Sabtu, 03 September 2011

ZAPATISTA, Revolusi Simbolik dari Hutan Lacandona

Dian Yanuardy
http://senimana.com/

1 Januari 1994. Selang beberapa menit setelah perayaan tahun Baru, sekelompok orang yang memakai balaklava menembus rimba raya Lacandona. Memanggul senjata seadanya, orang-orang ini menduduki San Cristobal de la Casas, ibukota negara bagian Chiapas, sebelah tenggara Meksiko, dan secara resmi mengumumkan pemberontakan. Sepanjang perjalanan, mereka menyebarkan komunike-komunike yang dimuat di seluruh media massa Meksiko, dan lantas tersebar melalui jaringan internet ke seantero dunia.

Apa lagi ini? Pemberontakan revolusioner Marxist khas Amerika Latin? Atau kebangkitan ulang teologi pembebasan? Sama sekali bukan!!. Meski menyebut dirinya dengan EZLN (Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional= Tentara Pembebasan Nasional Zapatista), dan melakukan baku tembak dan kontak senjata dengan tentara militer Meksiko beberapa saat setelahnya, Zapatista adalah sebuah gerakan yang unik dan mengagumkan. Dipimpin oleh Subcomandante Marcos, Zapatista bukan hanya piawai dalam mengorganisir gerakan dan jaringan, tetapi juga dikenal sebagai gerakan yang mampu menggabungkan antara tuntutan politik radikal dengan prosa sastrawi yang dahsyat. Marcos juga menyisipkan humor-humor satir, menulis cerita anak Don Durito de Lacandona, membuat sindiran politik, kadangkala omong saru dan melantur.

Tak ayal, Octavio Paz, sastrawan Meksiko dan peraih nobel, mengakui prosa-prosa Marcos sebagai sastra yang hidup dan imajinatif. Sementara Gabriel Garcia Marquez, punggawa realisme magis, malah mengatakan bahwa apa yang terjadi di Chiapas, membuatnya ingin “membuang buku-buku sastranya ke laut”. Goenawan Mohamad mengomentarinya sebagai “sebuah gerakan yang ganjil… yang bahkan bertujuan untuk menghancurkan dirinya sendiri”. Komunike-komunike dan surat-surat politiknya yang berjumlah ratusan buah hingga kini dikenang sebagai dokumen politik yang bernilai sastra tinggi.

Zapatista sebenarnya adalah nama yang telah menyejarah dalam peta politik Meksiko. Ia adalah gerakan pemberontakan yang terjadi di awal abad 20 (1910-1920)—sebuah gerakan masyarakat adat dan petani Indian yang menuntut “tierra y libertad”: Tanah dan Kemerdekaan. Dipimpin oleh seorang petani buta huruf Emiliano Zapata (Zapatista sendiri secara harfiah artinya adalah para pengikut Zapata), gerakan ini menuntut hak atas tanah yang dikuasai oleh bangsawan keturunan Spanyol. Tak berpengalaman membangun gerakan, di akhir-akhir tahun 1920an gerakan ini akhirnya surut dan dikalahkan. Lalu, apa yang membuat Zapatista bangkit kembali? Situasi-situasi apa yang memicunya?

1 Januari 1994 dan Chiapas memang sengaja dipilih oleh Marcos dan pasukannya. 1 Januari menandai diberlangsungkannya penerapan NAFTA (North American Free Trade Agreement) untuk membangun pakta perdagangan bebas antara Meksiko, Amerika Serikat dan Kanada. Sementara Chiapas dipilih, selain karena merupakan wilayah mereka, sebab kota ini merupakan pusat pariwisata yang dibanjiri turis asing dan artis-artis. Memberontak di tengah keramaian semacam itu akan menghindarkan mereka dari pembantaian dan kebrutalan tentara pemerintah. Lagipula, bagi Zapatista pemberontakan itu dipakainya sebagai letusan awal, agar suara dan gagasan mereka lebih didengar. “Tanpa letupan senjata, tak ada peluang bagi kata”, kata Marcos. Lalu hal ini dilanjutkannya dengan menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah Spanyol dan mengajukan tuntutan-tuntutan politik radikal yang konstitusional.

***

Revolusi Simbolik dan “Kembalinya yang Tertindas”

Lahirnya pemberontakan Zapatista dipicu utamanya oleh faktor-faktor yang bersifat ekonomi-politik. Namun ada pula yang dihasilkan dari mekanisme diskursif dan kuasa simbolik. Sebagai akar yang bersifat ekonomi-politik, pemberontakan Zapatista adalah hasil dari penerapan pembangunan kapitalistik di Meksiko dan rejim politik otoriter yang memerintah selama puluhan tahun. Pembangunan yang dipandu oleh kapitalisme memiliki akar yang panjang, yaitu setelah berakhirnya periode penjajahan Spanyol. Menghadapi dilema yang kerap dihadapi oleh rejim-rejim pasca kolonial, Meksiko memilih paradigma pembangunanisme (state-led-capitalism), yang berbasis pada hutang luar negeri, dan mengintegrasikan ekonominya pada sistem kapitalisme internasional.

Setelah dilanda krisis ekonomi yang parah pada tahun 1986 dan 1990, Meksiko menjadi pasien lembaga-lembaga keuangan internasional, yang menuntut diterapkannya neoliberalisme sebagai jalan untuk mengakhiri krisis ekonomi. Meski pertumbuhan sempat mengalami kenaikan, namun secara umum struktur dan fondasi utama ekonomi Meksiko sebenarnya telah rusak.

Program neoliberalisme menyebabkan sektor-sektor kesehatan dan pendidikan jatuh, sementara sektor pertanian—tempat sebagian besar penduduk Meksiko dan masyarakat Indian menggantungkan hidupnya—hancur akibat kebijakan liberalisasi perdagangan dan penurunan tarif impor. Kebijakan ini pada akhirnya dipungkasi oleh semakin terjadinya kemerosotan kualitas hidup rakyat pedesaan dan masyarakat adat. Dalam akar yang bersifat ekonomi ini, Zapatista adalah bagian dari masyarakat Indian yang terpinggirkan oleh paradigma ekonomi yang mengutamakan kuasa modal. Dengan cara yang satir, Marcos menggambarkan:

Kolong bawah Meksiko adalah masyarakat adat… “Indian” begitulah sebutan penduduk asli tanah ini…Kolong bawah Meksiko adalah: Mazahuan, Amuzgan, Chol, Tlapanec, Tzotzil, Tzeltal, Tojolabal… Kolong bawah Meksiko adalah kaum adat… bagi paruh lain negeri ini mereka tidak masuk hitungan, mereka tidak produktif, mereka tidak menjual atau membeli, artinya: mereka tidak eksis.

Akar yang bersifat diskursif dan simbolik, terjadi jauh lebih panjang dan lama. Kuasa simbolik, sebagaimana disebut oleh Pierre Bourdieu, adalah “a power of constructing reality”, yaitu sebuah praktik artikulatoris melalui bahasa dan wacana dalam ranah apapun untuk menyatakan seperti apa ranah itu ‘semestinya’ dan ‘seharusnya’. Pihak-pihak yang memiliki kuasa simbolik, biasanya ditopang oleh sejumlah modal, di antaranya yang terpenting adalah modal ekonomi, budaya, dan modal simbolik. Dengan kepemilikan modal-modal semacam ini, melalui dominasi ekonomi dan wacana, mereka mengkonstruksi ‘realitas’, dan membuat seakan-akan dominasi tersebut berjalan wajar dan legitim.Dalam kuasa simbolik terdapat juga mekanisme homologi, yaitu dimana posisi dalam suatu ranah terkait dengan ranah-ranah yang lain. Dengan model semacam ini, maka mereka yang mendominasi di satu ranah adalah mereka juga yang mendominasi di ranah yang lain, dan yang didominasi di satu ranah akan didominasi pula di ranah yang lain.

Dalam kasus masyarakat Indian di Meksiko, kuasa simbolik itu—yaitu kuasa untuk ‘membentuk realitas’—menurut Marcos dan Zapatista, terjadi selama kurun waktu 500 tahun. “Kami adalah buah dari 500 tahun perjuangan”, ujarnya. Ini artinya, selama kurun waktu itu masyarakat Indian dikonstruksi, didefinisikan dan didominasi oleh wacana, norma, dan aturan Liyan Simbolik (Law of the Father). Dan “Sang Ayah” itu adalah kolonialisme Spanyol, serta kekuasaan para keturunan Spanyol yang menguasai jagad politik Meksiko hingga kini.

***

Masyarakat Indian sebenarnya pernah merasakan pengalaman “chora” di masa lalunya, yaitu ketika mereka belum didefinisikan dan disimbolisasikan oleh kolonialisme. Masa ini adalah masa pra-Spanyol. Masa ketika mereka masih berada di rahim kebudayaan dan sejarahnya sendiri. Masa ini adalah masa ketika masyarakat Indian melalui pencapaian kebudayaannya menciptakan peradaban yang gemilang dan makmur di masa-masa kerajaan Aztec dan Inca di pedalaman Meksiko. Suatu masa ketika peradaban mereka dijuluki sebagai “Mother Culture of Mesoamerica”.

Namun, kolonialisme Spanyol adalah sejarah yang brutal. Bukan hanya memusnahkan identitas dan kebudayaan masyarakat Indian, kolonialisme Spanyol membantai 10 hingga 15 juta masyarakat Meksiko, termasuk di dalamnya para penulis, pastur, filosof, sejarawan dan penduduk sipil lainnya. Kolonialisme Spanyol lalu mengubah wilayah kerajaan dari bentangan pertanian yang makmur dan melimpah menjadi jajaran tanah dan kota-kota pertambangan. Masyarakat Indian pada kurun waktu ini banyak menjadi budak-budak pertanian dan pertambangan. Bukan hanya itu, kolonialisme Spanyol juga mengganti bahasa lokal dengan bahasa Spanyol, menghilangkan unsur-unsur kebudayan adat dan berupaya mengevangelisasi agama-agama suku Indian. Norma atau aturan kolonialisme Spanyol itu dibangun di atas sistem yang disebut sebagai encomeinda, yaitu sebuah sistem feodal berdasarkan kepemilikan tanah yang dimiliki oeh bangsawan Spanyol dengan beberapa orang Indian sebagai budak yang tak hanya dieksploitasi tenaganya tetapi juga ‘diperadabkan’ dengan ‘mengajarinya’ bahasa Spanyol atau ajaran Katolik.

Jejak-jejak kolonialisme itu tertancap secara mendalam. Bukan hanya di sekujur tubuh politik kebudayaan Meksiko, misalnya dalam bentuk penerimaan bahasa, budaya, dan agama sang penjajah, namun wacana-wacananya juga diterima sebagai ‘wajar’ dan ‘legitim’ di kalangan ilmuwan. Seorang sejarawan Meksiko terkemuka, misalnya, menuliskan tentang peranan karya-karya Hernando Cortes, seseorang yang dalam sejarah Meksiko disebut sebagai penakluk suku-suku Meksiko, utamanya Aztec. Menurut sejarawan tersebut:

“Cartas de relación (sebuah istilah untuk merujuk pada lima karya Cortes—penulis) memperoleh popularitas yang tak berimbang di kalangan peneliti sejarah penaklukan Meksiko. [Padahal] Cortés merupakan penulis handal. Surat-suratnya pada penguasa Spanyol, bisa disebut sebagai dokumen sejarah penaklukan Spanyol yang paling baik dalam periode itu. Sejarawan, sosiolog, dan ilmuwan politik menggunakan tulisan-tulisan tersebut untuk memperoleh informasi tentang kekuasaan Aztec dan benturan antara peradaban Eropa dengan kebudayaan Indian. ”

Kolonialisme Spanyol memang berakhir. Namun tak ada nasib yang berubah bagi masyarakat adat Meksiko. Jejak-jejak kolonialisme masih tertancap erat, yaitu berupa praktik eksklusi masyarakat adat dari kehidupan negara-bangsa Meksiko. Kalau pun ada pengakuan terhadap mereka, itu pun hanya ditempatkan sebagai ‘monumen bisu masa lalu’, yang dikomodifikasi untuk kepentingan parisiwisata dan turisme. Di masa pemerintahannya yang terobsesi untuk memodernisasi, meningkatkan angka pertumbuhan dan memajukan Meksiko, Presiden Carlos Salinas de Gortari menjadikan Chiapas sebagai kota pariwisata dengan menjual sisa-sisa peradaban Meksiko dan jejak-jejak kolonialisme Spanyol. Di kalangan para turis, Chiapas terkenal sebagai “kota kolonial”. Di beberapa negara bagian lain, identitas masyarakat adat juga ‘dibangkitkan’, tetapi ia dibingkai oleh semangat turisme dan pariwisata yang ditopang oleh sejumlah kekuasaan modal. Patung-patung kerajaan Aztec dan Inca dibangun, monumen-monumen masyarakat adat didirikan kembali, lalu didesain untuk memenuhi kebutuhan turisme.

Sementara di sisi lain, masyarakat adat terus mengalami kemiskinan, ketimpangan dan kekerasan. Di Chiapas, sebagian besar dari masyarakat adat ini bekerja sebagai buruh perkebunan dan pertanian, pembantu rumah tangga ladino, dan bahkan menjadi pelacur di lokalisasi kompleks barak militer Chiapas. Marcos menggambarkan ketimpangan itu dengan menulisnya secara unik, seperti brosur biro wisata untuk peta panduan ‘pariwisata’ ke Chiapas:

Selamat datang di San Cristobal de la Casas, “Kota Kolonial” menurut kitab-kitab sejarah, meski mayoritas penduduknya pribumi. Selamat datang di pasar besar Pronasol. Di sini anda bisa membeli atau menjual apa saja kecuali martabat masyarakat adat. Di sini segala sesuatu mahal kecuali kematian. Tapi jangan berlama-lama disini, teruskan perjalanan, untuk melihat hasil membanggakan infrastruktrur turisme. Tahun 1988 ada 6270 kamar hotel, 139 restoran, 42 biro wisata di negara bagian ini. Tahun ini, 1.058.098. turis mengunjungi Chiapas dan meninggalkan 250.000.000, peso di tangan para empunya restoran dan hotel-hotel… anda sudah menghitung angkanya? Ya, anda benar: ada 7 kamar hotel untuk tiap 1000 orang turis. Sementara cuma tersedia 0,3 ranjang rumah sakit untuk per 1000 warga Chiapas… terus saja melaju, anda akan saksikan gua-gua San Cristobal yang dikelilingi oleh hutan-hutan rimbun. Ada perhatikan tandanya? Tidak, anda tidak keliru, cagar alam ini memang dikelola oleh… Tentara!! Teruslah melaju….Lihat kan? Gedung-gedung modern, rumah-rumah bagus, jalan aspal… Itu universitas? Perumahan buruh? Bukan, lihat tanda di sebelahnya dan baca saja: “Barak Tentara Umum Zona Militer ke-31”.

Bukan hanya ketimpangan dan kemiskinan, sejarah masyarakat adat Indian juga dipenuhi dengan stigma. Masyarakat adat ini biasa distempel sebagai “indiada”:

kaum indian yang terbelakang, buas dan suka memberontak, membuat kerusuhan, menjarah, merampok dan memperkosa. Stigma dan wacana semacam ini dibenarkan oleh Komandante Susanna, seorang juru bicara wanita Zapatista: Ketika kami ke kota-kota besar, mereka melihat kami tidak lebih sebagai indios… mereka mengutuk kami, karena kami masyarakat adat, seolah-olah kami adalah binatang… kami tidak dipandang setara dengan perempuan Mestizo.

***

Tak hanya dalam ranah ekonomi dan politik, masyarakat Indian juga didominasi dalam ranah-ranah yang lain. Mereka menempati status terbawah dalam ranah apapun di Meksiko. Mereka di-liyan-kan (othered) oleh konstruksi politik dan kebudayaan di Meksiko.

Tetapi, sebagaimana disebut oleh Raymond Williams, tidak ada dominasi dan hegemoni yang bersifat bersifat total. Selalu ada yang lolos dalam mekanisme kekuasaan. Dalam kaitannya dengan sejarah, menurut Raymond Williams, formasi hegemonik di masa kini akan selalu dibayangi hegemoni yang lain di masa lalu, dan kebangkitan hegemoni baru di masa mendatang. Dengan membongkar luka historis itu, maka formasi hegemonik akan digoncang, dirobek dan pada akhirnya ditanggalkan. Sembari berbicara tentang peran perempuan dalam gerakan Zapatista, Marcos menunjukkan bagaimana perempuan Zapatista berupaya merobek hegemoni masa kini, dan bertempur melawan masa lalu untuk memperjuangkan masa depan:

Bagi kaum perempuan di Lantai Dasar dan Kolong Bawah Meksiko, segala sesuatu berlipat ganda (kecuali rasa hormat). Sebut saja dalam persentase buta huruf, dalam kondisi hidup yang sungguh tak layak, upah rendah dan marjinalisasi. Semua ini ditambahkan pada mimpi buruk yang diabaikan atau disamarkan oleh sistem dalam indeks-indeks general yang tidak memperlihatkan eksploitasi gender yang memungkinkan terjadinya eksplotasi secara umum. Tapi ada yang mulai tak pas dengan kepatuhan ganda ini. Mimpi buruk ganda ikut melipatgandakan sendiri kebangkitannya.

Kaum perempuan Lantai Dasar dan Kolong Bawah Meksiko bangun bertempur melawan masa kini dan masa lalu yang mengancam masa depan mereka. Kesadaran kemanusian mengalir melalui kesadaran keperempuanan, kesadaran sebagai manusia mencakup kesadaran mereka sebagai perempuan dan mereka pun melawan balik. Mereka tak butuh lagi seseorang untuk menyuarakannya. Ucapan mereka melaju dalam jalur ganda pemberontakan dengan motor penggeraknya sendiri….

Kegagalan kekuasaan simbolik untuk menundukkan obyeknya secara total, terjadi bukan hanya karena faktor yang berkaitan dengan membangun hegemoni baru di masa depan atau membebat luka masa lalu semata. Melainkan karena sekuat apapun strukturasi kuasa simbolik dijalankan, maka ia, sebagaimana watak bahasa, selalu mengandung dalam dirinya kekurangan (lack) dan kehilangan (loss). Selalu ada yang tersisa dan bahkan menolak untuk disimbolisasi. Residu itu dalam istilah Kristeva disebut sebagai marjinalisasi-yang-semiotik oleh tatanan simbolik. Residu itu sendiri adalah potensi perubahan revolusioner yang tak ada habisnya. Bagaimana hal itu terjadi? Residu simbolisasi ini (semiotik dalam Kristeva atau real dalam Lacan) ini mengandung di dalamnya unsur ‘kesatuan’, kenikmatan, obyek a, jouissance: suatu dorongan untuk tumbuhnya fantasi. Dalam ungkapan Marcos yang hampir selalu diulang-ulang dalam setiap komunikenya, fantasi itu dibahasakan sebagai “demokrasi, kebebasan, keadilan”. Sesuatu yang menjadi ‘obyek ajaib’ yang selalu dinantikan, dirindukan dan diharapkan oleh manusia. Begitu residu simbolisasi ini dibawa ke ‘ambang batas’: hegemoni dipertanyakan, sensasi alienasi dan keterbelahan dirayakan, serta mekanisme ideologi digugat, maka disitulah proses revolusioner terjadi, yaitu revolusi simbolik dan “kembalinya yang tertindas”. Suatu kelompok yang pada awalnya melulu didominasi mulai menemukan kembali ‘suara dan kata-katanya’. Dalam komunike pertamanya, Deklarasi Pertama Rimba Raya Lacandona, Zapatista menyatakan:

Hari ini kami teriakkan Ya Basta!! (cukup sudah)… Kami adalah buah 500 tahun perjuangan… Kami adalah pewaris para pendiri bangsa. Kami adalah jutaan orang yang kehilangan harta, dan kami menghimbau semua saudara laki dan perempuan bergabung bersama dalam panggilan mulia ini, satu-satunya cara mencegah kelaparan karena keserakahan tiada akhir dari kediktatoran yang bercokol lebih dari 70-an tahun”.

Dalam suatu wawancara, Marcos secara tersirat pernah menyatakan bahwa dirinya dan kelompoknya adalah bagian dari kelompok yang dipinggirkan oleh pusat-pusat kuasa simbolik lainnya. Ia tampaknya memahami bahwa marjinalisasi bukan melulu diakibatkan oleh determinisme ekonomi saja. Marjinalisasi dalam konteks ini adalah persis seperti yang diungkapkan oleh Kristeva, yaitu marjinalisasi yang simbolik atas semiotik. Karenanya, ia bisa terjadi dalam ranah apa saja: ekonomi, budaya, ras, atau bahkan orientasi seksual sekalipun. Marcos mengungkapkan hal itu sebagai suatu reaksi atas gosip miring yang menerpanya. Suatu kali ia bercanda pada harian San Fransisco Chronicle bahwa ia pernah dipecat dari sebuah restoran di San Fransisco, gara-gara ia seorang gay. Lalu pers Meksiko menanggapi dengan menurunkan berita serius bahwa Marcos adalah gay (meskipun artikel di Chronicle menyebut bahwa Marcos bercanda, namun koran Meksiko tak mengutip itu). Marcos lalu merespon berita ini dengan cerdas:

Marcos adalah seorang gay di San Fransisco… Ia berkulit hitam di Afrika Selatan, seorang Asia di Eropa, seorang Chicano di San Ysidro, seorang anarkis di Spanyol, seorang Palestina di Israel… seorang pencinta damai di Bosnia, seorang ibu rumah tangga yang sendirian di malam minggu di lingkungan mana saja kota apa saja di Meksiko.. seorang perempuan lajang di kereta Metro pukul 10 malam… Marcos adalah semua kelompok minoritas yang dieksploitasi, dimarjinalisasi, dan ditindas, yang terus melawan dan berkata “Ya Basta! [cukup sudah]”.

Salah satu aspek yang terpenting yang dilakukan Marcos, menurut saya, bukan hanya terletak pada pemberontakannya atau visi-visinya tentang altermundialista—sebuah visi tentang dunia yang lebih adil, yang menginspirasi gerakan-gerakan antiglobalisasi—tetapi juga karena ia memakai strategi yang disebut oleh Pierre Bourdieu sebagai revolusi simbolik, yaitu sebuah ‘revolusi’ untuk meneguhkan ulang identitas sosial mereka dengan cara menyusun suatu penolakan terhadap kuasa simbolik yang selama ini mengungkungnya.

Dalam konteks Zapatista, revolusi simbolik itu dilakukan dengan cara meninggalkan metode perjuangan revolusioner bersenjata dan beralih untuk “memberi peluang pada kata”. Zapatista berupaya untuk “lebih mengandalkan pena daripada senjata… supaya kelak, seragam militer cuma bagus buat pesta kostum”[]

Sumber: http://senimana.com/berita-148-zapatista.html

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir