Jumat, 21 Oktober 2011

Setelah Keruntuhan Candi Kata

Zen Hae
korantempo,21 Maret 2010

DUNIA puisi Indonesia modern adalah dunia yang hancur-lebur. Lebih dari 60 tahun silam Chairil Anwar sudah menyatakan itu dalam sajak-sajaknya. Kehancuran dunia dan upaya aku untuk terus bertahan bukan hanya menjadi tema yang bersembunyi di balik struktur sintaksis puisi, tetapi muncul lewat frasa-frasa yang tegas sekaligus kikuk, padat-gerumpung, dengan bentukan kata yang bergerak antara kelisanan yang telah berurat-akar dan keberaksaraan yang terus memperkukuh diri. Chairil mengalami modernitas sebagai yang pedih dan mematikan tapi juga menyala-nyala, memberi daya hidup hingga seribu tahun lagi.

Sindu Putra adalah salah satu penyair Indonesia mutakhir yang memperpanjang gema kehancuran dunia itu. Dalam naungan gema itu, segalanya bisa tidak memberi harapan sama sekali, termasuk puisi itu sendiri. Baginya, puisi adalah “candi kata”–“Rumahku dari unggun-timbun sajak,” kata Chairil. Sebuah tempat semadi yang semula dipercaya bisa menyelamatkan penyair, tapi kemudian terus-menerus kehilangan aura mistiknya dan kelak hancur.

Tentu saja candi kata bukanlah temuan yang khas Sindu. Lebih dari delapan abad silam, menurut P.J. Zoetmoelder, para penyair Jawa Kuno (sang kawi) menegaskan puisi sebagai alat untuk berkomunikasi dengan dewa sekaligus wadah tempat ia bersemayam. Dalam “yoga literer” itu, sang penyair berharap keindahan syair-syairnya mampu memikat sang dewa supaya turun dan berdiam di dalam candi kata sebelum akhirnya ia mencapai kemanunggalan dengan dewa pilihannya itu. Pengantar kakawin Bhomantaka menyebut, “Semoga candinya kini didirikan di dalam kata-kata syair ini, sehingga merupakan suatu tempat kediaman yang pantas bagi dewa asmara yang menampakkan diri.”

Sindu dan para pendahulunya menempatkan candi kata sebagai sebentuk metafora. Bedanya, Sindu mengupayakan tipografi puisi yang lebih asosiatif. Di mana pun dalam puisi Dongeng Anjing Api (Arti Foundation, Juli 2008), pemenang Khatulistiwa Literary Award 2009, kita akan menemukan bangun puisi yang menyaran kepada wujud separuh candi, yang jika dicerminkan akan menjelma sosok candi utuh. Penyair memadukan sedemikian rupa larik-larik panjang dan pendek, di samping menjarangkan secara ekstrem spasi antarkata, sehingga menyerupai lubang-lubang pada dinding candi.

Lubang-lubang itu seakan-akan mau menegaskan bahwa sebuah tempat semadi tidak terputus sepenuhnya dengan dunia ramai, semacam ventilasi yang mengalirkan udara dan cahaya matahari. Tapi mereka bisa juga muncul akibat copotnya sejumlah besar batu penyusun candi tersebut. Karena itu, unsur-unsur di dalamnya bukan lagi “puing-puing yang saling merekatkan diri,” sebagaimana dinyatakan Nirwan Dewanto dalam pengantar Lima Pusaran: Bunga Rampai Puisi Festival Seni Surabaya 2007, tetapi yang bersiap menyongsong kehancuran. Sebuah nujuman sang penyair menyebut pada akhirnya “candi kata itu pun runtuh.” Lantas, “puisi terakhir yang aku tulis di tubuhku, punah” (puisi “Akhir dari Puisi”).

Puisi sebagai candi telah runtuh, selaku rajah pun sirna. Maka tampillah zaman tanpa puisi. Zaman tanpa keindahan. Ketika manusia, dengan “tangan meleleh”, “tanpa aksara”, “kehilangan warna dan rambut merah”, terpenjara di dalam “rumah kaca”. Sedang di luarnya hanyalah dunia yang penuh luka dan kematian. Tapi dua makhluk yang melambangkan kebebasan dan keindahan penyair dan puisinya masih mencoba bertahan hidup: “kupu-kupu mendaur ulang sayapnya / di sela waktu yang tersobek / burung-burung mengeramkan paruhnya hingga tanpa abu”. Dalam hantaman samsara ini yang bisa dilakukan aku kemudian adalah semadi untuk menemukan kembali kaitan dirinya dengan alam ilahiah. Maka, di bait akhir puisi itu Sindu menulis:

Tubuhku inilah tanah sebuah hutan terbuka
ke mana pohon merapuh, burung dan kupu-kupu dituakan”
aku ciumkan tanah, menghormati padi
menghormati segala yang ditanam dengan siraman air mata
tubuhku pun payau, merindukan bakau
puisi, berakhir juga ke tubuhku

Tamatnya puisi adalah tema penting, jika bukan terpenting, dalam Dongeng Anjing Api. Puisi lainnya, “Dalam Tubuh Artupudnis”, menyatakan sirnanya puisi berlangsung di dalam keseluruhan tubuh “artupudnis” (anagram dari Sindu Putra). Bedanya, sirnanya puisi di sini tidak didahului oleh bencana. Bukan manusia, melainkan tuhan (dengan “t”) yang mendapati fakta itu. Apakah itu berarti penyair artupudnis sudah mati, sehingga puisi di tubuhnya lenyap begitu ajalnya tiba? Sehingga yang hadir di hadapan tuhan adalah bukan lagi penyair, tetapi “mantan penyair”?

Teka-teki ini bisa dipecahkan dengan menelusuri berubahnya proyeksi ujaran puisi. Jika pada dua bait pertama “aku lirik tersembunyi” menempatkan artupudnis sebagai alter ego dalam posisi orang ketiga yang tampaknya sudah mati, baik harfiah maupun metaforis. Di bait-bait berikutnya aku menempatkan alter ego-nya itu dalam posisi orang kedua dan disebutnya “kau”: “Kau masuk ke dalam mimpi mereka”.

Lantas siapakah mereka? Mereka adalah orang-orang yang memburu terang yang lain setelah kematian penyair. Yang berpesta di bawah patung pahlawan di tengah keramaian kota. Sebuah pesta yang karena permainan oksimoron dan pengulangan subjek menjadi tak bermakna dan mengasingkan: “mereka berpesta cahaya lampu yang gelap / mereka kenakan bunga-bunga tanpa warna”. Kau kemudian bukan hanya hadir dalam mimpi tapi dalam kehidupan nyata, seperti Yesus yang menampakkan diri di depan muridnya, yang membuat mereka “melolong / memandangimu yang tegak di antara mereka / bagai patung pahlawan, bagai patung garam”.

Kini yang terasing bukan hanya mereka, tetapi juga kau yang tidak bisa memahami perilaku mereka, karena “mereka baca sajak-sajak yang tak kau kenal / yang belum dicipta para mantan penyair”. Tapi di mata tuhan, semua ini keheningan belaka; sebuah kondisi yang mendorongnya menunjukkan kuasa, “dan keheningan ini tuhan / mewarnai juga mimpi mereka”. Sebuah keheningan mahapanjang yang menandai tamatnya puisi: “dalam tubuh artupudnis / tuhan tak lagi menemui puisi / sepanjang sejuta tahun keheningan ini”.

Jika tamatnya puisi membuat penyair tidak lagi punya peran dominan, kematian penyair berlangsung bersamaan dengan kelahiran puisi. Ia adalah pemakzulan terhadap hasrat yang mendewa-dewakan penyair sebagai oknum yang lebih penting daripada puisi itu sendiri, setelah sebelumnya otoritas kepenyairan itu disangsikan. Dalam puisi “Penyair dalam Diriku” sang penyair dinyatakan “mati” dan puisi menjadi “epitaf nisan, tempat namaku / dilupakan, nama penyairku”. Sementara puisi “Batuan” merumuskan pemakzulan itu dengan pembalikan logika Cartesian: “karena aku menulis puisi / maka aku tak ada”.

Penyair tidak sepenuhnya sirna, sebenarnya. Ia mengepompong. Momen yang dalam puisi lainnya dimanfaatkan untuk “memahami gurat bunga” (puisi “Hutan Bakau”). Lanjutan puisi “Batuan” menegaskan bahwa sebagai patung indigo si penyair akan menjadi penjaga rumah kupu-kupu:

dan nun di batu-batu Batuan
sebuah rumah kupu-kupu berdiri
setipis bayangan,
dikelilingi pohon-pohon yang dikerdilkan
yang bersikeras memanjang
berbunga dalam redup, lebih rendah dari perdu
sarang serangga malam, dengan sengat beracun
dengan mata awan yang tumbuh
rumah kupu-kupu itu kini,
milikmu. tinggi.
sementara dengan sayap-sayap berlumpur
aku berkepompong dari luarnya

Kutipan ini menonjolkan setidaknya dua hal. Pertama, surutnya dominasi aku lirik atas ujaran puisi. Di sini ia semata-mata narator dan bukan tokoh utama. Ia dikendalikan, bukan mengendalikan. Ia hanya kepompong, belum lagi kupu-kupu. Yang dominan di sini adalah suasana liris alam yang bergerak sedemikian rupa; yang tak terjangkau lagi oleh kekuasaan aku. Kosongnya peran aku lirik, dalam contohnya yang terbaik, bisa kita temukan dalam sejumlah “puisi suasana” Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono.

Kedua, pemalihan. Kepompong adalah fase yang menghubungkan “aku-yang-sudah” (manusia-ulat) dengan “aku-yang-akan” (manusia-kupu-kupu). Dengan kata lain, “aku” akan mengalami pemalihan (metamorfosis). Bukan lagi manusia, tetapi segala yang bukan-manusia: hewan dan tumbuhan. Bukan hanya kupu-kupu, tapi juga burung, ulat, serangga, ikan, kodok hijau, batang pisang, dan seterusnya. Dalam Hinduisme, konsep yang berkerabat dengan fenomena ini adalah reinkarnasi. Yakni, seperti kata Robert Zaehner, “Kondisi di mana jiwa individu dilahirkan kembali merupakan akibat perbuatan-perbuatan buruk atau baik yang dilakukan dalam kehidupan sebelumnya.”

Bagaimana hubungan pemalihan ini dengan dengan reinkarnasi dalam Hinduisme, bisa menjadi telaah tersendiri. Yang bisa dicatat, pada Sindu pemalihan lebih menyerupai sebentuk adaptasi dalam hidup yang dirundung kehancuran, dengan imbuhan surealisme di sana-sini, daripada “hukuman” bagi jiwa yang buta terhadap jalan iman dan kitab Veda. Di awal puisi “Tentang Sebatang Pohon”, misalnya, aku lirik yang memasuki hutan kota dan menggenggam pohon tiba-tiba menjelma jadi sebatang pohon, yang di lidahnya mekar sekuntum anggrek hitam. Tapi itu belum cukup. Di akhir, ia benar-benar menjadi sekuntum bunga, setelah tergoda oleh permainan elipsis: “aku merasa (jadi) sebidang kupu-kupu”:

aku berulang-ulang mengeja membungkuk searah matahari
merebahkan tubuh mengikuti sumbu bumi
aku merasa sebidang kupu-kupu di antara warna-warna membakar
seseorang memintaku memasuki kepompong waktu
aku jadi setangkai kembang manikung yang tertanam dalam api

Apakah sebatang pohon yang menjadi setangkai bunga sama dengan Gregor Samsa yang menjadi seekor serangga raksasa atau ulat yang menjadi kupu-kupu? Pemalihan ini baru tampak masuk akal jika permainan elipsis itu ditafsir begini: “aku merasa (kehadiran) sebidang kupu-kupu”. Kelak kupu-kupu yang berkomplot dengan api itulah yang mengisap saripati kembang manikung. Lantas ia akan layu, mati, hangus. Bukan hanya oleh kupu-kupu, tapi juga oleh api. Inilah fenomena yang diharapkan bisa sejajar dengan kematian penyair dan keruntuhan candi kata: wujud-wujud mutakhir dunia yang hancur-lebur itu.
___________________________
Zen Hae telah menerbitkan kumpulan cerpen Rumah Kawin (KataKita, 2004) dan kumpulan puisi Paus Merah Jambu (Akar Indonesia, 2007). Tulisan di atas adalah bagian pertama. Yang kedua akan termuat minggu depan.

Dijumput dari: http://cintakuwaktu.blogspot.com/2010/03/setelah-keruntuhan-candi-kata.html

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir