(Tentang Jokowi dan Kiai Ma’ruf)
Muhammad Al-Fayyadl
Sosok Kiai Ma’ruf Amin menjadi pergunjingan negeri ini.
Tapi bukan sosoknya yang penting dibincang – karena hanya akan menimbulkan
“ghibah” dan “namimah” – tapi orientasi pemikiran dan ideologinya. Cocok atau
berseberangan dengan Jokowi.
Jokowi, kita tahu, adalah seorang teknokrat. Ia menghidupkan
kembali teknokrasi Soeharto dengan “developmentalisme”-nya. Orientasinya
ekonomi pembangunan, namun bedanya, ia hidup di zaman pasar bebas dan demokrasi
populis. Pembangunan neoliberal, dengan pemikiran: negara harus dibuka
selebar-lebarnya kepada mekanisme pasar, yang sering kali brutal tentu saja.
Ramah investasi dan investor, asing maupun dalam negeri. Orientasinya penguatan
kelas menengah dan kaum pemodal. Meski mengklaim kemajuan di bidang
infrastruktur, puluhan kasus rakyat berskala besar – sebagian berujung tragedi
berdarah – terjadi di bawah kebijakan yang ditandatanganinya atau direstuinya,
atau skema makro yang dirancangnya. Dalam orientasi pembangunan neoliberalnya,
ia menggenapi SBY, yang memulai dengan MP3EI. Jokowi adalah pelengkap kisah proyek-proyek
yang mangkrak di era SBY, untuk kemudian digenapinya dengan kisah
“keberhasilan”. Teknokrasi di bawah pemerintahannya relatif lebih solid, karena
melibatkan semua sumber daya yang ada: kaum aktivis, intelektual, birokrat,
militer, sampai tokoh agama. Teknokrasinya “partisipatif” dan populistik. Tapi
yang jelas, jarang rakyat terdampak dilibatkan. Teknokrasinya otomatis punya
watak meng-eksklusi.
Di sisi lain, Kiai Ma’ruf adalah kiai yang punya latar
belakang seorang ahli Ushul Fiqh dan Fiqh. Ia termasuk, di kalangan kiai-kiai
NU, orang yang menggagas perlunya ber-fiqh secara metodologis, “manhaji”.
Kalangan santri memahami Ushul Fiqh sebagai “Filsafatnya Hukum Islam”. Pantas
bila Kiai Ma’ruf seorang konseptor yang tangguh, karena pemikirannya punya
dimensi metodologis dan rasional yang cukup kuat.
Dilihat dari Ushul Fiqh, sumbangan Kiai Ma’ruf mungkin
terletak pada orientasi pemikirannya yang menekankan orientasi “Kemaslahatan” –
yang populer dengan “Fiqh Maqashid”. Di beberapa Muktamar NU, pemikiran ini
yang mulai menjadi tren: cara ber-fiqh NU tidak lagi terbatas kasuistik, tapi
melihat secara makro kondisi-kondisi struktural umat. Salah satu capaian
penting NU di bawah kepemimpinan beliau selaku Rais Syuriah adalah keputusan NU
untuk menyetujui dan melaksanakan “Reforma Agraria” di Munas Lombok. Tujuannya
adalah mengurangi ketimpangan antara tuan tanah dan rakyat tak bertanah.
Orientasi ini yang mungkin mendorong Kiai Ma’ruf, dalam
jumpa pers pertamanya setelah ditunjuk menjadi cawapres, berbicara mengenai
Kedaulatan Pangan dan ekonomi berbasis umat. Beliau mengkritik orientasi
ekonomi “era sebelumnya” yang berorientasi akumulasi, alih-alih distribusi –
istilah Kiai Ma’ruf, “ekonomi yang melahirkan konglomerasi”. Dari sisi ini, ada
orientasi anti-kapitalistik pada pemikiran Kiai Ma’ruf, walaupun tidak murni.
Apakah Kiai Ma’ruf menolak kapitalisme? Tidak dapat
dibilang demikian. Meski mengkritik kapitalisme oligarkis yang melahirkan
konglomerasi, tidak berarti Kiai Ma’ruf anti-kapitalisme. Ia tidak bermasalah
dengan kapitalisme sejauh sejalan dengan “syari’ah” – kapitalisme yang difilter
dengan nilai-nilai dan hukum syari’ah. Kita bisa mengatakan, Kiai Ma’ruf adalah
seorang pemikir dari poros Ekonomi Syariah. Beliau tidak datang dari kubu
Neoklasik (Kapitalis) maupun Sosialis. Beliau ingin mengoreksi kapitalisme
dengan Ekonomi Syariah. Pro-pasar, tapi pasar yang “syar’i”. Peran ini yang
dijalankan Kiai Ma’ruf di MUI, dan dengan pergaulannya dengan komunitas
perbankan dan lembaga-lembaga keuangan syariah.
Dilihat dari MUI, Kiai Ma’ruf terkesan sebagai seorang
konservatif tulen. (Beberapa aktivis melabelinya demikian.) Konservatismenya
dikesankan dari kedekatannya dengan kelompok-kelompok Islamis. Tapi terkadang
dilupakan, Kiai Ma’ruf juga aktif di NU. Jika di MUI pemikirannya tampak
konservatif dan tekstualis (produk dari nalar Fiqh-nya), di NU, sebaliknya, ia
tampak membawa pembaharuan dan terkesan sebagai pembaru (produk dari nalar
Ushul Fiqh-nya). Jika di MUI pemikirannya tampak intoleran dan “purist”, di NU
Kiai Ma’ruf justru menggemakan moderatisme (Wasathiyah).
Persilangan ini yang membuat Kiai Ma’ruf unik dan tampak
tidak konsisten. Selama menjabat di MUI, beberapa produk fatwa MUI yang
hitam-putih dan diskriminatif lahir. Siapapun dapat mengkritik – karena layak
dikritik – fatwa-fatwa MUI seputar Ahmadiyah, Syiah Sampang, LGBT, Gereja
Yasmin, dan lain-lain. Kasus-kasus rakyat “minoritas” (walaupun sebutan ini
bermasalah). Bagaimana Kiai Ma’ruf dapat turut serta melahirkan produk-produk
fatwa semacam ini? Ini bisa jadi karena produk nalar Fiqh-nya. Fiqh menuntut
kejelasan halal dan haram. Bisa juga karena bias produk pemikiran Aswaja yang
memang tidak menoleransi penyimpangan akidah, jika telah menimbulkan keresahan.
Tapi yang ganjil, pertimbangan “Kemaslahatan” seolah tidak dipakai Kiai Ma’ruf
di MUI.
Di sisi lain, Fiqh Kemaslahatan – produk dari Ushul
Fiqh-nya – dipakai Kiai Ma’ruf di kalangan NU untuk memberikan landasan bagi
kebangsaan dan keindonesiaan. Visi Kiai Ma’ruf ini terkesan mengayomi semua
perbedaan. Termasuk eksistensi kaum “minoritas”. (Jadi, ketika para aktivis
menyoroti Kiai Ma’ruf sebagai aktor intoleransi, terutama karena komentarnya
tentang Ahok, visi kebangsaan ini jarang disorot atau disentuh. Padahal menarik
kalau produk fatwa MUI dan statemen publik Kiai Ma’ruf sebagai pejabat MUI
di-“cross-check”/dikonfrontir dengan visi kebangsaan dan moderasi-nya sebagai
Rais ‘Am NU. Karena pengaruh media, Kiai Ma’ruf lebih dikenal sebagai pejabat
MUI daripada kiai NU.)
Dualisme keorganisasian ini, beserta nalar pemikiran yang
dibangun, membuat kita layak bertanya: nanti jika pasangan ini terpilih,
manakah yang akan dominan? Kiprah Kiai Ma’ruf di MUI dekat dengan nalar
Teknokrasi, karena Fiqh memang cenderung kaku, halal-haram. Mirip seperti nalar
teknokratis: bangun atau gusur! Tak peduli orang menderita. Sebaliknya, kiprah
beliau di NU bersumber dari Ushul Fiqh yang ketat dalam prinsip, lentur dalam
penerapan. Berpijak pada Kemaslahatan, Penolakan atas Bahaya (Daf’u al-Dharar),
keberpihakan kepada rakyat, dan sejumlah poin lainnya. Dari Ushul Fiqh ini,
kita bisa memahami penolakan Kiai Ma’ruf atas liberalisme paham keislaman
maupun ekstremisme-Salafi, penolakannya untuk “terlalu bebas” dan “terlalu
kaku”.
Dalam bahasa lain, apakah Ushul Fiqh Kiai Ma’ruf akan
menjadi pelengkap mulus Teknokrasi Jokowi atau mampu meredamnya? Apakah serban
putih Kiai Ma’ruf mampu menjinakkan keliaran nafsu akumulasi para pengusaha dan
pejabat parpol di sekitar Jokowi, atau menjadi pelindung bagi
kepentingan-kepentingan mereka kelak, yang akan semakin menyengsarakan rakyat
ke dalam krisis? Apakah wajah teduh Kiai Ma’ruf mampu memandang umat dengan
rahmat, dan membuatnya mampu meredam ekses kebijakan Jokowi, syukur-syukur
membatalkan skema makro ekonominya yang neoliberalis?
Kiai Ma’ruf tidak sendirian jika bersama Tuhan, dan
bersama orang-orang yang teraniaya. Namun itu mensyaratkan blok politik yang
tangguh. Sementara, orang-orang di sekitar Jokowi adalah para politisi,
pemodal, dan oligarkh yang tak henti-hentinya berpikir untuk kepentingan diri
dan kelompoknya.
Kesempatan pertama Kiai Ma’ruf adalah berstatemen untuk
Lombok. Mendorong pemerintah untuk menjadikan musibah rakyat ini musibah
nasional dan internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar