Remy Sylado*
Kompas, 27 Feb 2011
NUR, ada dua prosa bagus pada pekan-pekan terakhir ini terpajang di toko buku yang patut kau jadikan koleksi di dalam perpustakaanmu.
Pertama, Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi, agaknya nama asli. Kedua, Blues Merbabu karya Gitanyali, agaknya nama sasaran.
Kebetulan kedua pengarang ini sama-sama berasal dari lingkung kerja kewartawanan. Jadi rasanya kau tidak perlu ragu, Nur, bahwa mereka sudah terlatih menulis dengan pandai. Sebab, kalau kau pernah melongok cara kerja kewartawanan, tentu kau tahu bagaimana mereka dilatih untuk bukan hanya sekadar pandai saja tetapi juga cendekia. Istilah sinis Belanda di Indonesia zaman lampau menyangkut kecendekiaan wartawan adalah meester op alle wapens, cempiang atas segala senjata.
Begitulah, Nur, saya sedang membeka kau, bahwa kedua buku ini bagus, sebab penulis-penulisnya—yang notabene berangkat dari latar belakang keyakinan berbeda, dan sekaligus itu mengingatkan kita akan adanya kalimat sakti ”bhinneka tunggal ika”–bercerita di bawah leluri yang tak sama atas jiwa ”cempiang segala senjata” tersebut, disertai ungkapan-ungkapan plastis yang karuan memberimu pengetahuan mendasar peri kehidupan insani yang beragam dari pengalaman-pengalaman pribadi mereka.
Ketika saya mengatakan padamu perkara pengalaman pribadi, dengannya saya bermaksud menyampaikan kesimpulan, bahwa membaca prosa di atas sama seperti menyimak dengan interesan model bacaan catatan harian. Sebuah catatan harian biasanya memikat sebab di situ pelaku utama yang membangun cerita adalah sang Aku yang menguasai betul jalannya citarasa, intuisi, emosi, pathos, pendeknya asosiasi gagasan-gagasan secara utuh. Selain itu, dengan menempatkan sang Aku sebagai subyek bersama-sama dengan sosok-sosok pendukung antara peranan Dia-Mereka-Kamu-Kalian, maka di situ penulisnya bisa menyusun daya ingat kreatifnya dengan leluasa atas kejadian-kejadian masa lampau untuk menjadi aktual pada masa kini.
Catatan harian
Seingat saya, bentuk catatan harian paling masyhur sebagai prosa adalah cerita tentang anak Yahudi yang bersembunyi di atas loteng sebuah rumah tingkat di Amsterdam pada masa Perang Dunia II. Tentu saja saya tidak mengatakan padamu bahwa kedua prosa di atas, khususnya karya Gitanyali yang begitu telanjang, adalah sebuah catatan harian. Catatan harian mengacu pada fakta. Sedang kedua prosa di atas adalah fiksi. Toh kedua-duanya membutuhkan imajinasi. Sebab imajinasi adalah motor bagi semua karya kreatif.
Memang, saya melihat Blues Merbabu dan Ranah 3 Warna seperti dua buah catatan harian imajinatif. Cara penulisannya pun amat mengandalkan imajinasi pada ingatan-ingatan kreatif atas situasi dramatis, romantis, namun realistis, dari masa yang sudah berlalu, menjadi aktual dan menawan pada masa sekarang dan kelak. Untuk hal tertentu menyangkut lancarnya mengacu peristiwa-peristiwa manusiawi dan plastisitas penulisan kejadian-kejadian ragawi, akhirnya saya ingin bilang ini sejenis catatan harian dalam fiksi yang muazam.
Lumrahnya catatan harian ditulis mengikuti langkah-langkah retrospektra, sementara kedua prosa di atas cenderung dibilang meyakinkan sebagai fiksi yang ditulis dengan dua langkah, yaitu introspektra: pengamatan penghayatan atas diri sendiri, dan ekstrospektra: pengamatan penghayatan atas diri orang lain. Biasanya para aktor teater, dalam metode realisme dalam atau inner-realism yang belajar dengan tertib perkara retrospektra: mengamati penghayatan dengan melihat cermin di saat kejadiannya tengah berlangsung.
O, ya, Nur, dalam pada itu, perlu kau ketahui, Ahmad Fuadi adalah orang Minang yang tidak tertarik berdagang, alumnus Pondok Modern Gontor, beristri satu, dan selama tinggal di rumah kos pada masa kuliahnya selalu ditaburi doa-doa pengharapan oleh ibu dan ayahnya.
Kemudian, Gitanyali, orang Jawa berambut kribo macam Ahmad Albar yang fotonya pun ditaruh di cover buku, tak menyebut secara persis pawiyatannya, tapi terbuka dan lugu menyatakan di masa kanak dirinya sudah berhubungan seks dengan banyak wanita kelas tante-tante berumur 30 tahun, dan menanggung masalah karena cap PKI.
Nah, begitu, Nur, yang bisa kau baca dari kedua prosa tersebut.
Supaya kau bisa pula membayangkan sekilas tentang hal-hal yang menarik dan katakanlah itu merupakan sisi-sisi timbangan bobotnya, baik saya ambil kutipan yang menunjukkan harkat penulisnya.
Dari Ranah 3 Warna, saya kutipkan buatmu pernyataan Fuadi di halaman 331, yaitu dialog antara sang Aku dan Rusdi: ”Rus, kiaiku dulu mengajariku untuk man shabara zhafira. Artinya, siapa yang sabar akan beruntung. Jadi selama kamu sabar, hanya soal waktu, keberuntungan ini akan hadir cepat atau lambat.” Pernyataan ini masih diulanginya lagi di halaman 334, ”Man jadda wajada dan man shabara zhafira, itu tekadku.”
Prosa Fuadi ini seperti mengajak kau belajar pelbagai pengetahuan sambil berwisata di banyak tempat. Penggambarannya terhadap berbagai negeri dengan ciri-ciri lokasinya lumayan detail. Dia memang pernah tinggal di Kanada, Amerika Serikat, Singapura, London, Aman, dan lain-lain. Kalau kau punya bukunya, kau bisa lihat di sampulnya ada gambar peta Saint Raymond di Kanada, Amman di Jordania, dan Bandung di Jawa Barat.
Lelucon, kalau boleh dibilang begitu, yang sudah terlalu klise, adalah cerita soal nama Bali dan Indonesia di luar negeri sana. Ini muncul di halaman 345. Ceritanya begini:
”Dari mana Anda berasal, my friend?” tanya Lance padaku tiba-tiba, seperti ingin mengalihkan topik pembicaraan.
”Dari Indonesia. Pernah mendengar Indonesia?”
”O, saya pernah melihat sebuah pulau indah tropis bernama Bali di TV. Pulau yang indah dengan gunung api, sawah, dan pantai. Apakah Indonesia dekat dengan Bali?”
”Bali itu adalah salah satu provinsi di Indonesia,” aku mencoba menjawab dengan sabar.
Tetapi, dari Blues Merbabu kau dapatkan kata-kata mutiara, dan hal itu pasti bisa membuatmu terinspirasi untuk hidup semadyanya. Di halaman 167 Gitanyali memberi kawruh buatmu. Katanya, ”Tidak benar orang berhenti hidup dalam mimpi ketika usia bertambah dan menjadi tua. Orang menjadi tua karena berhenti bermimpi. Aku tidak pernah menjadi tua.”
Setelah itu, ada adegan karikatural tersua di halaman 172. Ini soal yang tertutup untuk dibicarakan pada zaman penjajahan Orde Baru: rezim militeristis yang sangat ketat memberlakukan apa yang disebut-sebut sebagai bersih lingkungan dalam pers terhadap keluarga PKI. Di situ ada percakapan antara sang Aku dan Nita tentang perasaan menjadi anak PKI.
”Aku tidak pernah membaca doktrin Marx atau Lenin. Semasa kecil aku membaca Winnetou, komik-komik roman, bacaan porno berbentuk stensilan, menyukai Window of the World, Reader’s Digest, tak bisa melupakan Butch Cassidy and the Sundance Kid, The Graduate…”
”Jadi apa itu komunisme?”
”Kamu seharusnya dulu tanya Soeharto, Sudomo, atau siapa saja yang antikomunis. Yang komunis membaca Marx dan Lenin. Yang antikomunis memahami Marx dan Lenin. Aku bukan dua-duanya. Kalau kamu bertanya kapan Estee Lauder menciptakan produk pertamanya mungkin aku bisa menjawab…”
Gitanyali memang menunjukkan sosok sang Aku akrab dengan budaya pop. Dia bicara soal Grand Funk Railroad (hal 185), Woodstock (hal 64), memuja Katharine Ross (hal 161), menguping Shocking Blue (hal 117), suka Tommy James & The Shondells (hal 63), berfoto di poster Bob Dylan (hal 131), tapi membilang Che Guevara heroik (hal 160).
Dan, yang menonjol di sini adalah lelaki—dalam sosok sang Aku—merupakan teladan jago cinta yang memperoleh kepintarannya itu dari pengalamannya dengan banyak wanita sejak masih berbau kencur. Maka, jika berpihak pada pikiran kakek-kakek jadul: Belajarlah bikin dosa dengan alasan cinta pada sosok sang Aku dari Blues Merbabu ini.
Nah, Nur, itu sekelumit simpai dari dua prosa di atas yang barangkali menarik juga buatmu. Selebihnya baca saja sendiri. Mungkin kau punya pendapat yang berbeda dengan saya. Maksud saya, kita harus belajar kembali bersikap semadyanya terhadap semua hal: kebudayaan, kemasyarakatan, politik. Jika saya bilang kedua prosa di atas bagus, saya tidak boleh memaksamu untuk menjadi sama seperti saya. Soalnya ini perkara kesenian, galib terjadi ketaksamaan selera. Bukankah kita pun punya hafal-hafalan ”bhinneka tunggal ika” yang kini sedang diuji kembali kesaktiannya, dan konon di setiap ladang selalu ada belalang yang berbeda, Nur?
*) Penulis terpilih oleh Komunitas Nobel Indonesia sebagai pemenang bidang kesusastraan 2011
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/02/lain-ladang-lain-belalang.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar