Jumat, 26 Agustus 2011

Sastra di Titik Persilangan

Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/

Memimpikan kata ‘perubahan’ di Indonesia, sama halnya mengidamkan hadirnya sebuah revolusi. Tentu banyak pilihan di dalamnya untuk berkiblat, ada revolusi yang berdarah-darah (simak detik-detik terhangat revolusi Mesir), ada pula revolusi ‘aman saja’ (sluman, slumun, slamet yang terjadi di Iran). Revolusi sesungguhnya bermakna membongkar keburukan ‘kita’secara menyeluruh dari berbagai segi.

Setiaknya ada dua syarat yang bisa menyebabkan terjadinya revolusi menurut pakar politik DR. Ruslan Abdul Gani. Pertama: Tingkat kesadaran masyarakat yang tinggi terhadap hukum, hak dan kewajiban sebagai warga negara. Kedua: Terjadinya gab, kesenjangan yang akut antar dua kubu. Revolusi adalah hasil perkalian dua syarat tersebut.

Kilas tahun 80-an, ketika Indonesia ingin menyamai Malaysia dengan pendapatan 2000 dolar/kapita/tahun, Polandia sudah mencapai 20.000 dolar/kapita/tahun.,Artinya secara perekonomian Polandia berada pada taraf kemapanan, namun karena terjadi gab dengan pemerintah, maka terjadilah demonstrasi buruh besar-besaran yang menggulingkan pemerintahan setempat. Samahalnya dengan Rhu Tai Wu yang berkorupsi tidak lebih dari 50 juta, beresiko digulingkan rakyat Korea Utara. Kedua permasalahan di atas, terjadi semata karena kesadaran masyarakat yang tinggi serta terjadinya suatu gab.

Indonesia yang multikultural dengan basis wilayah kepulauan terpencar, tidak memungkinkan terjadinya revolusi, ada banyak sekat yang berpotensi sebagai hambatan. Sebab, dasar revolusi sendiri bertumpu pada demokrasi, sedangkan demokrasi yang mampu diterapkan di Indonesia hanyalah demokrasi ‘godokan’ yang tak pernah matang. Jargon demokrasi perlementer atau demokrasi terpimpin yang dipopulerkan Soekarno hingga demokrasi ala orba, mokal bisa menampung aspirasi beragam pada segilintir orang. Yang terjadi kemudian adalah peluang distorsi dan penyalahgunaan kepercayaan yang disebut pseudo demokrasi. Titik kerancuhan demokarasi pada negara multikultural tersebab sistem baku, yakni adopsi menguniversal, sementara di sisi lain mempertahankan nilai lokal. Inilah kesulitan tersendiri di Indonesia.

Demokrasi godokan ialah tawaran para teoritikus seperti pengamat politik Affan Gaffar (1999) yang mengintroduksi gagasan demokrasi tak lumrah (un-common democracy). Demokrasi yang berpilar pada kekuatan dominan (partai-non partai) dengan setidaknya didukung 60% kekuatan suara. Indonesia dengan pemilahan dan segregasi aspek sosial-budaya, berbeda bentuk dengan model Amerika, Australia, Kanada, Inggris dan Perancis (Pengantar: Richard M. Ketchum. Demokrasi. Niagara 2004).

Buku ‘Indonesia Tanpa Muhammadiyah dan NU’ yang ditulis oleh Teguh Santoso dan Harianto menjadi sumbangsih besar bagi generasi muda Indonesia. Kalau Indonesia ditakdir ber-revolusi damai seperti Iran, maka Teguh Santoso-Harianto jasanya sejajar Murtadha Mutohari. Di mana ketika Ayatulloh Khomaini mengambil alih seluruh aset dan simpati masyarakat atas rezim Reza Pahlevi, adalah Murtadha Mutohari yang jauh sebelumnya menjadi rausyanfikr (intelektual muslim) dengan karya-karya bukunya.

Berangkat dari kegelisahan penulis ketika mengamati dua organisasi keislaman terbesar di Indonesia yang acapkali berseteru, berebut pengakuan sebagai ponak ane GustiAlloh, menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar di hadapan Alloh, dan jika tidak menganut ajarannya maka tidak akan mereka (salah satu organisasi antara NU-Muhammadiya) masukkan ke surga. Sedang di sisi lain, terbentuknya NU-Muhammadiyah merupakan ekspresi masing-masing golongan untuk memaknai demokratisasi yang memuat hak asasi manusia. Berangkat dari sanalah buku ini lahir, sebagai alternatif menyisir kemubadziran kiprah ke dua belah pihak.

Buku setebal 171 halaman ini menyerupai novel yang tersusun menjadi 20 sub judul. Meski pun berupa karya ilmiah yang syarat dengan analisa dan data otientik, buku ini masuk dalam kategori sastra, sebab penulis menuangkan penceritaannya dengan gaya dialog imajiner. Penulis membangun ‘ceritanya’dengan intensitas teks ke dalam bingkai rasionalisasi sastra. Penulis apapun sesungguhnya adalah pencerita, ia menceritakan kepada pembaca dengan berbagai metode: esai, opini, artikel, puisi, cerpen, novel dll. Namun bentuk sastra semacam ini, belum berkembang di Indonesia sebagai genre.

Kelebihan buku Indonesia Tanpa Muhammadiyah dan NU ialah memuat multidisipliner, sastra dan agama (Islam) yang memungkinkan bertempat di rak pembaca. Sastra: karena disusun berdasar metode dialog imajiner. Agama Islam: karena dikhususkan bagi warga NU-Muhammadiyah yang tertulis jelas pada lembaran awal /dipersembahkan bagi semua yang merindukan bersatunya Umat Islam /(hal.ix).

Pada dialog pertama yang berjudul ‘Muhammadiyah dan NU meng-Global’, kedua penulis menghadirkan dua tokoh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari yang hadir dalam Muktamar Muhammadiyah ke 46 di Jogja. Kedua tokoh kondang di Indonesia itu duduk dan ngobrol di angkringan (warung khas Jogja). “Selamat ber-Muktamar ya Kang. Wah, aku nggak ngira sudah seabad usia Muhammadiyah.” Kedua tokoh ini memang pernah berguru pada Syeikh Ahmad Katib Minangkabawi, ulama besar madzhab Syafi’i di Makkah. Mereka berdua bahkan pernah sekamar ketika berguru pada K.H Sholeh Darat di Semarang. “Iya Cak. Maturnuwun. Se-abad memang usianya, tapi pemikirannya, gerakannya…” “Lho, La piye to kang? (hal.9)

Dari percakapan di atas alur buku ini dimulai. Ke dua tokoh dikemas dengan rasionalisasi kebudayaan berbahasa Jawa Timuran dan Jogja dengan nuansa paseduluran yang angglek. Ke dua tokoh yang digambarkan sebagai momentum padatan ulang baik fisik maupun psikologis K.H Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari kemudian memasuki wilayah perbincangan panjang-lebar seputar carapandang mereka berdua terhadap organisasi yang meraka dirikan dari kontek (praktek) kekinian. Beberapa alur suspansi terbangun dengan perdebatan kedua tokoh yang saling mengkritisi, menyarankan, mengkaji kelemahan serta kekurangan masing-masing. Sungguh, pembuka teks dengan kemasan alur yang mengesankan.

Kedua tokoh NU-Muhammadiyah tersebut digambarkan berada di tengan kerumunan massa Muktamar. Namun penulis seperti menceritakan hal lain di luar teks, yakni baik aktivis NU maupun Muhammadiyah, tidak ada yang mengenali wajah sesepuh pendiri organisasi yang mereka takdzimkan. Ada apa sesungguhnya dengan ke dua aktivis organisasi besar NU-Muhammadiyah sekarang ini? Lebih jauh terjawab kemungkinannya adalah penyelewengan gerakan yang berorientasi pada kepentingan individu atau golongan semata. Tidak murni mengenali pemikiran KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari dengan hati nurani, jelaslah terhijab.

Buku ini menggambarkan potret ijtihat penulis yang mendamba pada dua hal pokok. Pertama: Metodologi formil sastra relegius. Kedua: Menawarkan genre sastra baru yang berbeda tekhnik penarasian dengan cerpen dan novel. Sastra relegius yang dianut penulis sedikit mencair dari sekedar kaidah Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslim) yang menjadi poros tengah dari pertentangan kubu Lekra vc Manikebu. Lesbumi yang diproklamirkan Asrul Sani, Djamaludin Malik, Umar Ismail, tahun 1962, tegas menolak jargon’Politik sebagai Panglima (kebudayaan) . Lesbumi tidak menyepakati konsep Lekra jika sastra hanya sebagai budak tunggangan realisme sosial semata. Begitu juga tidak mengamini Manikebu dengan manipulasi tanggungjawab bahwa sastra hanya berkutat pada ‘seni untuk seni’. Keduanya dicakup Lesbumi dengan rel yang tidak melepaskan sastra dari fungsi sosial dan komunikatifnya dalam penuangan intern sastra. Lesbumi juga menegaskan bahwa’isme’dalam berkesenian tidak penting, kecuali sejauh mana berkesenian mampu menyertakan nilai ke-tuhanan (baca Lesbumi Strategi Politik Kebudayaan LKiS 2008. hal.61).

Cara tematik yang diusung penulis setelah wareg meriset berbagai kebobrokan sistem, dan khatam nyawang dedikasi yang dihasilkan para petarung aliran 60 tahun silam. Semua tahu! Bahwa dedengkot sastra hingga tahun 2000 ke atas, kelakuannya tidak kunjung menempati makom ke-tua-annya sebagai anutan generasi muda bangsa, kian tua, kian dancuk an. Al khasil, jika yang bernilai agama saja masih kebobolan nafsu, apalagi yang lepas dari tuntutan nilai, meskipun tak tentu. Andai pun terlepas dari kesusasteraan Indonesia, buku ini hanyalah upaya penulis untuk ndandani perselisihan rumahtangganya-NU-Muhammadiyah.

Ketegangan membaca alur buku ini akan terjedahkan tekhnik humor penulis. Pada dialog ke empat misalnya, perbincangan serius KH. Ahmad Dahlan dengan KH. Hasyim Asy’ari terhenti gara-gara seorang copet yang tertangkap dan digebuki beramai-ramai. Si copet, kaosnya bertuliskan Muktamar NU. Tak lama kemudian tertangkap seorang penodong, dan dikeroyok massa. Si penodong, kaosnya bertuliskan Muhammadiyah Gerkanku. Disusul anekdot berikutnya yang memerankan para pentolan NU-Muhammdiyah menjalin hubungan damai. Di mana PBNU dan PP Muhammadiya menggabungkan pertai baru bernama NUMU atau MUNU, Dien Syamsudin dan Said Agil Sirodj membentuk Partai Bumi Matahari (PBM), Ulil Abshar dan Daruqutni membentuk Partai ANUMU, Gus Mus dan Abdul Munir Mulkan membentuk Partai Independent NU Muhammadiyah, Muhaimin Iskandar dan Hatta Rajasa membentuk Partai Kebangkitan Nasional (PKN), sedang Yeni Wahid dan Hanif Rais membentuk Partai Gus Amin (PGA).

Wacana akan terus berpolah dari sekedar teks naratif. Berikutnya, nasib buku ini dihadapkan pada dua tataran. Pertama: Menjadi irama pembusukan militansi dari sekedar berorganisasi dan kemudian menuju damai. Kedua: Senasib dengan cerpen ‘Anjing dari Titwal’ karya Sa’adat Husein Manto yang diterjemahkan Anton Kurnia (Jalasutra 2003). Cerpen yang mengisahkan seekor anjing dengan aman blusukan ke kamp militer Pakistan dan kamp militer India di perbatasan. Namun ke dua moncong senapan segera saling membidik ketika anjing persis berada di garis perbatasan. Jangan-jangan! Anjing mata-mata? Padahal hewan tak sepantasnya dijadikan manusia.

*) Sabrank Suparno, esais, cerpenis Jombang. Bergiat di Lincak Sastra Dowong.
*) Makalah bedah buku Indonesia Tanpa Muhammadiyah dan NU, karya Teguh Santoso-Harianto di KOMA Tambakberas, pada 22 Juni 2011.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir