Jika kau membutuhkanku genggam saja erat-erat, pasti Ibu akan datang menengok kalian…Ibu tinggal tak jauh dari sini. Rumpun bambu di tegalan Pak Welem itulah rumah Ibu sejatinya…”
Ketika aku terbangun oleh suara celepuk, itu burung hantu yang selalu hinggap di pohon kendal di belakang rumah kami, malam sedang berada pada puncak kegelapan. Mungkin Ayah belum pulang juga. Kalau ia datang pasti kudengar langkah kakinya yang berat melintasi serambi. Sambil mengerjap-ngerjapkan mata, kucoba meraba saku celana, seperti ada lempeng logam di dalamnya. Bukankah ini uang kepeng yang dititipkan Ibu kepadaku? Jadi Ibu benar-benar terbangun dan mendatangiku di serambi? Mungkin ia sudah memaafkan aku lantaran telah berkata tidak sopan kepadanya. Tetapi ke mana Ibu pergi?
Pelan-pelan aku berjalan ke ruang dalam. Samar-samar kulihat pintu dan jendela kamar Ibu terbuka lebar. Kupikir Ibu memang benar-benar sudah bangun dan bergegas menyiapkan makanan di dapur. Besok kami memang berjanji akan tinggal seharian di Rawa Suwung sembari mencoba mencari ikan. Tanpa berpikir panjang aku pun kembali merebahkan badan di kamar Ibu dan tertidur…
Jakarta, Juli 2009.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar