Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/
Memimpikan kata ‘perubahan’ di Indonesia, sama halnya mengidamkan hadirnya sebuah revolusi. Tentu banyak pilihan di dalamnya untuk berkiblat, ada revolusi yang berdarah-darah (simak detik-detik terhangat revolusi Mesir), ada pula revolusi ‘aman saja’ (sluman, slumun, slamet yang terjadi di Iran). Revolusi sesungguhnya bermakna membongkar keburukan ‘kita’secara menyeluruh dari berbagai segi.
Setiaknya ada dua syarat yang bisa menyebabkan terjadinya revolusi menurut pakar politik DR. Ruslan Abdul Gani. Pertama: Tingkat kesadaran masyarakat yang tinggi terhadap hukum, hak dan kewajiban sebagai warga negara. Kedua: Terjadinya gab, kesenjangan yang akut antar dua kubu. Revolusi adalah hasil perkalian dua syarat tersebut.
Kilas tahun 80-an, ketika Indonesia ingin menyamai Malaysia dengan pendapatan 2000 dolar/kapita/tahun, Polandia sudah mencapai 20.000 dolar/kapita/tahun.,Artinya secara perekonomian Polandia berada pada taraf kemapanan, namun karena terjadi gab dengan pemerintah, maka terjadilah demonstrasi buruh besar-besaran yang menggulingkan pemerintahan setempat. Samahalnya dengan Rhu Tai Wu yang berkorupsi tidak lebih dari 50 juta, beresiko digulingkan rakyat Korea Utara. Kedua permasalahan di atas, terjadi semata karena kesadaran masyarakat yang tinggi serta terjadinya suatu gab.
Indonesia yang multikultural dengan basis wilayah kepulauan terpencar, tidak memungkinkan terjadinya revolusi, ada banyak sekat yang berpotensi sebagai hambatan. Sebab, dasar revolusi sendiri bertumpu pada demokrasi, sedangkan demokrasi yang mampu diterapkan di Indonesia hanyalah demokrasi ‘godokan’ yang tak pernah matang. Jargon demokrasi perlementer atau demokrasi terpimpin yang dipopulerkan Soekarno hingga demokrasi ala orba, mokal bisa menampung aspirasi beragam pada segilintir orang. Yang terjadi kemudian adalah peluang distorsi dan penyalahgunaan kepercayaan yang disebut pseudo demokrasi. Titik kerancuhan demokarasi pada negara multikultural tersebab sistem baku, yakni adopsi menguniversal, sementara di sisi lain mempertahankan nilai lokal. Inilah kesulitan tersendiri di Indonesia.
Demokrasi godokan ialah tawaran para teoritikus seperti pengamat politik Affan Gaffar (1999) yang mengintroduksi gagasan demokrasi tak lumrah (un-common democracy). Demokrasi yang berpilar pada kekuatan dominan (partai-non partai) dengan setidaknya didukung 60% kekuatan suara. Indonesia dengan pemilahan dan segregasi aspek sosial-budaya, berbeda bentuk dengan model Amerika, Australia, Kanada, Inggris dan Perancis (Pengantar: Richard M. Ketchum. Demokrasi. Niagara 2004).
Buku ‘Indonesia Tanpa Muhammadiyah dan NU’ yang ditulis oleh Teguh Santoso dan Harianto menjadi sumbangsih besar bagi generasi muda Indonesia. Kalau Indonesia ditakdir ber-revolusi damai seperti Iran, maka Teguh Santoso-Harianto jasanya sejajar Murtadha Mutohari. Di mana ketika Ayatulloh Khomaini mengambil alih seluruh aset dan simpati masyarakat atas rezim Reza Pahlevi, adalah Murtadha Mutohari yang jauh sebelumnya menjadi rausyanfikr (intelektual muslim) dengan karya-karya bukunya.
Berangkat dari kegelisahan penulis ketika mengamati dua organisasi keislaman terbesar di Indonesia yang acapkali berseteru, berebut pengakuan sebagai ponak ane GustiAlloh, menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar di hadapan Alloh, dan jika tidak menganut ajarannya maka tidak akan mereka (salah satu organisasi antara NU-Muhammadiya) masukkan ke surga. Sedang di sisi lain, terbentuknya NU-Muhammadiyah merupakan ekspresi masing-masing golongan untuk memaknai demokratisasi yang memuat hak asasi manusia. Berangkat dari sanalah buku ini lahir, sebagai alternatif menyisir kemubadziran kiprah ke dua belah pihak.
Buku setebal 171 halaman ini menyerupai novel yang tersusun menjadi 20 sub judul. Meski pun berupa karya ilmiah yang syarat dengan analisa dan data otientik, buku ini masuk dalam kategori sastra, sebab penulis menuangkan penceritaannya dengan gaya dialog imajiner. Penulis membangun ‘ceritanya’dengan intensitas teks ke dalam bingkai rasionalisasi sastra. Penulis apapun sesungguhnya adalah pencerita, ia menceritakan kepada pembaca dengan berbagai metode: esai, opini, artikel, puisi, cerpen, novel dll. Namun bentuk sastra semacam ini, belum berkembang di Indonesia sebagai genre.
Kelebihan buku Indonesia Tanpa Muhammadiyah dan NU ialah memuat multidisipliner, sastra dan agama (Islam) yang memungkinkan bertempat di rak pembaca. Sastra: karena disusun berdasar metode dialog imajiner. Agama Islam: karena dikhususkan bagi warga NU-Muhammadiyah yang tertulis jelas pada lembaran awal /dipersembahkan bagi semua yang merindukan bersatunya Umat Islam /(hal.ix).
Pada dialog pertama yang berjudul ‘Muhammadiyah dan NU meng-Global’, kedua penulis menghadirkan dua tokoh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari yang hadir dalam Muktamar Muhammadiyah ke 46 di Jogja. Kedua tokoh kondang di Indonesia itu duduk dan ngobrol di angkringan (warung khas Jogja). “Selamat ber-Muktamar ya Kang. Wah, aku nggak ngira sudah seabad usia Muhammadiyah.” Kedua tokoh ini memang pernah berguru pada Syeikh Ahmad Katib Minangkabawi, ulama besar madzhab Syafi’i di Makkah. Mereka berdua bahkan pernah sekamar ketika berguru pada K.H Sholeh Darat di Semarang. “Iya Cak. Maturnuwun. Se-abad memang usianya, tapi pemikirannya, gerakannya…” “Lho, La piye to kang? (hal.9)
Dari percakapan di atas alur buku ini dimulai. Ke dua tokoh dikemas dengan rasionalisasi kebudayaan berbahasa Jawa Timuran dan Jogja dengan nuansa paseduluran yang angglek. Ke dua tokoh yang digambarkan sebagai momentum padatan ulang baik fisik maupun psikologis K.H Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari kemudian memasuki wilayah perbincangan panjang-lebar seputar carapandang mereka berdua terhadap organisasi yang meraka dirikan dari kontek (praktek) kekinian. Beberapa alur suspansi terbangun dengan perdebatan kedua tokoh yang saling mengkritisi, menyarankan, mengkaji kelemahan serta kekurangan masing-masing. Sungguh, pembuka teks dengan kemasan alur yang mengesankan.
Kedua tokoh NU-Muhammadiyah tersebut digambarkan berada di tengan kerumunan massa Muktamar. Namun penulis seperti menceritakan hal lain di luar teks, yakni baik aktivis NU maupun Muhammadiyah, tidak ada yang mengenali wajah sesepuh pendiri organisasi yang mereka takdzimkan. Ada apa sesungguhnya dengan ke dua aktivis organisasi besar NU-Muhammadiyah sekarang ini? Lebih jauh terjawab kemungkinannya adalah penyelewengan gerakan yang berorientasi pada kepentingan individu atau golongan semata. Tidak murni mengenali pemikiran KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari dengan hati nurani, jelaslah terhijab.
Buku ini menggambarkan potret ijtihat penulis yang mendamba pada dua hal pokok. Pertama: Metodologi formil sastra relegius. Kedua: Menawarkan genre sastra baru yang berbeda tekhnik penarasian dengan cerpen dan novel. Sastra relegius yang dianut penulis sedikit mencair dari sekedar kaidah Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslim) yang menjadi poros tengah dari pertentangan kubu Lekra vc Manikebu. Lesbumi yang diproklamirkan Asrul Sani, Djamaludin Malik, Umar Ismail, tahun 1962, tegas menolak jargon’Politik sebagai Panglima (kebudayaan) . Lesbumi tidak menyepakati konsep Lekra jika sastra hanya sebagai budak tunggangan realisme sosial semata. Begitu juga tidak mengamini Manikebu dengan manipulasi tanggungjawab bahwa sastra hanya berkutat pada ‘seni untuk seni’. Keduanya dicakup Lesbumi dengan rel yang tidak melepaskan sastra dari fungsi sosial dan komunikatifnya dalam penuangan intern sastra. Lesbumi juga menegaskan bahwa’isme’dalam berkesenian tidak penting, kecuali sejauh mana berkesenian mampu menyertakan nilai ke-tuhanan (baca Lesbumi Strategi Politik Kebudayaan LKiS 2008. hal.61).
Cara tematik yang diusung penulis setelah wareg meriset berbagai kebobrokan sistem, dan khatam nyawang dedikasi yang dihasilkan para petarung aliran 60 tahun silam. Semua tahu! Bahwa dedengkot sastra hingga tahun 2000 ke atas, kelakuannya tidak kunjung menempati makom ke-tua-annya sebagai anutan generasi muda bangsa, kian tua, kian dancuk an. Al khasil, jika yang bernilai agama saja masih kebobolan nafsu, apalagi yang lepas dari tuntutan nilai, meskipun tak tentu. Andai pun terlepas dari kesusasteraan Indonesia, buku ini hanyalah upaya penulis untuk ndandani perselisihan rumahtangganya-NU-Muhammadiyah.
Ketegangan membaca alur buku ini akan terjedahkan tekhnik humor penulis. Pada dialog ke empat misalnya, perbincangan serius KH. Ahmad Dahlan dengan KH. Hasyim Asy’ari terhenti gara-gara seorang copet yang tertangkap dan digebuki beramai-ramai. Si copet, kaosnya bertuliskan Muktamar NU. Tak lama kemudian tertangkap seorang penodong, dan dikeroyok massa. Si penodong, kaosnya bertuliskan Muhammadiyah Gerkanku. Disusul anekdot berikutnya yang memerankan para pentolan NU-Muhammdiyah menjalin hubungan damai. Di mana PBNU dan PP Muhammadiya menggabungkan pertai baru bernama NUMU atau MUNU, Dien Syamsudin dan Said Agil Sirodj membentuk Partai Bumi Matahari (PBM), Ulil Abshar dan Daruqutni membentuk Partai ANUMU, Gus Mus dan Abdul Munir Mulkan membentuk Partai Independent NU Muhammadiyah, Muhaimin Iskandar dan Hatta Rajasa membentuk Partai Kebangkitan Nasional (PKN), sedang Yeni Wahid dan Hanif Rais membentuk Partai Gus Amin (PGA).
Wacana akan terus berpolah dari sekedar teks naratif. Berikutnya, nasib buku ini dihadapkan pada dua tataran. Pertama: Menjadi irama pembusukan militansi dari sekedar berorganisasi dan kemudian menuju damai. Kedua: Senasib dengan cerpen ‘Anjing dari Titwal’ karya Sa’adat Husein Manto yang diterjemahkan Anton Kurnia (Jalasutra 2003). Cerpen yang mengisahkan seekor anjing dengan aman blusukan ke kamp militer Pakistan dan kamp militer India di perbatasan. Namun ke dua moncong senapan segera saling membidik ketika anjing persis berada di garis perbatasan. Jangan-jangan! Anjing mata-mata? Padahal hewan tak sepantasnya dijadikan manusia.
*) Sabrank Suparno, esais, cerpenis Jombang. Bergiat di Lincak Sastra Dowong.
*) Makalah bedah buku Indonesia Tanpa Muhammadiyah dan NU, karya Teguh Santoso-Harianto di KOMA Tambakberas, pada 22 Juni 2011.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar