Wiko Antoni S.Sn *)
http://sjuned.blogspot.com
Struktur lakon adalah partitur bagi seorang sutradara dalam `konser` peristiwa yang akan dipentaskan. Sebagai seorang penulis lakon tanggungjawab utama yang terpenting adalah membangun konsep dasar yang menjadi tempat berdiru teguhnya struktur pertunjukan, dari drama yang baik lahirlah pertunjukan yang luar biasa. Memang seorang sutradara mestilah kreatif dalam membangun realitas panggung namun drama yang baik akan menjadi pijakan kreatifitas yang baik bagi seorang sutradara dalam mempersiapkan pertunjukan berkualitas.
`Cantoi` berbicara dengan bahasa estetis tentang peristiwa yang mencengkram rasa cinta Sulaiman juned kepada Aceh. Kenyataan demikianlah yang banyak dicoba ungkap oleh teori-teori sosial. Berbagai cara ditempuh untuk menganalisa fenomena karya seni. Teori social selama ini bagai `senjata` pamungkas yang bisa mengatasi segala persoalan tersembunyi dalam karya-karya seni. Menafikan kenyataan bahwa bahasa seni adalah bahasa jiwa yang universal. Semisal membicarakan `Cantoi`, selama ini akan segera dibahas sosiologi karya, sosiologi pengarang, dan sosiologi latar penciptaan karya. Memang sebagian fenomena akan terjawab, mungkin saja ada indikasi sebuah karya akan ipengaruhi oleh keadaan lingkungan terciptanya. Yang kerap dilupakan adalah karya seni sebagai arkhetipe yang di eksternalisasikan secara sublim.
Bila karya seni sebagai arkhetpe yang muncul sebagai proyeksi jiwa, teori social akan kehilangan kekeuatan mengungkap fenomena sebuah karya. Mustahil sekali menyimpulkan pribadi seniman yang sangat spesifik dalam kerangka regional budaya. Memang kita terlalu lama mempercayai antropologi mampu menjawab banyak hal dalam persoalan analisis seni padahal seiring semakin kompleksnya persoalan yang muncul dalam karya-karya seni saat ini sudah saatnya melirik ilmu jiwa bawah sadar sebagai factor terpenting dalam aktualisasi proyektif sebuah karya seni.
`Cantoi` bukan penggambaran sikap masyarakat Aceh terhadap fenomena sebuah perang saudara, barangkali kaum sosiolog akan bersikeras untuk menghubung-hubungkan imajinasi Sulaiman Juned dengan antropologi Aceh. Padahal kenyataan `si Cantoi` ini bisa saja menimpa setiap manusia di seluruh dunia dalam kondisi ketertekanan yang serupa. Selama bertahun-tahun drama yang monumental hadir dalam lingkungan transisi dengan ketidakjelasan konvensi. Misalnya masa peralihan dari kekuasaan kaum borjuasi menuju zaman realisme. Saat itulah A Doll House mendobrak ketertekanan kaum-kaum yang merasa tertindas haknya. Memang banyak gaya yang muncul dalam mengekspresikan ketertekanan tersebut. Kadang-kadang agresif, romantis (misalnya gaya Shakespeare) bahkan komedi seperti `Cantoi` Sulaiman Juned. Disini perlu ditegaskan bahwa teori social tidak sepenuhnya mampu menjawab `misteri` terciptanya sebuah `karya emas` seorang seniman. Saatnya mempertimbangkan materi symbol yang dikemukakan oleh Freud dan Jung. Freud sangat percaya inspirasi gemilang muncul dari pengalaman yang tersimpan dalam ketidaksadaran, ketidaksadaran bukan hanya gudang-gudang peristiwa masa lalu tetapi juga penuh dengan benih-benih situasi ide-ide yang akan terjadi…kita menemukan hal ini dalam kehidupan sehari-hari, dimana dilema-dilema kadang-kadang dipeca\hkan oleh gagasan baru yang sangat mengherankan; banyak seniman, filoshof dan ilmuan dianugerahi inspirasi berupa ide-ide terbaik yang tiba-tiba muncul dari ketidaksadaran . (Sigmound Freud, 2000: 63).
`Cantoi` Ekternalisasi Agrophobia dalam Diri Sulaiman Juned
Ilmu Psikologi ketidaksadaran merupakan cabang ilmu yang selama ini digunakan untuk mendeteksi berbagai macam ganguan jiwa. Sejauh ini psikologi ketidaksadaran hanya berbicara seputar kelainan perilaku menyimpang yang terjadi padapenderita neurosis. Setelah semiotic menjadi cabang ilmu dalam ilmu analisis sastra terbuktilah bahwa symbol-simbol yang disepakati merupakan arkhetipe yang berawal dari ketidaksadaran. Simbol muncul bila ikon-ikon mendapat kesepakatan umum. Namun dalam banyak hal ikon-ikon yang muncul di seluruh dunia hamper sama dengan makna yang hamper sama pula. Pada dasarnya ikon muncul bersamaan dengan kebutuhan psikologis. Ketidakmampuan menjelaskan fenomena yang terjadi sangat potensial melahirkan ikon baru. Pada banyak kasus pasien jiwa ikon dibangun dari ketertekanan. Bila ini dikaitkan dengan prosesi penciptaan karya seni maka fenomena depresif ini dapat dikatakan eksternalisasi agrophobia.
Istilah agrophobia digunakan untuk ketakutan yang berlebihan. Pada tingkat demikian akan muncul sikap depresif atau agresif. Pada beberapa kasus yang muncul justru peristiwa sublimatif. Penderita agrophobia tidak semata-mata mengarah kepada kemerosotan jiwa yang membawa efek negatif adakalanya justru individu ini akan menjadi tegar dan tabah dalam melanjutkan kehidupan (Sigmound Freud, 2000:438). Ketertekan akan memiliki efek berbeda bagi setiap individu walaupun jenisnya sama, dalam hal ini psikologi memandang sebuah karya seni sebagai `benda` yang spesifik yang terlahir dari individu yang spesifik pula. Kolektifitas budaya bukan hal yang penting untuk menganalisa sebuah karya seni. Individunya yang penting, masa lalu, pendidikan, pengalaman estetis, romantis bahkan tekanan-tekanan hidup yang dialami. Fenomena jiwa milik semua orang sedangkan kebudayaan terkotak-kotak dalam sebuah lingkungan primordial.Sartre menungkapkan dalam menemukan analogis kesadaran imajinatif akan muncul kasus berikut, (1) Korelatif analogis dari pengetahuan imajinatif berupa objek afektif, (2) Imaji yang lengkap mencakup analog afektif yang menghadirkan objek dalam sifatnya yang mendasar dalam sebuah analog kisnetis yang mengeksternalkan objek dan memberikan tersebut realitas visual. (Sartre, 2000 : 192). Realitas visual berupa proyeksi imaji ini di eksternalkan kedalam realitas karya setelah disusun menjadi realitas estetis. Maka yang hadir adalah karya seni yang memukau. Ekternalisasi adalah prosesi ritual alam bawah sadar menjelmakan dirinya kepada kesadaran. Keseimbangan kimia tubuh menciptakan kekuatan bagi jiwa melalukan kompensasi yang sublim dengan proyeksi kreatif. Bagaimanapun kekuatan masa lalu tidaklah hilang. Ia tersimpan rapi di gudang data dalam serabut syaraf neurotic yang jumlahnya demikian banyak. Sadar atau tidak hadirlah ia keproyeksi masa sekarang yang dieksternalkan menjadi proyeksi kekecewaan atau kebahagiaan. Proses selanjutnya adalah kreativitas sublim dan pengolahan estetis yang rumit untuk dieksternalisasikan kedalam bentuk visualisasi kreatif dan indah. Lahirlah karya seni yang kadang-kadang mencengangkan banyak orang. (Sartre, 2000 : 194)
Disini yang menjadi kasus adalah `Cantoi` karya Sulaiman Juned, mari kita berandai-andai. Seumpama kita adalah seorang yang berada di Aceh saat konflik NKRI-GAM dalam keadaan kritis. Menjadi saksi atas kematian sudara-saudara atau orang-orang dicinta dalam tenggang waktu berdekatan. Dalam beberapa kasus ketertekanan yang berkepanjangan melahirkan stress. Kita tahu, banyak orang di daerah konflik mengalami gangguan jiwa ringan sampai berat. Bahkan sampai saat ini konflik korban-korban perang selalu menjadi masalah tak kunjung usai antara Negara korban perang melawan Negara aggressor. Sampai saat ini Jerman dan Jepang selalu menjadi korban hujatan, padahal dalam kondisi konflik semua orang depresi. Dalam keadaan demikian `Cantoi` bicara dengan tegas bahwa `peranglah yang bersalah`. Bukan `Pendekar atau maling`, karena kedua belah fihak tidak mengerti bagaimana cara mendapatkan ketenangan. Dalam kondisi yang tidak jelas bila berakhirnya. Kondisi jiwa kedua belah fihak sama-sama tertekan. Selanjutnya Sulaiman juned menjelaskan kenyataan ini melalui `si Cantoi` bahwa yang paling menderita rakyat yang tidak mengerti sama sekali, karena kedua belah fihak menaruh curiga pada mereka, mascot yang digambarkan adalah tokoh `cantoi`. Berikut petikan dialog tentang hal ini/…kami orang kamping mana tahu maling. Pekerjaan kami hanya bertani, kalaupun ada maling disini itu pasti pelarian dari kampong lain./ dibagian lain berbunyi/Ah cantoi tak pernah jadi maling, tapi kalau maling jadi Cantoi itu diluar kemampuanku/. Sulaiman Juned sebenarnya `bermain-main` dengan kematian. Jelas sekali ketololan `Cantoi` adalah kenaifan yang tidak disadari. Penggambaran yang jelas bahwa tokoh yang digambarkannya adalah sisi lain dari kecerdasannya sebagai homocreator yang dikungkung frustasi melihat keadaan kampong halaman yang dicintainya. Seolah tak ada solusi untuk Aceh sementara kematian terus terjadi. Kecurigaan meningkat tajam, orang-orang tak berdosa diterkam oleh ketakutan karena dua sisi yang bertikai kerap salah sasaran. Rakyat yang tak mengerti apa-apa menjadi korban keberingasan para pendekar dan Maling. Dilog-dialog ini bukan hanya milik orang Aceh, ribuan pengungsi di perbatasan Lebanon juga mengalami ketertekanan yang sama saat Israel dan Palestina saling menyalahkan atas terror yang diperbuat kaum gerilyawan Intifadah. Perang selalu memberikan terror kepada rakyat. Peluang terbesar untuk menjadi korban salah sasaran, salah tembak, salah tangkap, salah bombardier. Musuh yang dicari sangat lihai melarikan diri sementara rakyat tak pernah belajar taktik menyelamatkan diri.
Tema sentral yang diusung lakon `Cantoi` memang bukan hal yang baru. Semua orang tahu bahwa perang menimbulkan depresi namun tema-tema lain menarik pula untuk dikaji, renungan filosifis tentang seorang ustadz misalnya, yang berani mengungkapkan kebenaran di atas mimbar namun dalam kenyataan asyik menghitung tasbih saat mayat rakyat dituduh sebagai `maling` terbujur dihadapannya. Ini kenyataan estetis yang dibangun Sulaiman Juned untuk `menelanjangi` kemunafikan kita. Logikanya pada saat terancam semua orang memilih jalan selamat. Kebenaran akan tersembunyi. Seorang Ustadzpun lebih memilih diam daripada harus berurusan dengan `pendekar`. Tema lain tak kalah menarik adalah kritik tajam terhadap gelar bangsawan yang dibangga-banggakan. Di awal-awal teks drama `Cantoi` dijelaskan bahwa “Darah kita semuanya merah” jadi, tidak layak mengaku ” darah biru” atau lainnya.
Empirisme, Frustasi menuju Sublimasi Estetis Lakon `Cantoi`
Kini marilah kita bahas perjalanan kreatif bawah sadar Sulaiman Juned menuju terciptanya lakon `Cantoi`. Di atas sudah dijelaskan eksternalisasi agrophobia sebagai latar yang menjadi stimulus kelahiran drama `Cantoi`. Kini proses tersebut akan dijabarkan disini. Secara sederhana factor yang melatar belakangi terciptanya karya seni dari sisi psikologi adalah unsure intern dan ekstern. Unsur intern adalah kepribadian seniaman secara instrinsik sedangkan factor ekstern adalah stimulus yang muncul dari luar atau realita sehari-hari yang bersentuhan dengan si seniman. Pertama proses realitas verbal menjadi realitas seni selalu diiringi oleh penafsiran kenyataan oleh imajinasi, kedua pengalaman yang dialami seniman baik yang disadari maupun tidak disadari akan berpengaruh dalam sebuah karya seni yang tercipta. Ketiga penciptaan karya yang cerdas selalu melibatkan pertimbangan filoshopis yang bersifat edukatif. Keempat seniman yang baik adalah seorang ilmuan yang berusaha mencari solusi bagi persoalan sekitarnya yang terakhir, seniman yang baik bersikap sebagai penengah dalam segala persoalan disekitarnya.
Melihat empat sisi diatas maka pertarungan emosinal akan melahirkan kegelisahan estetis dalam diri seorang seniman. Lima elemen di atas dibenturkan dengan kegamangan jiwa seorang Sulaiman Juned. Bagaimanapun sebagai seorang yang berdarah Aceh ada rasa kecewa dalam dirinya melihat kampong halaman yang dicintainya berada dalam kondisi serba tidak jelas. Kekecewaan ini jelas bila kita membahas teks demi teks yang digambarkan dalam drama `cantoi`. Sebagai pertimbangan dialog berikut./korban berjatuhan. Mayat-mayat bergelimpangan. Disawah, diladang, dalam rimba bahkan dikeramaian pasarpun mayat-mayat berserakan./…barang siapa yang meratapi kematian para maling sudah pasti maling…/Peristiwa berdarah di kampong ini tidak ada lagi yang menangisi…/. Sulaiman Juned meratap dan menghiba dalam hatinya. Bagaimana tidak, sebagai orang Aceh tentulah ada keberfihakan tersembunyi dihatinya, hatinya pilu melihat saudara-saudara yang sekampung yang terbunuh tanpa jelas kesalahan. Yang jelas mereka divonis sebagai `maling`. Keresahan ini mula-mula disublimasi kedalam lakon “Jambo, Luka Tak Teraba” (di muat di Horison No 11 TH XXXVII/2003). jelas sekali penokohan dalam drama `Jambo Luka Tak Teraba` bertolak belakang dengan karakter `Cantoi`. Dalam `Jambo Luka Tak Teraba` tokoh-tokoh heroic hadir dengan persepsi bertolak belakang menyikapi keadaan. Lakon `Cantoi` justru mencibirkan heroisme tersebut. `Cantoi` sampai pada taraf bahwa heroisme Cuma kata-kata sempalan yang sama sekali tak berarti. Hanya lipstick yang menipu. Kecurigaan Sulaiman Juned memuncak dalam `Cantoi`, rupanya Pasukan Upah dan Kaum Ateuh (lihat teks `Jambo Luka Tak Teraba`) sama saja. Sama-sama tidak mempertimbangkan penderitaan rakyat.
Bagan psikologis terciptanya drama `Cantoi` dapat digambarkan seperti berikut ini:
Keterangan:
1. R = Realitas
2. I = Intelektual/kecerdasan
3. FE = Frustasi Estetik
4. RI =Realitas Imajinatif
5. EA = Eksternalisasi Agrophobia
Realitas merupakan stimulus yang merangsang pemikiran seorang seniman gelisah. Realitas yang dianggap buruk sangat memungkinkan frustasi. Frustasi itu memicu sublimasi hingga proyeksi yang tersusun dalam kerangka karya. Inilah yang disebut frustasi estetis. Seniman kreatif kemudian mewujudkan kegelisahan ini menjadi karya yang benar-benar nyata. Realitas hadir menjadi kenyataan seni. Kenyataan seni ini wujudnya bermacam-macam, diantaranya, Agresif, melankolis, ataupun romantis. Pada Lakon `Jambo Luka Tak Teraba` bentuk aktualisasinya adalah Agresif. Sulaiman dengan ber api-api mencerca kenyataan, begitu agresif bahkan cenderung emosional dan provokatif (Lihat Horison No 11/2003). Pada lakon `Cantoi` Perwujudan frustasi estetiknya berbentuk melankolis aktualisasinya adalah style lakon. Menertawakan kematian perwujudan kepedihan yang tak dapat diucapkan dengan kata-kata.
Penutup
Lakon `Cantoi` adalah perwakilan orang-orang yang berada dalam ketidakjelasan situasi. Ketertekanan berkepanjangan melahirkan kefrustasian. Walaupun tokoh ini digambarkan dengan seting Aceh, peristiwa `Cantoi` akan menimpa siapa saja. Ketertekanan jiwa dapat menimpa setiap orang. Ada kalanya ketertekanan ini sampai pada kondisi sesorang kehilangan kendali psikis dan menjadi abnormal`. Kondisi tidak normal ini dalam ilmu jiwa disebut neurosis sesuai tempat yang menjadi sebabnya yaitu syaraf-syaraf penyimpan data bawah sadar.
Kenyataan adalah sumber utama bahan baku karya seni, selebihnya pengalaman estetis yang berkonfigurasi dengan ketidaksadaran. Karya yang besar kerap muncul dari ketertekanan yang memicu syaraf bawah sadar berkontraksi. Ide-ide cemerlang muncul menjadi karya yang luar biasa. Latar emosional demikian yang mendasari kreatifitas psikologis dalam diri Sulaiman Juned `sang bapak si Cantoi`. Dari realitas Aceh `Cantoi` bicara soal kemanusian secara universal dan menyentuh persoalan jiwa manusia di seluruh dunia. Berawal dari konflik Aceh, manusia-manusia yang dicengkram perang di seluruh dunia bersuara. Keputus asaan tak kunjung selesai menyekap jiwa-jiwa malang yang terjebak dalam perang.
Sosiologi memang telah banyak berjasa menyingkap demikian banyak fenomena karya seni. Namun dewasa ini seiring perkembangan ilmu pengetahuan sudah saatnya mempertimbangkan cabang ilmu lain yang lebih menyentuh substansi manusia secara objektif. Psikologi ketidaksadaran sudah lama mengkaji symbol-simbol kejiwaan yang menguasai manusia sejak manusia itu ada. Dalam bannyak kasus karya seni aspek psikislah yang berpengaruh besar selain aspek social. Maka saatnya psikologi ketidaksadaran menunaikan `tugas baru`, sebagai pemberi penjelasan bagi karya-karya besar para seniman.
_______________________
*) Wiko Antoni S.Sn adalah pengarang drama, skenario, dramaturg, aktor, penulis kritik seni budaya, pencipta lagu, Salah seorang pendiri Komunitas seni `kuflet` Padangpanjang. Salah seorang Pendiri kelompok kerja seni `gonjong Tujuh` Padang Panjang. Pernah menjadi asisten pengajar di jurusan teater STSI Padangpanjang saat masih kuliah di STSI Padangpanjang. Pengalaman sebagai guru adalah mengajar Ekstra di SMU Sore Padang Panjang. Pengajar kesenian di SMU Negeri 2 Tabir, kabupaten Merangin. Propinsi Jambi, (semenjak 10 Januari 2006). Pengajar KTK serta Kebudayaan Daerah di SMP 2 Tabir Selatan kabupaten Merangin, Propinsi Jambi (Semenjak 6 Agustus 2006). Mengajar di SD 07 Limbur Merangin, Kabupaten Merangin Propinsi Jambi (semenjak 11 Juli 2007). Saat ini non aktif sebagai guru untuk menempuh program D4 di Fakultas Ilmu Pendidikan UMSB “Kauman” Padangpanjang. Pengalaman jurnalistik, menulis untuk Jurnal “Ekspresi Seni” STSI Padangpanjang dengan judul “ Teater Impilikasi Realitas Sastera”. Menulis untuk Jurnal “Palanta Seni Budaya” dengan judul “Mempertanyakan Sebuah Rumah : Sebuah Analisis Multidisipliner terhadap Karya Toni Aryadi”.
Dijumput dari: http://sjuned.blogspot.com/2009/01/tragedi-cantoi-sulaiman-juned.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar