Meneropong Thaha Husein dan Sutan Takdir Alisyahbana
Aguk Irawan Mn
http://www.sinarharapan.co.id/
Di saat gelombang perdebatan Manikebu Vs Lekra bertemu di puncak yang sangat sengit (1950-1965), Mesir juga mengalami persengketaan yang meluap dan tak kalah sengitnya. Permasalahannya juga tak jauh berbeda, yaitu dalam hal dan cita-cita ”mewujudkan kebudayaan baru” persoalan itu digiring melalui konsepsi ”bahasa dan sastra Arab”. Pelaku perdebatan adalah para eksponen modernisasi dan eksponen tradisionalisasi.
Dalam perdebatan tersebut, ada satu nama yang sangat penting. Ia bernama Thaha Husein (1889-1973), sastrawan tunanetra yang pernah menjabat sebagai menteri pendidikan di Mesir (1950-1952). Husein lahir pada tanggal 14 Nopember 1889 di kota kecil Maghargha dari keluarga petani.
Pendidikannya diawali di Kuttab, lembaga pendidikan dasar tradisional, dan kemudian melanjutkan di al-Azhar (1902). Setelah belajar kira-kira sepuluh tahun, ia meninggalkan al-Azhar karena tidak menyukai dan tidak disukai.
Husein kecewa dengan sistem pengajaran al-Azhar yang dogmatis, serta materi pelajarannya yang amat tradisional dan menjemukan. Husein muda melanjutkan pendidikannya di Universitas Cairo, dan di Universitas Sorbonne Prancis. Gelar Doktornya diperoleh di Universitas Cairo dengan disertasi berjudul ”Dhikra Abu al-`Ala’ al-Ma‘ari” sedang di Sarbonne berjudul ”Etude Analitique Et Critique De La Philosophie Sociale Ibnu Khaldun.”
Di Sarbonne, Husein bertemu sederetan ilmuwan ternama, semisal Profesor Emile Durkheim (1858-1917) dalam disiplin ilmu sosiologi. Profesor Gustaf Block dalam disiplin ilmu sejarah (ahli sejarah Romawi), Profesor Casanova dalam ilmu tafsir dan Profesor Pierre Jenet dalam Ilmu Psikologi. Perkenalan itulah yang mewarnai intelektualitas Husein hingga menghasilkan gagasan-gagasan yang sangat kontroversial pada zamannya. Puluhan buku ditulisnya, dan setiap buku mendapat perhatian yang serius di masyarakatnya. Di antara yang populer adalah Fi al-Syi‘ri al-Jahili, ditulis pada tahun 1926, saat ia dipercaya menjadi dosen sejarah sastra Arab pada Fakultas Sastra, al-Ayyam, dan Fi al-Adab al-Jahili (1927), Mustaqbal al-Saqafah fi Misr, dan The Future of Culture in Egypt (1938).
Penyegaran Kembali
Perdebatan diawali saat Thaha Husein mengatakan bahasa dan sastra Arab harus mengalami modernisasi dan ”penyegaran kembali”. Seperti penyair Jerman Friedrich Ruckert, Husein juga mengatakan bahwa sastra adalah lidah utama umat manusia. Sebab kehadirannya bisa menjadi wahana bagi perubahan sosial di zaman modern, serta menghubungkan manusia dengan peradaban di dunia. Ia juga menilai ada sesuatu yang ”getir” pada sastra Arab, yang tetap mempertahankan sastra Jahili (pra-Islam) sejak 14 abad tahun silam.
Selain itu, menurutnya, sastra arab digunakan sebagai penyanggah kekuatan dekadensi bahasa yang justru memperkuat tradisionalisme yang lebih berbau dogma agama dan menentang pembaruan. Maka kebangkitan kembali bahasa dan sastra Arab masa pra-Islam, yang bersifat bebas dan membebaskan adalah sesuatu yang lazim. Bahkan lebih dari itu Husein mengatakan bahwa al-Quran adalah karya sastra dan hasil produk peradaban Arab.
Gagasan Husein saat itu dinilai terlalu ”berani” oleh sejumlah ulama al-Azhar, dan serta- merta ditolak oleh tokoh kebudayaan, semisal Muhammad al-Khudar Husein, Musthafa Shidiq ar-Rafi’i, Muhammad Farid Wajdy, Rasyid Rida, Anwar Jundy dan Maryam Jamelah. Kritik tersebut setidaknya dapat ditelusuri dalam buku Anwar Jundy, Thaha Husayn, Hayatuhu wa fikruhu fi Mizan al-Islam dan Maryam Jamelah, Islam and Modernism atau pada as-Sira’ bayna al-Fikrah al-Islamiyah wa al-Fikrah al-Gharbiyah Fial-Aqtar al-Islamiyah karya Abu al-Hasan ‘Ali al-Husni an-Nadawi.
Namun, Husein tidak sendiri. Penyair terkenal seperti Syauqi Dhaif dan Suhair Al-Qalamawi muncul sebagai pembelanya dan turut menjadi bintang gemerlap dalam perbincangan mengenai pembaruan bahasa dan sastra Arab. Sejak masa itu, muncul mazhab baru bahasa Arab, yang dirasakan sebagai pendorong dinamika dan perubahan sosial.
Menuju kebudayaan baru di Mesir, menurut Husein, harus memiliki kemerdekaan intelektual. Untuk mendapatkannya, tidak ada jalan lain kecuali mengerti cara memperolehnya. Maka umat Islam harus memandang bagaimana bangsa-bangsa yang telah maju mencapai kemerdekaan tersebut. Langkah terakhir adalah bagaimana ilmu pengetahuan yang merdeka tersebut ditransfer ke negeri-negeri Islam. Husein memimpikan bahwa ”otak” Mesir harus berubah sembilan puluh derajat menjadi ”otak” Barat, dengan cara memboyong ”warna” kebudayaan Barat ke segala lini kehidupan masyarakat, sebab Mesir mempunyai pertalian erat dengan ”otak” Yunani.
Menurutnya, pikiran Mesir tidak mempunyai kaitan yang kuat dengan Pikiran Timur, dan juga tidak serasi dengan pikiran Persia atau Iran. Mesir mempunyai ikatan yang teratur, damai dan saling menguntungkan hanya dengan Barat dan Yunani. Perkataan lain adalah bahwa tak ada satu kebodohan yang lebih besar dari anggapan bahwa Mesir sebagai bagian dari Timur dan memandang pemikiran Mesir sebagai pemikiran Timur, semisal India atau Cina. Atas dasar itulah Thaha Husein mengajak orang-orang Mesir memiliki peradaban Barat sebagai peradaban mereka, dan bersekutu dengan Barat dalam semua norma, cara perasaan dan perundangan.
Polemik Kebudayaan
Di tanah Air hal serupa juga terjadi. Peristiwa itu disebut Polemik Kebudayaan (1935-1936). Dalam perdebatan itu, ada anak muda yang resah terhadap negaranya. Ia adalah nama yang penting bagi sejarah kebudayaan Indonesia, yaitu Sutan Takdir Alisyahbana (1908-1994). Ia lahir di Minang 11 Februari 1908, dikenal sebagai penyair, novelis, filsuf, ahli hukum, dan futurolog. Pola pikiran Thaha Husain dan Sutan Takdir memang sejalan. Tak ada yang simpang siur dalam hal dan cita-cita ”mewujudkan kebudayaan baru”.
Latar pendidikan Sutan Takdir adalah sekolah tinggi kehakiman (Rechtshoge school). Jakarta (1941), gelar meester in de rechten (Mr) melekat pada namanya, di samping gelar Profesor dan Doktor. Tahun 1948 ia pergi ke Amsterdam mengunjungi Kongres Filsafat. Sebelumnya, ia sudah belajar filsafat ke Jerman, Belanda, Perancis, AS dan Jepang. Pernah juga menjadi Felllow pada Center for Advanced Studies in the behavioral science, Standart (1956-61) dan East-West Center, Hawaii (1961-62). Tahun 1963-1668 ia menjadi dosen di Kuala Lumpur. Pada tahun 1972 atas dorongannya Kongres Filsafat sedunia terselenggara. Sebagai lanjutan dari Kongres tersebut, bersama budayawan se-Indonesia dan bangsa lain ia mendirikan Association Fort Art Anda the Future, disusul Kongres II (1990). Ia juga menjadi anggota organisasi internasional, antara lain Societe de Linguistique de Paris dan UNESCO, International Commision for the Scientific dan Cultural Development of Mankind and Study of Mankind, USA. Di tahun 1970 ia menerima bintang Satyalencana Kebudayaan oleh Pemerintah Jerman Pada 1976, kemudian ia diangkat sebagai anggota kehormatan dari Koninklijk Instituut voor Tall, Landa en Volkenkunde, Leiden, Belanda.
Puluhan buku juga berhasil ditulisnya, dan setiap buku mendapat perhatian yang serius di masyarakatnya. Yang paling populer adalah roman ide berbentuk novel Layar Terkembang (1936) yang bercerita tentang emasipasi wanita. Disusul Grotta Azzura (1979), Kalah dan Menang (1978) yang berbicara masalah filsafat kebudayaan.
Penyegaran Bahasa dan Sastra
Sebagaimana polemik di Mesir, bagi Sutan Takdir, untuk menuju masyarakat dan kebudayaan baru, harus dimulai dari penyegaran bahasa dan sastra. Dalam pidatonya yang sangat berani Sutan telah mengecam bahwa nyaris tak ada perkembangan bahasa Indonesia—bahkan perkembangannya malah menuju ”pengeromoan”, yang dipegang kaum tradisionalis dan antipembaruan. Ironisnya, keadaan itu justru didukung Lembaga Bahasa Pemerintah saat itu.
Menurutnya bahasa dan sastra adalah jantung kebudayaan sebab terlibat dan menyatu dalam dinamika masyarakat. Maka sebagai reaksi yang nyata, Sutan menampik bentuk sastra lama, jenis pantun dan syair. ”Kita buang dan lupakan saja sastra lama dan kita bangun sastra yang baru” begitulah jargon yang selalu melekat di bibirnya. Berani memang!
Sebagai wujud dari kata-kata itu, ia bergegas membentuk sastra baru, yaitu sastra soneta (1933), dan menerbitkan sekaligus memimpin Pujangga Baru, majalah Indonesia pertama untuk bidang sastra dan budaya. Ia pun menerbitkan buku Kebangkitan Puisi Baru Indonesia. Pada waktu terjadi polemik kebudayaan, Sutan baru berusia 27 tahun. Lewat tulisannya Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru, ia membagi sejarah kita menjadi dua bagian yang sentral, pertama zaman pra-Indonesia sampai akhir abad ke-19, kedua zaman Indonesia.
Menurutnya, zaman Indonesia tidak boleh dianggap sebagai sambungan dari zaman pra-Indonesia yang dikecamnya sebagai zaman jahiliyah Indonesia. Sebab, di sana ada perbedaan yang terlalu jauh. Pada zaman Indonesia, terdapat semangat yang belum ada dalam zaman Jahiliyah Indonesia, yaitu semangat bersatu untuk menuju kebudayaan baru dan layak di sisi bangsa-bangsa lain. Sedang zaman pra-Indonesia adalah zaman yang mirip suku baduwi di Arab yang tak mengenal peradaban dan kebudayaan, ditandai dengan penolakan kebudayaan luar.
Maka dari sinilah, Sutan menghendaki bangsa Indonesia harus lebih dinamis dan maju setapak. Lalu ia memberikan solusi, menawarkan obat yang mujarab bagi penyembuhan luka atas dekadensi zaman jahiliyah Indonesia yang berlangsung lama. Obat pilihan itu adalah memperkenalkan kebudayaan Barat melalui segala lini institusi masyarakat dan pendidikan. Mirip yang terjadi pada Thaha Husein di Mesir, Sutan Takdir juga berpolemik dipicu dari pembentukan kebudayaan baru, dengan mengusung nilai-nilai Barat, sebagai lawan dari kebudayaan Timur yang dianggapnya jumud.
Tapi gagasan ini memang tak diterima semua kalangan. Bahkan ada yang sangat tersinggung. Mereka mengira bahwa Sutan telah mengejeknya sedemikian rupa budaya Timur yang luhur dan santun. Memang Sutan telah menuding bahwa kaum pesantren yang feodal dan Taman Siswa yang egoistis dan materialistis tak mampu membawa napas budaya bangsa yang terpuruk yang hampir ajal.
Maka polemik meledak di Pujangga Baru, surat kabar Suara Umum, Pewarta Deli dan lain-lain. Sutan terjun dengan mata yang menyala dan menyerang tokoh kebudayaan dan pendidikan saat itu. Seperti Sanusi Pane, Poerba Tjaraka, Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, M. Amir, dan Ki Hajar Dewantara. Sejak saat itu polemik pun terus dimulai, hingga menyeret dialog berbagai tema penting dalam rangka pembangunan kebudayaan Indonesia baru— masa depan ke kancah politik praktis. Saat itu Sutan memang menyerukan untuk membangun integritas individu pencipta budaya, dengan landasan kebebasan kreatif yang demokratis, disertai wawasan internasional. Namun lagi-lagi gagasan itu diadang kelompok yang dipimpin Sanusi Pane dan Ki Hajar Dewantara. Sutan dianggap telah bersekongkol dengan para kolonial Belanda. Sementara itu, tokoh seperti Ki Hajar Dewantara justru ingin menguburkan sisa-sisa kebudayaan kolonial. Selain itu yang ditakutkan oleh Ki Hajar adalah rendahnya tingkat pendidikan rakyat Indonesia. Barangkali inilah yang tidak diperhatikan oleh Sutan Takdir Alisyahbana dengan sikap ekstremnya untuk ”menoleh ke Barat” dalam polemik kebudayaan 1930-an.
Mereka yang menentang Sutan Takdir tidak mengingkari pencapaian-pencapaian kebudayaan Barat. Mereka pun hasil dari pendidikan modern Barat. Yang mereka permasalahkan adalah landasan kebudayaan Indonesia sendiri yang harus kokoh, sehingga siap berdialog dengan budaya Barat. Sebab kalau tidak, ”melihat ke Barat” dari Sutan Takdir akan menjadi sebuah pengabdian.
Tapi kini, kolonial sudah lama hengkang, dan di saat Mesir sudah mulai merasakan sumbangan Thaha Husein. Jepun, India, Taiwan, Korea Selatan, Eropa Timur dan Russia telah melalui proses pencerahan, berkat kesadaran mereka terhadap kebudayaan Barat yang ditandai dengan meningkatnya ilmu pengetahuan. Lantas kebudayan baru dan ”progresif” macam apa yang seharusnya lahir dan berkembang— yang bisa mendorong lahirnya sebuah masyarakat yang demokratis, egaliter, sebagai prasyarat dasar dari seluruh proses penyelesaian setiap krisis, di Indonesia yang terkapar? Barangkali Impian Sutan memang patut diperhitungkan dalam kondisi dewasa ini.
*) Penulis adalah Peneliti Kebudayaan pada LkiS Yogyakarta, dikenal sebagai sastrawan, penyair dan esais.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar