Sabtu, 23 Juni 2012

PATUNG TAK BERMUKA

Tjahjono Widarmanto *
_BASIS, Maret-April 2012

Dentang keduabelas telah berbunyi sejak tadi. Namun, lelaki itu belum berajak dari kursi malasnya yang besar, berukir mewah model Jepara.

Ruangan itu luas lagi ber-AC, beratap tinggi.Lantainya berubin mamer warna putih, tepat di tengahnya dikombinasikan dengan warna merah bata. Dinding-dindingnya juga bercat putih. Ada empat lukisan besar terpasang di keempat dinding itu.

Lukisan pertama, reproduksi dari lukisan Raden Saleh, adegan penangkapan Pangeran Diponegoro olen Jan Peter Zoen Coen. Lukisan kedua, juga berukuran besar, melukiskan adegan gerilya Panglima Sudirman yang ditandu. Lukisan ketiga dan keempat agak lebih kecil ukurannya. Yang satu reproduksi lukisan Basuki Abdoellah yaitu adegan Jaka Tarub yang mencuri selendang para bidadari yang mandi di sebuah air terjun. Satunya lagi, adalah lukisan potret keluarga.

Tak banyak perabot di ruangan itu. Selain kursi malas besar dan berukir indah yang diduduki lelaki itu, hanya ada sebuah almari kaca kecil di sudut kiri. Almari itu tampak diperlakukan istimewa, karena nyaris tak ada setitik debu pun yang menempel. Di dalamnya tampak beragam benda-benda pusaka yang mahal. Mulai dari keris berhulu emas, pedang bersarung gading, rencong bertatah berlian, mata tombak berpamor indah, hingga pestol-pestol kuno berukir. Sedang di sudut kanan, tampak sebuah meja marmer bundar tempat meletakkan seperangkat teko kuno.

Lelaki itu berusia sekitar lima puluh lima tahun ke atas. Wajahnya tampak lelah, namun masih segar dan gagah. Agaknya, lelaki itu rajin merawat kebugaran tubuhnya. Hanya keriput di sekitar mata dan hidung yang tak dapat menyembunyikan usianya yang semakin merambat menuju senja, meski ia berusaha menutupinya dengan menyemir semua uban di batok kepalanya. Tubuhnya yang tambun dengan lemak yang bergelambir di perut dan lehernya semakin menunjukkan kesenjaannya.

Udara malam selarut ini, di tambah hembusan AC, tentulah dingin, tetapi wajah dan dahi lelaki itu berkeringat. Di sela-sela mulutnya yang menghembuskan asap dari pipa rokoknya, tangannya berkali-kali sibuk menyeka keringat dengan sehelai handuk kecil kecil. Sesekali terdengar gumam yang tak jelas keluar dari mulutnya.

“Bu…Bu..Bune!” tiba-tiba lelaki itu berteriak keras, sambil terbatuk.

“Ada apa to Pak”, terdengar suara lembut dari seorang wanita yang muncul dari balik pintu. Wanita itu usianya sudah melewati separo baya mengenakan daster warna hijau, datang tergopoh.

“Sudahlah Pakne, malam makin larut. Persoalan itu kita pikirkan besok. Bapak kan kudhu istirahat. Sare, pak. Apalagi sejak tadi, Bapak ngeses terus. Bukankah, kata dokter Herman, Bapak harus ngurangi ngeses dan harus banyak istirahat”, kata perempuan itu halus, sambil memijit-mijit tengkuk lelaki tua itu.

“Tidur, Bune?! Bagaimana aku bisa tidur kalau kedudukanku terancam begini!” Jawab lelaki tua dengan nada tinggi, nyaris berteriak, sambil memukulkan tinjunya di lengan kursi goyang.

“Anak-anak muda itu memang ndak tahu diri. Ndak mau matur suwun. Bukankah selama ini, selama aku menjadi gubernur di propinsi ini, aku selalu mendanai semua organisasi mereka. Aku beri semua fasilitas yang mereka inginkan. Aku beri kemudahan atau apa saja yang mereka mau.Tapi, kenapa mereka tiba-tiba membuat gerakan menolak kembali pencalonanku menjadi gubernur. Sungguh tak tahu berterima kasih”, cerocos mulut lelaki itu sampai berbusa-busa. “Dan celakanya Bune, Titis, ragilmu itu lho, kok ya ikut-ikutan,” keluh lelaki itu dengan kesal.

Istrinya diam saja sambil tetap memijit-mijit tengkuk suaminya.

“Mbok, kamu jangan diam aja to, Bune! Beri aku solusi menghadapi masalah ini”, pinta lelaki itu, sambil mengelus tangan istrinya.

“Apakah tidak sebaiknya, Bapak tak usah mencalonkan diri diri lagi. Mengundurkan diri saja dari pencalonan. Dua periode bukankah sudah cukup, to, Pakne. Biar ganti yang muda-muda itu”, ujar istrinya dengan hati-hati dan lembut.

“Apa, Bune? Mundur! Itu usul yang gila! Apa Bune gak malu nanti, kalau tiap-tiap orang di pasar, di warung-warung, di kantor-kantor akan ngrasani kalau aku, aku, Bune, Mayor Jenderal Sadiroen Yudha Kuntjara, tinggal glanggang colong playu, mundur. Kalah dengan mereka-mereka, anak kemarin sore itu. Tidak, Bune! Tidak!” jawab lelaki itu meradang.

Melihat reaksi suaminya, yang sudah ia hafal betul sifat kelakuannya, wanita itu merangkul dari belakang, sambil menjawab lirih,” Kalau itu kehendak Bapak, aku manut saja. Yang penting, sekarang Bapak sare dulu. Bukankah Bapak harus fit dan sehat untuk menghadapi semua ini”.

“Baik, baik aku akan tidur Bune, tapi tolong panggil Susetyo sekarang juga!” jawabnya masih sarat nada kesal.

“Tapi, ini sudah malam …,” jawab istrinya.

“Sekarang! Sekarang, Bune!” potong lelaki itu makin kalap.

Dengan sedih dan menggeleng-geleng kepalanya, wanita itu berlalu ke belakang.

Mayor jenderal purnawirawan Sadiroen Yudho Kuntjoro diam terpaku. Wajahnya tampak makin gusar. Keningnya berkerut dan tak henti-hentinya dihisapnya kuat-kuat rokok di pipanya, tampaknya sedang berpikir keras.

Tak lama kemudian, isterinya masuk ke ruangan besar itu bersama dengan seorang lelaki muda yang mengenakan baju batik warna coklat tua, ajudan sang mayor jenderal.

“Yo, besok pagi-pagi aku inginkan seluruh tim sukses berkumpul. Ingat Yo, pagi-pagi benar. Dan aku ingin semuanya hadir lengkap!” perintah sang mayor jenderal tanpa memberi kesempatan ajudannya untuk mengucapkan selamat malam.

“Siap, Pak. Saya jamin semuanya akan datang pagi-pagi benar”, jawab Susetyo sang ajudan dengan melipat tangannya di depan perutnya dengan kesopanan yang tampak berlebih-lebihan.

“Dan, Bune, kamu interlokal pula anak sulungmu, si Triadji Sunarwibowo untuk segera pulang menemui Bapaknya. Ingat Bune, besok. Suruh dia terbang dengan pesawat paling pagi”, perintahnya pada isterinya. “Sekarang aku mau tidur. Oh, ya. Yo, besok pagi aku ingin dengar laporan situasi terakhir,” perintahnya sambil bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan ruangan diiringi isterinya.

**

Pagi itu, di ruang perpustakaan Mayor Jendral Purnawirawan Sadiroen Yudho Kuntjoro tampak sibuk. Beberapa petugas dan pelayan repot menyiapkan dan menata ruangan dengan berderet-deret meja makan . Hari ini sang mayor jendral mengumpulkan anak, menantu, dan cucu-cucunya. Juga pengikut-pengikutnya. Mantan anak buahnya, dan siapa saja yang merasa pernah dibesarkan dan dimuliakan oleh Mayor Jendral Purnawiran Sadiroen Yudho Kuntjoro.

Mayor Jenderal Purnawirawan Sadiroen Yudho Kuntjoro memiliki empat anak. Yang sulung, Triadji Sunarwibowo, adalah seorang jaksa di Kejaksaan Tinggi Pusat. Memiliki sifat dan watak persis bapaknya; berani, penuh perhitungan, cerdik, licin, pandai memanfaatkan situasi, dan tentu saja culas. Karena sifat-sifat itulah dalam usianya yang baru mendekati empat puluh lima berhasil menduduki posisi penting di Kejaksaan Tinggi Pusat. Memiliki dua anak, lelaki-dan perempuan berusia lima belas rahun dan dua belas tahun.

Anak keduanya, Prahayu Langen Anggraini, seperti ibunya, menganut keyakinan bahwa perempuan haruslah nurut dan manut pada suami. Suami bagi mereka adalah dewa yang ngejawantah, yang tak boleh dibantah. Apa kata suami adalah yang terbaik baginya. Bersuamikan seorang tentara, yang dulu ajudan bapaknya, Usman Winoto, sekarang berpangkat kolonel di mabes. Sebagai seorang ajudan dan menantu, tentu saja kesetiaannya kepada mayor jendral Sadiroen Yudho Kuntjoro tak perlu diragukan lagi.

Bagas Semedhi, adalah anak ketiga pasangan Sadiroen Yudho Kuntjoro dan Rara Sutinah. Profesinya pengusaha dan direktur Minyak Negara, yang benar-benar memiliki jiwa pedagang sejati. Di dalam pikirannya yang utama adalah laba dan uang. Keberanian berspekulasi dan kemampuannya melakukan lobi-lobi merupakan senjata ampuh untuk meraih karir secara gemilang.

Dan, yang ragil, Titis Kinanti Pembayun, merupakan perempuan cerdas, kreatif, kritis, aktivis, dan keras kepala seperti bapaknya, adalah mahasiswi sospol di universitas paling ternama. Sejak kecilnya memberontak terhadap segala aturan di rumahnya. Merupakan penentang utama bapaknya.

Ruangan itu senyap tiba-tiba saat Mayor Jendral Purnawirawan Sadiroen Yudho Kuntjoro masuk ruangan diiringi istri dan ajudannya. Dengan jas warna coklat tua berdasi, merah bata, dan sepatu yang bersemir, tampak gagah dan berwibawa. Tongkat komando di tangan kanannya menambah kesan wibawa dan angker. Anak-anaknya dan semua yang hadir di ruangan itu tak satu pun berani mengeluarkan suara.

“Anak-anak dan cucu-cucuku, hari ini Bapak memang mengundang kalian secara khusus,” suara Mayor jendral Sadiroen Yudho Kuntjoro memecah keheningan.

“Sengaja kalian, Bapak undang ke sini untuk membicarakan persoalan yang maha penting. Persoalan yang menyangkut nama besar Bapakmu, nama besar trah Sadiroen Yudho Koentjoro nama besar keluarga kita, juga masa depan kita bersama,” lanjutnya sambil menyapu pandangan pada semua yang hadir.

Semuanya senyap. Bahkan tak ada satu pun yang hadir untuk sekedar menggerakkan tubuhnya. Semuanya terpaku pada sosok sang mayor jenderal.

Setelah berhenti sejenak, mengelus-elus tongkatnya, Sadiroen Yudho Kuntjoro melanjutkan kembali pidatonya,” Kalian sudah tahu bahwa jabatan Bapak sebagai gubernur untuk periode ini akan berakhir. Untuk itu Bapak telah berencana dan bertekat bulat untuk kembali mencalonkan diri menjadi gubernur untuk periode empat tahun mendatang. Keputusan ini Bapak ambil, karena Bapak sadar bahwa yang namanya pembangunan merupakan sebuah proses yang berkelanjutan. Oleh karena itu pembangunan yang telah Bapak lakukan harus dilanjutkan. Dan yang paling tahu tahapan-tahapannya, adalah Bapak sendiri. Bisa kalian bayangkan, kalau gubernurnya nanti bukan Bapak, orang baru, apalagi yang muda-muda itu, bocah kemarin sore yang belum becus itu, yang ndak pernah makan asam garamnya perjuangan, ndak pernah perang untuk negeri ini. Pastilah tujuan dari pembangunan ini tak akan tercapai. Akan putus mata rantainya!”

Semuanya diam.Mengangguk-angguk penuh khidmat dan takzim. Memperhatikan dengan seksama seperti murid memperhatikan gurunya.

“Kalian tentu sependapat dengan tekat Bapak ini. Apalagi, kalian telah merasakan segala kemudahan yang kalian peroleh sebagai anak gubernur. Untuk itu, sudah sewajarnya, bahkan sudah seharusnya, kalian mendukung Bapak. Sudah seharusnya kalian sebagai anak, menantu, atau yang pernah kuberi kedudukan pantas, tentulah mendukung dan menyukseskan Bapak. Ya to, wajar kan itu? Masak kalian mau yang enak saja, nggak mau yang rekasa? Nggak keberatan kan?”

“Inggih, Pak!” Jawab mereka hampir serentak.

“Itu sudah kewajiban kami, Pak. Sebagai putra Bapak tentu saja kami akan membantu Bapak. Saya sebagai jaksa akan menggunakan jabatan dan wibawa saya untuk menyukseskan Bapak. Apalagi saya dengar para penantang Bapak telah melontarkan isu tentang manipulasi penggunaan dana pendidikan. Saya akan menutup semua permasalahan. Dan, saya juga percaya dan yakin Bapak tidak melakukan itu. Saya tahu Bapak hanya mengalihkan dana itu untuk program yang lebih mendesak,” Triadji Sunarwibowo, sang putra sulung angkat suara.

Usman Winoto, si menantu yang kolonel itu, mengangkat tangannya, berpendapat,” Saya sependapat dengan Mas Adji. Saya akan gunakan pengaruh saya di mabes untuk membubarkan. Bahkan kalau perlu menangkap para demonstran yang menolak pencalonan Bapak. Saya juga akan mengkoordinasi demo-demo tandingan untuk mendukung pecalonan Bapak. Banyak organisasi-organisasi pemuda dan massa yang bisa saya gerakkan!”

Tak kalah semangatnya, Bagas Semedhi, putra ketiga, melontarkan dukungannya, ”Bapak tidak usah cemas. Saya total mendukung Bapak. Akan saya siapkan kucuran dana, berapa pun Bapak membutuhkan. Money politik masih merupakan jurus yang ampuh untuk mendulang suara. Saya akan beli suara pesaing-pesaing Bapak, berapapun mereka menjualnya. Saya akan turun ke desa-desa untuk memberikan bingkisan, uang, atau fasilitas apapun yang mereka butuhkan, agar mereka memilih Bapak. Juga para anggota Dewan Masyarakat akan saya belikan mobil baru, agar mereka menghambat jalannya pesaing-pesaing Bapak di parlemen, sehingga nanti hanya jalan Bapak saja yang terbentang mulus ke gubernuran”.

Mayor Jendral Sadiroen Yudho Kuntjoro mengangguk-anggukan kepala, puas dengan dukungan-dukungan itu.

”Terima kasih.Terima kasih. Sejak semula Bapak sudah menduga kalian akan berpihak pada Bapak. Walau Bapak tahu ada di antara putra-putri Bapak yang berbeda pendapat dengan Bapak,” kata Sang Mayor Jendral, sambil bola matanya melirik ke kiri dan kekanan dengan wajah agak berang, mencari anak yang paling muda, yang rupa-rupanya tak hadir dalam pertemuan penting itu.

“Ah, tentang Dik Titis, Janganlah Bapak menganggapnya kendala yang serius. Sikapnya hanya karena dia masih muda saja. Masih mahasiswi. Sehingga sok idealis. Saya yakin, setelah Bapak terpilih kembali, si Titis mau tak mau akan kembali pada kita”,

anak sulungnya menetralisir situasi.

“Benar, Pak. Masih ada yang lebih penting dan mendesak untuk dibicarakan”, tiba Susetyo yang sejak tadi manggut-manggut angkat bicara.

“Apa itu?” spontan semuanya bertanya.

“Begini, Pak”, Susetyo berhenti sejenak, sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Kemudian, dia melanjutkan,“Yang harus kita lakukan adalah bagaimana menyakinkan pada seluruh masyarakat bahwa Bapaklah satu-satunya sosok yang paling tepat untuk menjadi gubernur. Kita harus yakinkan bahwa Bapaklah seorang pimpinan yang paling sempurna untuk memimpin mereka”.

“Lho, apa selama ini mereka tidak mengenal aku. Tidak mengenal Sadiroen Yudho Kuntjoro! Apa mereka belum tahu bahwa aku pernah mimpin gerilya, jadi sudah makan asam garamnya seorang pemimpin. Di belakang nama asliku, tertulis Yudho Kuntjoro. Yudho bermakna perang, kuntjara berarti bersinar. Itu maknanya, Sadiroen ini selalu bersinar, selalu menang dalam setiap pertempuran!” teriak mayor jendral itu sambil melompat dari kursi dan mengacung-acungkan tongkatnya.

“Bu…bu..bukan..mak…maksud saya merendahkan Bapak”, kata Susetyo ketakutan.

“Lalu, apa maksudmu?” jawab Sadiroen Yudho Kuntjoro dengan menahan marah.

“Mak…maksud saya, Bapak harus bisa menciptakan mitos buat mereka. Mitos bahwa Bapak adalah pemimpin yang hebat. Ksatria yang tangguh. Adil dan bijaksana”, lanjut Sustyo dengan penuh kehati-hatian.

Sadiroen Yudho Kuntjoro mengangguk-angguk dengan kening berkerut. Memukul-mukulkan tongkat komandonya pada telapak tangannya. Semuanya juga berpikir keras.

“Lalu bagaimana caranya?” suara Triadji Sunarwibowo dan Usman Winoto nyaris bersamaan.

Semuanya terdiam. Tak ada yang berani mengeluarkan suara.

“Aku tahu,” teriak Bagas Semedhi memecah keheningan. Kemudian lanjutnya dengan bersemangat, ”Kita harus buat monumen untuk Bapak. Ya, kita buat patung Bapak dengan gagah di pusat kota. Dan semua orang akan berdecak kagum. Lalu di setiap kepala orang akan muncul citra Bapak. Pemimpin dan prajurit tulen. Yang adil dan bijaksana. Tidak hanya saat ini, tetapi untuk seterusnya semua orang akan selalu terbayang citra Bapak”.

Semua orang bertepuk tangan. Memberi applaus yang meriah untuk usul yang cemerlang dari Bagas Semedhi itu. Kemudian semuanya sibuk melontarkan usul bagaimana wujud patung itu nanti.

Setelah terjadi perdebatan panjang. Setelah membongkar setumpuk album-album foto lama. Maka, terpilihlah sebuah foto untuk nanti diwujudkan sebagai bentuk patung : Sadiroen Yudho Kuntjoro mengenakan baju seragam mayor jendralnya, lengkap dengan segala tanda jasa di bahu dan dadanya, pedang dan tongkat komando.

“Saya segera menemui Wayan Gunarsa, pematung hebat dari Bali yang sudah bertaraf internasional, untuk membuat patung itu”, kata Bagas Semedhi mengakhiri pertemuan itu. Dan dengan gembira mereka menyantap hidangan yang sudah tersedia.

***

Minggu yang cerah. Seluruh warga kota, bahkan dari desa-desa, dusun, dan kampung berduyun-duyun menuju alun-alun di pusat kota untuk menyaksikan sebuah peristiwa bersejarah.

Sudah hadir seluruh Anggota Dewan Masyarakat, Muspida, Walikota, para Bupati, para pengusaha, alim ulama, dan seluruh tokoh masyarakat. Pada hari itu gubernur Mayor Jenderal Purnawirawan Sadiroen Yudho Kuntjoro mengakhiri masa jabatannya, walau Beliau masih akan mencalonkan diri kembali untuk jabatan gubernur periode empat tahun kedepan. Sebagai ucapan terima kasih kepada seluruh masyarakat atas segala dukungannya selama ini maka Mayor Jendral Purnawirawan Sadiroen Yudho Kuntjoro akan memberikan sebuah kenang-kenangan.

“Bapak-bapak Dewan Masyarakat yang terhormat. Para Bupati, undangan, dan seluruh anggota masyarakat yang saya cintai. Pada hari yang cerah ini, dari dasar hati yang paling dalam. Dari ketulusan dan cinta yang paling dasar, akan saya persembahkan buat kota ini, sesuatu yang bisa mengingatkan kita tentang hakekat kepemimpinan. Dalam kitab Ramayana ada sebuah adegan bagaimana Rama menasehati adiknya Barata tentang laku kepemimpinan, bagaimana menjadi pemimpin yang baik, yang disebut Hasta Brata atau delapan citra kepemimpinan,” Mayor Jendral Sadiroen Yudho Kuntjoro berhenti sejenak, mengusap keringat di pipinya, memandang sekelilinya. Setelah mengambil nafas dilanjutkannya pidatonya,” Hadirin, para undangan yang berbahagia, kedelapan citra kepemimpinan itu, Hasta Brata itu, akan saya persembahkan dalam satu wujud. Wujud nyata, yang menggambarkan citra pemimpin yang kita rindukan!”

Tepuk tangan berderai dari seluruh yang hadir. Mereka menanti dengan berdebar-debar bagaimanakah wujud pemimpin yang ber-hasta brata tersebut.

Dengan langkah pasti, Sang Mayor Jenderal Purnawirawan Sadiroen Yudho Kuntjoro berjalan ke depan sebuah benda yang ditutup dengan kelambu warna keemasan. Dipegangnya ujung kelambu sambil berkata gagah, ”Saudara-saudaraku inilah wujud nyata dari kepemimpinan yang ber-HastaBrata, inilah sosok nyata pemimpin yang ber-Hasta Brata. Pemimpin inilah yang kita rindukan, yang kita tunggu-tunggu. Ratu adil yang kita nantikan, yang akan membawa kita pada peradaban yang lebih baik…!”

Diiringi dengan bunyi sirine dan genderang yang dibunyikan oleh korps musik, dan disambut dengan tepuk-tangan yang makin meriah, Mayor Jendral Purnawirawan Sadiroen Yudho Koentjoro dengan cepat menarik kelambu warna emas itu.

Tiba-tiba sorak-sorai berhenti. Semua orang ternganga menatap kelambu yang tersibak itu. Tampak sebuah patung, sosok gagah yang mengenakan seragam militer lengkap dengan tanda jasa di bahu dan dada, dengan pedang dan tongkat komando, namun tak bermuka. Ya, patung itu bermuka datar tak memiliki mata, hidung, mulut, bahkan tak bertelinga!

Dan, bruukkk! Tubuh tambun Sadiroen Yudho Kuntjoro ambruk menimpa patung itu.*****

Catatan Kaki

kudhu = harus
sare= tidur
ngeses=merokok
matur suwun =terima kasih
ragil=sebutan untuk anak paling kecil
ngrasani=mempergunjingkan;membicarakan;jadi bahan pembicaraan
tinggal glanggang colong playu=(pepatah bahasa Jawa) berarti lari terbirit-birit meninggalkan lawan
manut=patuh
nurut=taat
manut=patuh
dewa ngejawantah=titisan dewa;reinkarnasi dewa
trah=ketrunan,silsilah
becus=belum bisa apa-apa
rekasa=sengsara
inggih=ya
manggut-manggut=mengangguk-angguk

*) Penulis adalah penyair dan essais yang tinggal di ngawi
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/tjahjono-widarmanto/patung-tak-bermuka-oleh-tjahjono-widarmanto-ket-cerpen-ini-pernah-dimuat-di-basi/10150934683793821?ref=notif&notif_t=note_tag

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir