Zalfeni Wimra
padangekspres.co.id
Mengukur semangat berkarya, Syahrazad, tokoh yang dikabarkan pencipta Kisah Seribu Satu Malam yang terkenal itu, sering saya jadikan sosok pembanding.
Mengenang kisahnya, adalah juga membayangkan seperti apa luka hati seorang Sultan Syahriar yang mendapati istrinya berselingkuh dengan laki-laki lain. Hati dan harga dirinya sebagai laki-laki sekaligus seorang raja luluh-lantak; remuk-redam. Hukuman pancung pun dijatuhkan kepada isterinya. Kematian, menurutnya, layak didapatkan perempuan itu sebagai akibat pengkhianatannya. Bahkan, pengkhianatan, sebagaimana juga diyakini Sultan Syahriar, lebih kejam dari pembunuhan.
Sejak peristiwa menyakitkan itu, Sultan Syahriar berganti-ganti mengawini perempuan. Sehabis menikmati malam pertama, ia memerintahkan algojo istana memancung perempuan yang telah dinikahinya itu menjelang siang terang-benderang. Sudah tidak terhitung berapa perempuan yang dikawini Sultan selama semalam dan dibunuh keesokan harinya.
Syahrazad, putri seorang Menteri prihatin melihat ketakutan rakyat terhadap kelakuan Sultan. Ia mengajukan diri untuk menjadi isteri berikutnya bagi Sultan yang ganas karena kecewa terhadap perempuan. Semula, ayah Syahrazad menolak keinginan putrinya yang nekad itu. Namun, karena Syahrazad pandai memberikan penjelasan pada sang ayah, ia pun akhirnya diizinkan menjadi pengantin raja dengan risiko kehilangan nyawa.
Setelah malam pertama Sultan dengan Syahrazad berlalu, apa yang terjadi? Syahrazad mengisahkan sebuah cerita kepada Sultan. Cerita pengantar tidur menjelang fajar menyingsing. Sebab bila fajar menyingsing, Syahrazad, akan dipancung. Tetapi, sebelum fajar menyingsing, Syahrazad menghentikan ceritanya yang belum selesai dan ia berjanji akan melanjutkan sambungan cerita itu di malam berikutnya.
Demikianlah, malam demi malam dilalui Syahrazad dengan mendongengkan cerita bersambung untuk Sultan. Karena penasaran pada kelanjutan cerita Syahrazad, Sultan menunda hukuman pancung baginya. Kisah ini berlangsung, konon, sampai seribu satu malam. Kisah-kisah itu kemudian hari menjadi khazanah sastra klasik di Persia yang paling popular di dunia: Kisah Seribu Satu Malam.
Cerita yang disajikan selama seribu satu malam itu adalah hiburan bagi sang Sultan. Akan tetapi, bagi seorang Syahrazad, si pengarang cerita, adalah pertarungan. Sekali saja Syahrazad kehilangan cerita yang menarik, maka akan hilang pula kepalanya. Setiap cerita adalah upaya memperpanjang nyawa baginya. Mencipta; berkarya bagi Syahrazad adalah masalah hidup atau mati.
Timbul Tanya bagi saya: apakah para pekarya kita hari ini, di sini, selera berkarya mereka seperti Syahrazad? Adakah spirit bercerita Syahrazad mewarnai semangat mencipta karya sastra kita di Sumatra Barat? Jawaban sementaranya, dengan malas, mari kita ucapkan serentak: Entahlah!
Perihal Kecenderungan Tema dan Ragam Eksplorasi
Sahabat saya, seorang penyair, yang tidak mau disebut namanya, ketika akan menulis puisi tentang betapa perihnya luka menyayat jantungnya, barangkali juga seperti yang dialami Sultan Syahriar, ia terlebih dahulu menyayat tangannya dengan silet. Seiring darah mengalir di tangannya, ia pun mulai menulis bait-bait puisi. Ia barangkali menganut keyakinan, daripada menyakiti orang lain, misalnya dengan menjiplak puisi orang lain, masih lebih baik menyakiti diri sendiri. Mencari puisi di urat nadi sendiri.
Sahabat saya ini sebenarnya tengah mengingatkan saya tentang kekuatan makna yang diperas dari sebuah peristiwa puisi. Ada perih yang secara empiris harus dialami sebelum maknanya dapat dipetik atau disuling jadi puisi. Dari luka ke estetika. Dari frustasi ke kontemplasi. Dari perih ke puisi. Dan seterusnya. Dan seterusnya.
Akan tetapi, saya tidak akan melebarkan pembicaraan ke perihal bahagimana memproduksi estetika puisi dari peristiwa kemanusiaan yang sarat makna itu. Saya hanya ingin mendalami satu kata saja yang sangat sering muncul dalam puisi-puisi kita, yakni “luka”. Semesta “luka” adalah “alam takambang”-nya puisi.
Sebentar, puisi yang saya maksud bukan hanya puisi-puisi yang sudah dilabeli dengan sebutan angkatan bagi penyairnya; angkatan 45 hingga angkatan 2000. Bukan pula puisi-puisi yang telah terkumpul di buku-buku atau koran-koran. Puisi yang saya maksud adalah setiap kata yang telah diasah mata maknanya. Sekalipun ia hanya muncul dalam percakapan sehari-hari; berkelindan dalam rak-rak pustaka; dalam pepatah-petitih seorang datuk; melintas di halaman website; di lirik lagu pop daerah; di kardus barang impor; pada dinding bus kota; berkumandang melalui pengeras suara masjid-masjid; atau dari mulut seorang bintang iklan layanan di televisi.
Pengertian semacam ini saya niatkan untuk memperkukuh bahwa di sini, di lingkaran budaya Minangkabau, puisi adalah pusaka. Sungguh, jangan heran, puisi bertebaran di mana-mana. Puisi berjumpalitan dari mata ke mata kita. Puisi diciptakan setiap saat. Tidak ditentukan secara khusus siapa penciptanya. Siapa pun boleh dan bebas mencipta makna. Pun tidak ditentukan temanya. Apa pun temanya, halal untuk diolah dan dikonsumsi.
Tidak terkecuali terhadap luka. Kebudayaan kita, dilihat dari satu aspek kata yang sering muncul dalam bahasa lisan ataupun tulisan, rupanya, sangat akrab dengan luka; dengan pedih; dengan sakit; dengan iba; dengan ratap; dengan galau. Lidah kita fasih mengucapkannya. Simaklah dendang dan lagu-lagu kita: ratok padi ampo; galau ati nan luko; rinai pambasuah luko; padiah diseso janji; dll. Jangankan terhadap keindahan, terhadap pemberontakan, dengan luka pun kita mesra. Asal jangan dipelesetkan, bahwa kreator kata-kata adalah para pedagang luka yang mengincar luka hati masyarakatnya lalu menjualnya ke pasar setelah didaur ulang atau dieksplorasi ke bentuk puisi/prosa.
Perihal Kesadaran Pasar
Setelah punya semangat dan menemukan ragam eksplorasi berkarya, apa lagi? Ini agak sensitif. Karya diciptakan untuk apa? Kalau tidak untuk “dijual”, tolong tunjuki saya jawaban lain dari pertanyan ini.
Kita sekarang di zaman mesin. Mesin yang tidak pernah dihidupkan akan berkarat dan rusak. Mesin tidak akan hidup kalau tidak ada bahan bakar. Bahan bakar adalah komoditas yang diperjual-belikan. Kira-kira demikian analoginya. Bersitungkin di depan mesin ketik bagi penulis, di depan kanvas bagi pelukis, menenteng kamera bagi fotografer, di atas panggung bagi koreogrfer dan teaterawan, memakan bahan bakar yang tidak sedikit. Biaya mencetak buku 500 eksamplar halaman 200-an bagi penulis paling murah berkisar antara 4-5 juta.
Mestikah urusan ini adalah semata tanggung jawab sarjana ekonomi atau para pebisnis kita semata? Secara profesional, ini mungkin terjadi. Akan tetapi, berguru pada yang sudah, memetik tuah pada yang menang, pasar itu sebuah kesadaran, sebuah iklim yang dibangun. Kita semua bisa menganalisa, seperti apa kira-kira nasib karya seni/sastra kita jika pasarnya belum terbentuk secara baik? Tolong sebutkan kurator yang gigih mengurasi karya lukis dan fotografi kita? Kalangan mana yang bermurah hati menjadi penyandang dana sebuah pertunjukan teater, tari atau produksi film? Mana penerbit yang memperjuangkan penerbitan buku-buku sastra kita? Intinya kita belum punya kesadaran pasar yang baik. Kita hanya punya kesadaran politik yang baik. Sekalipun itu pun berada jauh di luar diri seorang kreator.
Atau begini saja, karena di ranah sendiri kita sering merasa menjadi tamu dan ketika melakukan gerakan perubahan masih tersekat oleh hal-hal yang tidak perlu, marilah merantau, menjarakkan badan dari kampung halaman. Corak migrasi klasik ini sepertinya masih banyak dipilih. Ketimbang merasa jadi tamu di negeri sendiri lalu pada akhirnya mati sebelum berkarya, kita tuntaskan cita-cita di rantau orang seperti telah dicontohkan nenek-moyang kita dari zaman ke zaman. Namun, ini pilihan, diasumsikan menjadi pilihan kreator yang kalah.
Ada lantunan nada pesimis di dalamnya. Yang paling dirindukan oleh masyarakat budaya kita hari ini sesungguhhyna adalah: tagak kampuang, paga kampuang. Merantau fisik sebagai satu-satunya pilihan sudah perlu ditinggalkan. Merantau kini, merantaukan jiwa. Badan harus bertahan di kampung halaman. Dulu (zaman kolonial) ada semboyan dalam memperjuangkan kemerdekaan di kampung halaman: merdeka atau mati. Kini (pasca/postkolonial) kita ganti: berkarya atau mati!
* Disampaikan pada Padang Literary Biennale, 28 April 2012 di Kandang Pedati Pauh IX Padang. Acara ini didedikasikan untuk memperingati Hari Chairil Anwar
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar