Judul: Penari Sanghyang
Pengarang: Mas Ruscitadewi
Penerbit: Arti Foundation Denpasar, 2007
Tebal: 100 halaman
Bali Post, 21 Okt 2007
Lewat buku ini pembaca diajak untuk melihat potret mini Bali yang terus berproses.
SETELAH masa reformasi, warna lokal dalam jagat sastra Indonesia kembali menggeliat, seperti sejak awal-awal masa kelahirannya pada dekade 1920-an. Hal ini tentu membanggakan paling tidak dalam dua hal. Pertama, budaya lokal yang diekspresikan oleh pengarang dari daerah asal budaya itu bisa memperkenalkan kearifan lokal yang tidak dipunyai daerah lain. Sumbangan ini bisa memperkaya pesona budaya untuk saling memahami dan menumbuhkan saling pengertian di tengah keberanekaan kultur. Dalam konteks ini, pesona budaya lokal itu menjadi perekat sekaligus penghubung antar-perbedaan budaya menuju persatuan dalam konteks ke-Indonesia-an.
Kedua, pengarang yang menulis daerahnya sendiri sebagai objek ekspresi diandaikan memiliki pemahaman optimal terhadap berbagai fenomena budaya yang berkembang di sekitarnya. Pengarang seperti ini bisa merasakan getar jiwa dari sumur lokalitasnya sehingga penggunaan diksi daerah tidak ngawur. Prinsip kepengarangan seperti ini berkorelasi dengan prinsip belajar bahasa dalam linguistik yang dikenal dengan konsep “here and now” — di sini dan sekarang. Belajar dari hal-hal yang dekat di sekitar dalam kekinian.
Dua pertimbangan itu tampaknya bisa dikenakan pada cerpen-cerpen Mas Ruscitadewi dalam buku “Penari Sanghyang” ini. Buku ini memuat 10 cerpen yang sebelumnya telah dipublikasikan di media massa. Semua cerpen ini sangat kental dengan lokalitas Bali, baik yang dinyatakan secara eksplisit maupun secara implisit. Cerpen yang secara eksplisit mencitrakan warna lokal Bali di antaranya “Penari Sanghyang”, “Pertarungan”, “Gedong”, dan “Namaku Astra”. Sisanya mengangkat warna Bali secara tersembunyi.
Dari pilihan judul, buku ini telah mencitrakan kebalian cerpen Indonesia yang menyiratkan pengarangnya secara intens mengangkat tradisi pementasan teater tradisional melalui pementasan Tari Sanghyang. Penari dalam teater ini dikisahkan bukan penari sembarangan, melainkan penari pilihan sesuunan melalui ritual yang sakral. Dari sini Bapa Rauh dititahkan menjadi penari Sanghyang sampai mati, walaupun sudah ada sembilan orang yang berupaya menggantinya dengan alasan Bapa Rauh sudah uzur. “Bukan Bapa tidak mau diganti sebagai penari Sanghyang, tetapi karena hidup Bapa sebagai penari Sanghyang, biarlah Bapa mati sebagai penari Sanghyang.” (hal.7).
Kutipan itu mengamanatkan penari sakral yang ditunjuk sesuunan tidak bisa diganti sembarangan apalagi dengan ambisi pribadi walaupun memiliki kesaktian. Mereka yang menari dengan ambisi pribadi tariannya akan hambar tidak ber-taksu sebagaimana tersirat dalam cerpen “Pertarungan”. “Lihatlah mereka mulai menyingkir, karena mereka menari dengan ambisi, bukan dengan nurani.” (hal.27). Berkesenian yang sarat dengan ambisi bukanlah masolah karena masolah identik dengan ngayah melalui landasan cinta kasih nan tulus. Hal ini dituangkan dalam cerpen “Namaku Astra”.
Jika dalam “Penari Sanghyang”, “Namaku Astra”, dan “Pertarungan”, Mas Ruscitadewi mengekplorasi tarian (sakral) untuk menghidupkan kisahnya, maka dalam “Gedong” ia menyuarakan perebutan gedong oleh orang-orang puri. Perebutan gedong dilakukan untuk bisa memerintah orang-orang puri. Perebutan ini dalam konteks kekinian identik dengan perebutan kursi jabatan dalam politik pemerintahan. “Gedong adalah pusat kekuasaan di Puri ini”. Puri, dengan demikian, diniatkan oleh pengarang sebagai sumber inspirasi dalam melahirkan pemimpin ideal karena telah dilembagakan melalui konvensi orang-orang puri.
Ciri Kebalian
Mencermati secara keseluruhan cerpen dalam buku ini, paling tidak ada empat hal yang menandai ciri kebalian cerpen Indonesia. Pertama, kentalnya budaya ritual keagamaan (Hindu) yang menyatu dengan adat (Bali) dalam kisah cerpen. Berimpitnya adat dan agama telah melahirkan tradisi menghaturkan sesajen yang penuh dengan bau kembang dan dupa. Kedua, kemenangan tokoh-tokoh yang dititahkan oleh sesuunan untuk menjadi pengawal seni adalah model pendidikan seni yang diwariskan secara turun-temurun. Hal inilah yang membuat proses regenerasi berkesenian di Bali senantiasa berkesinambungan.
Ketiga, kuatnya dominasi berkesenian yang menempatkan budaya ngayah sebagai bagian kehidupan mendorong seniman melakukan pencarian secara mendalam hingga ber-taksu. Keempat, intensnya kekuasaan Puri dalam menata diri ke dalam adalah bukti bahwa Bali di bawah naungan NKRI tidak serta merta menghapus sistem tradisi yang hidup dan berkembang lebih dulu. Buktinya belakangan ini, puri terus digali sebagai sumur inspirasi oleh ilmuwan maupun seniman, termasuk sastrawan.
Karenanya, lewat buku ini pembaca diajak untuk melihat potret mini Bali yang terus berproses. Dinamika itu direpresentasikan melalui cerita. Cerita ini tidak tertutup kemungkinan bermula dari berita. Jika kemungkinan itu benar, maka cerita bisa menjadi wacana sanding bagi berita dalam arti bahwa cerita (pendek) bisa menjadi pelengkap bagi berbagai wacana dalam pemberitaan secara faktual. Kebalian cerpen Indonesia yang digarap Mas Ruscitadewi ini melengkapi cerpen-cerpen Putu Wijaya, Aryantha Soethama, dan Oka Rusmini yang lebih dulu menggali sumur peradaban Bali ke dalam karya-karyanya.
Namun demikian, kekayaan kultur yang kelak menjadi dokumen budaya ini masih menyisakan persoalan teknis terutama dalam tatatulis. Beberapa kosakata Bali yang seharusnya dicetak miring, tidak dibedakan tatacara penulisannya dengan kosakata Indonesia. Hal ini mungkin akan membingungkan bahkan menyulitkan pemahaman pembaca non-Bali.
***
Dijumput dari: http://kesusastraan.wordpress.com/2007/10/21/kebalian-cerpen-indonesia/#more-28
Pengarang: Mas Ruscitadewi
Penerbit: Arti Foundation Denpasar, 2007
Tebal: 100 halaman
Bali Post, 21 Okt 2007
Lewat buku ini pembaca diajak untuk melihat potret mini Bali yang terus berproses.
SETELAH masa reformasi, warna lokal dalam jagat sastra Indonesia kembali menggeliat, seperti sejak awal-awal masa kelahirannya pada dekade 1920-an. Hal ini tentu membanggakan paling tidak dalam dua hal. Pertama, budaya lokal yang diekspresikan oleh pengarang dari daerah asal budaya itu bisa memperkenalkan kearifan lokal yang tidak dipunyai daerah lain. Sumbangan ini bisa memperkaya pesona budaya untuk saling memahami dan menumbuhkan saling pengertian di tengah keberanekaan kultur. Dalam konteks ini, pesona budaya lokal itu menjadi perekat sekaligus penghubung antar-perbedaan budaya menuju persatuan dalam konteks ke-Indonesia-an.
Kedua, pengarang yang menulis daerahnya sendiri sebagai objek ekspresi diandaikan memiliki pemahaman optimal terhadap berbagai fenomena budaya yang berkembang di sekitarnya. Pengarang seperti ini bisa merasakan getar jiwa dari sumur lokalitasnya sehingga penggunaan diksi daerah tidak ngawur. Prinsip kepengarangan seperti ini berkorelasi dengan prinsip belajar bahasa dalam linguistik yang dikenal dengan konsep “here and now” — di sini dan sekarang. Belajar dari hal-hal yang dekat di sekitar dalam kekinian.
Dua pertimbangan itu tampaknya bisa dikenakan pada cerpen-cerpen Mas Ruscitadewi dalam buku “Penari Sanghyang” ini. Buku ini memuat 10 cerpen yang sebelumnya telah dipublikasikan di media massa. Semua cerpen ini sangat kental dengan lokalitas Bali, baik yang dinyatakan secara eksplisit maupun secara implisit. Cerpen yang secara eksplisit mencitrakan warna lokal Bali di antaranya “Penari Sanghyang”, “Pertarungan”, “Gedong”, dan “Namaku Astra”. Sisanya mengangkat warna Bali secara tersembunyi.
Dari pilihan judul, buku ini telah mencitrakan kebalian cerpen Indonesia yang menyiratkan pengarangnya secara intens mengangkat tradisi pementasan teater tradisional melalui pementasan Tari Sanghyang. Penari dalam teater ini dikisahkan bukan penari sembarangan, melainkan penari pilihan sesuunan melalui ritual yang sakral. Dari sini Bapa Rauh dititahkan menjadi penari Sanghyang sampai mati, walaupun sudah ada sembilan orang yang berupaya menggantinya dengan alasan Bapa Rauh sudah uzur. “Bukan Bapa tidak mau diganti sebagai penari Sanghyang, tetapi karena hidup Bapa sebagai penari Sanghyang, biarlah Bapa mati sebagai penari Sanghyang.” (hal.7).
Kutipan itu mengamanatkan penari sakral yang ditunjuk sesuunan tidak bisa diganti sembarangan apalagi dengan ambisi pribadi walaupun memiliki kesaktian. Mereka yang menari dengan ambisi pribadi tariannya akan hambar tidak ber-taksu sebagaimana tersirat dalam cerpen “Pertarungan”. “Lihatlah mereka mulai menyingkir, karena mereka menari dengan ambisi, bukan dengan nurani.” (hal.27). Berkesenian yang sarat dengan ambisi bukanlah masolah karena masolah identik dengan ngayah melalui landasan cinta kasih nan tulus. Hal ini dituangkan dalam cerpen “Namaku Astra”.
Jika dalam “Penari Sanghyang”, “Namaku Astra”, dan “Pertarungan”, Mas Ruscitadewi mengekplorasi tarian (sakral) untuk menghidupkan kisahnya, maka dalam “Gedong” ia menyuarakan perebutan gedong oleh orang-orang puri. Perebutan gedong dilakukan untuk bisa memerintah orang-orang puri. Perebutan ini dalam konteks kekinian identik dengan perebutan kursi jabatan dalam politik pemerintahan. “Gedong adalah pusat kekuasaan di Puri ini”. Puri, dengan demikian, diniatkan oleh pengarang sebagai sumber inspirasi dalam melahirkan pemimpin ideal karena telah dilembagakan melalui konvensi orang-orang puri.
Ciri Kebalian
Mencermati secara keseluruhan cerpen dalam buku ini, paling tidak ada empat hal yang menandai ciri kebalian cerpen Indonesia. Pertama, kentalnya budaya ritual keagamaan (Hindu) yang menyatu dengan adat (Bali) dalam kisah cerpen. Berimpitnya adat dan agama telah melahirkan tradisi menghaturkan sesajen yang penuh dengan bau kembang dan dupa. Kedua, kemenangan tokoh-tokoh yang dititahkan oleh sesuunan untuk menjadi pengawal seni adalah model pendidikan seni yang diwariskan secara turun-temurun. Hal inilah yang membuat proses regenerasi berkesenian di Bali senantiasa berkesinambungan.
Ketiga, kuatnya dominasi berkesenian yang menempatkan budaya ngayah sebagai bagian kehidupan mendorong seniman melakukan pencarian secara mendalam hingga ber-taksu. Keempat, intensnya kekuasaan Puri dalam menata diri ke dalam adalah bukti bahwa Bali di bawah naungan NKRI tidak serta merta menghapus sistem tradisi yang hidup dan berkembang lebih dulu. Buktinya belakangan ini, puri terus digali sebagai sumur inspirasi oleh ilmuwan maupun seniman, termasuk sastrawan.
Karenanya, lewat buku ini pembaca diajak untuk melihat potret mini Bali yang terus berproses. Dinamika itu direpresentasikan melalui cerita. Cerita ini tidak tertutup kemungkinan bermula dari berita. Jika kemungkinan itu benar, maka cerita bisa menjadi wacana sanding bagi berita dalam arti bahwa cerita (pendek) bisa menjadi pelengkap bagi berbagai wacana dalam pemberitaan secara faktual. Kebalian cerpen Indonesia yang digarap Mas Ruscitadewi ini melengkapi cerpen-cerpen Putu Wijaya, Aryantha Soethama, dan Oka Rusmini yang lebih dulu menggali sumur peradaban Bali ke dalam karya-karyanya.
Namun demikian, kekayaan kultur yang kelak menjadi dokumen budaya ini masih menyisakan persoalan teknis terutama dalam tatatulis. Beberapa kosakata Bali yang seharusnya dicetak miring, tidak dibedakan tatacara penulisannya dengan kosakata Indonesia. Hal ini mungkin akan membingungkan bahkan menyulitkan pemahaman pembaca non-Bali.
***
Dijumput dari: http://kesusastraan.wordpress.com/2007/10/21/kebalian-cerpen-indonesia/#more-28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar