Jumat, 04 Desember 2015

Berkarya atau Mati! Perihal Semangat

Zalfeni Wimra
padangekspres.co.id

Mengukur semangat berkarya, Syahrazad, tokoh yang dikabarkan pencipta Kisah Seribu Satu Malam yang terkenal itu, sering saya jadikan sosok pembanding.

Mengenang kisahnya, adalah juga membayangkan seperti apa luka hati seorang Sultan Syahriar yang mendapati istrinya berselingkuh dengan laki-laki lain. Hati dan harga dirinya sebagai laki-laki sekaligus seorang raja luluh-lantak; remuk-redam. Hukuman pancung pun dijatuhkan kepada isterinya. Kematian, menurutnya, layak didapatkan perempuan itu sebagai akibat pengkhianatannya. Bahkan, pengkhianatan, sebagaimana juga diyakini Sultan Syahriar, lebih kejam dari pembunuhan.

Sejak peristiwa menyakitkan itu, Sultan Syahriar berganti-ganti mengawini perempuan. Sehabis menikmati malam pertama, ia memerintahkan algojo istana memancung perempuan yang telah dinikahinya itu menjelang siang terang-benderang. Sudah tidak terhitung berapa perempuan yang dikawini Sultan selama semalam dan dibunuh keesokan harinya.

Syahrazad, putri seorang Menteri prihatin melihat ketakutan rakyat terhadap kelakuan Sultan. Ia mengajukan diri untuk menjadi isteri berikutnya bagi Sultan yang ganas karena kecewa terhadap perempuan. Semula, ayah Syahrazad menolak keinginan putrinya yang nekad itu. Namun, karena Syahrazad pandai memberikan penjelasan pada sang ayah, ia pun akhirnya diizinkan menjadi pengantin raja dengan risiko kehilangan nyawa.

Setelah malam pertama Sultan dengan Syahrazad berlalu, apa yang terjadi? Syahrazad mengisahkan sebuah cerita kepada Sultan. Cerita pengantar tidur menjelang fajar menyingsing. Sebab bila fajar menyingsing, Syahrazad, akan dipancung. Tetapi, sebelum fajar menyingsing, Syahrazad menghentikan ceritanya yang belum selesai dan ia berjanji akan melanjutkan sambungan cerita itu di malam berikutnya.

Demikianlah, malam demi malam dilalui Syahrazad dengan mendongengkan cerita bersambung untuk Sultan. Karena penasaran pada kelanjutan cerita Syahrazad, Sultan menunda hukuman pancung baginya. Kisah ini berlangsung, konon, sampai seribu satu malam. Kisah-kisah itu kemudian hari menjadi khazanah sastra klasik di Persia yang paling popular di dunia: Kisah Seribu Satu Malam.

Cerita yang disajikan selama seribu satu malam itu adalah hiburan bagi sang Sultan. Akan tetapi, bagi seorang Syahrazad, si pengarang cerita, adalah pertarungan. Sekali saja Syahrazad kehilangan cerita yang menarik, maka akan hilang pula kepalanya. Setiap cerita adalah upaya memperpanjang nyawa baginya. Mencipta; berkarya bagi Syahrazad adalah masalah hidup atau mati.

Timbul Tanya bagi saya: apakah para pekarya kita hari ini, di sini, selera berkarya mereka seperti Syahrazad? Adakah spirit bercerita Syahrazad mewarnai semangat mencipta karya sastra kita di Sumatra Barat? Jawaban sementaranya, dengan malas, mari kita ucapkan serentak: Entahlah!

Perihal Kecenderungan Tema dan Ragam Eksplorasi

Sahabat saya, seorang penyair, yang tidak mau disebut namanya, ketika akan menulis puisi tentang betapa perihnya luka menyayat jantungnya, barangkali juga seperti yang dialami Sultan Syahriar, ia terlebih dahulu menyayat tangannya dengan silet. Seiring darah mengalir di tangannya, ia pun mulai menulis bait-bait puisi. Ia barangkali menganut keyakinan, daripada menyakiti orang lain, misalnya dengan menjiplak puisi orang lain, masih lebih baik menyakiti diri sendiri. Mencari puisi di urat nadi sendiri.

Sahabat saya ini sebenarnya tengah mengingatkan saya tentang kekuatan makna yang diperas dari sebuah peristiwa puisi. Ada perih yang secara empiris harus dialami sebelum maknanya dapat dipetik atau disuling jadi puisi. Dari luka ke estetika. Dari frustasi ke kontemplasi. Dari perih ke puisi. Dan seterusnya. Dan seterusnya.

Akan tetapi, saya tidak akan melebarkan pembicaraan ke perihal bahagimana memproduksi estetika puisi dari peristiwa kemanusiaan yang sarat makna itu. Saya hanya ingin mendalami satu kata saja yang sangat sering muncul dalam puisi-puisi kita, yakni “luka”. Semesta “luka” adalah “alam takambang”-nya puisi.

Sebentar, puisi yang saya maksud bukan hanya puisi-puisi yang sudah dilabeli dengan sebutan angkatan bagi penyairnya; angkatan 45 hingga angkatan 2000. Bukan pula puisi-puisi yang telah terkumpul di buku-buku atau koran-koran. Puisi yang saya maksud adalah setiap kata yang telah diasah mata maknanya. Sekalipun ia hanya muncul dalam percakapan sehari-hari; berkelindan dalam rak-rak pustaka; dalam pepatah-petitih seorang datuk; melintas di halaman website; di lirik lagu pop daerah; di kardus barang impor; pada dinding bus kota; berkumandang melalui pengeras suara masjid-masjid; atau dari mulut seorang bintang iklan layanan di televisi.

Pengertian semacam ini saya niatkan untuk memperkukuh bahwa di sini, di lingkaran budaya Minangkabau, puisi adalah pusaka. Sungguh, jangan heran, puisi bertebaran di mana-mana. Puisi berjumpalitan dari mata ke mata kita. Puisi diciptakan setiap saat. Tidak ditentukan secara khusus siapa penciptanya. Siapa pun boleh dan bebas mencipta makna. Pun tidak ditentukan temanya. Apa pun temanya, halal untuk diolah dan dikonsumsi.

Tidak terkecuali terhadap luka. Kebudayaan kita, dilihat dari satu aspek kata yang sering muncul dalam bahasa lisan ataupun tulisan, rupanya, sangat akrab dengan luka; dengan pedih; dengan sakit; dengan iba; dengan ratap; dengan galau. Lidah kita fasih mengucapkannya. Simaklah dendang dan lagu-lagu kita: ratok padi ampo; galau ati nan luko; rinai pambasuah luko; padiah diseso janji; dll. Jangankan terhadap keindahan, terhadap pemberontakan, dengan luka pun kita mesra. Asal jangan dipelesetkan, bahwa kreator kata-kata adalah para pedagang luka yang mengincar luka hati masyarakatnya lalu menjualnya ke pasar setelah didaur ulang atau dieksplorasi ke bentuk puisi/prosa.

Perihal Kesadaran Pasar

Setelah punya semangat dan menemukan ragam eksplorasi berkarya, apa lagi? Ini agak sensitif. Karya diciptakan untuk apa? Kalau tidak untuk “dijual”, tolong tunjuki saya jawaban lain dari pertanyan ini.

Kita sekarang di zaman mesin. Mesin yang tidak pernah dihidupkan akan berkarat dan rusak. Mesin tidak akan hidup kalau tidak ada bahan bakar. Bahan bakar adalah komoditas yang diperjual-belikan. Kira-kira demikian analoginya. Bersitungkin di depan mesin ketik bagi penulis, di depan kanvas bagi pelukis, menenteng kamera bagi fotografer, di atas panggung bagi koreogrfer dan teaterawan, memakan bahan bakar yang tidak sedikit. Biaya mencetak buku 500 eksamplar halaman 200-an bagi penulis paling murah berkisar antara 4-5 juta.

Mestikah urusan ini adalah semata tanggung jawab sarjana ekonomi atau para pebisnis kita semata? Secara profesional, ini mungkin terjadi. Akan tetapi, berguru pada yang sudah, memetik tuah pada yang menang, pasar itu sebuah kesadaran, sebuah iklim yang dibangun. Kita semua bisa menganalisa, seperti apa kira-kira nasib karya seni/sastra kita jika pasarnya belum terbentuk secara baik? Tolong sebutkan kurator yang gigih mengurasi karya lukis dan fotografi kita? Kalangan mana yang bermurah hati menjadi penyandang dana sebuah pertunjukan teater, tari atau produksi film? Mana penerbit yang memperjuangkan penerbitan buku-buku sastra kita? Intinya kita belum punya kesadaran pasar yang baik. Kita hanya punya kesadaran politik yang baik. Sekalipun itu pun berada jauh di luar diri seorang kreator.

Atau begini saja, karena di ranah sendiri kita sering merasa menjadi tamu dan ketika melakukan gerakan perubahan masih tersekat oleh hal-hal yang tidak perlu, marilah merantau, menjarakkan badan dari kampung halaman. Corak migrasi klasik ini sepertinya masih banyak dipilih. Ketimbang merasa jadi tamu di negeri sendiri lalu pada akhirnya mati sebelum berkarya, kita tuntaskan cita-cita di rantau orang seperti telah dicontohkan nenek-moyang kita dari zaman ke zaman. Namun, ini pilihan, diasumsikan menjadi pilihan kreator yang kalah.

Ada lantunan nada pesimis di dalamnya. Yang paling dirindukan oleh masyarakat budaya kita hari ini sesungguhhyna adalah: tagak kampuang, paga kampuang. Merantau fisik sebagai satu-satunya pilihan sudah perlu ditinggalkan. Merantau kini, merantaukan jiwa. Badan harus bertahan di kampung halaman. Dulu (zaman kolonial) ada semboyan dalam memperjuangkan kemerdekaan di kampung halaman: merdeka atau mati. Kini (pasca/postkolonial) kita ganti: berkarya atau mati!

* Disampaikan pada Padang Literary Biennale, 28 April 2012 di Kandang Pedati Pauh IX Padang. Acara ini didedikasikan untuk memperingati Hari Chairil Anwar

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir