Dian Yanuardy
http://senimana.com/
1 Januari 1994. Selang beberapa menit setelah perayaan tahun Baru, sekelompok orang yang memakai balaklava menembus rimba raya Lacandona. Memanggul senjata seadanya, orang-orang ini menduduki San Cristobal de la Casas, ibukota negara bagian Chiapas, sebelah tenggara Meksiko, dan secara resmi mengumumkan pemberontakan. Sepanjang perjalanan, mereka menyebarkan komunike-komunike yang dimuat di seluruh media massa Meksiko, dan lantas tersebar melalui jaringan internet ke seantero dunia.
Apa lagi ini? Pemberontakan revolusioner Marxist khas Amerika Latin? Atau kebangkitan ulang teologi pembebasan? Sama sekali bukan!!. Meski menyebut dirinya dengan EZLN (Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional= Tentara Pembebasan Nasional Zapatista), dan melakukan baku tembak dan kontak senjata dengan tentara militer Meksiko beberapa saat setelahnya, Zapatista adalah sebuah gerakan yang unik dan mengagumkan. Dipimpin oleh Subcomandante Marcos, Zapatista bukan hanya piawai dalam mengorganisir gerakan dan jaringan, tetapi juga dikenal sebagai gerakan yang mampu menggabungkan antara tuntutan politik radikal dengan prosa sastrawi yang dahsyat. Marcos juga menyisipkan humor-humor satir, menulis cerita anak Don Durito de Lacandona, membuat sindiran politik, kadangkala omong saru dan melantur.
Tak ayal, Octavio Paz, sastrawan Meksiko dan peraih nobel, mengakui prosa-prosa Marcos sebagai sastra yang hidup dan imajinatif. Sementara Gabriel Garcia Marquez, punggawa realisme magis, malah mengatakan bahwa apa yang terjadi di Chiapas, membuatnya ingin “membuang buku-buku sastranya ke laut”. Goenawan Mohamad mengomentarinya sebagai “sebuah gerakan yang ganjil… yang bahkan bertujuan untuk menghancurkan dirinya sendiri”. Komunike-komunike dan surat-surat politiknya yang berjumlah ratusan buah hingga kini dikenang sebagai dokumen politik yang bernilai sastra tinggi.
Zapatista sebenarnya adalah nama yang telah menyejarah dalam peta politik Meksiko. Ia adalah gerakan pemberontakan yang terjadi di awal abad 20 (1910-1920)—sebuah gerakan masyarakat adat dan petani Indian yang menuntut “tierra y libertad”: Tanah dan Kemerdekaan. Dipimpin oleh seorang petani buta huruf Emiliano Zapata (Zapatista sendiri secara harfiah artinya adalah para pengikut Zapata), gerakan ini menuntut hak atas tanah yang dikuasai oleh bangsawan keturunan Spanyol. Tak berpengalaman membangun gerakan, di akhir-akhir tahun 1920an gerakan ini akhirnya surut dan dikalahkan. Lalu, apa yang membuat Zapatista bangkit kembali? Situasi-situasi apa yang memicunya?
1 Januari 1994 dan Chiapas memang sengaja dipilih oleh Marcos dan pasukannya. 1 Januari menandai diberlangsungkannya penerapan NAFTA (North American Free Trade Agreement) untuk membangun pakta perdagangan bebas antara Meksiko, Amerika Serikat dan Kanada. Sementara Chiapas dipilih, selain karena merupakan wilayah mereka, sebab kota ini merupakan pusat pariwisata yang dibanjiri turis asing dan artis-artis. Memberontak di tengah keramaian semacam itu akan menghindarkan mereka dari pembantaian dan kebrutalan tentara pemerintah. Lagipula, bagi Zapatista pemberontakan itu dipakainya sebagai letusan awal, agar suara dan gagasan mereka lebih didengar. “Tanpa letupan senjata, tak ada peluang bagi kata”, kata Marcos. Lalu hal ini dilanjutkannya dengan menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah Spanyol dan mengajukan tuntutan-tuntutan politik radikal yang konstitusional.
***
Revolusi Simbolik dan “Kembalinya yang Tertindas”
Lahirnya pemberontakan Zapatista dipicu utamanya oleh faktor-faktor yang bersifat ekonomi-politik. Namun ada pula yang dihasilkan dari mekanisme diskursif dan kuasa simbolik. Sebagai akar yang bersifat ekonomi-politik, pemberontakan Zapatista adalah hasil dari penerapan pembangunan kapitalistik di Meksiko dan rejim politik otoriter yang memerintah selama puluhan tahun. Pembangunan yang dipandu oleh kapitalisme memiliki akar yang panjang, yaitu setelah berakhirnya periode penjajahan Spanyol. Menghadapi dilema yang kerap dihadapi oleh rejim-rejim pasca kolonial, Meksiko memilih paradigma pembangunanisme (state-led-capitalism), yang berbasis pada hutang luar negeri, dan mengintegrasikan ekonominya pada sistem kapitalisme internasional.
Setelah dilanda krisis ekonomi yang parah pada tahun 1986 dan 1990, Meksiko menjadi pasien lembaga-lembaga keuangan internasional, yang menuntut diterapkannya neoliberalisme sebagai jalan untuk mengakhiri krisis ekonomi. Meski pertumbuhan sempat mengalami kenaikan, namun secara umum struktur dan fondasi utama ekonomi Meksiko sebenarnya telah rusak.
Program neoliberalisme menyebabkan sektor-sektor kesehatan dan pendidikan jatuh, sementara sektor pertanian—tempat sebagian besar penduduk Meksiko dan masyarakat Indian menggantungkan hidupnya—hancur akibat kebijakan liberalisasi perdagangan dan penurunan tarif impor. Kebijakan ini pada akhirnya dipungkasi oleh semakin terjadinya kemerosotan kualitas hidup rakyat pedesaan dan masyarakat adat. Dalam akar yang bersifat ekonomi ini, Zapatista adalah bagian dari masyarakat Indian yang terpinggirkan oleh paradigma ekonomi yang mengutamakan kuasa modal. Dengan cara yang satir, Marcos menggambarkan:
Kolong bawah Meksiko adalah masyarakat adat… “Indian” begitulah sebutan penduduk asli tanah ini…Kolong bawah Meksiko adalah: Mazahuan, Amuzgan, Chol, Tlapanec, Tzotzil, Tzeltal, Tojolabal… Kolong bawah Meksiko adalah kaum adat… bagi paruh lain negeri ini mereka tidak masuk hitungan, mereka tidak produktif, mereka tidak menjual atau membeli, artinya: mereka tidak eksis.
Akar yang bersifat diskursif dan simbolik, terjadi jauh lebih panjang dan lama. Kuasa simbolik, sebagaimana disebut oleh Pierre Bourdieu, adalah “a power of constructing reality”, yaitu sebuah praktik artikulatoris melalui bahasa dan wacana dalam ranah apapun untuk menyatakan seperti apa ranah itu ‘semestinya’ dan ‘seharusnya’. Pihak-pihak yang memiliki kuasa simbolik, biasanya ditopang oleh sejumlah modal, di antaranya yang terpenting adalah modal ekonomi, budaya, dan modal simbolik. Dengan kepemilikan modal-modal semacam ini, melalui dominasi ekonomi dan wacana, mereka mengkonstruksi ‘realitas’, dan membuat seakan-akan dominasi tersebut berjalan wajar dan legitim.Dalam kuasa simbolik terdapat juga mekanisme homologi, yaitu dimana posisi dalam suatu ranah terkait dengan ranah-ranah yang lain. Dengan model semacam ini, maka mereka yang mendominasi di satu ranah adalah mereka juga yang mendominasi di ranah yang lain, dan yang didominasi di satu ranah akan didominasi pula di ranah yang lain.
Dalam kasus masyarakat Indian di Meksiko, kuasa simbolik itu—yaitu kuasa untuk ‘membentuk realitas’—menurut Marcos dan Zapatista, terjadi selama kurun waktu 500 tahun. “Kami adalah buah dari 500 tahun perjuangan”, ujarnya. Ini artinya, selama kurun waktu itu masyarakat Indian dikonstruksi, didefinisikan dan didominasi oleh wacana, norma, dan aturan Liyan Simbolik (Law of the Father). Dan “Sang Ayah” itu adalah kolonialisme Spanyol, serta kekuasaan para keturunan Spanyol yang menguasai jagad politik Meksiko hingga kini.
***
Masyarakat Indian sebenarnya pernah merasakan pengalaman “chora” di masa lalunya, yaitu ketika mereka belum didefinisikan dan disimbolisasikan oleh kolonialisme. Masa ini adalah masa pra-Spanyol. Masa ketika mereka masih berada di rahim kebudayaan dan sejarahnya sendiri. Masa ini adalah masa ketika masyarakat Indian melalui pencapaian kebudayaannya menciptakan peradaban yang gemilang dan makmur di masa-masa kerajaan Aztec dan Inca di pedalaman Meksiko. Suatu masa ketika peradaban mereka dijuluki sebagai “Mother Culture of Mesoamerica”.
Namun, kolonialisme Spanyol adalah sejarah yang brutal. Bukan hanya memusnahkan identitas dan kebudayaan masyarakat Indian, kolonialisme Spanyol membantai 10 hingga 15 juta masyarakat Meksiko, termasuk di dalamnya para penulis, pastur, filosof, sejarawan dan penduduk sipil lainnya. Kolonialisme Spanyol lalu mengubah wilayah kerajaan dari bentangan pertanian yang makmur dan melimpah menjadi jajaran tanah dan kota-kota pertambangan. Masyarakat Indian pada kurun waktu ini banyak menjadi budak-budak pertanian dan pertambangan. Bukan hanya itu, kolonialisme Spanyol juga mengganti bahasa lokal dengan bahasa Spanyol, menghilangkan unsur-unsur kebudayan adat dan berupaya mengevangelisasi agama-agama suku Indian. Norma atau aturan kolonialisme Spanyol itu dibangun di atas sistem yang disebut sebagai encomeinda, yaitu sebuah sistem feodal berdasarkan kepemilikan tanah yang dimiliki oeh bangsawan Spanyol dengan beberapa orang Indian sebagai budak yang tak hanya dieksploitasi tenaganya tetapi juga ‘diperadabkan’ dengan ‘mengajarinya’ bahasa Spanyol atau ajaran Katolik.
Jejak-jejak kolonialisme itu tertancap secara mendalam. Bukan hanya di sekujur tubuh politik kebudayaan Meksiko, misalnya dalam bentuk penerimaan bahasa, budaya, dan agama sang penjajah, namun wacana-wacananya juga diterima sebagai ‘wajar’ dan ‘legitim’ di kalangan ilmuwan. Seorang sejarawan Meksiko terkemuka, misalnya, menuliskan tentang peranan karya-karya Hernando Cortes, seseorang yang dalam sejarah Meksiko disebut sebagai penakluk suku-suku Meksiko, utamanya Aztec. Menurut sejarawan tersebut:
“Cartas de relación (sebuah istilah untuk merujuk pada lima karya Cortes—penulis) memperoleh popularitas yang tak berimbang di kalangan peneliti sejarah penaklukan Meksiko. [Padahal] Cortés merupakan penulis handal. Surat-suratnya pada penguasa Spanyol, bisa disebut sebagai dokumen sejarah penaklukan Spanyol yang paling baik dalam periode itu. Sejarawan, sosiolog, dan ilmuwan politik menggunakan tulisan-tulisan tersebut untuk memperoleh informasi tentang kekuasaan Aztec dan benturan antara peradaban Eropa dengan kebudayaan Indian. ”
Kolonialisme Spanyol memang berakhir. Namun tak ada nasib yang berubah bagi masyarakat adat Meksiko. Jejak-jejak kolonialisme masih tertancap erat, yaitu berupa praktik eksklusi masyarakat adat dari kehidupan negara-bangsa Meksiko. Kalau pun ada pengakuan terhadap mereka, itu pun hanya ditempatkan sebagai ‘monumen bisu masa lalu’, yang dikomodifikasi untuk kepentingan parisiwisata dan turisme. Di masa pemerintahannya yang terobsesi untuk memodernisasi, meningkatkan angka pertumbuhan dan memajukan Meksiko, Presiden Carlos Salinas de Gortari menjadikan Chiapas sebagai kota pariwisata dengan menjual sisa-sisa peradaban Meksiko dan jejak-jejak kolonialisme Spanyol. Di kalangan para turis, Chiapas terkenal sebagai “kota kolonial”. Di beberapa negara bagian lain, identitas masyarakat adat juga ‘dibangkitkan’, tetapi ia dibingkai oleh semangat turisme dan pariwisata yang ditopang oleh sejumlah kekuasaan modal. Patung-patung kerajaan Aztec dan Inca dibangun, monumen-monumen masyarakat adat didirikan kembali, lalu didesain untuk memenuhi kebutuhan turisme.
Sementara di sisi lain, masyarakat adat terus mengalami kemiskinan, ketimpangan dan kekerasan. Di Chiapas, sebagian besar dari masyarakat adat ini bekerja sebagai buruh perkebunan dan pertanian, pembantu rumah tangga ladino, dan bahkan menjadi pelacur di lokalisasi kompleks barak militer Chiapas. Marcos menggambarkan ketimpangan itu dengan menulisnya secara unik, seperti brosur biro wisata untuk peta panduan ‘pariwisata’ ke Chiapas:
Selamat datang di San Cristobal de la Casas, “Kota Kolonial” menurut kitab-kitab sejarah, meski mayoritas penduduknya pribumi. Selamat datang di pasar besar Pronasol. Di sini anda bisa membeli atau menjual apa saja kecuali martabat masyarakat adat. Di sini segala sesuatu mahal kecuali kematian. Tapi jangan berlama-lama disini, teruskan perjalanan, untuk melihat hasil membanggakan infrastruktrur turisme. Tahun 1988 ada 6270 kamar hotel, 139 restoran, 42 biro wisata di negara bagian ini. Tahun ini, 1.058.098. turis mengunjungi Chiapas dan meninggalkan 250.000.000, peso di tangan para empunya restoran dan hotel-hotel… anda sudah menghitung angkanya? Ya, anda benar: ada 7 kamar hotel untuk tiap 1000 orang turis. Sementara cuma tersedia 0,3 ranjang rumah sakit untuk per 1000 warga Chiapas… terus saja melaju, anda akan saksikan gua-gua San Cristobal yang dikelilingi oleh hutan-hutan rimbun. Ada perhatikan tandanya? Tidak, anda tidak keliru, cagar alam ini memang dikelola oleh… Tentara!! Teruslah melaju….Lihat kan? Gedung-gedung modern, rumah-rumah bagus, jalan aspal… Itu universitas? Perumahan buruh? Bukan, lihat tanda di sebelahnya dan baca saja: “Barak Tentara Umum Zona Militer ke-31”.
Bukan hanya ketimpangan dan kemiskinan, sejarah masyarakat adat Indian juga dipenuhi dengan stigma. Masyarakat adat ini biasa distempel sebagai “indiada”:
kaum indian yang terbelakang, buas dan suka memberontak, membuat kerusuhan, menjarah, merampok dan memperkosa. Stigma dan wacana semacam ini dibenarkan oleh Komandante Susanna, seorang juru bicara wanita Zapatista: Ketika kami ke kota-kota besar, mereka melihat kami tidak lebih sebagai indios… mereka mengutuk kami, karena kami masyarakat adat, seolah-olah kami adalah binatang… kami tidak dipandang setara dengan perempuan Mestizo.
***
Tak hanya dalam ranah ekonomi dan politik, masyarakat Indian juga didominasi dalam ranah-ranah yang lain. Mereka menempati status terbawah dalam ranah apapun di Meksiko. Mereka di-liyan-kan (othered) oleh konstruksi politik dan kebudayaan di Meksiko.
Tetapi, sebagaimana disebut oleh Raymond Williams, tidak ada dominasi dan hegemoni yang bersifat bersifat total. Selalu ada yang lolos dalam mekanisme kekuasaan. Dalam kaitannya dengan sejarah, menurut Raymond Williams, formasi hegemonik di masa kini akan selalu dibayangi hegemoni yang lain di masa lalu, dan kebangkitan hegemoni baru di masa mendatang. Dengan membongkar luka historis itu, maka formasi hegemonik akan digoncang, dirobek dan pada akhirnya ditanggalkan. Sembari berbicara tentang peran perempuan dalam gerakan Zapatista, Marcos menunjukkan bagaimana perempuan Zapatista berupaya merobek hegemoni masa kini, dan bertempur melawan masa lalu untuk memperjuangkan masa depan:
Bagi kaum perempuan di Lantai Dasar dan Kolong Bawah Meksiko, segala sesuatu berlipat ganda (kecuali rasa hormat). Sebut saja dalam persentase buta huruf, dalam kondisi hidup yang sungguh tak layak, upah rendah dan marjinalisasi. Semua ini ditambahkan pada mimpi buruk yang diabaikan atau disamarkan oleh sistem dalam indeks-indeks general yang tidak memperlihatkan eksploitasi gender yang memungkinkan terjadinya eksplotasi secara umum. Tapi ada yang mulai tak pas dengan kepatuhan ganda ini. Mimpi buruk ganda ikut melipatgandakan sendiri kebangkitannya.
Kaum perempuan Lantai Dasar dan Kolong Bawah Meksiko bangun bertempur melawan masa kini dan masa lalu yang mengancam masa depan mereka. Kesadaran kemanusian mengalir melalui kesadaran keperempuanan, kesadaran sebagai manusia mencakup kesadaran mereka sebagai perempuan dan mereka pun melawan balik. Mereka tak butuh lagi seseorang untuk menyuarakannya. Ucapan mereka melaju dalam jalur ganda pemberontakan dengan motor penggeraknya sendiri….
Kegagalan kekuasaan simbolik untuk menundukkan obyeknya secara total, terjadi bukan hanya karena faktor yang berkaitan dengan membangun hegemoni baru di masa depan atau membebat luka masa lalu semata. Melainkan karena sekuat apapun strukturasi kuasa simbolik dijalankan, maka ia, sebagaimana watak bahasa, selalu mengandung dalam dirinya kekurangan (lack) dan kehilangan (loss). Selalu ada yang tersisa dan bahkan menolak untuk disimbolisasi. Residu itu dalam istilah Kristeva disebut sebagai marjinalisasi-yang-semiotik oleh tatanan simbolik. Residu itu sendiri adalah potensi perubahan revolusioner yang tak ada habisnya. Bagaimana hal itu terjadi? Residu simbolisasi ini (semiotik dalam Kristeva atau real dalam Lacan) ini mengandung di dalamnya unsur ‘kesatuan’, kenikmatan, obyek a, jouissance: suatu dorongan untuk tumbuhnya fantasi. Dalam ungkapan Marcos yang hampir selalu diulang-ulang dalam setiap komunikenya, fantasi itu dibahasakan sebagai “demokrasi, kebebasan, keadilan”. Sesuatu yang menjadi ‘obyek ajaib’ yang selalu dinantikan, dirindukan dan diharapkan oleh manusia. Begitu residu simbolisasi ini dibawa ke ‘ambang batas’: hegemoni dipertanyakan, sensasi alienasi dan keterbelahan dirayakan, serta mekanisme ideologi digugat, maka disitulah proses revolusioner terjadi, yaitu revolusi simbolik dan “kembalinya yang tertindas”. Suatu kelompok yang pada awalnya melulu didominasi mulai menemukan kembali ‘suara dan kata-katanya’. Dalam komunike pertamanya, Deklarasi Pertama Rimba Raya Lacandona, Zapatista menyatakan:
Hari ini kami teriakkan Ya Basta!! (cukup sudah)… Kami adalah buah 500 tahun perjuangan… Kami adalah pewaris para pendiri bangsa. Kami adalah jutaan orang yang kehilangan harta, dan kami menghimbau semua saudara laki dan perempuan bergabung bersama dalam panggilan mulia ini, satu-satunya cara mencegah kelaparan karena keserakahan tiada akhir dari kediktatoran yang bercokol lebih dari 70-an tahun”.
Dalam suatu wawancara, Marcos secara tersirat pernah menyatakan bahwa dirinya dan kelompoknya adalah bagian dari kelompok yang dipinggirkan oleh pusat-pusat kuasa simbolik lainnya. Ia tampaknya memahami bahwa marjinalisasi bukan melulu diakibatkan oleh determinisme ekonomi saja. Marjinalisasi dalam konteks ini adalah persis seperti yang diungkapkan oleh Kristeva, yaitu marjinalisasi yang simbolik atas semiotik. Karenanya, ia bisa terjadi dalam ranah apa saja: ekonomi, budaya, ras, atau bahkan orientasi seksual sekalipun. Marcos mengungkapkan hal itu sebagai suatu reaksi atas gosip miring yang menerpanya. Suatu kali ia bercanda pada harian San Fransisco Chronicle bahwa ia pernah dipecat dari sebuah restoran di San Fransisco, gara-gara ia seorang gay. Lalu pers Meksiko menanggapi dengan menurunkan berita serius bahwa Marcos adalah gay (meskipun artikel di Chronicle menyebut bahwa Marcos bercanda, namun koran Meksiko tak mengutip itu). Marcos lalu merespon berita ini dengan cerdas:
Marcos adalah seorang gay di San Fransisco… Ia berkulit hitam di Afrika Selatan, seorang Asia di Eropa, seorang Chicano di San Ysidro, seorang anarkis di Spanyol, seorang Palestina di Israel… seorang pencinta damai di Bosnia, seorang ibu rumah tangga yang sendirian di malam minggu di lingkungan mana saja kota apa saja di Meksiko.. seorang perempuan lajang di kereta Metro pukul 10 malam… Marcos adalah semua kelompok minoritas yang dieksploitasi, dimarjinalisasi, dan ditindas, yang terus melawan dan berkata “Ya Basta! [cukup sudah]”.
Salah satu aspek yang terpenting yang dilakukan Marcos, menurut saya, bukan hanya terletak pada pemberontakannya atau visi-visinya tentang altermundialista—sebuah visi tentang dunia yang lebih adil, yang menginspirasi gerakan-gerakan antiglobalisasi—tetapi juga karena ia memakai strategi yang disebut oleh Pierre Bourdieu sebagai revolusi simbolik, yaitu sebuah ‘revolusi’ untuk meneguhkan ulang identitas sosial mereka dengan cara menyusun suatu penolakan terhadap kuasa simbolik yang selama ini mengungkungnya.
Dalam konteks Zapatista, revolusi simbolik itu dilakukan dengan cara meninggalkan metode perjuangan revolusioner bersenjata dan beralih untuk “memberi peluang pada kata”. Zapatista berupaya untuk “lebih mengandalkan pena daripada senjata… supaya kelak, seragam militer cuma bagus buat pesta kostum”[]
Sumber: http://senimana.com/berita-148-zapatista.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar