Donny Anggoro
http://www.sinarharapan.co.id/
Pers Indonesia sebenarnya sudah pernah memiliki bibit unggul yang menjadi gagasan Tom Wolfe sejak 1973 dalam The New Journalism. Kala itu Wolfe mengawinkan disiplin dalam jurnalisme dengan kecantikan karya sastra. Lewat Cemplon yang lahir dari tangan Umar Nur Zain aspek tersebut sudah ada, walau di dalamnya lebih terkandung humor bernuansa parodi, bukan pada kedalaman berita yang ditulis dengan berkisah. Kendati demikian, Umar sudah memilikinya pada Cemplon yang ditulis dengan gaya cerpen (yang dengan hormat kita menyebutnya sebagai sastra). ”Kolom” atau ”esai” Cemplon adalah cerpen faktual yang mampu mencerahkan dari sisi humornya yang segar, cerdas dan menakik.
Ya, inilah ”jurnalisme sastra” ala Cemplon. Ia tak menggurui laiknya kolom yang ditulis tiap Minggu (Cemplon hadir setiap hari Minggu di Sinar Harapan sejak 1979, kemudian dilanjutkan di Suara Pembaruan ketika Sinar Harapan ditutup). Ia tak menjadi kisah mengharu-biru laiknya cerita bersambung di koran. Ia faktual tapi juga fiktif berbekal perkawinan penulisnya yang berlatar belakang jurnalistik dengan kemampuan literer. Ia pun nakal dengan memasukkan penulisnya sebagai pengemban misi sekaligus tokoh bersama Cemplon ciptaannya. Cemplon adalah cerpen, setengah esai karena muatan pribadi penulisnya. Kedalamannya bukan dari keberanian mengelola hal yang sulit. Justru dari kisahnya yang ”cuma” secuil (tulisan Cemplon paling-paling tak lebih dari 2-3 halaman spasi tunggal di layar komputer) terdapat kejernihan penulisnya mengelola hal faktual dalam kerangka humor sebagai cermin perkembangan dan kegagapan masyarakat kita.
Dalam Sederhana-isme (h.71, dalam Cemplon, Maaf, Anda Boleh Lewat, Puspa Swara, 1994) Cemplon didaulat berpidato untuk Hari Kebangkitan Nasional. Cemplon bersiap-siap. Dikenakannya longdres biru asal Eropa, parfum semerbak, dan sepatu yang dibeli di Italia sampai orang dari kejauhan melihatnya seperti berkilauan ditimpa terik matahari. Usai pidato Cemplon yang begitu berapi-api, ia malah kerepotan mencari butiran kalung perhiasannya yang gemerlap tiba-tiba copot dan berceceran di lantai. Ironis, padahal ia baru saja gembar-gembor menyerukan gaya hidup sederhana dalam pidatonya!
Kisah lain lagi, Film Televisi (h.23, Ny. Cemplon, Sinar Harapan, 1981) Cemplon yang mentang-mentang punya stasiun televisi merencanakan peliputan kunjungannya ke daerah yang baru saja tertimpa bencana alam gempa bumi. ”Lha, kok kamu sendiri yang jadi pemeran utama? Kan banyak bintang berbakat yang cantik-cantik?” tanya saya (‘saya’ di sini adalah Umar, si penulis).
”Sekali-sekali boleh dong! Masak yang punya televisi nggak boleh?” jawab Cemplon ngotot.
Maka, jadilah pembuatan film dengan program peng-cover-an profil desa yang terkena gempa bumi. Tapi begitu film selesai, 70 persen adegannya habis untuk Cemplon. Di antaranya Cemplon sedang merenungi nasib korban gempa, Cemplon sedang memberi selamat, Cemplon geleng-geleng kepala dan seterusnya sampai wartawan yang diundang menonton memaki-maki. Maklum, Cemplon sudah menyiapkan berbagai kostum. ”Supaya penonton jangan bosan,” ujarnya genit. Ah, dengan mudah pembaca dapat menebak kisah ini adalah sindiran bagi pemilik stasiun televisi yang aji mumpung ingin jadi selebritis atau pejabat yang hanya ingin dilihat peduli kepada rakyat kecil…
Maka, dalam membaca Cemplon kita tak akan tergopoh-gopoh mencoba mengkaitkannya dengan kejadian aktual yang kebanyakan diambil dari suasana khas Jakarta. Ia mampu menyentil laiknya Sketsa Massa sebagai tulisan karikatural. Ia jenaka tapi cerdas tak kalah dengan kolom yang ditulis seorang budayawan. Bedanya, sentilan tersebut ditampilkan berkisah ala cerpen. Personifikasi tokohnya begitu fleksibel. Cemplon digambarkan cantik, langsing, seksi, centil, genit, kadang judes, pemarah, pemurung, ambisius, idealis dan lain-lain. Ia pun muncul sebagai tokoh yang multidimensi. Hari ini muncul di Bangkok, besok di Amerika, lusa ada di Afrika. Begitu juga pekerjaannya mulai dari penyiar radio, polantas, mucikari, pemilik stasiun televisi, istri pejabat sampai tukang santet! Sosok suaminya tak pernah digambarkan dengan jelas walau ia sudah berstatus ”nyonya”.
Cemplon karya Umar Nur Zain selanjutnya semakin bernyawa lewat gambaran kartunis senior Pramono dan S. Poerwono yang dalam setiap edisi selalu membubuhkan inisial ”Non-O” di sudut gambarnya. Popularitas Cemplon yang melambung era 1980-an di Sinar Harapan kontan membuat harian ini bak harian Kompas punya Oom Pasikom sebagai maskot. Bedanya, Oom Pasikom karya GM Sudarta lahir sebagai editorial cartoon dalam kerangka ”the art of protest”, Cemplon malah hadir dalam dua kerangka sekaligus, kartun dan kisah (yang notabene tentu juga bagian dari ”the art of protest” tadi!) Seperti Oom Pasikom (diperankan Didi Petet tahun 1992) yang diangkat ke film, Cemplon sempat diangkat ke layar kaca pada 1995 dengan Kris Dayanti sebagai pemerannya.
”Pada waktu Sinar Harapan Minggu pertama terbit, terpikir untuk menulis semacam Sketsa Massa dengan menggambarkan tulisan karikatural penduduk Jakarta yang bermacam-macam ini. Seorang guru saya, Soemarsono almarhum dari LKBN Antara yang memberi inspirasi. Ia pernah memberi keterangan, alangkah hebatnya Jakarta! Kalau kita berjalan ke mana saja tampak suasana karikatural. Dari situlah kemudian terpikir bahwa memang Jakarta adalah gudang sketsa tiada habisnya,” jelas Umar Nur Zain menceritakan proses kreatif Cemplon dalam pengantar buku Ny. Cemplon yang diterbitkan Sinar Harapan tahun 1981.
”Karena tulisan ini berkesinambungan, teman-teman menganjurkan untuk mencari tokoh tetap dan tiba-tiba saja nama Cemplon (yang memang tidak ada artinya itu) tak sengaja turun dari alam bawah sadar, ” tambah Umar.
***
Umar Nur Zain lahir di Cirebon, 15 April 1939 dan wafat tahun 1996. Kiprahnya memang lebih banyak di bidang jurnalistik, walau tanpa disadari lewat Cemplon sesungguhnya ia berhasil menunjukkan kemampuan literernya. Ia mendapat gelar Bachelor of Arts tahun 1962 di Akademi Teater Nasional yang kemudian menjadi Sekolah Tinggi Publisistik. Istrinya, Retno Himawati seorang jurnalis di LKBN Antara. Ia pernah mengikuti Advance Editorial Course Thomson Foundation di Cardiff, Inggris. Menjadi wartawan serta redaktur di Berita Indonesia, Berita Yudha, Proklamasi, Sinar Harapan, dan terakhir di Suara Pembaruan sampai akhir hayatnya.
Selain Cemplon, ia juga menulis beberapa buku seperti Rissa (novel, dari cerita bersambung Suara Pembaruan tahun 1990), Piccadilly, dr. Anastasia, Namaku Wage, Bu Guru Dwisari, dan Belantara Ibu Kota. Ia juga menulis buku nonfiksi Penulisan Feature. Semua bukunya selain Cemplon kebanyakan diterbitkan Grafikatama Jaya, penerbit yang digagas dan dikelola sastrawan Satyagraha Hoerip - sampai Hoerip wafat.
Karya lainnya, semisal Rissa, adalah kemampuannya mengolah wacana literer walau ditulis dengan populer. Ceritanya sangat sederhana, bahkan jika merujuk istilah zaman sekarang sangat kosmopolit. Rissa menceritakan seorang mahasiswa yang ketika terbangun mendapati dirinya berubah menjadi burung meliwis. Dalam pengembaraannya ia bertemu Rissa seorang wanita muda, cantik dan kaya, istri simpanan seorang pejabat. Mereka kemudian bersahabat karena Rissa lebih sering ditinggal sendirian oleh suaminya. Ada humor, suspens bahkan roman di Rissa. Sayang, karena dibuat sebagai cerita bersambung (dan barangkali ditulis kemudian langsung dimuat) endingnya terlampau keburu tuntas sehingga Rissa gagal menjadi serangkaian kisah yang menggigit sampai akhir.
Kendati demikian, Umar Nur Zain layak dikenang sebagai satu dari penulis yang kuat di negeri ini. Memang, ia tak sampai membuat karya yang lantas menuai pujian atau penghargaan sastra (namanya tak tercatat dalam Leksikon Sastra Indonesia Modern). Mungkin karena novel-novelnya semacam Rissa bukan karya yang penuh permenungan, namanya cenderung luput dalam kesusastraan Indonesia modern. Padahal lewat Cemplon yang sangat menggelitik ia telah berhasil menorehkan gaya baru yang tak begitu banyak ditekuni penulis-penulis kita di masa kini. Gagasan humor yang dipadu dalam cerita pendek itulah yang sesungguhnya mampu meretas dua bentuk kepenulisan sekaligus: sastra (ada kisah, tokoh sentral, imaji) dan jurnalistik (kejadian aktual, satire dan sarkasme).
Hikmat Kurnia, penyunting buku Cemplon, Maaf Anda Boleh Lewat yang diterbitkan Puspa Swara dalam pengantarnya menulis, ”Dengan cara ini ia bisa memasuki dan menelusuri semua peristiwa yang dijumpainya melompati batas-batas ruang, waktu bahkan logika,”
***
Di masa kini ada Sengklirip yang berkisah mirip Cemplon (menggunakan tokoh sentral dan memparodikan kejadian aktual) di majalah Djakarta! Namun kurang menjadi kritik sosial yang menyentil. Ada Surat dari Palmerah di Jakarta Jakarta, tapi itu pun tak selalu menggunakan figur Sukab yang juga gemar ganti profesi. Sukab lebih banyak muncul dalam cerpen Seno Gumira Ajidarma (belakangan ia malah jadi serial komik). Ada esai Harry Roesli di Kompas atau kolom Sujiwo Tejo di Sinar Harapan yang lugas dan menyentil - tapi itu pun tak mempunyai figur, pun benang merah karena tidak ditulis berkesinambungan.
Cemplon sebagai masterpiece Umar Nur Zain di bidang jurnalistik, bahkan sastra sesungguhnya mengingatkan kita pada banyak hal. Di luar kritik sosial yang jika dibaca sekarang masih terasa kontekstual, kita belum lagi memiliki penulis andal yang mampu mengolah lelucon khas dan idiomatik. Wajarlah begitu Umar Nur Zain wafat, berakhir pula serial Cemplon - pun sampai harian Sinar Harapan, koran tempat pertama kali Cemplon muncul - terbit kembali pada 2002. Kepergian Umar nyaris belum tergantikan walau di masa kini muncul esais -kolomnis sosial -budaya atau politik yang cenderung serius dan tekstual - bahkan elitis, terutama yang ditulis budayawan.
Kepergian Umar seolah menunjukkan bahwa masih ada ragam kepenulisan kita yang tertinggal - karena ketidakbetahan dan nafsu banyak penulis untuk melebur segala khazanah seni, pemikiran atau apa pun juga ke masyarakat luas serta rasa penting tentang peran diri dalam sejarah.
Cemplon adalah salah satu contoh bentuk tulisan yang hidup tanpa menjadi keminter. Ia jenaka tapi juga satire mirip Art Buchwald, seorang satiris kondang Amerika. Ia begitu lugas seperti A. Samad Ismail, penulis terkenal dari Malaysia (Samad adalah cerpenis dengan latar belakang jurnalistik yang kuat seperti Umar).
Membaca serial Cemplon sebenarnya akan sangat membantu kita dalam proses ”menjadi Indonesia” di tengah-tengah masyarakat kita yang tak dapat dipungkiri lagi sedang mengalami ”gegar budaya”. Ia menjadi sarana menertawakan diri sendiri agar dalam kehidupan yang ditulis Umar di pengantar Ny. Cemplon, unik, indah, semarak meski kadang pahit dan sengsara, kita bisa tersenyum kecut, meringis, mengumpat, bahkan bersyukur.***
*) Penulis adalah editor sebuah penerbit, tinggal di Jakarta.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar