Hasnan Bachtiar *
__Shohifah SM Edisi 1 – 2012
ISLAM itu adalah dua hal. Pertama, adalah agama, sedang maknanya yang lain adalah ilmu. Dua kesimpulan ini terangkum jelas dalam ayat-ayat al-Qur’an, maupun Sunnah Rasulullah sebagai cahaya-cahaya yang menerangi.
Namun sayang, sebagian golongan tidak pernah mengakui bahwa Islam itu adalah ilmu yang mulia. Bahkan, pengetahuan mereka hanya sebatas bahwa Islam hanyalah citra kebengisan, kepentingan politik dan iman masyarakat tribal, seolah belum pernah meraih peradaban. Itulah ironi, dari arogansi pengetahuan sebagian ummat. Suatu bentuk pengingkaran yang nyata.
Menggambarkan hal ini, Roger Garaudy di dalam bukunya yang terkenal, Promeses de l’Islam (1981), mencontohkan bahwa ada sebagian masyarakat yang tidak pernah mengakui kebesaran Islam. Misalnya saja, masyarakat Barat sejak abad ke 13, tidak pernah mengakui bahwa peradabannya yang sedang berkembang “sedikit” itu, sejatinya telah mewarisi dan berhutang budi pada peradaban Islam yang luhur.
Dalam buku dengan isi yang sama, namun berjudul L’Islam habite nore avenir, seorang filsuf Perancis ini mengungkapkan kekecewaannya pada peradaban Barat bahwa, “Telah sampai waktunya untuk insyaf, karena perkembangan Barat mendorong kita untuk hidup tanpa tujuan dan kematian. Mereka membenarkan dirinya dalam suatu kebudayaan dan ideologi yang keji” (1981: 17).
Para intelektual dunia telah mafhum bahwa, kegagalan Barat tersebut, antara lain karena anggapan dan sikap mereka yang terlampau meninggikan tiga hal. Pertama, meninggikan arogansi kepemilikan alam. Menurut mereka, alam adalah miliknya sendiri, bukan miliki dunia. Kedua, mereka mengimani konsepsi yang tak mengenal belas kasihan tentang hubungan manusia. Individualisme adalah ciri khas keseharian yang nampak positif, padahal juga bersifat mengekang diri sendiri maupun orang lain. Ketiga, mereka punya nilai yang menyebabkan rasa putus asa terhadap masa depan. Dengan kata lain, menanggalkan kebenaran tentang ketuhanan.
Kiranya perlu contoh-contoh agar lebih terang persoalan-persoalan ini. Pertama, soal arogansi kepemilikan alam. Seolah-olah bagi mereka, manusia di seberang teritori, kebudayaan dan peradaban lainnya tidak berhak atas dunia. Dunia hanya patut mereka warisi. Perdamaian, HAM, kemajuan sains dan teknologi, seluruh bidang pengetahuan, citra dunia, hingga sumber daya alam seperti minyak, uranium (nuklir) dan kekayaan tambang lainnya, merekalah yang berhak mengelola, serta tentu saja “memilikinya”. Tidak heran jika dewasa ini, Israel, Perancis, Inggris, Jerman dan Amerika Serikat hendak menggencarkan serangan militer ke Iran yang disinyalir telah mengembangkan nuklir.
Kedua, alih-alih mengapresiasi privasi dan hak pribadi, manusia Barat menciptakan masyarakat persaingan pasar, konfrontasi, dan kekerasan, di mana kehidupan ekonomi dan politik memihak yang kuat, sekaligus memperbudak atau memangsa mereka yang lemah. Tidak pernah ada di dalam sejarah bahwa negara dunia ketiga akan bangkit dan bersaing dengan negara adikuasa. Indonesia jelas tidak sebanding dengan negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat. Kekuasaan ekonomi dan politik (Barat), tidak pernah rela agar negara berkembang turut andil dalam pesta peradaban.
Ketiga, masyarakat Barat memelihara ateisme. Namun di sini, bentuk ateisme tersebut adalah spesifik. Memang ada banyak jenis ateisme. Misalnya saja, ada ateisme yang menyanyikan kematian Tuhan (Requiem aeternam deo) seperti Nietzsche, ada yang sangat relijius namun menolak agama (kekafiran relijius) seperti kisah Doktor Faust, ada pula ateisme yang mengakui agama dan tuhan namun memanfaatkannya untuk menjerat, merampok dan menguasai manusia lainnya yang mereka anggap sebagai liyan. Ateisme yang terakhir inilah yang lebih dekat dengan rasa putus asa akan masa depan. Sejatinya mereka beragama, namun tidak sungguh-sungguh menjalankannya, karena yang berlaku adalah birahi imperialismenya. Dalam khazanah latin, tradisi itu disindir dengan menyandang sebutan conquistadores atau kaum penakluk. Itu bukan sebuah prestasi.
Itulah persoalan-persoalan, di mana Islam sebagai al-din yang agung, pada akhirnya diremehkan atau bahkan hanya menjadi hal yang sepele saja. Namun ternyata yang mengagetkan, hal ini juga terjadi dalam kultur Timur, bahkan menjadi tutur dan laku masyarakat Islam itu sendiri. Kendati, dengan cara-cara yang berbeda, namun sama-sama merugikannya, bahkan jauh lebih buruk dari sikap masyarakat Barat. Orang Islam, merendahkan ketinggian Islamnya.
***
Pernah ada suatu ungkapan dari intelektual Mesir yang menghabiskan studinya di Perancis bahwa, Barat itu sedemikian maju karena meninggalkan agamanya. Berbeda dengan dunia Islam yang menjadi sangat merosot, karena para penganutnya telah meninggalkan Islam itu sendiri. Barat meraih peradaban, karena terbebas dari belenggu agama yang lebih banyak menekan dan menghilangkan dimensi kebebasan dan kemanusiaan. Namun sebagian masyarakat Islam, justru meninggalkan agamanya dengan membuat belenggu-belenggu baru, sehingga menghapus segala kebebasan. Demikianlah, manusia yang tidak merdeka adalah terpenjara oleh nafsu duniawi.
Meninggalkan Islam yang membebaskan, barangkali bisa dilakukan dengan memberinya makna yang kolot, bebal dan terlampau menjerat kebebasan atau kemerdekaan terhadap agama itu sendiri. Hal itu mungkin bisa “dimaklumi” karena terbentuk dalam kultur dan kondisi sosial yang beragam dan rumit. Menurut catatan Fazlurrahman, ada sebagian masyarakat Islam yang memilih untuk menjadi konservatif, pembela skripturalisme Islam dan sangat ketat terhadap hukum agama, hanya karena gagal membuat strategi kreatif dalam menghadapi modernitas, kolonialisme dan persaingan internasional.
Di Indonesia hal itu bisa disaksikan dengan mata telanjang. Yang miris, bahwa hal itu menjadi semacam penyakit (ironi) yang menjangkiti para intelektual Muslim. Ada banyak orang terpelajar, cendekia atau sarjana yang gagap dan gagal untuk menjawab tantangan zaman. Al-Quran dan hadits nabi dianggap sebagai hukum-hukum agama yang ketat, rigid dan tidak pernah kompromis dengan pelbagai bentuk hikmah dan kemanusiaan.
Setelah runtuhnya menara kembar WTC pada 11 September 2001, masyarakat Barat, antara lain Eropa dan Amerika menciptakan citra terorisme bagi keseluruhan masyarakat Islam. Ini semakin memperburuk keadaan, karena menambah langgeng tafsiran-tafsiran Islam yang membelenggu. Justru dari sini, yang menjadi pertanyaan mendesak bahwa, apakah dengan memperketat dan mendangkalkan makna Islam, maka akan menyelesaikan problem krusial di dunia internasional, khususnya menyangkut modernitas?
Kondisi-kondisi negatif yang menimpa sebagian umat Islam itu, paling tidak disebabkan oleh tiga hal. Pertama, pengetahuan yang sempit akan Islam, lahir karena kekuasaan yang dimiliki. Kekuasaan itu bisa berupa hasrat atau kehendak. Dalam beberapa kesempatan, salah seorang Grand Syeikh dari Universitas al-Azhar, Kairo, Profesor Abu Zahro’ menegaskan bahwa itulah arogansi atas pengetahuan Islam mereka. Karena otoritas kultur Islam yang tidak seberapa, mereka mengklaim paling tahu tentang Islam.
Kedua, kurangnya pengetahuan akan Islam yang tinggi (ya’lu wala yu’la ‘alaih), karena rasa minder yang akut. Sebagian masyarakat Islam, terjangkit inferiority complex (merasa rendah diri) tatkala bergumul dengan realitas dunia yang sangat rumit, bahkan kerumitannya melampaui solusi tekstual sederhana dari kitab suci. Mereka rendah diri dengan kemajuan masyarakat lainnya dalam pelbagai bidang. Alih-alih teori-teori, khazanah intelektual dan peradaban Barat, – yang sedang populer dan menanjak – adalah tidak sebanding dengan tingginya agama, namun sebenarnya, secara tidak sadar, justru mereka memalingkan makna agung dari agama tersebut, yang sejak dari wataknya adalah menerima kebenaran dan kebaikan dari manapun. Bukankah dalam Islam kita mengenal tradisi tentang, hendaknya membuka mata terhadap ayat-ayat kauniyah? Hendaknya kita berlapang dada dengan ilmu-ilmu Allah yang ada di mana-mana? Pernahkah kita merenungkan kredo, al-maslahah, syariatun (setiap kebaikan, itulah agama yang sejati)?
Ketiga, pengetahuan mereka berasal dari rasa kecewa yang mendalam akan peradaban lain, di luar apa yang mereka miliki. Eropa dan Amerika barangkali, merekalah yang paling gencar berkampanye soal demokrasi, HAM dan kemanusiaan, namun faktanya, mereka pula pelanggar nomor wahid di dunia. Tapi apa jadinya jika pengetahuan alias tafsiran akan Islam adalah buah dari kekecewaan? Bukankah Nabi SAW. mengajarkan bahwa makanlah makanan yang baik, berasal dari hal yang baik? Dalam falsafah yang lebih mendalam bahwa, bukankah kebaikan itu mestinya berasal dari kebaikan pula dan bukan kekecewaan? Artinya bahwa, kebaikan Barat, hendaknya juga diapresiasi, tanpa harus latah ke-barat-barat-an (Eurosentrisme).
Inilah gambaran nyata, fenomena yang unik, suatu ironi yang menimpa masyarakat Muslim sendiri, yang kiranya kesulitan untuk menjawab tantangan zaman. Karena seluruhnya adalah pemalingan makna yang “tinggi” dari Islam, baik itu karena arogansi maupun kebebalan, maka untuk menyelesaikannya adalah mengembalikan Islam pada maknanya yang sejati. Islam itu adalah agama dan pengetahuan yang agung.
***
Ada beberapa jalan untuk merubah ironi akan arogansi pengetahuan Barat dan Islam, yaitu mengapresiasi prinsip progresivitas, bersikap terbuka dan optimis, serta tidak terlampau emosional tatkala mencandra teks-teks keagamaaan.
Pertama, menurut Doktor Muhammad Iqbal, dalam the Reconstruction of Religious Thought of Islam (1951), Islam itu secara alamiah memiliki prinsip gerak yang mengarah pada kemajuan. Prinsip ini sangatlah universal dan berlaku menjangkau semua golongan. Seperti tuturan ummu al-kitab, “Alhamdulillahi rabbi al-alamin,” yang berarti segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam, seluruh umat manusia pula. Prinsip ini dalam khazanah syariah, lazim disebut sebagai ijtihad. Ijtihad itu adalah upaya mengerahkan seluruh kemampuan manusia dengan sungguh, untuk mewujudkan bahwa al-Islamu, ya’lu wala yu’la ‘alaih, Islam itu tinggi dan paling puncak. Jika umat Islam berpegang pada prinsip progresivitas ini, maka dia akan melepas segala pikiran negatif, kebelakang maupun terbelakang dan obskurantis atau kehilangan nyali untuk menatap kemajuan.
Kedua, adalah open minded dan optimis. Seorang sufi besar Imam Ghazali pernah menuturkan bahwa, segala ilmu yang benar (al-‘ilmu al-syar’iyyah), datangnya tiada lain dari Allah SWT. semata. Kita sangat sulit mengabaikan hal ini, bahkan seorang intelektual Barat Non-Muslim, Karen Amstrong mengakuinya dengan segenap kerendahan hati. Segala teori, pengetahuan, kultur, kebiasaan, tradisi dan peradaban, dari manapun datangnya, selama tidak bertentangan dengan akidah karena sifatnya yang positif, maka Islam menerimanya. Kemajuan sains dan teknologi misalnya, harus dihargai dengan baik karena mengandung manfaat yang besar. Nabi mengajarkan bahwa, “Ilmu yang paling baik, adalah ilmu yang bermanfaat.”
Ketiga, dalam menafsirkan teks keagamaan, Islam mensyaratkan adanya pikiran yang sehat, hati yang bersih dan niat yang suci. Tradisi ini, seperti digambarkan oleh Muhammad Abed al-Jabiri, adalah tradisi irfani atau nilai dan prinsip kebaikan batin tatkala berijtihad. Rasulullah SAW. memberi teladan akan adanya pikiran yang waras, tidak emosional, dengan pembawaan yang tenang , bijaksana, solutif, namun strategis. Umat Islam akrab dengan kisah adanya salah seorang sahabat yang kencing di dalam masjid, kemudian hendak dipenggal kepalanya oleh Umar ibn Khattab ra. yang saat itu sangat emosional dan tidak terkendali. Namun Rasul mencegahnya dengan senyum dan langkah yang penuh hikmah, menjelaskan bahwa di dalam Islam itu, kebersihan adalah sebagian dari iman. Itu adalah sikap terhadap hal sederhana, apalagi tatkala menafsirkan al-Quran yang mulia. Apakah diperkenankan seorang mufassir secara arogan memberi makna atas ayat-ayat Allah? Tentu saja tidak.
Para pembaca yang budiman, khususnya kaum Muslimin yang dirahmati Allah, marilah senantiasa menjunjung Islam yang tinggi di hadapan dunia, mengapresiasinya, mempelajari, memperdalam dan menyalakan api-api kegemilangan dalam hidup sehari-hari. Wa Allahu a’lam bi al-shawwab.
*) Penulis pernah nyantri di bawah bimbingan KH. Abdullah Hasyim, Malang.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar