Ibnu Wahyudi*
Pikiran Rakyat, 10 Maret 2007
DENGAN dibincangkannya Nyai Dasima karya S.M. Ardan (Masup Jakarta, Februari 2007) di TIM, Jakarta, 23 Februari lalu, kian jelaslah posisi penting cerita tragis Dasima dalam lintasan sejarah sastra Indonesia modern.
Memang, masih banyak yang enggan memasukkan Nyai Dasima menjadi bagian integral sastra Indonesia modern, namun realitas kesastraan ternyata jelas menunjukkan gambaran berbeda.
Lebih-lebih kalau kita sempat menonton tayangan “Nyai Dasima” lewat Trans TV, 2 Maret, tak ada lain yang barangkali akan kita bilang, kenapa tragedi yang konon betul terjadi pada awal abad ke-19 ini bisa begitu tenarnya? Apa istimewanya?
Novel Nyai Dasima ini bukan versi terbaru dari perjalanan dramatis seorang nyai bernama Dasima itu. Kendati begitu, diterbitkannya kembali Nyai Dasima versi S.M. Ardan, yang dilengkapi karya G. Francis, menegaskan lagi perihal kesohoran sebuah fiksi yang terbit pertama kali tahun 1896 itu.
Perjalanan Nyai Dasima
Seperti disebutkan, Nyai Dasima ini muncul atau dipublikasi pada tahun 1896 dan setakat ini dapat disebut sebagai prosa pertama dalam entitas sastra Indonesia modern. Dinyata-kan demikian lantaran sebelumnya tidak dapat dijumpai adanya prosa de-ngan bahasa Melayu serta diekspresikan lewat cetakan berhuruf latin. Memang, kalau untuk puisi, telah jauh mendahului penerbitan prosa. Setidak-tidaknya, kumpulan puisi Indonesia modern pertama telah terbit pada tahun 1857. Munculnya ragam puisi mendahului prosa ini secara genealogis maupun nalar-sastra, tidak mengherankan mengingat dalam ranah lisan, pola syair atau pantun juga jauh lebih dikenal dan dikuasai masyarakat Indonesia ketika itu dibandingkan dengan hikayat atau prosa pada umumnya.
Dalam cetak ulang Nyai Dasima ini dinyatakan bahwa pengarangnya adalah G. Francis dan penerbitnya adalah Kho Tjeng Bie & Co. Namun buku berjudul lengkap Tjerita Njai Dasima: Soewatoe Korban daripada Pemboedjoek, nama G. Francis tertera hanya sebagai “jang mengeloewarken”. Sementara, nama penerbit Kho Tjeng Bie & Co. tidak ada. Tidak mengherankan jika W.V. Sykorsky dalam tulisannya berjudul “Some Additional Remarks on Antecedents of Modern Indonesian Literature” (BKI, 1980) me-ragukan sosok G. Francis sebagai penulis Nyai Dasima. Kendati demikian, tetap banyak yang meyakini bahwa G. Francis adalah pengarang yang mungkin sekaligus penerbit, sebab akhir abad ke-19 itu sudah dikenal luas adanya toko buku G. Francis, berlokasi di “Molenvliet (Kebon Djeroek) 10/63, Batavia”.
Setahun setelah terbitnya Tjerita Njai Dasima, prosa ini mengalami transformasi menjadi syair yang ditulis O.S. Tjiang. Pengarang ini mengaku bahwa Nyai Dasima yang terbit tahun 1896 itu adalah babon syairnya. Beberapa tahun kemudian, Nyai Dasima yang berupa syair ini ditulis ulang oleh Akhmad Beramka yang menurut dugaan telah menyalinnya antara tahun 1906-1909. Demikian pula dengan Lie Kim Hok, telah menerbitkan syair ini yang selengkapnya berbunyi Sjair Tjerita di Tempo Tahon 1813, Soeda Kadjadian di Betawi, Terpoengoet dari Boekoenja Njai Dasima, sampai mengalami cetakan keenam (1922). Bahkan orang yang hanya memahami bahasa Belanda pun dapat menikmati kisah ini lewat karya A. Th. Manusama dengan judul Nyai Dasima: Het Slachtoffer vanbedrog en misleiding, een historische zeden roman van Batavia (1926).
Transformasi yang terjadi bukan sebatas dalam genre yang sama, melainkan sungguh-sungguh beralih “bahasa”, seperti menjadi film, sinetron, atau sandiwara. Dalam bentuk gambar hidup, tercatat pertama kali dibuat tahun 1929 dengan judul “Njai Dasima”. Film ini diproduksi oleh Tan’s Film dengan sutradara Lie Tek Swie. Oleh produser dan sutradara yang sama, dibuat pula “Njai Dasima” (II) tahun 1930, dan diakhiri dengan “Pembalesan Nancy” (Nancy Bikin Pembalesan) atau “Njai Dasima III” pada tahun yang sama. Ketiga film ini selain masih hitam-putih juga belum bersuara. Baru pada tahun 1932, masih oleh produser sama tapi dengan sutradara berbeda (Bachtiar Effendy), dibuatlah film “Njai Dasima” yang telah memasukkan teknologi suara. Sementara itu, kendati kisahnya agak berbeda, pada tahun 1940 telah diproduksi sebuah film berjudul “Dasima” oleh Java Industrial Film dengan sutradara Tan Tjoei Hock. Akhirnya, untuk produksi layar lebar, tercatat pula sebuah film yang cukup berani pada masanya, berjudul “Samiun dan Dasima” yang dibuat oleh Chitra Dewi Film Production tahun 1970 dengan sutradara Hasmanan.
Kisah Dasima ini memang telah dibuat dalam format sinetron. Selain itu, tahun 1996, tragedi Dasima ini pernah dibuat berseri dan ditayangkan RCTI dengan arahan Ali Shahab. Untuk dunia panggung, cerita wanita cantik dari Curug, yang dipiara Edward W. ini tergolong populer. Setidak-tidaknya tahun 1960-an, perkumpulan “Kuncup Harapan” yang dimotori S.M. Ardan telah pentas keliling dengan kisah ini. Tentu, pementasan lain sangat mungkin telah berlangsung di mana-mana baik yang tradisional maupun modern. Untuk yang tradisional, misalnya pementasan oleh Komedie Stambul seperti diungkapkan oleh Kenji Tsuchiya dalam “On Cerita Nyai Dasima” (Sejarah, No. 7).
Demikian pula dengan Opera Miss Riboet, di masa penjajahan konon sudah mementaskan “Nyai Dasima” sebanyak 127 kali, selain tradisi sahibul hikayat dengan tukang cerita yang sering menampilkan kisah melodramatis ini. Sementara yang berpentas belakangan adalah EKI (Eksotika Karmawibhangga Indonesia) yang mengangkat judul “Madame Dasima” dalam bentuk drama musikal tahun 2001, meski sesungguhnya drama ini tidak langsung diangkat dari karya G. Francis, S.M. Ardan, atau Rachmat Ali.
Rachmat Ali? Ya, tahun 2000, gubahan Rachmat Ali dalam bentuk novel yang juga berjudul Nyai Dasima, diterbitkan Grasindo. Sedangkan S.M. Ardan sendiri telah menerbitkan karya ini dengan nada yang berbeda dari karya G. Francis, pada tahun 1965 (Penerbit Triwarsa) lalu di-cetak ulang tahun 1971 oleh Pustaka Jaya.
Kalau sejak akhir tahun 1920-an pembaca Belanda telah dapat mengonsumsi kisah ini, pembaca berbahasa Inggris dapat mengapresiasinya melalui terjemahan Harry Aveling, yang terbit tahun 1988. Perjalanan hidup Dasima pun ada yang digubah dalam lagu keroncong yang sering hanya merupakan bagian dari suatu pertunjukan. Kepopuleran Nyai Dasima, secara tersurat termaktub pula dalam beberapa karya fiksi, misalnya menjadi karya yang dibaca oleh Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karya Pram atau sebagai drama yang disinggung dalam karya Du Perron.
Sastra populer
Jelas Nyai Dasima masih luas dikenal dan kerap mewujud menjadi semacam mitos atau legenda, beredar di khalayak dengan bermacam bumbu. Namun, apa sesungguhnya daya tarik Nyai Dasima sehingga ia mampu melintasi waktu dan bermetamorfosis dalam wujud narasi yang berbagai ini? Jawabannya, agaknya tidak lain karena karya ini merepresentasi formula sastra populer yang salah satu tekanannya adalah mengharu-biru emosi pembaca lewat sensitivitas latar multietnis dan bahkan bersentuhan dengan religiusitas yang dikemas dengan bungkus kesetiaan dan perselingkuhan. Pola ini, dalam zaman yang bagaimanapun, rasanya akan selalu menawan.
Ditilik dari aspek penceritaan, Nyai Dasima tidak ada “istimewa”-nya. Terlebih jika didekati dan dikomparasi dengan karya-karya yang terbit setelahnya, yang se-ring diperkaya dengan eksperimentasi dan inovasi, lagi-lagi karya ini memang biasa saja. Tapi, nyatanya, karya ini mampu bertahan untuk sekian lama, bahkan hingga tahun 2007 ini. Tentu kenyataan ini ada musababnya. Agaknya, memang ada sejumlah aspek formal yang beroperasi mengendalikan “kelanggengan” kisah ini di samping sisi romantik yang niscaya telah menjadi stimulator narasi.
Paling kentara, walau hanya sebuah melodrama biasa, tema dalam Nyai Dasima ini niscaya cenderung awet dan berpeluang mampu menggelitik emosi. Perbedaan etnis atau ras, cinta, selingkuh, diskriminasi, pemengaruhan sikap, keirihatian, penaklukan lewat guna-guna, peracunan, penistaan, dan pembunuhan, yang terdapat sekaligus di dalamnya, adalah tema-tema menggoda. Tema-tema “inti” itu, secara implisit memosisikan dirinya sebagai cerita yang selalu menarik perhatian atau menjadi semacam rambu moral.
Adanya stereotif tokoh-tokoh yang berlebihan, bisa saja “jatuh” secara kualitatif, tapi secara atraktif, sangat mungkin mampu memenuhi ekspektasi pembaca. Sebagai karya yang muncul dalam masyarakat yang umumnya masih niraksara (akhir abad ke-19), hadirnya karakter budiman, menawan, atau kebalikannya, kelewat dengki, tega dalam menista, serta kejam, merupakan semacam keharusan yang diam-diam dituntut pembaca. Semua ini ada dalam Nyai Dasima dan pembaca seperti memperoleh tempat pelarian yang menyenangkan. Penampilan tokoh-tokoh yang hitam-putih semacam itu, jangan dikira akan dijauhi oleh pembaca; justru sebaliknya, ia dapat menjadi ruang yang berfungsi sebagai semacam katarsis, meskipun hanya kuasi.
Kelinearan alur yang sederhana tidak berarti membuat pembaca bosan, tapi malahan “memaksa” pembaca masuk ke teras persoalan secara intensif; menyebabkan pembaca masuk dalam penglibatan tak berjarak, sehingga sentimentalitas teraduk-aduk secara efektif. Kondisi semacam ini memang tidak mengarahkan pembaca kepada kekritisan, melainkan hanya pada peluapan emosional belaka.
Melihat faktor-faktor ini saja, tidak salah jika Nyai Dasima dapat diindikasi sebagai karya populer. Namun, kecenderungan “populer” pada sebuah karya tidak semestinya lantas mengarahkan kita kepada sikap “menganggap” atau “menafikan” yang bersifat sosiohistoris. Dinamika khazanah sastra, secara esensial, tidak lain cerminan perjalanan intelektualitas, paling kurang dari kesahajaan menuju ke kekompleksan.
Oleh karena itu, jika Nyai Dasima secara stilistik bersahaja, itu pun merupakan ekspresi jujur dalam menampilkan dirinya bersangkutan dengan lingkungan intelektual saat itu. Semua ini tentu harus dipandang dalam kaitannya dengan tradisi penulisan saat itu, kemelekhurufan atau situasi kependidikan, taraf apresiasi masyarakat semasa, sistem penerbitan atau reproduksi yang ada, maupun sistem-sistem lain yang secara alami membentuk suatu kondisi. Kelahiran Nyai Dasima, sekali lagi, berkaitan dengan situasi intelektualitas yang masih berada dalam taraf “rendah” itu dan tidak berasal dari suatu tradisi penulisan fiksi yang telah mapan.
Bagaimanapun, Nyai Dasima yang memang sebuah karya sastra populer, justru dapat dikatakan sebagai yang meretas jalan kepada hadirnya kesusastraan Indonesia modern.***
* Ibnu Wahyudi, peminat sastra, tinggal di Depok
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/03/fenomena-dasima.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Kamis, 06 Oktober 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar