Dwi Pranoto *
Kini ia telah menjadi ingatan yang tak mungkin sepenuhnya teringat: di tempat percakapan yang setengah malu-malu untuk memenuhi dirinya dengan asap rokok itu suara yang keluar dari mulutnya jelas sekali mengisyaratkan kalau telah terlatih atau terbiasa mengatasi kegentingan di penjelang khalayak. Ia bergerak rileks; slow motion nyaris. Tapi tubuh kurus yang terbalut jaket putih yang sesekali dibukanya memberi kesan tak sanggup menutupi bocornya kecemasan. Ia duga, mungkin juga berkeras pastikan, sudah tidak ada lagi yang bisa diyakini kini.
Lembaga-lembaga (sosial) begitu berbahaya dan buas. Sebagaimana kota yang dengan agresif telah direbut oleh spanduk-spanduk dan baliho-baliho reklame, tubuh telah ditundukkan oleh kata-kata dimana ideologi mengeram di dalamnya sebagai lembaga-lembaga yang menyusun identitas untuk dirinya melalui luka-luka yang ditakiknya. Seperti kota yang mengasingkan, ia tak lagi mengenali dirinya. Sebagaimana Borges dalam Borges dan Aku, sebagian dirinya terperangkap dalam buku-buku. Borges menggambarkan hubungan antara Borges dan Borges di dalam buku begini; Aku suka jam pasir, peta-peta, tipografi abad sembilan belas, rasa kopi dan prosa Stevenson; ia berbagi kesenangan-kesenangan ini, namun dengan suatu cara yang percuma mengubahnya menjadi atribut-atribut seorang aktor. Dalam semacam pengantar buku mengenai teater yang ia tulis ia berkata kalau penulisnya sudah ‘mati’. Namun frasa-frasa yang menghambur dari mulutnya petang itu, tentang tubuh yang diagresi dan menjadi medan pertempuran kekuasaan dari luar, membawa kembali semua persoalan dalam puisi-puisi yang pernah ditulisnya, tentu dengan keberanian lain.
Ia, bagaimanapun harus dibayangkan terpisah dari tubuhnya, menggigil di suatu tempat sambil menatap tubuh luka keranjangnya. Namun perih berabad itu ternyata juga memeras kuyup ketakutannya sampai temali. Saat itulah ia tahu harus merebut kembali tubuhnya. Menelentangkan tubuh di atas meja operasi untuk,menginvestigasi masa lalu. Menyembuhkan luka-luka seperti sefrasa kalimat surat yang ditulis Rosa ketika duduk di kursi kereta api yang berlari dalam sebuah film mengenai tentara yang menyerbu lembaga pendidikan dan memporak-poradakan tradisinya; Siapa yang mengajari ibu untuk mengusap air mata? Tidak ada cara lain kecuali menghapus narasi-narasi besar, mengusir kampung halaman dari tubuh. Namun, sepi rupanya bukan sesuatu yang bisa sungguh-sungguh ditanggungkan. Sebagaimana Helene Cixous, ia lantas menyusun biografi baru dari suara tubuhnya yang didengar; suara gemeretak tulang, suara pori-pori kulit yang membesar saat hari panas dan mengerut ketika hari dingin, desir darah dalam pembuluh dan teriakan-teriakan tubuh yang barangkali hanya bisa tertangkap orang lain saat mereka menatap mayat. Tidak ada lagi ibu dan bapak di dalamnya, mereka mati bersama kampung halaman yang terusir. Masturbasi sungguh merupakan aktivitas seksual paling simbolik dalam kondisi ini (tapi hasrat yang muncul tiba-tiba di tengah kerja kepengarangannya, mungkin tak mudah dikenali sebagai seks, oleh sebab itu ia katakan masturbasi tak ada hubungannya dengan seks). Karena masturbasi murni imajiner. Tidak ada obyek pengganti cinta pertama di situ, puting susu ibu; tak juga manifestasi cemburu tehadap bapak; seolah penindasan atas hasrat inses itu menghadapi jalan buntu untuk menemui obyek pengganti. Belaka ia dan tubuhnya; permainan orgy kesendirian.
Ataukan ini suatu tanda penyerahan total? Keputusasaan yang membawanya pada masa kini abadi; menghapus sekuen waktu. Karena sejarah ia bayangkan telah ditikam berkali hingga benar-benar mati oleh percepatan, perubahan mutlak. Tidak ada tubuh yang membusuk dimanapun namun bau bangkai berpusar sengit meruapi kilau lestari dunia yang nirwaktu.
Jika benar sudah tak ada lagi yang layak atau mampu diperjuangkan mestinya ia mati, memilih terbakar habis daripada padam perlahan seperti Kurt. Atau setidaknya seperti Lenin yang meminta racun sebab tahu tubuhnya tak lagi berguna. Tapi rupanya ia lebih membayangkan diri sebagai Mishima yang tak hendak menjadi Mishima yang menuntaskan tandas-tandas biografi samurainya dalam seppuku setelah roda modernitas menggilas dan membusukkannya. Atau barangkali ia mau menjadi orang muda teruna dalam imajinasi Borges di umur delapan puluh lima tahun; Jika aku dapat hidup lagi – aku akan coba kerja telanjang kaki pada permulaan musim semi hingga penghabisan musim rontok. Tak hanya kerja telanjang kaki, ia kerja telanjang bulat.
Ia ingin merasuki tubuhnya atau ia merasuki tubuhnya, membentuk subyektifitas murni yang sungguh-sungguh material. Hei, bukankah otentisitas pribadi ini cita-cita modernitas, jika tak semulai awalnya setidaknya tahun 60-an telah membekaskan jejak yang kuat dan dalam; alangkah perlawanan-perlawanan sengit seni garda depan masa itu terhadap modernisme klasik beserta lembaga-lembaga sosial mapan telah melahirkan karya-karya yang kurang ajar, penuh skandal. Bersama itu kegemparan teriakan manifesto-manifesto anti seni atau kematian seni, permusuhan terhadap lembaga-lembaga dan selera umum dan kutukan-kutukan anti perang terdengar. Seni bergegas meninggalkan keindahan yang telah menghuni pasar guna menuju sublimitas, menuju dunia dalam pandangan individu; menuju keunikan-keunikan pribadi; gaya seibarat baju basah yang menunjukan lekuk tubuh. Pembayangan masa depan pada masa itu adalah ancaman keruntuhan menara Babel yang bakal mengasingkan individu sebagai pulau-pulau bahasa yang terpisah. Namun, setengah abad kemudian, jika tahun 60-an kita jadikan tapal awal, kita masih bisa saling bercakap. Bahasa tak pernah menjadi sangat pribadi hingga membuat relasi komunikasi menjadi mustahil tanpa kamus.
Hari ini, ketika pasca modern menggulung semua permukaan bumi – di pelosok-pelosok terpencil pasca modern muncul sebagai imaji-imaji bersama televisi dan telepon seluler – tahun 60-an masih menaungkan bayangannya . Tapi tanpa kegemparan lagi, tekhnologi reproduksi telah menjinakkan dan komodifikasi telah memindahkannya ke pasar. Ada yang dilucuti dalam reproduksi dan komodofikasi itu; politik! Boleh dikatakan pasca modern adalah modernisme 60-an tanpa politik. Sebagaimana ia lebih memilih menggunakan kata ‘pertemuan’ daripada ‘negosiasi’ untuk menyifati dialog dalam relasi komunikasi.
Masih gerimis ketika ia memasuki mobil setelah sedikit menyisakan kopi di cangkir. Ah, kepala yang gersang itu membuat lehernya tampak lebih jenjang dari yang seharusnya. Berboncengan aku pulang ke rumah. Di sepanjang jalan yang membuat kami basah, bahkan sampai saat surat ini aku ketik, masih aku mengira ia pasti sulit memahami tanggapanku yang membingungkan dalam forum penuh asap rokok itu. Masih terngiang seloroh yang ia katakan menjelang aku menuntaskan tanggapanku, ‘Pidato’.
***
*) Dwi Pranoto adalah penggiat sastra dan pemerhati budaya yang concern dengan pemikiran-pemikiran kritis.
http://lepasparagraf1.blogspot.com/2011/05/surat-dari-jember-apakah-ia-sedang.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar