Muhidin M. Dahlan
jawapos.com
PADA awal Januari 2010 ini, terbit satu buku seni rupa yang berjudul Taring Padi: Praktik Budaya Radikal di Indonesia (LKiS, 2010; 191 hlm). Buku karangan Heidi Arbuckle ini menambah deretan buku yang memaparkan gerakan seni (rupa) kerakyatan di mana dua tahun sebelumnya seniman Sanggar Bumi Tarung mengeluarkan ''buku putih'' mereka dengan judul Amrus Natalsya dan Bumi Tarung (2008). Sementara itu, Moelyono, perupa radikal ISI yang terkenal dengan ''Koperasi Unit Seni''-nya pada era 80-an, sudah jauh hari memperkuat jejak seni kerakyatan dengan mengeluarkan buku Seni Rupa Penyadaran (Bentara Budaya, 1997; 120 hlm) dan Pak Moel Guru Nggambar (Insist Press, 2005; 75 hlm).
Seni rupa kerakyatan memang tak pernah kehabisan peminat di Jogjakarta. Bukan saja karena di kota ini pertama genre seni itu diproklamasikan dan diekspresikan sedemikian keras kepalanya oleh Sindudarsono Soedjojono dkk sejak medio dasawarsa 1930-an, melainkan juga imajinasi tentang seni berbasis publik diujicobakan berkali-kali dengan beragam artikulasinya di masa ketika seni kontemporer menguasai jagat berkesenian Jogja. Mulai dari ''kiri-tengah'' seperti yang dipraksiskan Samuel Indratma dengan proyek Jogja Mural Forum yang mengusungi jargon politik dengan riang gembira: ''revolusi kulonuwun'' hingga ''kiri-dalam/progresif'' seperti yang dipraksiskan Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi dengan tangan terkepal meninju langit yang bersemangat ''revolusi belum selesai'' sebagaimana dipraktikkan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) puluhan tahun sebelumnya.
Imaji tentang posisi gerak seni Taring Padi yang bersandar pada kerja Lekra itu sudah tercium sejak pertama dideklarasikan pada 2 Desember 1998 di LBH Jogjakarta oleh Yustoni Volunteero dkk. Sejak dari menamai manifesto politik berkeseniannya dengan ''Mukadimah'' dan judul selebaran propaganda tentang siapa musuh yang harus ditonjok: ''Lima Iblis Budaya''.
Dalam genealogi sejarah seni rupa kritis pasca-Orde Baru, tak bisa dibantah bahwa Taring Padi adalah ''pewaris sah'' imajinasi seni rupa seniman Lembaga Seni Rupa (Lesrupa/Lekra) yang terakhir kali mengadakan sidang pleno pada Juli 1965 dan semua program seni kerakyatannya sungsang oleh prahara ''Gestok''.
Taring Pading dalam posisi ini tak boleh dicibir sebagai ''cah nakal'' ISI lantaran kemunculan mereka dengan posisi tegas dan imajinasi sejarah yang juga tak kalah tegasnya. Heidi Arbuckle dalam buku Taring Padi dengan sangat baik membantu kita melihat detail-detail sikap berkesenian Taring Padi pada tiga tahun awal berdirinya. Bahkan hingga pada amatan kehidupan sehari-hari aktivisnya: ''di bekas kampus ASRI, Gampingan, Jogjakarta... mereka berbagi tugas-tugas harian seperti memasak, mencuci, dan merawat kebun sayur swadaya" (Heidi, 2010: 73).
Menurut doktor lulusan Universitas Melbourne Australia itu, dalam pengorganisasian seninya, Taring Padi tak sementereng Lekra, dan bahkan menurut saya, Sanggar Bumi Tarung sekalipun. Ini disebabkan Taring Padi sama sekali tak memiliki akses atau patron negara dan partai seperti yang dimiliki pendahulunya. Untuk mempraktikkan produksi seni ber-''komitmen sosial'', Taring Padi hanya mengandalkan jejaring budaya kiri-progresif yang terpecah-pecah.
Kepada jaringan nirnegara dan partai politik itulah Taring Padi mendesakkan praksis berkeseniannya yang berangkat pada ''kesadaran populer'' dan pentingnya ''berpihak kepada rakyat'' (bandingkan dengan kata ''rakyat'' yang dipakai Taring Padi, sementara Apotek Komik dan JMF yang justru lebih ''nyaman dan baik-baik saja'' memakai kata ''publik'').
Taring Padi sangat sadar bahwa ''seni untuk rakyat'' adalah gabungan yang konsisten antara ***karya yang politik dan tindakan yang politik***. Yang diutamakan dari teori progresif anutan Taring Padi ini adalah implikasi politik, bukan implikasi estetiknya. Karena dalam produksi seni, banyak sekali dijumpai karya yang politik, namun tindakan sehari-hari perupanya jauh dari politik, dan bahkan malah apolitis.
Lantaran itu kita menemukan teknik memproduksi karya Taring Padi sebangun dengan sikap-sikap itu. Selain mengabaikan penonjolan individu, kebanyakan karya rupa Taring Padi berupa baliho atau spanduk, poster cukil-kayu, figur-figur wayang, dan selebaran populer Terompet Rakyat yang terbit berkesinambungan di mana kerja-kerja itu lebih menonjolkan kerja kolektivitas dan propaganda yang ''berimplikasi politik''.
Turba atau ''turun ke bawah'' kemudian menjadi kata kunci berkarya. Turba yang ditafsir Taring Padi adalah menggelar aksi-aksi bersama. Bukan hanya bersama organisasi mahasiswa dalam kasus pembakaran patung Soeharto 1998 (Heidi, 2010: 40-41) dan aksi keranda kematian bagi Soeharto-Habibie-Wiranto 1999 (Heidi, 2010: 94-95); berbaur dengan kelompok musik marginal dalam aksi ''Proklamasi Kemanusiaan'' (Heidi, 2010: 104-105), bareng LSM internasional dalam Konferensi Asia Pasifik (Heidi, 2010: 106-107); melainkan juga menggelar Festival Memedi Sawah di areal persawahan petani Delanggu (Heidi, 2010: 126-34) dan aksi protes penggunaan pestisida petani Magelang dan Boyolali (Heidi, 2010: 124) atau yang paling mutakhir bergabung dengan rakyat Gunung Kidul memprotes penambangan pasir besi.
Dalam aksi-aksi itu, poster dan baliho Taring Padi menjadi demikian menonjol. Tak hanya besarnya ukuran, masalnya produksi, tapi juga kata-kata sarkas yang meninju. Bahkan, salah satu karya para perupa Taring Padi yang saya kira bisa menjadi ikon seni rupa adalah baliho berukuran raksasa petani berdiri berjajar-jajar yang menjadi latar pertemuan Konferensi Asia Pasifik pada 1999. Usai pergelaran kelompok antiimperialisme dari pelbagai ornop itu, karya ini dipotong-potong dan dibagikan kepada peserta asing yang mengikuti konferensi tersebut. Saya kira upacara ''pelenyapan karya politis untuk tindakan politis'' atas karya itu sikap luar biasa, dan bahkan tak setara jika dibandingkan dengan perupa Tisna Sanjaya misalnya yang pada penutupan 2009 membakar karyanya sendiri untuk dilarung di Pantai Klungkung, Bali.
Dalam bersikap dengan pasar dan segala abstraksinya, Taring Padi juga meneguhkan pendirian. Selain melakukan penentangan secara muka-muka dengan galeri-galeri komersial seperti Cemeti Art House (Heidi, 2010: 87-90) dan kelompok Apotek Komik (Heidi, 2010: 62), bahwa karya-karya ''asli'' Taring Padi seperti baliho dan wayang sama sekali tak boleh dijual. Yang boleh dijual -itu pun secara loakan dan bukan distro mapan dan resik- hanyalah karya yang mudah direproduksi seperti cukil berbentuk poster, stiker, pin, kaus, dan semua yang bersifat cenderamata.
Bagi Taring Padi, baliho adalah ikon dan sekaligus ''bendera'' untuk aksi-aksi advokasi dan representasi visi kolektif yang diproduksi dengan skala raksasa (Heidi, 2010: 160-161).
Tapi tendensi radikal Taring Padi yang direkam Heidi, menurut saya, hanya berlaku untuk Taring Padi di awal-awal berdirinya ketika euforia reformasi sedang di ujung kepalan tangan. Namun saat praktik demokratisasi berdetak keras, kanal kebebasan pers dibuka seluasnya, militer kembali ke barak, pemerintah kota mulai ''ramah'', Taring Padi pun perlahan gamang dan aktivis-aktivisnya mau tidak mau harus melakukan reposisi diri dan ideologi yang dipundakinya dengan badan tegak.
Tak heran kemudian kronik Almanak Seni Rupa Jogja mendeteksi bagaimana para peletak dasar ideologi ''kiri progresif'' atau ''seni kerakyatan'' Taring Padi kompromi dengan galeri-galeri komersial. Misalnya, Surya Wirawan pada 5 Desember 2008 menggelar pameran tunggal di Kedai Kebun Forum Jogjakarta (saudara sepupu Cemeti Art House yang dikecam Taring Padi habis-habisan sebagai salah satu ''iblis budaya'') (Almanak, 2009: 289). Sebut juga Arya Pandjalu yang bukan hanya berpameran di galeri komersial, tapi juga ikut dalam program residensi (Landing Soon #1) yang diselenggarakan Cemeti Art House yang bekerja sama dengan Heden, Den Haag di Belanda, 1 November 2006 hingga 31 Januari 2007 (Almanak, 2009: 251).
Atau presiden pertama Taring Padi Yustoni Volunteero yang pada 14 Juni 2008 menggelar 17 karyanya di Galeri Biasa (Almanak, 2009: 276); sebuah galeri di Jogjakarta yang menurut saya tak punya sama sekali rekam jejak mengongkosi gerakan-gerakan petani melawan angkara imperialisme global dengan jalan seni rupa. Namun, yakinlah ''iblis budaya'' ini sangat ''ramah'' dan giat memamerkan karya-karya seniman-seniman belia. Dan kini, secara kelembagaan, Taring Padi mengikuti Biennale Jogja X yang jelas-jelas diongkosi pemerintah kota dan sederet sponsor penjaja komersialisme dan dikuratori oleh pentolan ''musuh''-nya, Samuel ''Apotek Komik'' Indratma.
Anggap saja sikap itu pendiri dan ideolog Taring Padi sebagai taktik-strategi menghadapi arus pasar seni rupa yang ''susah untuk tak diterima''. Hari-hari ini, Taring Padi berusaha bertahan, belajar adaptif, dan sesekali mengirimkan pukulan. Dan selemah-lemahnya pukulan adalah doa. (*)
*) Ketua program riset Gelaran Almanak Seni Rupa Jogja 1999-2009 dan penulis buku Lekra Tak Membakar Buku.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar