Muhammad Azka Fahriza
Jawa Pos, 18 Maret 2012
DI suatu pagi pada hari, bulan, dan tahun yang tak perlu kusebutkan. Ketika pagi masih perawan dan mentari belum kelihatan sekalipun langit tiada berawan. Aku bertemu dengannya di sebuah perempatan jalan yang salah satu ujungnya mengarah ke salah satu universitas terbesar di kota ini—tak sampai satu kilometer. Pertemuan yang mengejutkan sekaligus menarik perhatianku. Karena, aku melihatnya dalam gerak-gerik dan dandanan yang begitu ganjil; serupa martir anak-anak dalam perang-perang kemerdekaan.
Pagi itu ia berbusana sehari-hari: celana pendek dan kaos dalam kumal, dan bertelanjang kaki, dengan selempang rafia yang menggantung senapan laras panjang kayu di pinggang kiri belakang, dengan benda serupa pisau komando yang hanya terlihat pegangan kayunya, juga halsduk merah-putih yang terikat kuat di kepalanya. Memang, siapa pun yang mengenalnya dengan baik pasti akan menebak jua, bahwa yang dilakukannya hanyalah main-main belaka. Dan seandainya pun aku melihatnya dalam pakaian seperti itu di sore hari, kiranya segalanya akan berbeda adanya. Tetapi aku melihatnya pada pagi yang begitu dini!
Aku baru saja pulang dari warnet tempatku bekerja ketika itu. Sesungguhnya, dalam situasi normal, tak mungkin aku tertarik dengan perkara remeh-temeh seperti itu, apalagi dengan lelucon-leluconnya yang bahkan tiap hari begitu kuakrabi. Tapi entahlah, tanpa tahu terkena bisikan setan dari mana, segalanya mengalir, begitu saja, kemudian aku menjadi begitu tertarik dengannya, terseret dalam kelindan cerita yang seharusnya tak perlu. Ah, mudahnya, anggap saja semua itu tersebab perkara yang begitu sering jadi kambing hitam agamawan; takdir, semata. Bukankah akan sulit dipercaya apabila kukatakan bahwa aku hanya terseret oleh gerak-gerik dan raut mukanya yang menampakkan keseriusan yang begitu purba?
Aku masih ingat betul bahwa kemudian aku terlibat percakapan dengannya secara serius, lebih tepatnya, aku harus memosisikan diriku dalam situasi yang serius.
“Heii…. Kau mau kemana?” kataku setengah berbisik kepadanya, menyesuaikan raut mukanya.
“Kau mau ikut?”
“Sekiranya menarik, tentu saja. Tapi ke mana?”
“Membunuh presiden kita! Hari ini sialan itu akan lewat depan kampus. Kau tak dengar berita?”
Kampus yang ia maksud adalah kampus dekat tempat pertemuan kami. Begitulah, kemudian aku makin serius menanggapinya bicara. Hingga kemudian, tak ada pilihan lain, aku harus mengikutinya. Tak ada sebab lain memang, kecuali karena aku memang begitu tertarik oleh rencananya. Barangkali ini akan jadi kekonyolan baru yang mungkin bisa kujadikan satire baru dengan kawan-kawan di jejaring sosial; Twitter, Facebook, atau Kaskus nanti, pikirku waktu itu. Karena aku tahu bahwa ia memang tiada main-main, maksudku bahwa Bapak Presiden, menurut media online, sungguh akan berkunjung ke kota kami untuk memberikan kuliah umum di universitas dekat tempatku bertemu dengan kawanku tadi!
Dulu, ia memang kerap bercerita kepadaku bahwa suatu saat nanti ia ingin menjadi superhero. Mungkin terdengar ganjil di telinga kebanyakan orang cita-cita semacam itu, meskipun sesungguhnya, tiada yang lebih ganjil di antara semua cita-cita yang memenuhi manusia; semuanya sama saja! Entah itu superhero, presiden, koruptor, bahkan Hitler sekalipun! Cita-cita hanyalah tipuan yang berguna untuk melupakan kekonyolan hidup yang tak menentu.
Sekali waktu kami terlibat perbincangan perihal cita-citanya tersebut:
“Kenapa kau ingin menjadi Superhero!”
“Aku ingin menghukum orang-orang jahat!”
“Mereka yang mengganggumu, menertawakanmu?”
“Semuanya. Siapa pun….”
Menjadi dirinya memanglah sebuah ironi. Sudah sengsara, idiot pula, kata orang-orang yang mengenalnya mengenai kondisinya. Oh, tidak! Berapa kali pun aku akan menolak kata-kata itu dilekatkan padanya. Sebutan idiot terlalu kasar untuknya, bahkan mungkin tak pantas! Sampai kapan pun aku akan membenci kenyataan itu; bahwa mereka yang terlemahkan akan selalu jadi bahan tertawaan. Tidakkah kau kira pemimpin yang gemar melarung duka pada massa lebih pantas untuk itu semua?
Mungkin, di kota ini, bahkan di dunia ini, kecuali Tuhan—jika entitas itu memang ada—akulah yang paling mengenal dirinya dibandingkan siapa pun. Dunia yang munafik membuatku melihatnya sebagai sumur tanpa dasar yang mampu menampung segala kesesakan. Aku sering menyebutnya sebagai makhluk beruntung karena kekurangcakapannya dalam memandang hidup. Sementara orang-orang menyebutnya idiot, dungu, imbisil, aku selalu mengatakan padanya bahwa ialah manusia paling ideal bagi kehidupan saat ini; mampu tertawa melepas kepedihannya sendiri, dalam kesadarannya sendiri. Tentu aku tak mengatakan secara langsung kepadanya dengan bahasa serumit itu.
Kami tumbuh bersama jauh sebelum aku mengenalnya sebagai pewaris sah kepedihan. Sebelum aku mengenalnya sebagai seorang bocah yang sesungguhnya tak hidup sebatang kara, namun seperti sebatang kara terlunta-lunta—ia hidup bersama bapaknya, seorang pemulung, yang tak pernah (mungkin tak sempat) mengurusinya kecuali makan sekadarnya. Apalah yang mampu dipikirkan seorang bocah pada umumnya?
Keceriannyalah, keceriaan yang menurutku begitu tulus dan murni itulah, yang membuat aku—pada awalnya—dekat, kemudian menjadi akrab dengannya. Setiap selesai sekolah aku akan selalu menemui dirinya yang kesepian di salah satu titik di bantaran sungai yang penuh sampah di belakang pemukiman kumuh, tempat di mana ia tinggal. Sesudahnya, kami akan bermain apa pun, lebih sering perang-perangan dengan aku yang menjadi penjahatnya. Ia memang begitu terobsesi dengan pahlawan perang. Baginya superhero bukanlah Son Goku, Ultraman, atau Superman, atau tokoh apa pun dalam dunia tak nyata. Mengapa? “Aku ingin membunuh para penjahat dengan tanganku sendiri,” katanya suatu kali ketika kutanyakan kepadanya.
Aku selalu terkesima dengan emosinya yang meledak-ledak ketika memerankan tokoh superhero idamannya itu, juga dengan keceriaannya yang seolah selalu sama, dari waktu ke waktu. Meskipun, pada akhirnya, keceriaan yang juga turut kurasakan itu, menjadi sesuatu yang amat kusesali, lantaran telah membuatku abai dan lupa, bahkan hingga aku menginjak bangku universitas, meski aku masih tetap setia bermain dengan pencabar resahku itu bahwa selama ini ada luka dan dukanya yang tersimpan rapi dalam rumah semi permanen bapaknya.
Andai tak ada peristiwa penggusuran petak kardusnya beberapa minggu yang lalu, mungkin aku takkan pernah melihat bara dalam tatapan matanya untuk pertama kalinya.
Kami berjalan menyisiri gang yang mengarah ke sebuah titik yang menurutnya berada pada jarak tembak. Di balik sebuah pagar tembok salah satu warga. Sesungguhnya tempat yang ia maksud tersebut begitu jauh dari jarak yang tepat seandainya pun kami berniat benar-benar membunuh presiden, meski dari jarak tersebut kami akan luput dari pandangan Paspamres. Tapi untuk apa? Namun ia bersikeras bahwa senapannya adalah senapan sungguhan yang mampu melantakkan apa pun.
“Untuk apa kau ingin membunuh presiden?” Sempat aku bertanya di sela-sela penantian itu.
“Karena ia pemimpin orang-orang jahat.”
“Kata siapa?”
“Katamu bukan? Tempo hari.”
Seolah ada angin kencang yang menerpa wajahku, aku terhenyak. Kiranya dari sinilah awal mula keganjilannya pagi ini. Kemudian aku teringat perbincangan kami beberapa minggu yang lalu, pada sore hari di tempat biasanya kami bertemu; pada bantaran sungai yang sama, hanya saja pemukiman kumuhnya waktu itu telah tak bersisa, rata dengan tanah.
Waktu itu memang tepat sehari setelah peristiwa penggusuran paksa tempat tinggalnya. Kami sama terduduk dalam keheningan (mungkin kepedihan tepatnya) yang begitu dalam, begitu lama. Sama sekali tak ada maksud bagiku untuk berkata-kata kali itu, aku tak ingin mengotori ketakberdayaanku oleh gincu kata-kata. Hingga kemudian ia berkata padaku dengan nada yang terdengar olehku seperti pisau yang menyayat-nyayat.
“Kenapa seorang manusia bisa begitu jahat?”
“Entahlah….”
“Siapakah, apakah yang menjadi penyebab semuanya.”
“Bapak Presiden….”
Aku tak menyangka, bahwa kalimat yang kuucapkan sekenanya itu begitu lekat dalam ingatannya yang tak seberapa. Aku bisa melihat semuanya dari raut mukanya, dari tatapan matanya, juga dandanan dan gerak geriknya.
Ada keharuan yang meruyak kemudian ketika aku menyadari, bahwa sesungguhnya apa yang ia lakukan hanyalah perlawanan sia-sia. Oh, apakah selamanya manusia-manusia lemah mesti menunggu datangnya Isa untuk menjadi perkasa! Keharuan itulah yang kemudian membuatku seolah lupa jika aku telah berada di tempat itu bersamanya hanya untuk pura-pura, sekadar mengikuti kejenakaannya yang menyedihkan.
Setelah itu, kami benar-benar seperti sepasang gerilyawan separatis yang hendak mengincar Sang Jahannam penindas kebebasan, kebahagiaan. Benar-benar tak ada membedakanku dengannya, kecuali sebuah pisau komando yang terselip di pinggangnya. Kami adalah superhero sebenarnya. Jemariku telah berubah menjadi senapan otomatis AK-47. Kedua mataku telah berubah jadi teleskopnya.
Begitu sabar kami menanti sasaran. Dengan khidmat kami menunggu buruan yang kami yakin tak akan lepas, akan mampus dalam sekali salakan atau malah rentetan tembakan.
Cukup lama kami menunggu dalam keheningan.
Hingga keheningan yang telah cukup lama kami khusyuki itu pun pecah.
Secermat mungkin kami merespon histeria yang meledak tiba-tiba. Setan itu telah datang, pikirku ketika itu, pikirannya pun kurang lebih sama kukira. Lamat-lamat, kulihat dengan begitu terang arak-arakan presiden berserta ajudan dan pengawalnya. Wajah palsu itu kulihat tengah tersenyum-senyum, melambai-lambai dari balik kaca Mercedez-nya yang lumayan gelap. Di sampingnya duduk istrinya yang melakukan kegiatan serupa di kaca yang bersebrangan dengannya.
Aku mencoba berkonsentrasi, hingga haram jadah itu masuk dalam jarak fokusku. Ia telah masuk dalam jarak tembak. Kutarik pelatuk, kugerakkan telunjuk kananku.
Dor! Dor! …. Senapan kami menyalak dalam waktu yang hampir bersamaan. Aku melihatnya. Aku melihatnya roboh dalam serangan itu. Ada kekacauan. Ada tangis yang mubazir. Ada kemenangan.
“Dosa-dosa! Aku berdosa. Aku tak mau dihukum mati!”
Aku menoleh ke arah suara itu. Kawanku! Ada apa dengannya. Aku benar-benar kaget begitu melihatnya. Oh, segalanya terlambat! Sebuah tragik telah terjadi, tanpa mampu kugagalkan. Darah mengucur deras dari ulu hatinya.
Kemudian aku tersadar, bahwa “pisau komando” yang terselip di pinggangnya itu bukan mainan. Entah dari mana ia dapatkan pisau dapur itu! Kemudian aku teringat ancamanku tentang dosa dan hukuman setelah rencana pembunuhannya pada presiden. Aku menangis sejadi-jadi, sendirian. Sementara beberapa meter dari kami ada luapan gembira menyambut konvoi penguasa. Sementara dalam dekapanku, tubuh superhero itu mendingin dalam kemarahannya yang paling sunyi.
Mojokerto, penghujung Januari 2011
Muhammad Azka Fahriza. Lahir dan bermukim di Mojokerto. Pegiat sastra pada Kelompok Alief, Mojoagung, Jombang.
Dijumput dari: http://lakonhidup.wordpress.com/2012/03/21/superhero/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 23 Juni 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar