Selasa, 24 Mei 2011

POTRET GANDA NAYLA—DJENAR MAESA AYU

Maman S. Mahayana *

Djenar Maesa Ayu lewat dua antologi cerpennya, Mereka Bilang, Saya Monyet! (2003) dan Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) (2004), tak pelak lagi, telah berhasil menjejerkan namanya dalam deretan penting sastrawati Indonesia. Ia juga mengambil posisi khas yang domainnya tak banyak dimasuki sastrawan Indonesia lainnya. Kini, ia meluncurkan novel pertamanya, Nayla (Gramedia Pustaka Utama, 2005, 178 halaman).

Dalam Nayla, Djenar bagai berada dalam ruang yang membuatnya bebas bergerak. Ia leluasa mengumbar kemampuan teknik berceritanya. Ia bebas memanfaatkan tokoh-tokohnya untuk kepentingan dan tujuan apapun, termasuk untuk menumpahkan pesan ideologisnya tentang jender. Bahkan, posisi kepengarangannya sendiri merasa perlu dilegitimasi lewat tokoh rekaannya. Nayla ibarat sebuah pentas teater yang sutradaranya bisa seenaknya keluar-masuk dalam setiap babak atau adegan yang sedang berlangsung.

Begitulah, ketika pengarang merasa perlu menyampaikan pesan ideologis, Nayla yang sekolahnya pun tak jelas, tiba-tiba tampil dengan kecerdasan seorang feminis. Djenar memanfaatkan tokoh ini untuk mengungkapkan gugatannya tentang seks (hlm. 77—80) dan pelecehan seksual (hlm. 84—6). Dalam peristiwa yang lain, khasnya dalam cerpen karya Nayla Kinar “Laki-Laki Binatang!” (hlm. 38—42) yang berkisah tentang kepedihan tokoh Djenar dalam berhadapan dengan ibunya, Nayla—yang fiktif—memanfaatkan tokoh Djenar –yang faktual dalam novel Nayla dan fiktif dalam cerpen “Laki-Laki Binatang”—menjadi corong untuk memprotes tindak kekerasan dalam rumah tangga dan terjadinya pelecehan seksual. Dalam hal ini, pengarang dan tokoh rekaannya tak hanya bisa bertukar peran, tetapi juga bisa saling memanfaatkan untuk menyampaikan pesan ideologisnya. Dengan begitu, batas tegas antara teks dan pengarang, dihancurkan semata-mata demi kepentingan ideologi yang hendak disampaikan.

Boleh jadi, Djenar menyadari betul pentingnya sebuah pesan. Tetapi, ia juga tak ingin terjerumus pada pamflet propaganda. Maka harus ada siasat lain untuk membungkus pesan itu. Jadilah, tak terhindarkan, penghadiran hubungan antara pengarang dan teks, tak selesai sebatas teks. Ia mesti kontekstual, sekaligus intertekstual. Kematian pengarang, seperti disarankan Roland Barthes (“The Death of the Author”) tak berlaku lagi. Pengarang harus dihidupkan lagi. Di situlah beberapa kutipan cerpen “Menyusu Ayah” (hlm. 90—1) menjadi signifikan sebagai siasat mengecoh dan menyembunyikan Djenar, Si Pengarang, dalam menyampaikan fatwanya. Tokoh Nayla dan Djenar hadir secara fungsional.
***

Kisahnya sendiri sederhana. Berawal dari perceraian ayah—ibu. Nayla, ikut ibu. Didikannya yang telengas dan ajarannya untuk menguasai laki-laki, menceburkan Nayla pada serangkaian pengalaman traumatis. Ia kabur dan memilih ayah yang sudah kawin lagi. Hanya sesaat. Ayah meninggal, dan ibu tiri menjebloskannya ke panti rehabilitasi. Setelah tiga bulan, Nayla kabur. Menggelandang dalam kehidupan liar. Terdampar dalam ingar-bingar diskotek. Bercinta dengan sesama jenis –Juli, sambil sekali-kali menjajakan tubuh. Ia gagal mencari kebahagiaan, tetapi menemukan kehidupan lain di tengah para seniman.
***

Sesungguhnya, kisah Nayla ini tidaklah linear. Berkelak-kelok, melompat ke depan atau ke belakang, bahkan berdiri dulu di pinggir sambil berkisah tentang yang lain yang seolah-olah tak ada hubungannya. Jadilah, bangunan rangkai peristiwa hadir menyerupai serpihan fragmen-fragmen. Berserakan. Pembaca digiring pada kotak-kotak, mirip teka-teki silang. Atau ibarat puzzle dengan potongan-potongan gambar yang belum tersusun. Di sini, pembaca bebas menempatkan setiap potongan gambar menurut persepsinya. Meski begitu, mudah saja kita menelusurinya dan kemudian membingkainya kembali menjadi sebuah struktur, mengingat fokus keseluruhan cerita bertumpu pada diri tokoh Nayla.

Djenar begitu bebas melakukan eksplorasi naratif, meski terkesan tak berpretensi hendak bereksperimen. Di sana berbagai bentuk penceritaan hadir gonta-ganti. Kadang seperti satu peristiwa yang berdiri sendiri, padahal sesungguhnya saling mencantel yang bersumber dan bermuara pada satu tokoh: Nayla. Sebuah siasat dalam membangun struktur cerita yang kini bertebaran dalam novel-novel Indonesia. Lihat saja, Tabularasa (Ratih Kumala), Dadaisme (Dewi Sartika), Geni Jora (Abidah el Khalieqy), Cermin Merah (N. Riantiarno) atau Lelaki Harimau (Eka Kurniawan). Mereka juga memakai pola macam ini.

Teknik apa pun tentu saja boleh digunakan, sejauh ia fungsional dan mengundang tegangan. Tanpa itu, ia akan jatuh pada kesan rumit yang artifisial. Di samping itu, ia juga menuntut kecermatan dan usaha membersihkan pengulangan yang tak perlu. Nayla secara keseluruhan telah menunjukkan kesungguhan itu. Meski begitu, tak berarti semuanya baik-baik saja. Selalu ada risiko di belakang setiap pilihan, dan itu yang juga terjadi pada Nayla.

Keasyikan bermain dengan teknik, cenderung melalaikan hal lain. Djenar terkesan lupa pada karakterisasi, pada proses saat peristiwa masa lalu menjadi sumber malapetaka. Saya tak menemukan ruh dan semangat Nayla dalam “Menyusu Ayah” atau Nai Nai dalam “Payudara Nai Nai”. Nayla dalam Nayla adalah sosok perempuan yang punya masa lalu kelam, penurut karena dikuasai ketakutan, dan tiba-tiba menjelma sosok seorang “Djenar” yang cerdas, nekad, dan feminis. Sebagai usaha menerjemahkan gagasan Helena Cixous –jika ia terpengaruh oleh pemikirannya—yang menawarkan cara yang berbeda bagi penulis perempuan, tentu saja tak dilarang. Tetapi, ia menyimpan kejanggalan ketika problem ideologis dihadirkan dengan latar belakang psikologis, dan lalai pada proses perjalanannya. Bukankah penghancuran stigma tentang seks dan virginitas, sebenarnya –mula-mula— bersumber pada prinsip kenikmatan orang per orang yang lalu berkembang jadi psikologi sosial, mitos, dan wacana laki-laki yang semuanya berpangkal pada phallus sebagai simbol superioritas?

Dibandingkan cerpen-cerpennya yang lebih fokus pada satu titik persoalan, Nayla lebih problematik lantaran Djenar bermain dengan begitu banyak sayap. Di satu pihak, ia bisa terbang mondar-mandir sesuka hati, menclok dari problem yang satu ke problem lain. Di pihak lain, ia kadang lupa kembali ke sarang. Akibatnya, problem yang dihadapi Nayla, kurang dieksplorasi dan dieksploitasi secara maksimal. Padahal, Djenar punya kesempatan yang luas untuk melakukan itu. Bagaimanapun, novel bukanlah cerpen yang dipanjangkan. Kemampuan teknik narasi yang ditunjukkan Djenar secara piawai, mestinya dimanfaatkan untuk menukik lebih tajam pada proses dan berbagai persoalan yang menggelindingkan tokoh Nayla dalam peri kehidupan liar dan menyimpang.

Sesungguhnya, Nayla potensial menjadi monumen jika saja problem dunia-dalam tak ditinggalkan. Lihat saja, peristiwa-peristiwa yang dihadirkan di sana hampir semuanya menyimpan problem dunia-dalam. Tarik-menarik pengaruh ibu yang mengajari kekerasan (seksual), Om Indra yang juga mengajari sesuatu yang aneh, ayah yang tiba-tiba mati, ibu tiri yang munafik, Juli yang lesbian, dan tokoh-tokoh lain yang datang dengan berbagai problemnya sendiri. Di belakang itu, niscaya ada sejarahnya yang khas. Jadi, segala perilaku seksual yang menyimpang atau yang berlebihan, punya akar psikologis. Ia bisa lahir sebagai akibat yang datang dari masalah dalam atau luar rumah atau dari mana saja.

Sebagai novel pertama, Nayla telah menunjukkan penguasaan teknik narasi yang piawai. Di sana, kita juga melihat kualitas gagasannya yang liar, meski kali ini Djenar tampak lebih matang dan hati-hati. Bahwa kesan ketergesaan masih tampak di sana-sini, tentu saja itu tak mengurangi keasyikan kita menelusuri kisah Nayla, sambil coba mengisi teka-teki silangnya. Di balik itu, kita seperti disodori problem besar tentang seks dan penyimpangan seksual yang tanpa sadar nyaris setiap saat kita jumpai dalam kehidupan keseharian masyarakat. Djenar sekadar menyapa kita tentang itu.
***

_____________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
http://sastra-indonesia.com/2010/06/potret-ganda-nayla%e2%80%94djenar-maesa-ayu/

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir