Abidah El Khalieqy*
http://www.jawapos.co.id/
USAI mandi dan memilih pakaian paling bersih, Gotap menyemprotkan minyak wangi di bawah daun telinga. Di dada kiri tempat jantung bersembunyi, dan sedikit olesan di denyut nadi pergelangan tangan. Senyum cerah tersungging dalam cermin besar dan jernih. Seperti kuncup putih melati, senyum itu ditatapnya berulang kali. Entah siapa yang perintah, tiba-tiba tangannya bergerak, mengambil kembali botol parfum dari atas meja, dan menyemprotkannya di kedua telapak kaki. Tapi, pikirnya, masih ada yang kurang. Telapak tangan dan jari-jariku mesti wangi, agar setiap orang yang kusalami akan dilekati keharuman yang sama.
”Kau ini mau ke mana, Tap?”
”Mudik!”
”Ini hari masih pagi. Bukankah kita akan berangkat nanti malam?”
”Ah! Kau tunggu sajalah di sini. Istirahatlah dulu. Aku mau pamitan dengan penduduk di kampung ini.”
”Haa…!?”
Wajah Segap ternganga. Lebih ternganga lagi ketika melihat Gotap, sohib lawasnya itu, keluar dari kamar dan berjalan menuju gang tanpa sandal atau sepatu. Begitu mantap, melangkah pasti ke rumah tetangga paling dekat. Tak sedikit pun ada keraguan tercium, selain bau wangi yang meruap dari kedua telapak tangan dan kakinya. Dengan bersalaman atau tersentuh jari-jarinya, semua orang akan mencium aroma segar yang nguar di udara. Apalagi di bekas jabat tangannya, serasa mekar bunga kenanga.
Bukan hanya itu, yang membuat para tetangga tersipu, merasa heran, dan terbengong-bengong di depan pintu, satu demi satu, dari rumah ke rumah penduduk kampung itu, Gotap masuk dan keluar seperti petugas sensus sedang mendata. Bahkan masih menyempatkan diri memberi salam dan pamitan pada setiap orang yang dijumpainya sepanjang jalan. Kenal atau tidak, hanya sekadar tahu atau yang pura-pura tak mau tahu, disalaminya sepenuh hati.
Aku harus minta maaf kepada semua penduduk kampung, tegasnya dalam hati sembari mencium bau wangi yang masih nempel di tangannya, di jari-jari bersih dan halus miliknya, karena jari itu tak pernah menyentuh beban berat dunia. Terutama sejak dirinya mengemban benda ajaib yang dikuasai dan menguasainya, bukan lagi kepalan tangan yang menghantam atau ninju para lawan. Ada kekuatan dahsyat dalam jiwa raganya, yang jika digunakan dapat melumpuhkan para musuh dan saingan. Kadang mematikan. Mengunci gerak lengan para korban.
Orang bilang, Gotap memiliki ilmu kebal. Urat kawat tulang besi. Keluar asap dan percikan api saat dihantam pedang. Walau tubuh dan perawakannya sangat biasa dan tak menampilkan sosok jagoan. Tidak pula berwajah serem preman bertatto ular naga di lengannya, atau kepala Medusa di punggungnya. Menyerupai kekar petinju kelas bulu pun masih harus fitnes selama satu tahun.
Penampilan Gotap memang nyekli. Lebih mirip guru ngaji, meski sepanjang hidupnya tidak sempat berurusan dengan ayat-ayat suci. Bahkan seumur-umur, belum pernah sekali pun masuk masjid, kelenteng atau gereja. Entah dari mana diperoleh banyak mantra yang melekat dalam kepalanya. Yang jika dirapal agak mirip dengan bunyi salawat, kadang juga seperti nyanyian baheula atau senandung rindu dari arwah para dewa.
Tak ada yang tahu. Tak ada yang mengerti.
Tapi siapa tak kenal Gotap di kampung ibu kota negeri ini. Dari Pak Lurah sampai anak-anak, dari ustad Farid lulusan Madinah sampai preman pasar dan kuli bangunan, juga ibu-ibu, para janda dan remaja sekolahan, tak ada yang ketinggalan. Sohornya bak selebriti, seperti koruptor yang sering nongol di televisi. Sejak kedatangannya bertahun-tahun lalu, tak seorang pun tahu dari mana asal-usulnya. Apa nama desa, siapa nama orang tua, apalagi nenek moyangnya. Warga kampung hanya tahu, sejak ia tinggal di situ, semua perkelahian yang sering dan bersumber dari pasar di jalan besar itu, selalu beres digenggamnya.
Bahkan Segap, sohib lawas sesama rantauan, tetangga desa saat masih di seberang lautan, tidak memiliki bahan untuk mengupas misteri kehidupannya. Terutama jika menyangkut soal ilmu kebal. Karena urusan itu, Gotap sangat menjaga rahasia hatta terhadap kawan dekatnya. Berbeda kalau membincang urusan lain, masalah duit dan perempuan misalnya, mereka demikian akur. Seia-sekata, selagu-seirama. Tanpa perbedaan, persaingan atau perseteruan.
Maka Segap hanya menunggu. Tidur-tiduran di kamar. Membayangkan capek sohibnya berjabat tangan sampai senja nyaris tiba. Membaris usia di langit jelaga.
”Gap, apa menurutmu bibi masih ingat padaku?”
”Kau tak banyak berubah, Tap. Wajahmu masih seperti dulu. Orang desa pastilah ingat padamu, apalagi bibimu itu.”
”Kalau Melinda, bagaimana?”
”Tak tahulah kalau itu. Mungkin sudah menikah dengan Gasrul. Mungkin pula sudah lima anaknya. Cinta itu cepat berubah, Tap. Hikhikhik…!”
”Tak ada cinta dalam hidupku. Sejak kecil aku hanya kenal bagaimana cara membakar kayu agar tidak menjadi arang atau abu.”
Sudah lebih lima belas tahun Gotap pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Tak sesuatu pun yang diingat selain tetesan air mata bibi. Seorang perempuan biasa yang merawatnya sejak balita, sejak ia sebatangkara. Seperti apakah wajah bibi sekarang. Apakah ia masih merindukan kehadiranku, atau kemarahannya belum reda juga setelah sekian tahun berpisah. Meski kepergianku semata meringankan beban hidup yang harus ditanggungnya. Tapi bibi tak mau mengerti. Rasa sayang dan tak mau berpisah, tentu kuhargai. Tapi aku sudah cukup dewasa untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Wajah Gotap digulung awan, mencari alasan sekuat pikiran.
Tak ada kontak sejak pergi dari desa. Begitu pun sebaliknya. Padahal, apa susahnya memencet ponsel, kirim surat, atau titip pesan. Rupanya ia sengaja ingin hidup di dunia lain yang asing, penuh misteri dan menggoda. Ingin bikin kejutan, suatu saat pulang dengan rindu sekolam. Penampilan berubah. Tampak kaya dan gagah. Sebab rantau bisa bikin segala sesuatu jadi kejutan. Jadi kotak bersisi delapan seperti hidup itu sendiri. Pelan namun pasti, terus berjalan nuju perubahan demi perubahan. Tak ada yang abadi, kecuali Yang Maha Abadi.
”Memang benar, Gap. Rasa-rasanya baru kemarin kita datang ke ibu kota. Eh, sudah belasan kali Lebaran rupanya. Sudah panjang pula jenggot kita.”
”Ayolah, Tap. Beresi barang-barangmu, tiga jam lagi kita berangkat.” Segap menegur sohibnya untuk tidak mengulur-ulur waktu, agar perjalanan mudik ke desa masa silam segera nyata. Bukan sekadar impian dan kata-kata.
”Jangan pikir aku tak serius, Gap. Desa masa silam memang tujuanku.”
Gotap tertambat. Mengingat-ingat sekali lagi, siapa kiranya tokoh kampung yang belum disentuh jari-jari wanginya. Belum disalaminya. Berat nian rasanya meninggalkan mereka, meski hanya sementara. Sekian puluh ribu hari hidupku terukir di sini, di tanah di air di api dan udara ibu kota ini. Dari rindang pohon jalanan, trotoar, dan gorong-gorong, sejuk mata perawan, tante girang, menguntai jalinan hidupku penuh kebanggaan. Aku tidak menipu, tidak kemplang uang rakyat, apalagi sengaja menyakiti. Aku hanya menolong orang susah, membantu sarjana cari kerja, memasok tenaga pada pabrik raksasa tanpa girik, tanpa lamaran. Apa salah jika orang takut padaku, mengirim amplop berisi lembaran merah setiap minggu dan bulan.
”Apalagi yang kau tunggu, Tap. Ayolah kita berangkat!?”
”Ngebet bener kau ini, Gap. Kangen siapa, Nita atau Juwita.”
”Siapa pun di sana, aku rindui semua.” Segap melotot mata. ”Ah! Lama kali kau ini. Aku tinggal sajalah.”
”Jangan begitu, Kawan. Lihat dulu baju yang kupakai ini. Menurutmu, sudah oke atau belum?”
”Ya, okelah! Sudah pas untuk membungkus tubuhmu, mengantarmu ke tanah asalmu, bertemu Melinda, hahaha…”
”Mantap kalau begitu. Ayolah segera kita berangkat!”
Mereka naik bus malam eksekutif Tri Marga. Lari cepat nuju pulau seberang. Tak banyak cakap selain hitam bayang-bayang. Karena baru beberapa saat saja, tidak lebih satu jam, lampu-lampu dimatikan. Mata pun kian menyipit oleh kantuk dan mesin pendingin. Tahu-tahu mengapung di atas lautan. Saat itu, jarum jam menunjuk pukul 00.00 tengah malam. Antara tidur dan jaga, Segap menggeragap. Setengah sadarnya diikuti sosok bayangan. Jubah Hitam. Sosok itu terbang sembari sesekali mengetuk-ngetuk kaca jendela di sisi Gotap. Namun Gotap tampak pulas agaknya. Segap sedikit takut dan menutup wajah sendiri dengan selimut. Tapi Gotap malah gagap dari tidur, ngajak bicara bak orang ngelindur.
”Aku mau pulang, Gap!”
”Ya. Kita memang mau pulang.”
”Gelap. Ada lorong berliku-liku.”
”Mimpi kali?”
”Ada orang berjubah hitam mengajakku terbang.”
”Sadar, Tap. Sadar. Kita sedang dalam kapal, dalam bus, sedang nuju pulau seberang.”
Napas sohibnya tersengal. Diam. Tak yakin pada pendengaran, kian penasaran Segap mengintip sosok hitam itu dari lubang selimut. Tak ada bayangan apa-apa. Belum hakul yakin. Diluruhkan selimut ke pangkuan dan coba melongok keluar jendela, juga seluruh pelosok perut bus, kalau-kalau bayangan itu telah nyusup di antara kursi. Tak ada gerak apa pun selain pengemudi di depan, dan dengkur kondektur di pojok belakang. Namun perasaan belum nyaman. Ada ambang pikiran yang terus mendesak ke otak.
Hantu lautkah itu. Mengapa pula mengetuk-ngetuk kaca jendela di sisiku, bukan yang lain. Apa karena hanya aku yang terjaga. Dan tentu, tak sampai hati menakuti pengemudi yang sudah pengalaman bertahun-tahun menembusi malam legam. Sebaiknya aku tidur dan syukur jika terbangun esuk hari saat telah sampai. Tegas Segap dalam hati. Bahagia rasanya andai bisa menghindar detik-detik menjemukan ini.
Lindap. Kantuk pun nguap.
Namun sial, kepala Gotap tiba-tiba teleng ke pundak. Segera didorong kepala sohibnya itu agar tegak tak mengganggu. Eh, bandel juga ini kepala. Tiap kali didorong, kembali teleng. Segap jengkel dan mendorong lebih kuat ke arah jendela. Eh, malah terjungkal. Merasa kasihan, biarlah sementara nyandar di pundak. Hitung-hitung balas budi karena sering pinjami uang tiap kali kelimpungan.
”Gelap, Gap. Gelap…”
”Hah! Apa?”
”Jubah hitam datang lagi.”
”Hah! Apa?”
“Aku pulang…”
Kepala Gotap kian berat di pundak, seperti karung gula. Mimpi apa sohibku ini, disodok kiri tak bangun, ditarik kanan tak bangun juga. Jatuh lagi membentur sandaran kursi. Aneh! Segap kasihan, dan mendekap kepala itu serasa es batu. Tengkuknya dingin dan beku. Diraba punggungnya, lebih dingin dari dahinya.
Terkesiap Segap. Diletakkan jari telunjuknya di bawah lubang hidung Gotap. Tak ada nafas, tak ada kehangatan terhempas. Denyut nadi pergelangan tangan berhenti. Segap kaget dan terguncang. Adakah ini kematian, atau sekadar pingsan. Dijelajahinya awak bus, tak sesuatu pun yang bergerak selain pengemudi dan bunyi ngorok beberapa penumpang. Dan semua telah tertidur. Berselimut malam dan jubah hitam. Menembus kegelapan, kota-kota kecil dan desa terpencil. Lampu-lampu di persimpangan jalan, nyanyian jangkrik dan belalang hutan.
Benarkah ini bukan mimpi, tanya Segap pada diri sendiri. Ingin teriak ke penjuru malam, tapi siapa yang mendengar kecuali Yang Maha Mendengar. Apa jadinya jika aku kabarkan kejadian ini pada pengemudi atau kondektur. Malah nanti disangka aku membunuhnya. Pengemudi pun tak mungkin mau menungguinya di kantor polisi. Sama artinya aku harus ditinggal, ditahan polisi bersama jasad Gotap.
Benar-benar linglung. Seluruh kantuk Segap raib tak bersisa. Nervous. Takut luar biasa. Memangku mayat teman sendiri. Waktu sementara terus berjalan, membuat Segap terbayang-bayang sosok makhluk berjubah hitam. Mungkinkah itu Izrail, sang pencabut nyawa, atau hantu terbang di dekat jendela. Serem betul sorot matanya. Menikam ulu hati, menarik ruh inci demi inci, dan kabur entah ke mana. Detik-detik sakaratul maut telah direnggutnya. Benar-benar perjalanan membingungkan. Segap berusaha tenang. Menutupi seluruh badan sohibnya dengan selimut kusam bus malam.
Beruntung Segap tidak kencing di celana. Namun keringat telanjur basah di sekujur badannya. Seperti usai lari, detak jantungnya berkejaran. Sebisanya bertahan, menjaga Gotap sampai tujuan. Tapi ke mana tujuan dan di mana alamat sebenarnya, Segap lupa menanyakan. Ia hanya tahu bahwa Gotap ingin pulang bersama-sama menuju desa terpencil di pulau seberang.
Secepat pikiran, Segap kontak beberapa kawan. Sekiranya ada yang bisa menjemputnya di depan restoran X, tempat bus malam itu terakhir kalinya mendinginkan mesin, dan sarapan bagi penumpang. Meski hari masih terlalu dini untuk itu. Nomor demi nomor dihubunginya. Tak ada sambutan. Kawan lama masih tidur agaknya. Kirim SMS saja, siapa tahu malah kena.
/Kawan, aku butuh bantuan. Darurat. Tolong jemput di depan restoran X. Gotap sakit parah tak bisa jalan!/
Empat kawan lama di SMS serupa. Di-miscall kencang dan lama, untuk membangunkan mereka. Pokoknya harus nyambung sebelum bus ini sampai. Segap berpikir lagi, bagaimana kalau mereka tak datang. Serta merta dipanggil ulang kawan lama. Begitu gencar dan nervous. Berjuang keras untuk memperoleh jawaban dan sia-sia. Segap lunglai, menyerah, dan menyiapkan diri untuk menerima apa pun yang bakal terjadi. Toh aku tak bersalah, bukan pembunuh, pikirnya.
Beberapa menit kemudian, bus malam itu mulai perlahan dan berhenti di taman parkir restoran. Masih sepi. Hati Segap mendetak berkali-kali. Satu per satu penumpang turun dan akhirnya tinggal berdua. Mayat Gotap telah membengkak dan menyebarkan aroma tak enak. Segap ingin nangis, bingung tak tahu apa yang mesti dikerjakan. Dup!! Dada Segap berdegup kencang. Bahagia bercampur duka cita, melihat kawan lama mendekat pintu. Jos, Jodil, Barman, dan Jengki, langsung masuk ke dalam lambung Tri Marga.
”Sakit apa, Gotap?” tanya Jodil.
”Tak usah Tanya.” Segap berdiri dan menjawab pelan. ”Gotap mati di tengah jalan, di atas laut semalam.”
”Mati?” Serempak empat kawan mendelong.
”Ceritanya nanti. Hanya aku yang tahu. Ayo kita angkat mayatnya sekarang, dan katakan jika ada yang bertanya, ia kena stroke. Oke?”
Saat seluruh penumpang masuk restoran, pengemudi dan kondektur sedang ke toliet karena tak tahan buang air, mayat Gotap yang kaku dan bau, diangkut ke dalam mobil Kijang milik Barman. Segera berlalu tinggalkan restoran nuju jalan. Bisu. Belum ada bayangan mau dibawa ke mana mayat Gotap. Yang penting pergi menjauh dari mata curiga, jika mata itu ada.
”Bibi dan pamannya sudah lama meninggal. Rumah pun sudah dijual. Kira-kira tiga tahunan sejak Gotap ke ibu kota.”
”Terus, dibawa ke mana ini mayat?”.
”Ke masjid, gereja atau kelenteng desa. Siapa tahu ada yang terima.”
”Lho, memang apa agama Gotap. Kau pasti tahulah, Gap?”
”Ah, aku juga tak tahu,” jawab Segap sedikit bingung, ”kita lihat saja KTP-nya.”
Gotap sebatangkara saat diambil bibinya, karena bibi itu tak punya anak. Dan Segap, juga empat kawan lama semasa di desa, tak juga tahu siapa saudara lain yang ada pertalian darah dengannya. Yang mereka tahu, Gotap rajin semedi sejak kanak, tidur di kuburan berminggu-minggu, dan kadang menghilang entah ke mana.
Mobil Kijang berjalan pelan, berupaya menemukan jalan akhir kepulangan Gotap. Bingung kian menumpuk. Mau diapakan mayat ini. Dimandikan, dikafani dan disalatkan, atau dandani dan diberi minyak wangi, diawetkan, dan dinyanyikan, atau langsung dikubur saja. Tapi di mana pula kuburnya?
Lima sekawan itu gelisah. Bau mayat kian menyengat. Lebih satu jam putar-putar mencari tempat perhentian. Karena bingung dan tak tahan lagi dengan aroma bangkai, Jengki yang dari tadi membisu, tiba-tiba bersuara.
”Bagaimana kalau mayat Gotap kita buang saja ke jurang?”
”Aku setuju.”
”Bagaimana menurutmu, Jos?”
”Masalahnya, jurang terdalam masih jauh dari tempat kita jalan?”
”Tak ada pilihan lain.”
”Ada. Kita lihat KTP-nya.”
Meski campur ngeri, mereka mencari-cari KTP-nya di saku baju, celana, dan tas punggung. Tak ada. Sampai akhirnya temukan dompet kulit macan dalam saku jaket. Ada tiga KTP, namun bukan atas nama Gotap. Satu milik Sahudi, kedua atas nama Krisman, ketiga tercantum nama Salimin. Di mana simpan alamat Gotap? Dicari lagi di saku baju dan celana, dalam tas punggungnya. Tak ada. Hingga jurang itu kian menganga di depan mata, alamat dimaksud tak ketemu juga. Mereka pun pasrah.
”Sudah nasibmu, Kawan!”
Jos turun sembari periksa sekeliling. Sepi. Kabut menutup bumi. Tak ada makhluk melintas selain babi hutan. Anjing menggonggong di kejauhan. Aku sudah berusaha mengurusmu, namun gagal mengetahui alamat tujuanmu, bisik Segap di telinga Gotap. Maafkan jika langkah ini keliru. Lima sekawan kembali jalan dalam mobil Kijang dengan satu pertanyaan di benak masing-masing. Manakah alamat pasti yang kan kutuju jika aku harus pulang nanti? ***
Ramadhan, 2010
*) Pengarang kelahiran Jombang yang kini tinggal di Jogja. Bukunya, antara lain Geni Jora (pemenang novel DKJ 2003) dan Perempuan Berkalung Sorban yang telah difilmkan dengan judul yang sama.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 26 Agustus 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar