: Catatan Kecil dari Panggung Penyair Pesisir Selatan
Heru Untung Leksono *
tanjungpinangpos.co.id
Menarik sekali mencermati perhelatan “Panggung Penyair Pesisir Selatan” yang dihelat oleh Komunitas Seni Budaya Belantara Kepulauan Riau yang digelar di Gedung Nasional Dabo Singkep pada hari Sabtu tanggal 1 Februari 2014, yang baru lalu. Gelaran perhelatan ini merupakan rangkaian kegiatan dari penutupan Lomba Baca Puisi tingkat SMP/SMA se-Kabupaten Lingga tahun 2014.
Ternyata potensi penyair dari belahan pesisir selatan Kepulauan Riau ini cukup mengagetkan. Selama ini dunia sastra Kepulauan Riau hanya mengenal Tanjungpinang dan Batam saja, Dabo Singkep sama sekali tidak pernah ditoleh. Kalaupun iya, itu pun mungkin hanya mengenal pada sosok Norman Sulaiman.
Karya-karya mereka cukup bernas dan lugas, banyak bercerita tentang sisi-sisi kelam daerah mereka pascapenambangan timah dan juga sejak terbentuknya daerah pemekaran Kabupaten Lingga. Mereka banyak bercerita tentang ketimpangan pembagian kue pembangunan, tentang raja-raja kecil yang banyak lahir dari pemekaran daerah dan suara-suara gelisah lainnya. Sangat disayangkan jika potensi ini tidak dimaksimalkan.
Dabo di Pulau Singkep, kota penambangan timah terkenal setelah Bangka. Saya mengenal nama Dabo sejak semasa masih di bangku SD lewat pelajaran geografi. Dan, saya akhirnya menginjakkan kaki di sana untuk pertama kalinya tahun 1990, ketika membawa rombongan tonil bersama Drs Imran Nuh dan Said Parman berkeliling pulau-pulau, Daik, Pancur, Senayang dan Dabo.
Sejak saat itu, entah mengapa saya begitu dekat dengan Dabo. Bersahabat dengan kotanya dan para senimannya, Hamzah, Encik Kadir, Gelora dan Norman Sulaiman. Yang sudah seperti saudara dan kerabat sendiri. Bahkan ketika menjadi anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Riau saya selalu mendapat tugas ke Dabo yang kala itu menjadi Ibu Kota Kecamatan Singkep. Dan hari ini saya berkesempatan pula menyaksikan gemuruh “Panggung Penyair Pesisir Selatan” itu.
Suara suara diam itu, kini begitu menggemuruh mendebur seperti debur ombak pesisir selatan dari sepanjang Desa Kote hingga ke Jagoh. Mengingatkan saya pada jalanan di sepanjang pantai Kabupaten Karang Asem, Bali menjelang kawasan Candi Dasa yang di kiri kanannya penuh pohon sakura berbunga jingga dan putih serta deretan goa Jepang.
Di sini, di kampung sunyi ini penuh dengan pohon santigi (mantigi). Ombak di pantai ini mendebur terus sepanjang musim mengabarkan nyanyian-nyanyian rindu meski pantai tetap saja sepi. Tapi ia tetap bergema berkabar tentang suara-suara diam itu lewat angin lewat ombak yang bergulung-gulung mencecah pantai.
Selama ini kabar sastra dari pesisir selatan Kepulauan Riau itu, hanya pada diri Norman Sulaiman yang terus gigih bersenandung puisi. Ia lama melakoni dunia sepi itu sendirian tak pernah ditoleh atau dicatat keberadaannya. Ia seolah tenggelam oleh keriuhan cabang seni lainnya yang glamour dan memanjakan mata itu. Tapi hari ini suara-suara itu berdenting nyaring. Suara-suara itu memberi harapan baru memberi angin segar bagi sebaran sastra di Kepulauan Riau.
Norman Sulaiman, Saufi Anwar, Hazirun, Usman Wello, Alias Wello, Mastur Taher, Jaya Kusuma AS, Kisanjaya dan Fitrie Harakie juga kehadiran dua penyair perempuan Rima dan Siti Syatariah. Setidaknya kehadiran dua penyair perempuan ini menambah gempita riuh penyair perempuan di Kepulauan Riau. Mengingatkan dan melanjutkan kiprah penyair perempuan handal dari Dabo pada tahun 1970-an almarhumah Hamsiah.
Rasa-rasanya suara angin dari pesisir selatan ini akan menderu-deru di langit sastra Kepulauan Riau, hanya tekad dan pantang menyerah serta kemauan keras mau keluar dari kepungan ombak yang terus mendebur. Maka sastra dari pesisir selatan Kepulauan Riau akan diperhitungkan dan menjadi tolehan para penikmat dan pemerhati sastra. Angin sudah berhembus kencang, suara-suara diam itu sudah meraung mengaum, berlayarlah biduk-biduk itu menuju destinasi yang penuh debaran dan kobaran semangat.
suara-suara yang tertindas
suara-suara diam
menyimpan dendam
menyimpan luka
membiar darah menetes
menyirami tanah tembuni
luka-luka sejarah yang dijarah
marwah diheret-heret
sepanjang garis jalan hidup
suara-suara diam itu
kini berteriak-teriak
merongrong tidur malam kita
meraung seperti dawai-dawai biola
yang digesek sumbang
seperti suara angin musim utara
menderu kencang di pesisir selatan
suara-suara itu
kini mencari rumahnya
mencari dermaga
menambatkan kata
sebagai kabar kepada mimpi-mimpi
agar masa depan menjadi haluan
dan tahu ke mana lancang hendak ditujukan…
Syabas….! Selamat datang di langit sastra Kepulauan Riau.
*) Heru Untung Leksono, Penyair Kepri
Heru Untung Leksono *
tanjungpinangpos.co.id
Menarik sekali mencermati perhelatan “Panggung Penyair Pesisir Selatan” yang dihelat oleh Komunitas Seni Budaya Belantara Kepulauan Riau yang digelar di Gedung Nasional Dabo Singkep pada hari Sabtu tanggal 1 Februari 2014, yang baru lalu. Gelaran perhelatan ini merupakan rangkaian kegiatan dari penutupan Lomba Baca Puisi tingkat SMP/SMA se-Kabupaten Lingga tahun 2014.
Ternyata potensi penyair dari belahan pesisir selatan Kepulauan Riau ini cukup mengagetkan. Selama ini dunia sastra Kepulauan Riau hanya mengenal Tanjungpinang dan Batam saja, Dabo Singkep sama sekali tidak pernah ditoleh. Kalaupun iya, itu pun mungkin hanya mengenal pada sosok Norman Sulaiman.
Karya-karya mereka cukup bernas dan lugas, banyak bercerita tentang sisi-sisi kelam daerah mereka pascapenambangan timah dan juga sejak terbentuknya daerah pemekaran Kabupaten Lingga. Mereka banyak bercerita tentang ketimpangan pembagian kue pembangunan, tentang raja-raja kecil yang banyak lahir dari pemekaran daerah dan suara-suara gelisah lainnya. Sangat disayangkan jika potensi ini tidak dimaksimalkan.
Dabo di Pulau Singkep, kota penambangan timah terkenal setelah Bangka. Saya mengenal nama Dabo sejak semasa masih di bangku SD lewat pelajaran geografi. Dan, saya akhirnya menginjakkan kaki di sana untuk pertama kalinya tahun 1990, ketika membawa rombongan tonil bersama Drs Imran Nuh dan Said Parman berkeliling pulau-pulau, Daik, Pancur, Senayang dan Dabo.
Sejak saat itu, entah mengapa saya begitu dekat dengan Dabo. Bersahabat dengan kotanya dan para senimannya, Hamzah, Encik Kadir, Gelora dan Norman Sulaiman. Yang sudah seperti saudara dan kerabat sendiri. Bahkan ketika menjadi anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Riau saya selalu mendapat tugas ke Dabo yang kala itu menjadi Ibu Kota Kecamatan Singkep. Dan hari ini saya berkesempatan pula menyaksikan gemuruh “Panggung Penyair Pesisir Selatan” itu.
Suara suara diam itu, kini begitu menggemuruh mendebur seperti debur ombak pesisir selatan dari sepanjang Desa Kote hingga ke Jagoh. Mengingatkan saya pada jalanan di sepanjang pantai Kabupaten Karang Asem, Bali menjelang kawasan Candi Dasa yang di kiri kanannya penuh pohon sakura berbunga jingga dan putih serta deretan goa Jepang.
Di sini, di kampung sunyi ini penuh dengan pohon santigi (mantigi). Ombak di pantai ini mendebur terus sepanjang musim mengabarkan nyanyian-nyanyian rindu meski pantai tetap saja sepi. Tapi ia tetap bergema berkabar tentang suara-suara diam itu lewat angin lewat ombak yang bergulung-gulung mencecah pantai.
Selama ini kabar sastra dari pesisir selatan Kepulauan Riau itu, hanya pada diri Norman Sulaiman yang terus gigih bersenandung puisi. Ia lama melakoni dunia sepi itu sendirian tak pernah ditoleh atau dicatat keberadaannya. Ia seolah tenggelam oleh keriuhan cabang seni lainnya yang glamour dan memanjakan mata itu. Tapi hari ini suara-suara itu berdenting nyaring. Suara-suara itu memberi harapan baru memberi angin segar bagi sebaran sastra di Kepulauan Riau.
Norman Sulaiman, Saufi Anwar, Hazirun, Usman Wello, Alias Wello, Mastur Taher, Jaya Kusuma AS, Kisanjaya dan Fitrie Harakie juga kehadiran dua penyair perempuan Rima dan Siti Syatariah. Setidaknya kehadiran dua penyair perempuan ini menambah gempita riuh penyair perempuan di Kepulauan Riau. Mengingatkan dan melanjutkan kiprah penyair perempuan handal dari Dabo pada tahun 1970-an almarhumah Hamsiah.
Rasa-rasanya suara angin dari pesisir selatan ini akan menderu-deru di langit sastra Kepulauan Riau, hanya tekad dan pantang menyerah serta kemauan keras mau keluar dari kepungan ombak yang terus mendebur. Maka sastra dari pesisir selatan Kepulauan Riau akan diperhitungkan dan menjadi tolehan para penikmat dan pemerhati sastra. Angin sudah berhembus kencang, suara-suara diam itu sudah meraung mengaum, berlayarlah biduk-biduk itu menuju destinasi yang penuh debaran dan kobaran semangat.
suara-suara yang tertindas
suara-suara diam
menyimpan dendam
menyimpan luka
membiar darah menetes
menyirami tanah tembuni
luka-luka sejarah yang dijarah
marwah diheret-heret
sepanjang garis jalan hidup
suara-suara diam itu
kini berteriak-teriak
merongrong tidur malam kita
meraung seperti dawai-dawai biola
yang digesek sumbang
seperti suara angin musim utara
menderu kencang di pesisir selatan
suara-suara itu
kini mencari rumahnya
mencari dermaga
menambatkan kata
sebagai kabar kepada mimpi-mimpi
agar masa depan menjadi haluan
dan tahu ke mana lancang hendak ditujukan…
Syabas….! Selamat datang di langit sastra Kepulauan Riau.
*) Heru Untung Leksono, Penyair Kepri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar