Sabtu, 23 Juni 2012

Superhero

Muhammad Azka Fahriza
Jawa Pos, 18 Maret 2012

DI suatu pagi pada hari, bulan, dan tahun yang tak perlu kusebutkan. Ketika pagi masih perawan dan mentari belum kelihatan sekalipun langit tiada berawan. Aku bertemu dengannya di sebuah perempatan jalan yang salah satu ujungnya mengarah ke salah satu universitas terbesar di kota ini—tak sampai satu kilometer. Pertemuan yang mengejutkan sekaligus menarik perhatianku. Karena, aku melihatnya dalam gerak-gerik dan dandanan yang begitu ganjil; serupa martir anak-anak dalam perang-perang kemerdekaan.
Pagi itu ia berbusana sehari-hari: celana pendek dan kaos dalam kumal, dan bertelanjang kaki, dengan selempang rafia yang menggantung senapan laras panjang kayu di pinggang kiri belakang, dengan benda serupa pisau komando yang hanya terlihat pegangan kayunya, juga halsduk merah-putih yang terikat kuat di kepalanya. Memang, siapa pun yang mengenalnya dengan baik pasti akan menebak jua, bahwa yang dilakukannya hanyalah main-main belaka. Dan seandainya pun aku melihatnya dalam pakaian seperti itu di sore hari, kiranya segalanya akan berbeda adanya. Tetapi aku melihatnya pada pagi yang begitu dini!

Aku baru saja pulang dari warnet tempatku bekerja ketika itu. Sesungguhnya, dalam situasi normal, tak mungkin aku tertarik dengan perkara remeh-temeh seperti itu, apalagi dengan lelucon-leluconnya yang bahkan tiap hari begitu kuakrabi. Tapi entahlah, tanpa tahu terkena bisikan setan dari mana, segalanya mengalir, begitu saja, kemudian aku menjadi begitu tertarik dengannya, terseret dalam kelindan cerita yang seharusnya tak perlu. Ah, mudahnya, anggap saja semua itu tersebab perkara yang begitu sering jadi kambing hitam agamawan; takdir, semata. Bukankah akan sulit dipercaya apabila kukatakan bahwa aku hanya terseret oleh gerak-gerik dan raut mukanya yang menampakkan keseriusan yang begitu purba?

Aku masih ingat betul bahwa kemudian aku terlibat percakapan dengannya secara serius, lebih tepatnya, aku harus memosisikan diriku dalam situasi yang serius.

“Heii…. Kau mau kemana?” kataku setengah berbisik kepadanya, menyesuaikan raut mukanya.

“Kau mau ikut?”

“Sekiranya menarik, tentu saja. Tapi ke mana?”

“Membunuh presiden kita! Hari ini sialan itu akan lewat depan kampus. Kau tak dengar berita?”

Kampus yang ia maksud adalah kampus dekat tempat pertemuan kami. Begitulah, kemudian aku makin serius menanggapinya bicara. Hingga kemudian, tak ada pilihan lain, aku harus mengikutinya. Tak ada sebab lain memang, kecuali karena aku memang begitu tertarik oleh rencananya. Barangkali ini akan jadi kekonyolan baru yang mungkin bisa kujadikan satire baru dengan kawan-kawan di jejaring sosial; Twitter, Facebook, atau Kaskus nanti, pikirku waktu itu. Karena aku tahu bahwa ia memang tiada main-main, maksudku bahwa Bapak Presiden, menurut media online, sungguh akan berkunjung ke kota kami untuk memberikan kuliah umum di universitas dekat tempatku bertemu dengan kawanku tadi!

Dulu, ia memang kerap bercerita kepadaku bahwa suatu saat nanti ia ingin menjadi superhero. Mungkin terdengar ganjil di telinga kebanyakan orang cita-cita semacam itu, meskipun sesungguhnya, tiada yang lebih ganjil di antara semua cita-cita yang memenuhi manusia; semuanya sama saja! Entah itu superhero, presiden, koruptor, bahkan Hitler sekalipun! Cita-cita hanyalah tipuan yang berguna untuk melupakan kekonyolan hidup yang tak menentu.

Sekali waktu kami terlibat perbincangan perihal cita-citanya tersebut:

“Kenapa kau ingin menjadi Superhero!”

“Aku ingin menghukum orang-orang jahat!”

“Mereka yang mengganggumu, menertawakanmu?”

“Semuanya. Siapa pun….”

Menjadi dirinya memanglah sebuah ironi. Sudah sengsara, idiot pula, kata orang-orang yang mengenalnya mengenai kondisinya. Oh, tidak! Berapa kali pun aku akan menolak kata-kata itu dilekatkan padanya. Sebutan idiot terlalu kasar untuknya, bahkan mungkin tak pantas! Sampai kapan pun aku akan membenci kenyataan itu; bahwa mereka yang terlemahkan akan selalu jadi bahan tertawaan. Tidakkah kau kira pemimpin yang gemar melarung duka pada massa lebih pantas untuk itu semua?

Mungkin, di kota ini, bahkan di dunia ini, kecuali Tuhan—jika entitas itu memang ada—akulah yang paling mengenal dirinya dibandingkan siapa pun. Dunia yang munafik membuatku melihatnya sebagai sumur tanpa dasar yang mampu menampung segala kesesakan. Aku sering menyebutnya sebagai makhluk beruntung karena kekurangcakapannya dalam memandang hidup. Sementara orang-orang menyebutnya idiot, dungu, imbisil, aku selalu mengatakan padanya bahwa ialah manusia paling ideal bagi kehidupan saat ini; mampu tertawa melepas kepedihannya sendiri, dalam kesadarannya sendiri. Tentu aku tak mengatakan secara langsung kepadanya dengan bahasa serumit itu.

Kami tumbuh bersama jauh sebelum aku mengenalnya sebagai pewaris sah kepedihan. Sebelum aku mengenalnya sebagai seorang bocah yang sesungguhnya tak hidup sebatang kara, namun seperti sebatang kara terlunta-lunta—ia hidup bersama bapaknya, seorang pemulung, yang tak pernah (mungkin tak sempat) mengurusinya kecuali makan sekadarnya. Apalah yang mampu dipikirkan seorang bocah pada umumnya?

Keceriannyalah, keceriaan yang menurutku begitu tulus dan murni itulah, yang membuat aku—pada awalnya—dekat, kemudian menjadi akrab dengannya. Setiap selesai sekolah aku akan selalu menemui dirinya yang kesepian di salah satu titik di bantaran sungai yang penuh sampah di belakang pemukiman kumuh, tempat di mana ia tinggal. Sesudahnya, kami akan bermain apa pun, lebih sering perang-perangan dengan aku yang menjadi penjahatnya. Ia memang begitu terobsesi dengan pahlawan perang. Baginya superhero bukanlah Son Goku, Ultraman, atau Superman, atau tokoh apa pun dalam dunia tak nyata. Mengapa? “Aku ingin membunuh para penjahat dengan tanganku sendiri,” katanya suatu kali ketika kutanyakan kepadanya.

Aku selalu terkesima dengan emosinya yang meledak-ledak ketika memerankan tokoh superhero idamannya itu, juga dengan keceriaannya yang seolah selalu sama, dari waktu ke waktu. Meskipun, pada akhirnya, keceriaan yang juga turut kurasakan itu, menjadi sesuatu yang amat kusesali, lantaran telah membuatku abai dan lupa, bahkan hingga aku menginjak bangku universitas, meski aku masih tetap setia bermain dengan pencabar resahku itu bahwa selama ini ada luka dan dukanya yang tersimpan rapi dalam rumah semi permanen bapaknya.

Andai tak ada peristiwa penggusuran petak kardusnya beberapa minggu yang lalu, mungkin aku takkan pernah melihat bara dalam tatapan matanya untuk pertama kalinya.

Kami berjalan menyisiri gang yang mengarah ke sebuah titik yang menurutnya berada pada jarak tembak. Di balik sebuah pagar tembok salah satu warga. Sesungguhnya tempat yang ia maksud tersebut begitu jauh dari jarak yang tepat seandainya pun kami berniat benar-benar membunuh presiden, meski dari jarak tersebut kami akan luput dari pandangan Paspamres. Tapi untuk apa? Namun ia bersikeras bahwa senapannya adalah senapan sungguhan yang mampu melantakkan apa pun.

“Untuk apa kau ingin membunuh presiden?” Sempat aku bertanya di sela-sela penantian itu.

“Karena ia pemimpin orang-orang jahat.”

“Kata siapa?”

“Katamu bukan? Tempo hari.”

Seolah ada angin kencang yang menerpa wajahku, aku terhenyak. Kiranya dari sinilah awal mula keganjilannya pagi ini. Kemudian aku teringat perbincangan kami beberapa minggu yang lalu, pada sore hari di tempat biasanya kami bertemu; pada bantaran sungai yang sama, hanya saja pemukiman kumuhnya waktu itu telah tak bersisa, rata dengan tanah.

Waktu itu memang tepat sehari setelah peristiwa penggusuran paksa tempat tinggalnya. Kami sama terduduk dalam keheningan (mungkin kepedihan tepatnya) yang begitu dalam, begitu lama. Sama sekali tak ada maksud bagiku untuk berkata-kata kali itu, aku tak ingin mengotori ketakberdayaanku oleh gincu kata-kata. Hingga kemudian ia berkata padaku dengan nada yang terdengar olehku seperti pisau yang menyayat-nyayat.

“Kenapa seorang manusia bisa begitu jahat?”

“Entahlah….”

“Siapakah, apakah yang menjadi penyebab semuanya.”

“Bapak Presiden….”

Aku tak menyangka, bahwa kalimat yang kuucapkan sekenanya itu begitu lekat dalam ingatannya yang tak seberapa. Aku bisa melihat semuanya dari raut mukanya, dari tatapan matanya, juga dandanan dan gerak geriknya.

Ada keharuan yang meruyak kemudian ketika aku menyadari, bahwa sesungguhnya apa yang ia lakukan hanyalah perlawanan sia-sia. Oh, apakah selamanya manusia-manusia lemah mesti menunggu datangnya Isa untuk menjadi perkasa! Keharuan itulah yang kemudian membuatku seolah lupa jika aku telah berada di tempat itu bersamanya hanya untuk pura-pura, sekadar mengikuti kejenakaannya yang menyedihkan.

Setelah itu, kami benar-benar seperti sepasang gerilyawan separatis yang hendak mengincar Sang Jahannam penindas kebebasan, kebahagiaan. Benar-benar tak ada membedakanku dengannya, kecuali sebuah pisau komando yang terselip di pinggangnya. Kami adalah superhero sebenarnya. Jemariku telah berubah menjadi senapan otomatis AK-47. Kedua mataku telah berubah jadi teleskopnya.

Begitu sabar kami menanti sasaran. Dengan khidmat kami menunggu buruan yang kami yakin tak akan lepas, akan mampus dalam sekali salakan atau malah rentetan tembakan.

Cukup lama kami menunggu dalam keheningan.

Hingga keheningan yang telah cukup lama kami khusyuki itu pun pecah.

Secermat mungkin kami merespon histeria yang meledak tiba-tiba. Setan itu telah datang, pikirku ketika itu, pikirannya pun kurang lebih sama kukira. Lamat-lamat, kulihat dengan begitu terang arak-arakan presiden berserta ajudan dan pengawalnya. Wajah palsu itu kulihat tengah tersenyum-senyum, melambai-lambai dari balik kaca Mercedez-nya yang lumayan gelap. Di sampingnya duduk istrinya yang melakukan kegiatan serupa di kaca yang bersebrangan dengannya.

Aku mencoba berkonsentrasi, hingga haram jadah itu masuk dalam jarak fokusku. Ia telah masuk dalam jarak tembak. Kutarik pelatuk, kugerakkan telunjuk kananku.

Dor! Dor! …. Senapan kami menyalak dalam waktu yang hampir bersamaan. Aku melihatnya. Aku melihatnya roboh dalam serangan itu. Ada kekacauan. Ada tangis yang mubazir. Ada kemenangan.

“Dosa-dosa! Aku berdosa. Aku tak mau dihukum mati!”

Aku menoleh ke arah suara itu. Kawanku! Ada apa dengannya. Aku benar-benar kaget begitu melihatnya. Oh, segalanya terlambat! Sebuah tragik telah terjadi, tanpa mampu kugagalkan. Darah mengucur deras dari ulu hatinya.

Kemudian aku tersadar, bahwa “pisau komando” yang terselip di pinggangnya itu bukan mainan. Entah dari mana ia dapatkan pisau dapur itu! Kemudian aku teringat ancamanku tentang dosa dan hukuman setelah rencana pembunuhannya pada presiden. Aku menangis sejadi-jadi, sendirian. Sementara beberapa meter dari kami ada luapan gembira menyambut konvoi penguasa. Sementara dalam dekapanku, tubuh superhero itu mendingin dalam kemarahannya yang paling sunyi.

Mojokerto, penghujung Januari 2011

Muhammad Azka Fahriza. Lahir dan bermukim di Mojokerto. Pegiat sastra pada Kelompok Alief, Mojoagung, Jombang.
Dijumput dari: http://lakonhidup.wordpress.com/2012/03/21/superhero/

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir