Kamis, 06 Oktober 2011

Fenomena Dasima

Ibnu Wahyudi*
Pikiran Rakyat, 10 Maret 2007

DENGAN dibincangkannya Nyai Dasima karya S.M. Ardan (Masup Jakarta, Februari 2007) di TIM, Jakarta, 23 Februari lalu, kian jelaslah posisi penting cerita tragis Dasima dalam lintasan sejarah sastra Indonesia modern.

Memang, masih banyak yang enggan memasukkan Nyai Dasima menjadi bagian integral sastra Indonesia modern, namun realitas kesastraan ternyata jelas menunjukkan gambaran berbeda.

Lebih-lebih kalau kita sempat menonton tayangan “Nyai Dasima” lewat Trans TV, 2 Maret, tak ada lain yang barangkali akan kita bilang, kenapa tragedi yang konon betul terjadi pada awal abad ke-19 ini bisa begitu tenarnya? Apa istimewanya?

Novel Nyai Dasima ini bukan versi terbaru dari perjalanan dramatis seorang nyai bernama Dasima itu. Kendati begitu, diterbitkannya kembali Nyai Dasima versi S.M. Ardan, yang dilengkapi karya G. Francis, menegaskan lagi perihal kesohoran sebuah fiksi yang terbit pertama kali tahun 1896 itu.

Perjalanan Nyai Dasima

Seperti disebutkan, Nyai Dasima ini muncul atau dipublikasi pada tahun 1896 dan setakat ini dapat disebut sebagai prosa pertama dalam entitas sastra Indonesia modern. Dinyata-kan demikian lantaran sebelumnya tidak dapat dijumpai adanya prosa de-ngan bahasa Melayu serta diekspresikan lewat cetakan berhuruf latin. Memang, kalau untuk puisi, telah jauh mendahului penerbitan prosa. Setidak-tidaknya, kumpulan puisi Indonesia modern pertama telah terbit pada tahun 1857. Munculnya ragam puisi mendahului prosa ini secara genealogis maupun nalar-sastra, tidak mengherankan mengingat dalam ranah lisan, pola syair atau pantun juga jauh lebih dikenal dan dikuasai masyarakat Indonesia ketika itu dibandingkan dengan hikayat atau prosa pada umumnya.

Dalam cetak ulang Nyai Dasima ini dinyatakan bahwa pengarangnya adalah G. Francis dan penerbitnya adalah Kho Tjeng Bie & Co. Namun buku berjudul lengkap Tjerita Njai Dasima: Soewatoe Korban daripada Pemboedjoek, nama G. Francis tertera hanya sebagai “jang mengeloewarken”. Sementara, nama penerbit Kho Tjeng Bie & Co. tidak ada. Tidak mengherankan jika W.V. Sykorsky dalam tulisannya berjudul “Some Additional Remarks on Antecedents of Modern Indonesian Literature” (BKI, 1980) me-ragukan sosok G. Francis sebagai penulis Nyai Dasima. Kendati demikian, tetap banyak yang meyakini bahwa G. Francis adalah pengarang yang mungkin sekaligus penerbit, sebab akhir abad ke-19 itu sudah dikenal luas adanya toko buku G. Francis, berlokasi di “Molenvliet (Kebon Djeroek) 10/63, Batavia”.

Setahun setelah terbitnya Tjerita Njai Dasima, prosa ini mengalami transformasi menjadi syair yang ditulis O.S. Tjiang. Pengarang ini mengaku bahwa Nyai Dasima yang terbit tahun 1896 itu adalah babon syairnya. Beberapa tahun kemudian, Nyai Dasima yang berupa syair ini ditulis ulang oleh Akhmad Beramka yang menurut dugaan telah menyalinnya antara tahun 1906-1909. Demikian pula dengan Lie Kim Hok, telah menerbitkan syair ini yang selengkapnya berbunyi Sjair Tjerita di Tempo Tahon 1813, Soeda Kadjadian di Betawi, Terpoengoet dari Boekoenja Njai Dasima, sampai mengalami cetakan keenam (1922). Bahkan orang yang hanya memahami bahasa Belanda pun dapat menikmati kisah ini lewat karya A. Th. Manusama dengan judul Nyai Dasima: Het Slachtoffer vanbedrog en misleiding, een historische zeden roman van Batavia (1926).

Transformasi yang terjadi bukan sebatas dalam genre yang sama, melainkan sungguh-sungguh beralih “bahasa”, seperti menjadi film, sinetron, atau sandiwara. Dalam bentuk gambar hidup, tercatat pertama kali dibuat tahun 1929 dengan judul “Njai Dasima”. Film ini diproduksi oleh Tan’s Film dengan sutradara Lie Tek Swie. Oleh produser dan sutradara yang sama, dibuat pula “Njai Dasima” (II) tahun 1930, dan diakhiri dengan “Pembalesan Nancy” (Nancy Bikin Pembalesan) atau “Njai Dasima III” pada tahun yang sama. Ketiga film ini selain masih hitam-putih juga belum bersuara. Baru pada tahun 1932, masih oleh produser sama tapi dengan sutradara berbeda (Bachtiar Effendy), dibuatlah film “Njai Dasima” yang telah memasukkan teknologi suara. Sementara itu, kendati kisahnya agak berbeda, pada tahun 1940 telah diproduksi sebuah film berjudul “Dasima” oleh Java Industrial Film dengan sutradara Tan Tjoei Hock. Akhirnya, untuk produksi layar lebar, tercatat pula sebuah film yang cukup berani pada masanya, berjudul “Samiun dan Dasima” yang dibuat oleh Chitra Dewi Film Production tahun 1970 dengan sutradara Hasmanan.

Kisah Dasima ini memang telah dibuat dalam format sinetron. Selain itu, tahun 1996, tragedi Dasima ini pernah dibuat berseri dan ditayangkan RCTI dengan arahan Ali Shahab. Untuk dunia panggung, cerita wanita cantik dari Curug, yang dipiara Edward W. ini tergolong populer. Setidak-tidaknya tahun 1960-an, perkumpulan “Kuncup Harapan” yang dimotori S.M. Ardan telah pentas keliling dengan kisah ini. Tentu, pementasan lain sangat mungkin telah berlangsung di mana-mana baik yang tradisional maupun modern. Untuk yang tradisional, misalnya pementasan oleh Komedie Stambul seperti diungkapkan oleh Kenji Tsuchiya dalam “On Cerita Nyai Dasima” (Sejarah, No. 7).

Demikian pula dengan Opera Miss Riboet, di masa penjajahan konon sudah mementaskan “Nyai Dasima” sebanyak 127 kali, selain tradisi sahibul hikayat dengan tukang cerita yang sering menampilkan kisah melodramatis ini. Sementara yang berpentas belakangan adalah EKI (Eksotika Karmawibhangga Indonesia) yang mengangkat judul “Madame Dasima” dalam bentuk drama musikal tahun 2001, meski sesungguhnya drama ini tidak langsung diangkat dari karya G. Francis, S.M. Ardan, atau Rachmat Ali.

Rachmat Ali? Ya, tahun 2000, gubahan Rachmat Ali dalam bentuk novel yang juga berjudul Nyai Dasima, diterbitkan Grasindo. Sedangkan S.M. Ardan sendiri telah menerbitkan karya ini dengan nada yang berbeda dari karya G. Francis, pada tahun 1965 (Penerbit Triwarsa) lalu di-cetak ulang tahun 1971 oleh Pustaka Jaya.

Kalau sejak akhir tahun 1920-an pembaca Belanda telah dapat mengonsumsi kisah ini, pembaca berbahasa Inggris dapat mengapresiasinya melalui terjemahan Harry Aveling, yang terbit tahun 1988. Perjalanan hidup Dasima pun ada yang digubah dalam lagu keroncong yang sering hanya merupakan bagian dari suatu pertunjukan. Kepopuleran Nyai Dasima, secara tersurat termaktub pula dalam beberapa karya fiksi, misalnya menjadi karya yang dibaca oleh Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karya Pram atau sebagai drama yang disinggung dalam karya Du Perron.

Sastra populer

Jelas Nyai Dasima masih luas dikenal dan kerap mewujud menjadi semacam mitos atau legenda, beredar di khalayak dengan bermacam bumbu. Namun, apa sesungguhnya daya tarik Nyai Dasima sehingga ia mampu melintasi waktu dan bermetamorfosis dalam wujud narasi yang berbagai ini? Jawabannya, agaknya tidak lain karena karya ini merepresentasi formula sastra populer yang salah satu tekanannya adalah mengharu-biru emosi pembaca lewat sensitivitas latar multietnis dan bahkan bersentuhan dengan religiusitas yang dikemas dengan bungkus kesetiaan dan perselingkuhan. Pola ini, dalam zaman yang bagaimanapun, rasanya akan selalu menawan.

Ditilik dari aspek penceritaan, Nyai Dasima tidak ada “istimewa”-nya. Terlebih jika didekati dan dikomparasi dengan karya-karya yang terbit setelahnya, yang se-ring diperkaya dengan eksperimentasi dan inovasi, lagi-lagi karya ini memang biasa saja. Tapi, nyatanya, karya ini mampu bertahan untuk sekian lama, bahkan hingga tahun 2007 ini. Tentu kenyataan ini ada musababnya. Agaknya, memang ada sejumlah aspek formal yang beroperasi mengendalikan “kelanggengan” kisah ini di samping sisi romantik yang niscaya telah menjadi stimulator narasi.

Paling kentara, walau hanya sebuah melodrama biasa, tema dalam Nyai Dasima ini niscaya cenderung awet dan berpeluang mampu menggelitik emosi. Perbedaan etnis atau ras, cinta, selingkuh, diskriminasi, pemengaruhan sikap, keirihatian, penaklukan lewat guna-guna, peracunan, penistaan, dan pembunuhan, yang terdapat sekaligus di dalamnya, adalah tema-tema menggoda. Tema-tema “inti” itu, secara implisit memosisikan dirinya sebagai cerita yang selalu menarik perhatian atau menjadi semacam rambu moral.

Adanya stereotif tokoh-tokoh yang berlebihan, bisa saja “jatuh” secara kualitatif, tapi secara atraktif, sangat mungkin mampu memenuhi ekspektasi pembaca. Sebagai karya yang muncul dalam masyarakat yang umumnya masih niraksara (akhir abad ke-19), hadirnya karakter budiman, menawan, atau kebalikannya, kelewat dengki, tega dalam menista, serta kejam, merupakan semacam keharusan yang diam-diam dituntut pembaca. Semua ini ada dalam Nyai Dasima dan pembaca seperti memperoleh tempat pelarian yang menyenangkan. Penampilan tokoh-tokoh yang hitam-putih semacam itu, jangan dikira akan dijauhi oleh pembaca; justru sebaliknya, ia dapat menjadi ruang yang berfungsi sebagai semacam katarsis, meskipun hanya kuasi.

Kelinearan alur yang sederhana tidak berarti membuat pembaca bosan, tapi malahan “memaksa” pembaca masuk ke teras persoalan secara intensif; menyebabkan pembaca masuk dalam penglibatan tak berjarak, sehingga sentimentalitas teraduk-aduk secara efektif. Kondisi semacam ini memang tidak mengarahkan pembaca kepada kekritisan, melainkan hanya pada peluapan emosional belaka.

Melihat faktor-faktor ini saja, tidak salah jika Nyai Dasima dapat diindikasi sebagai karya populer. Namun, kecenderungan “populer” pada sebuah karya tidak semestinya lantas mengarahkan kita kepada sikap “menganggap” atau “menafikan” yang bersifat sosiohistoris. Dinamika khazanah sastra, secara esensial, tidak lain cerminan perjalanan intelektualitas, paling kurang dari kesahajaan menuju ke kekompleksan.

Oleh karena itu, jika Nyai Dasima secara stilistik bersahaja, itu pun merupakan ekspresi jujur dalam menampilkan dirinya bersangkutan dengan lingkungan intelektual saat itu. Semua ini tentu harus dipandang dalam kaitannya dengan tradisi penulisan saat itu, kemelekhurufan atau situasi kependidikan, taraf apresiasi masyarakat semasa, sistem penerbitan atau reproduksi yang ada, maupun sistem-sistem lain yang secara alami membentuk suatu kondisi. Kelahiran Nyai Dasima, sekali lagi, berkaitan dengan situasi intelektualitas yang masih berada dalam taraf “rendah” itu dan tidak berasal dari suatu tradisi penulisan fiksi yang telah mapan.

Bagaimanapun, Nyai Dasima yang memang sebuah karya sastra populer, justru dapat dikatakan sebagai yang meretas jalan kepada hadirnya kesusastraan Indonesia modern.***

* Ibnu Wahyudi, peminat sastra, tinggal di Depok
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/03/fenomena-dasima.html

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir