Nezar Patria *
Kompas, 19 Okt 2008
HASAN Tiro dalam keadaan galau. Dia berada pada situasi batas eksistensial. Terpaku pada satu rak di toko buku di Fifth Avenue, New York, matanya tak lepas mengeja karya filsuf eksistensialis Jerman, Friedrich Nietzsche. Dia terbenam dalam aporisme Thus Spoke Zarathustra. Saat itu, September 1976. Beberapa hari lagi Hasan harus membuat keputusan penting: ke Aceh menyalakan pemberontakan bersenjata atau tetap hidup di New York sebagai pengusaha.
Dia akhirnya memilih yang pertama. Tiga bulan kemudian, dari hutan belantara Pidie, Hasan Tiro menyerukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sejak itu, di Aceh, bedil meletus lagi. Padahal daerah itu belum lama pulih dari pergolakan Darul Islam Daud Beureu’eh. Berbeda dari Beureu’eh yang mendekap Islam, Hasan menyodorkan gagasan baru: nasionalisme Aceh. Dia agak berhasil, setelah memperluas basis pendukungnya: kaum intelektual dan pemuda.
Adakah perjumpaannya dengan Nietzsche memantik pemberontakan itu? ”Kata-kata (Nietzsche) itu seperti petir melibas semua keraguanku,” tulisnya di catatan harian. Lalu selama tiga tahun dia bergerilya keluar masuk hutan. Terdesak operasi militer rezim Orde Baru, Hasan kabur ke luar negeri pada 1979. Dia sempat singgah di sejumlah negara, dan akhirnya menetap di Stockholm, Swedia.
Catatan masa gerilya itu diterbitkan di London pada 1981. Judulnya The Price of Freedom: the Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro. Membaca stensil 238 halaman itu, kita seperti menemukan eksistensialisme bukan lagi sekadar gagasan, tapi aksi politik. Dari catatan harian itu, entah soal taktik gerilya, negasi atas sejarah Indonesia, sampai kontemplasi hidup dan kematian, terajut dalam satu garis merah: upaya rekonstruksi sejarah. Dan, yang menarik, Hasan mengolah paragraf dari Nietzsche dalam tafsirnya atas momen kesejarahan Aceh.
Tampaknya, penting menjenguk kembali catatannya itu kini. Lelaki 83 tahun itu pulang ke tanah kelahirannya, sepekan setelah Idul Fitri lalu. Kali ini dia kembali tanpa letusan senjata. Aceh sudah tiga tahun damai. Hasan pun disambut seperti pahlawan pulang dari pengasingan. Anak-anak muda—mungkin belum lahir saat dia mencetuskan gerakan perlawanan itu—pekan lalu berdiri menyambutnya di sepanjang jalan. Mereka mengibarkan bendera Partai Aceh, satu partai lokal milik para bekas kombatan. Partai itu kini legal dan berhak ikut pemilu.
Di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Hasan Tiro disambut puluhan ribu orang. Dia dipanggil ”Wali” karena menabalkan dirinya penerus ”Wali Nanggroe”, atau ”penjaga negeri”; satu takhta darurat bentukan Kesultanan Aceh masa perang Belanda. Diceritakan, Wali terakhir adalah Teungku Ma’at di Tiro, anak Teungku Chik Muhammad Saman di Tiro, yang kita kenang sebagai pahlawan nasional itu. Ma’at tewas di Alue Bhot, Pidie, setelah bertempur dengan Belanda, 3 Desember 1911. Dia adalah paman Hasan Tiro dari garis ibu.
Dari titik inilah, perjumpaannya dengan Nietzsche lalu menjadi pergulatan penting. Sejak membaca Thus Spoke Zarathustra dan sejumlah karya Nietzsche lain, Hasan seperti mendapat kekuatan baru. Dia sadar tubuhnya mengalir darah biru pejuang. Dalam pembuka catatan hariannya, dia mengutip satu bagian dari Zarathustra , petikan pada bab ”On War and Warriors”: … To you I do not recommend work but struggle./ To you I do not recommend peace but victory./ Let your work be a struggle./ Let your peace be a victory!
Agaknya ada dua momen penting, yang terangkum dalam catatan harian itu. Pertama, manakala Hasan menangkap apa yang disebutnya ”momen kebenaran”; menemukan kembali patriotisme Aceh yang hilang. Itu terjadi pada 1968, saat dia membolak-balik arsip The New York Times yang terbit sepanjang Mei 1873, saat Belanda menyerang Aceh. Editorial koran itu mengakui kapasitas Kesultanan Aceh yang garang bertempur dengan Belanda.
Bagi Hasan, ini satu bukti Aceh adalah ”old state”, negara tua berdaulat sejak lama. Semua itu ditulisnya dalam pamflet Atjeh Bak Mata Donya (Aceh di Mata Dunia), diterbitkan pada 1968 di New York. Dia pun menyimpulkan, energi perlawanan masa itu menyala karena kuatnya patriotisme dari generasi Aceh. ”Mereka tahu kapan harus mati terhormat,” tulisnya lagi. Dia menyesalkan generasi Aceh setelah 1945, yang menurutnya menderita ”ketaksadaran sejarah”.
Momen kedua adalah ketika dia, dengan semua bagasi masa lalunya itu, bertumbukan langsung pikiran Nietzsche di rak toko buku itu. ”Aneh sekali, selama aku belajar di kampus, mungkin aku keliru memahami Nietzsche yang sebenarnya,” tulis Hasan. Dia memang pernah mengambil program doktor di Universitas Columbia. ”Aku yakin sudah membacanya dalam begitu banyak teori dan filsafat politik. Tapi mestinya itu hasil tafsir dari orang lain,” tulisnya. Sejak ’pertemuan’ itu, Hasan mengaku ”tak pernah lepas dari Nietzsche”.
Aceh pada masa 1970-an, dengan marginalitas ekonomi politik, adalah kenyataan lain yang menajamkan semua kegelisahan seorang Hasan Tiro, cucu dari keluarga pejuang legendaris Tiro. Sejak masa kecilnya, dia merasa sebagai orang pilihan, manakala dia risih jika tangannya kerap dicium orang-orang, yang lalu memohon agar dia tak pernah lupa pada tanah kelahiran. Pada titik ini, dia sepertinya ”menemukan” dirinya dalam satu interupsi sejarah.
Maka, membaca catatan harian itu, dapat dimengerti mengapa Hasan Tiro meletakkan dirinya sebagai pusat bagi kelanjutan sejarah Aceh kontemporer. Dia merasa terpanggil memberikan tubuh dan jiwanya kepada tanah leluhurnya. Antropolog kondang James T Siegel, dalam epilog The Rope of God, karya klasik tentang pergolakan di Aceh itu, menyebut Hasan Tiro ”terasuk” tugas sejarah, yang dianggapnya sebagai takdir itu.
Tapi, dalam catatan hariannya itu, Hasan tak langsung menggelorakan nasionalisme Aceh. Dia tak bicara imagined communities seperti apa yang kelak dibentuk di Aceh. Dia memilih patriotisme lebih dulu, sebagai modal nasionalisme. Sebetulnya, ide itu pernah disinggung dalam bukunya Demokrasi untuk Indonesia (1958). Di situ, dia mengkritik Soekarno tentang nasionalisme Indonesia. Bagi dia, bukan nasionalisme itu yang paling penting, tetapi patriotisme. Rasa cinta Tanah Air akan membuat orang mau mempertahankan diri, dan ”melibatkan pengorbanan diri sendiri sebagai kewajiban moral”.
Dari sini, nyaris 20 tahun kemudian, ide ”pengorbanan diri sendiri” itu bertemu gagasan Nietzschean tentang ”the free death”. Dia mau membangkitkan Aceh sebagai entitas politik berdaulat, seperti pada masa lalu. Hasan lantas menyeret soal politik itu ke wilayah pergulatan eksistensial: makna hidup dan mati. Dia menunjukkan, hanya ”manusia bebas” dan bukan budak bagi lainnya, bisa memilih ”bagaimana harus hidup” dan ”kapan harus mati”. Tetapi, adakah retorika Nietzschean itu menjadi aneh bagi alam pikiran orang-orang Aceh?
Mungkin, sekilas tafsir itu terdengar agak janggal. Tema kebebasan memang lebih akrab bagi mereka yang besar dalam kultur Eropa, atau pendidikan Barat. Tetapi, Hasan mencoba menafsirkannya dalam konteks keacehan, terutama Islam. Baginya, Islam memberi bekal ”kehendak berkuasa” dalam menjaga dan mempertahankan hak-hak. Dia setuju dengan ujaran Nietzsche dalam Notes (1875), yang melukiskan sosok tertinggi Muslim adalah sesuatu yang melantunkan ”kesunyian gurun, raungan jauh seekor singa, dan tatapan sangar seorang pejuang”.
Hasan Tiro mengerti bahwa Islam adalah energi bagi Aceh. Tapi, dia menyalakannya dengan cara berbeda. Hasan mengartikan jihad sebagai perjuangan untuk kebebasan. Dalam satu catatan panjangnya saat memberi makna perayaan Asyura, atau hari Hasan-Husen, yang menjadi tradisi di Aceh setiap 10 Muharam, Hasan Tiro mempertegas posisinya itu.
Dikatakan, pengorbanan Imam Husin, cucu dari Rasulullah, yang dibunuh kubu Muawiyyah dan Yazid di Karbala, adalah contoh martir sejati. Husin tahu bahwa tak ada jalan selamat baginya. Dia memilih melawan mempertahankan yang benar, dan yang adil. Bagi Hasan Tiro, arti kebebasan bergantung pada ”bebas untuk mati”. Atau dalam ujaran Nietzsche, seperti dikutip Hasan Tiro: ”… To die proudly when it is no longer possible to live proudly”. Mereka yang tak bisa menentukan kapan harus mati, kata Hasan, ”akan kehilangan kebebasannya”.
Sayangnya, kita tak menemukan lagi catatan terbarunya setelah The Price of Freedom itu. Dia pulang pada usia renta, berziarah ke makam nenek moyang, dan bersalaman dengan rakyat yang dulu takzim mencium tangannya. Setelah damai, mungkin Hasan Tiro tak lagi berada pada situasi batas eksistensial. Dia, dan Aceh, agaknya sudah melampaui perbatasan itu.
* Nezar Patria, Peneliti Aceh, Alumnus the London School of Economics and Political Science (LSE).
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/10/hasan-tiro-nietzsche-dan-aceh.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar