Maman S Mahayana *
riaupos.com
Jika Bahasa Melayu ditempatkan sebagai bahasa daerah, sangat mungkin para pakar bahasa (Indonesia) dan Pusat Bahasa, akan menghadapi tembok besar kegagalan. Bukankah salah satu syarat sebuah bahasa menjadi bahasa resmi PBB ditentukan oleh klaim bahwa bahasa itu telah menjadi bahasa negara, bukan bahasa daerah. Jika yang diusulkan Bahasa Melayu sebagai bahasa Nusantara, kendalanya sama saja, lantaran ia bukan sebagai bahasa negara. Jadi, yang diusulkan sebagai bahasa resmi PBB hendaklah bahasa negara, dan itu tidak lain adalah bahasa Indonesia. Pertanyaannya, apakah Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan beberapa negara ASEAN lainnya akan mendukung usulan itu?
Untuk melihat sejauh mana kemungkinan bahasa Indonesia dapat diterima sebagai bahasa resmi PBB, berikut ini akan dipaparkan argumen yang melandasinya, baik dilihat dari aspek kesejarahan, linguistik, maupun luas penyebarannya. Dalam konteks itulah, perlu kiranya kita menengok ke belakang pada sejarah perkembangan bahasa Indonesia.
Salah satu hasil Kongres Bahasa Indonesia II, di Medan tahun 1954, adalah disepakatinya pembentukan suatu badan yang khusus menyusun peraturan ejaan bahasa Indonesia. Alasannya, bahwa Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik yang ditetapkan tahun 1947, perlu disederhanakan dan disempurnakan lagi. Badan tersebut baru terbentuk tahun 1956. Setahun kemudian, berhasil dirumuskan patokan-patokan baru Ejaan Bahasa Indonesia yang terkenal dengan nama Ejaan Pembaharuan.
Belum sempat ejaan ini diresmikan, Persekutuan Tanah Melayu, yakni Malaysia dan sekitarnya, mengadakan kerja sama dengan Indonesia guna membentuk penyeragaman sistem ejaan kedua negara. Hasilnya adalah konsep Ejaan Melayu-Indonesia. Lalu terkenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Konsep ini pun, belum sempat diresmikan, lantaran kedua belah pihak terlibat konfrontasi.
Memasuki zaman Orde Baru, baik Indonesia maupun Malaysia menyadari bahwa sesungguhnya perselisihan antar-bangsa, terutama antar-negara bertetangga, tidaklah mendatangkan manfaat. Lalu, hubungan kedua negara pun dijalin kembali. Sebagai realisasi bentuk persahabatan itu, Ejaan Melindo yang pernah disepakati, dihidupkan kembali. Lahirlah Ejaan Baru tahun 1966.
Entah bagaimana pasalnya, ejaan yang terakhir ini pun tidak sempat diresmikan. Sementara itu, perkembangan bahasa Indonesia yang makin pesat, menuntut perlunya penyempurnaan ejaan dengan segera. Maka atas dasar berbagai pertimbangan, antara lain, perlunya penyesuaian ejaan Bahasa Indonesia dengan perkembangannya, ketertiban cara penulisan, usaha pembakuan Bahasa Indonesia secara menyeluruh, serta usaha pengembangannya, keluarlah Surat Keputusan Presiden Soeharto No 57 tentang peresmian berlakunya “Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan”.
Keputusan tersebut, tentulah tidak hanya atas pertimbangan segi kebahasaan semata-mata, melainkan juga ada sejumlah faktor lain yang tak dapat diabaikan. Dalam hubungannya dengan masalah itulah, kita akan melihat betapa tepat dan pentingnya pembakuan pedoman ejaan bahasa Indonesia yang sedang dalam proses pertumbuhannya. Lebih jauh lagi sebagai upaya untuk menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa dunia.
Faktor Kesejarahan
Dalam perjalanan bahasa Indonesia sampai sekarang, yakni sejak dicetuskan pertama kali dalam butiran Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, pedoman ejaan Bahasa Indonesia secara resmi baru dua kali mengalami perubahan. Pertama, melalui Surat Keputusan Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Mr Soewandi, tanggal 19 Maret 1947, yang disusul dengan Surat Keputusan No 345/Bhg A, 15 April 1947. Kedua, Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 7/U/1972, Mashuri, yang kemudian diresmikan pemakaiannya melalui Surat Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
Sebelum Ejaan Soewandi, pedoman ejaan waktu itu masih menggunakan ejaan van Ophuijsen. Ejaan ini bersumber dari buku yang berjudul Kitab Logat Melajoe hasil penyusunan Charles Adriaan van Ophuijsen dibantu oleh Engkoe Nawawi Gelar Soetan Ma’moen dan Moehamad Ta’ib Soetan Ibrahim. Konsepnya sendiri sebenarnya dimulai tahun 1896, setahun sebelum AA Fokker mengusulkan penyeragaman ejaan Bahasa Melayu dengan huruf Latin. Namun baru diundangkan secara resmi oleh pemerintah Belanda tahun 1901.
Mengingat latar belakang diberlakukannya Ejaan van Ophuijsen, tindakan tersebut cukup punya arti penting bagi perjalanan Bahasa Melayu selanjutnya. Waktu itu, pengaruh Islam di wilayah Nusantara yang amat kuat, menyangkut juga soal bahasa. Masyarakat di Semenanjung Melayu dan sekitarnya, sudah terbiasa menggunakan huruf Arab-Melayu (huruf Jawi atau Pegon—bahasa Melayu dengan huruf Arab). Begitu juga di Pulau Jawa, bahasa daerah setempat banyak juga yang memakai huruf Pegon.
Di samping itu, jauh sebelum bangsa Eropa datang ke wilayah Nusantara, bahasa Melayu sudah menjadi lingua franca bagi penduduk di kepualauan ini. Bahkan perhubungan dengan para pedagang asing seperti India, Arab, Cina, Portugis, dan Persia, juga menggunakan Bahasa Melayu. Dengan sendirinya, di beberapa daerah muncul dialek-dialek Melayu. Kosakata, ejaan, maupun struktur bahasa Melayu, jadi beragam.
Sungguhpun demikian, dialek Melayu Riau yang biasa digunakan oleh para sultan di kepulauan itu, tetap dianggap sebagai Bahasa Melayu Tinggi. Dengan kata lain, Bahasa Melayu yang dianggap standar dan baku waktu itu adalah Bahasa Melayu dialek Riau. Dialek itulah yang kemudian dijadikan model bagi van Ophuijsen dan dua rekannya untuk menyusun pedoman ejaan Bahasa Melayu.
Maka sejak tahun 1901, perkembangan Bahasa Melayu harus berpatokan pada pedoman Ejaan van Ophuijsen, yang pada hakikatnya berlandaskan pada Bahasa Melayu dialek Riau. Semua kosakata yang berasal dari bahasa asing —Cina, Arab, India, Inggris, Portugis, dan Belanda— serta yang berasal dari daerah-daerah di kawasan Nusantara, harus disesuaikan dengan ejaan Bahasa Melayu.
Perkembangan yang amat menonjol ditandai dengan berdirinya Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat), 14 September 1908, kurang dari empat bulan setelah lahir Boedi Oetomo, 20 Mei 1908. Buku-buku yang diterbitkan komisi ini diseleksi secara ketat. Tidak hanya isinya yang harus sejalan dengan garis politik kolonial Belanda, tetapi juga harus menggunakan Bahasa Melayu tinggi sesuai dengan Ejaan van Ophuijsen.
Pada tahun 1917, komisi ini berganti nama menjadi Kantor Voor de Volkslectuur (Balai Pustaka). Penggantian nama ini, sama sekali tidak mengubah kebijaksanaan sebelumnya. Kaidah-kaidah kebahasaan tetap berpedoman pada Ejaan van Ophuijsen. Di balik itu, para pemuda terpelajar kita makin merasakan pentingnya mempunyai bahasa sendiri. Emosi kebangsaan mereka makin menggelora. Sampai puncaknya, pada tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda dari berbagai daerah membulat tekadnya, “Bertanah airyang satu —Indonesia, berbangsa yang satu— Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia.”
Ikrar para pemuda itu, pada awalnya bersifat politis, namun sesungguhnya dalam perkembangannya benar-benar telah mampu meleburkan persoalan suku, adat, ras, dan agama. Kepentingan dan kesatuan bangsa lebih diutamakan dari kepentingan lainnya. Dengan demikian, tekad untuk mengusir penjajah, serta hasrat untuk membentuk negara kesatuan yang merdeka dan berdaulat, nyata sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Melihat Kelemahan
Dalam persoalan bahasa, para pemuda terpelajar kita mulai melihat adanya beberapa kelemahan yang terdapat dalam Ejaan van Ophuijsen. Khususnya ketidakcocokan konsep gramatika Belanda dan Arab yang diterapkan dalam Bahasa Melayu. Fonem-fonem asing seperti ain, hamzah, ch, sj, oe, dl, dan ts, seringkali menimbulkan cara penulisan dan pembacaan yang keliru. Lantaran itulah, dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, 25—28 Juni 1938, diputuskan perlunya ejaan baru, di samping gagasan untuk menyempurnakan dan menyederhanakan Ejaan van Ophuijsen.
Ternyata, tindak lanjutnya baru dilakukan dua tahun setelah Bahasa Indonesia dinyatakan sebagai bahasa negara yang tertuang dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945. Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Mr Soewandi, 19 Maret dan 15 April 1947, mencanangkan penggantian Ejaan van Ophuijsen dengan Ejaan Republik.
Beberapa perubahan yang dilakukan, antara lain, digantinya fonem oe menjadi u, bunyi vokal e (E) dan e (e) diwakili oleh satu fonem e serta ucapan kata-kata asing atau pinjaman yang disesuaikan dengan cara pengucapan bahasa Indonesia. Namun, bentuk kata yang diulang masih dibolehkan memakai angka dua (2). Hal ini tentu saja dapat mengacaukan dengan kata ulang atau reduplikasi, seperti kupu-kupu, paru-paru, biri-biri, dan banyak lagi reduplikasi yang sebenarnya bukan merupakan kata yang diulang.
Sejumlah kelemahan yang terkandung dalam Ejaan Soewandi, dikecam cukup pedas oleh Prof Dr Prijono. Menurutnya, Ejaan Soewandi tidak lebih dari “pindah tulis” dan bentuk lain dari Ejaan van Ophuijsen. Lalu dalam Kongres Bahasa Indonesia II di Medan, 23 Oktober—2 November 1954, mulailah Ejaan Soewandi “ditinjau” kembali.
Setelah tersusun konsep Ejaan Pembaharuan atau yang dikenal juga dengan nama Ejaan Prijono—Katoppo, Persekutuan Tanah Melayu mengadakan kerja sama dengan Indonesia guna menyusun pedoman ejaan bagi kedua negara itu. Namun batal diresmikan karena terjadi konfrontasi. Baru kemudian dihidupkan kembali lewat pertemuan di Kuala Lumpur 21—23 Juni 1967, dengan nama Ejaan Baru Bahasa Indonesia untuk Indonesia dan Ejaan Baru Bahasa Melayu untuk Malaysia.
Sebenarnya, konsep ejaan ini bertumpu pada konsep hasil penyusunan Panitia Crash Program Ejaan Bahasa Indonesia LBK, Agustus 1966. Panitia yang diketuai oleh Anton M Moeliono ini, mendasari konsepnya atas konsep Ejaan Pembaharuan tahun 1957, dan Ejaan Melindo tahun 1959, serta berpegang pada prinsip “satu fonem, satu tanda”.
Hambatan utama terlaksananya hasil rumusan panitia tersebut, sebenarnya lebih menyangkut soal pembiayaan daripada soal kebahasaan. Maka atas berbagai pertimbangan, rumusan itu mengalami beberapa perubahan lagi. Sampai kemudian, keluarlah keputusan yang memberlakukan Ejaan Yang Disempurnakan, 17 Agustus 1972.
Menuju Bahasa Dunia
Pada masa awal diberlakukannya EYD (Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan), reaksi timbul dari berbagai kalangan. Yang tidak setuju, umumnya melihat dari segi pembiayaan semata-mata. Sedangkan yang setuju, melihatnya jauh ke depan. Sesungguhnya, Keputusan Presiden No 57 itu ibarat langkah yang tidak hanya hendak mengokohkan peran bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, melainkan juga upaya mendudukkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi ASEAN dan bahasa dunia.
Dalam lingkup ASEAN, tampaknya Filipina dan Muangthai saja yang mungkin masih merasakan beberapa hambatan. Sungguhpun demikian, berdasarkan unsur kekerabatan, korespondensi fonemis, faktor geografis, struktur gramatika, maupun unsur kebahasaan lainnya, bahasa Tagalog di Filipina dan bahasa Siam di Muangthai, mempunyai hubungan yang erat dengan Bahasa Melayu yang merupakan asal dan dasar Bahasa Indonesia. Begitu juga dengan Bahasa Cham di Kamboja.
Apabila kita membandingkan sejumlah kosa kata yang terdapat di negara-negara tersebut —seperti yang dilakukan Gorys Keraf dalam bukunya, Linguistik Historis Komparatif— kita akan mendapatkan bukti kuat, bahwa bahasa-bahasa di kawasan Asia Tenggara (rumpun bahasa Austronesia) sebenarnya masih satu keluarga bahasa yang sama. Kita tak perlu heran, jika orang Filipina berkata ku:lang (kurang), ilung (hidung), dan bu’guk (buruk). Pendeknya, bahasa Tagalog dengan Bahasa Melayu umumnya mempunyai bentuk dan bunyi yang mirip, bahkan sama.
Bukti lain dapat kita lihat dari hasil penelitian Dr H Kern tahun 1889. Ia membandingkan sejumlah kata dari 100 bahasa yang tersebar dari Malagasi sampai Amerika Selatan. Kesimpulannya, mustahil jika kesamaan bunyi dan bentuk dari nama-nama tumbuh-tumbuhan dan binatang yang terdapat di kawasannya, terjadi secara kebetulan. Artinya, dapat dilacak lebih jauh adanya hubungan kerabat dari satu nenek moyang atau protobahasa yang sama.
Jadi jelas, Bahasa Melayu bagi negara-negara ASEAN, sesungguhnya dapat pula mempererat hubungan antar-negara bertetangga ini. Malaysia, Singapura, dan Brunei, bahkan juga di Muangthai (khasnya Patani) dan Filipina (khasnya Mindanau), menyadari hal itu. Malaysia menempatkan bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan. Demikian juga Brunei Darussalam sejak tahun 1959 —sebagaimana yang dinyatakan Pangeran Badaruddin— “bahwa Bahasa Melayu adalah bahasa resmi dan mesti digunakan di dalam segala bidang.”
Bagi Indonesia, persoalan tentu tidak semata-mata menjadikan bahasa Melayu (baca: Indonesia) sebagai bahasa resmi ASEAN, tetapi juga sebagai bahasa resmi dunia, seperti juga bahasa Inggris atau Perancis. Dan syarat-syarat untuk itu, memang sudah dimiliki Bahasa Indonesia. Antara lain, Bahasa Indonesia merupakan lingua franca bagi lebih dari 136 juta penduduk, bentuk dan strukturnya mudah dipelajari dan sederhana, bentuk tulisan dan ujaran tidak mengandung banyak perbedaan, menyerap secara bebas unsur dan istilah bahasa asing, mampu digunakan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, serta merupakan mata ajaran wajib di semua tingkatan sekolah.
Lebih dari itu, bahasa Indonesia juga sudah diajarkan di banyak perguruan tinggi negara-negara sahabat. Tokyo, Seoul, Beijing, Melbourne, Canberra, Cornel, Yale, Mokow, Paris, Praha, Leiden, Warsawa, Berlin, Mesir, dan banyak lagi universitas di luar negeri yang membuka jurusan tersendiri tentang bahasa dan kesusastraan Indonesia. Paling sedikit, memberikan mata ajaran Bahasa Indonesia. Ini merupakan satu indikasi, betapa Bahasa Indonesia sangat berpotensi untuk menjadi bahasa resmi internasional.
Melihat kenyataan tersebut, tidaklah sepatutnya jika masih ada suara sumbang yang meremehkan peran Bahasa Indonesia. Tidak patut pula jika kita tidak bangga pada bahasa sendiri. Dalam menyikapi perkembangan zaman dan arus globalisasi, peran bahasa Indonesia tentu berlainan dengan waktu pertama kali dicanangkan dalam ikrar Sumpah Pemuda. Jika dulu mampu berperan sebagai alat persatuan dan kesatuan bangsa, maka kini, mampukah ia mengangkat citra keagungan bangsa dan negara Indonesia di mata dunia. Oleh karena itu, gagasan untuk menempatkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa dunia atau bahasa resmi PBB sesungguhnya lebih terterima dibandingkan dengan Bahasa Melayu. Semoga saja harapan ini menjadi kenyataan.***
*) Adalah pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (UI).
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar