Abidah El Khalieqy
http://suaramerdeka.com/
INILAH pesan Penjagal Kota Tua sebelum menuruni lapisan terbawah liang lahatnya. “Aku berharap engkau lebih kompak memerangi saudara sendiri. Ada bisa ular dalam kampung panjangmu. Bakar hutanmu, dan bikinlah istana baru.” Tapi pesan itu diterjemahkan oleh para penduduk kampung dengan sebaliknya. Sebab saudara yang dimaksud tuan penjagal itu ternyata dirinya sendiri.
“Go to hell, Penjagal Tua!” Seru Hamzah sepulang mengaji.
Orang kampung percaya, Hamzah punya mata lebih dari dunia. Maka bergeraklah mereka, mengendap dalam gelap. Melempar bambu runcing ke dada malam. Menembus jantung saudara dan teman-teman Penjagal Tua. Sampai 130 tahun kemudian, kampung panjang di atas pulau yang panjang itu, berubah jadi kota. Jadi bandara dan dermaga kehidupan. Surga bagi siapa yang ingin keabadian.
Itulah sejarah. Kampung Hamzah di negeri melimpah. Dunia di dapat, akhirat pun tak pernah lenyap. Sebuah negeri tempat jarak saling mendekat. Hanya neraka yang selalu diusir dari kota. Tapi neraka selalu datang dengan senjata terkokang. Neraka juga selalu hadir melalui banjir. Pusaran air menjulang. Juga perang pada siang bolong.
Maka kini, Hamzah hanya bisa dikenang.
Sebab kota telah berubah warna. Musibah dan bencana mengangkang. Pasir mutiara menjadi empedu dalam dongeng Putri Salju. Lalu tumbuh pohon duka, tanaman sejarah tak bernama. Maka kata-kata sederhana yang paling digemari ialah “pergi menuju langit tinggi.” Terbang di awan, menderap kuda dan mati. Atau hidup setengah gila, agar dunia tak bisa menangkapnya.
Dan pemuda itu lebih suka setengah gila. Menempati posisi paling tawar di antara banyak tawaran. Menghindari kaum warasin, orang yang pura-pura waras, ketika mereka meminta masa kemudaannya untuk jadi penasihat. Jadi pejabat atau pengkhianat.
“Aku lebih suka membahas urusan darah dan cinta, masa kanak yang hilang di punggung sejarah. Dengarlah, sayang, aku ingin meminangmu dengan sepenuh kegilaanku.”
“Aku tak inginkan Abang melamarku. Sebab orang tuaku pasti menolakmu. Aku ingin laut lepas saja.” Cadar perempuan itu tersapu angin pantai, berpijar matahari di korneanya.
“Jangan, Sayang! Di laut banyak hiu,” bujuk pemuda setengah gila itu.
“Aku ingin bertamasya ke dasar laut, menunggang sirip hiu.”
“Hati-hati dengan keinginanmu, Sayang. Hiu loncat dari laut bisa masuk dalam mimpimu. Tapi tak apalah, nanti kuajari cara menunggangnya. Sebaiknya kau tak pernah berpikir untuk menjadi petualang. Banyak tahu itu siksa abadi. Cup yeah!”
“Tetapi banyak tahu juga nikmat tak terperi, melayang membubung tinggi ke bintang. Menyelam menggenggam mutiara kulit kerang. Duh, asyiknya!”
“Lalu nyasar dan tersesat di lambung hiu. Ayo buka lagi kisah Yunus, lari karena khilaf. Kau tak usah tahu bahwa surga 24 jam untuk perempuan, dan hanya 12 jam untuk laki-laki. Selamat mimpi bidadari biru. Jangan lupa, kuberi nama engkau, Laila.”
Laila pun menepi. Mencari ranjangnya sendiri. Dan sebelum tidur, ia teriak lewat jendela kayu. Suara diantar angin menuju telinga setengah gila.
“Jangan lupa, keberi nama engkau, Majnun!”
Ia pun berdoa bagi dunia kesadaran, impian, dan kanak-kanak di taman
Eden. Hati-hati ia memejamkan mata, masuk ke dunia candu yang aktif seperti heavy-metalik. Tak lupa juga minum susu nina-bobo. Susu jahe telur hiu.
Pemuda setengah gila, merasa Majnun beneran. Telentang di lubang pasir hinggalah subuh melenyap. Menghilang bagai kilat ke dasar laut paling gelap. Berhari-hari, mungkin juga bulan, Majnun dan Laila diserang mimpi. Ingin keduanya bercakap di atas gundukan pasir tanpa laut. Tapi apa boleh buat, sejak kecil sudah di situ, di tepi pantai kampung panjang itu.
“Di mana kita berada, Majnun? Aku ingin laut lepas.”
“Baiklah! Nanti kita main di pantai yang lebih indah!”
“Apakah Ibu juga di sana? Bermain di pantai indah itu? Di mana pula Ayah ketika ia pulang dari kantornya?”
“Semuanya aman dan nyaman di sana, Sayang! Sekarang bangun dan lihat matahari dengan lebih berani. Nanti kau akan berangkat menjadi matahari. Tak perlu Ibu, tak pula Ayah.”
“Aku ingin jadi kupu-kupu, terbang di langit biru. Aku ingin jadi bintang di gelap malam.”
“Ya, semua inginmu, semua mimpimu akan terbukti. Pasti! Adakah mimpi yang tidak menyata di kampung panjang ini?”
Laila gembira. Majnun juga gembira melihat senyumnya. Tapi jangan bilang, Majnun dan Laila pasangan serasi seperti dalam kisah seribu satu malam. Sebab keduanya hanyalah nama yang tak mungkin untuk diranjangkan. Keduanya suka berteman, berjalan bersama, keliling waktu penyegar duka.
Bersama bergantian dalam khayalan. Memasuki barak lapuk tempat laba-laba menyusun ranjau. Dan barak itu tak sanggup mendingin api, tak pula menghangat bila malam bermandi hujan. Sementara hujan batu dan peluru terus menggoyang dunia, pikiran dan cita-cita. Semut hitam juga bergerak dengan penuh cita-cita. Tetapi di kampung panjang ini, tak ada yang sanggup menutupi rasa sial. Sia-sialah adanya. Suami mati, lenyap jasadnya. Entah di mana. Janda-janda menggendong bayi menuju kaki bukit pada malam hari. Hanya kakek dan nenek yang masih bisa bercanda dengan gigi ompongnya.
Majnun dan Laila menepi. 100 hari waktu meleleh bagai jam di kanvas Salvador Dali. Meski doa digemakan orang dari menara masjid, dan kenduri dilaksakan setiap malam dengan Surat Yasin, memar hati tak usai-usai. Semua mengekal dalam hari, kecuali pada hari Jumat dan Minggu. Jumat untuk gema kotbah, dan minggu untuk kenang mulut hiu. Mulut laut yang mencari mangsa ke rumah-rumah. Sama juga dengan senapan yang sering dipakai Penjagal Tua. Begitu menggetar bumi. Darah kucur dan rahim gugur dalam senyap. Seorang ibu menangis di gubug bambu. Menjadi bekal ingatan untuk membina keluarga pejuang. Menuju makam syahid Karbala, tiang gantung Halaj, dan prosa kematian paling romatik. Berhari-hari Majnun berputar mencari Laila selepas pergi dari tidurnya. Sebab ia selalu pergi, menjadi wartawati pura-pura. Entah apa cita-citanya kini.
“Mengapa tidak keluar dari kampung panjang ini, Majnun?” tanya wartawati tanya pada terik hari.
“Sebab kalau keluar, maka tak ada air mata lagi. Dan jika aku mati tanpa dicatat hukum, Hayo, siapa tanggung-jawab?”
“Paling tidak, banyak janji yang bakal kaudapat. Memberi peluang kegilaanmu untuk berkembang. Bukankah nabi juga hijrah, para pemikir besar hijrah, para ulama besar hijrah. Hanya Sultan Mataram yang tidak hijrah. Kau tahu mengapa?”
“Karena tak ada kuasa di pengasingan. Kalau ada, itu ketiak Amerika. Dulu Hamzah, kakek dari kakekku, menangkar pulau-pulau di sekitar Samudra Hindia. Mungkin naif kalo aku bilang Jawa pula…”
“Gimana kalau hijrah Jakarta, Madura atau Malaka. Ada saudara di sana?”
“Tetap asing, Muhammad tanpa wahyu Jibril. Hanya pujangga. Tiap tubuh bawa kampung dalam diri. Setetes darah bawa sejarah sampai mati. Globalisme itu karnaval kampung-kampung. Pusat koloni dari awalnya, ha ha ha…!”
Wartawati Laila tercekat tenggoroknya. Kehabisan kalimat tanpa kata cinta. Majnun bersipu santai dalam tawa. Bersiul mulutnya. “Silah tanya apa yang ingin kau tahu dan mengerti dunia? Ayo, Laila, mabuklah sensasi.” Majnun merangkai kegilaannya dalam tawa.
“Apakah yang asing tidak bisa merevolusi diri menjadi pribumi yang baru?” wartawati girang ketemu soal lagi.
“Apakah pilar-pilar Panthernon kuil Dewi Athena di Acropolis yang jarang-jarang itu tak berkerabat menyangga atap berukir? Diaspora cuma satu pelarian…,” sigap Majnun bereaksi, tetap dalam santai.
Aneh memang. Wartawati pura-pura itu menulis dalam notesnya begini, “Tampang tirus Hindustan, kopiah Mesir, sarung setengah lipat Afrika di pangkal celana, dan buntelan Yaman di punggung. Ia bertapak ke mana suka. Terlihat lugu seperti hikayat yang belum selesai.” Lalu berpikir seribu kali untuk kembali menjadi Laila. Menjadi manusia penuh mimpi di sisi pantai.
Majnun mengorek hati. Menggores kalimat di udara tak berkoma. “Majnun namaku berjejak di bumi rantau abadi tanpa hukum tanpa perbendaharaan hidup tanpa modal untuk bahagia sebab hilangnya rasa kehilangan karena berlaut kematian sangat jauh dan luas seperti teriakan ribuan orang yang digerakkan Hamzah untuk melemparkan bambu runcing ke dada Penjagal Tua. Allahu Akbar! Manusia ber-khalik sebagai rakyat kami ber-raja sebagai pejuang kami ber-syahid dan sebagai saudara ditelikung dikhianat sekarat kiamat! Smile for You…. Angin mengirim pasir ke dalam mulutnya.
“Neraka Jahannam. Kumpeni baru dalam kegilaanku!”
Majnun mengutuk diri sedalam nyeri.
“Kami membencimu bahkan andai kamu itu gelap malam. Kami membencimu bahkan andai kamu itu aku. Ayo ganti nama saja menjadi perampok, duduk bersanding dengan mempelaimu, pembohong kelas kakap.”
Majnun tertawa di udara tanpa Laila.
Sebab Laila sedang menepi di pantai sendiri. Mencari alamat masa lalunya yang hilang tersambar ombak. Dan Majnun terus tertawa mengingati Penjagal Tua yang mati karena minum kopi dari neraka. Serupa benar dengan Dajjal bermata sebiji, kelereng pengetahuan yang menggelinding ke balik kabut gelap. Jahat seumur-umur. Gelap yang tak mau tidur. Tak mati juga Sisifus. Seperti Laila yang mendekat kembali di garis bayang-bayang.
“Kau bekap dadamu karena tusukan. Siapa yang menusukmu?” Sapa Laila, tiada.
“Kata-kata dunia. Kalimat busuk orang beruang. Jika tewas tak tercatat oleh hukum, lemparkan mayatku ke batas cakrawala.”
“Siapa menewaskan siapa?”
“Kurawa.”
“Siapa Kurawa??
?Yang menghantu di Astinapura.”
“Oke! Masih sakit dadanya?”
“Oh! Cilaka! Tak padam pula api di dada ini. “Kunie bardan, salaamun
‘ala Ibrahim fil ‘alamin. Duhai api, mendinginlah. Sejahteralah Ibrahim, selamatkan semesta yang dibakar kaum berhala.”
Mendelong Laila mendengar igau dalam doa. Memang, di kampung panjang ini hanya bisa tumbuh pohon igauan dan doa. Dan hampir tiap hari, Majnun dan Laila memanjat pohon itu, lalu berbuah sakit kepala. Migrain.
Candu rindu!
Senja pun datang. Laila membayang malam. Majnun mengukir langit dengan awan. Bulat matahari menghilang di laut barat. Laila siap terima ilham api, mendekat bulan di pucuk cinta, ayat-ayat dari menara masjid. Menghunjam di otak. Majnun merangkak, mengukir Laila di atas pasir. Tak juga kiamat mendekat. Duka tak kenal kata akhir.
“Pilih mana, merdeka atau tidur sementara?”
Laila menganggukkan kepala.
“Serupa zikir, kepalamu penuh pikir.”
Mulut Laila hampir saja makan gigi. Ngemut bulpen berkali-kali.
Menghilangkan migrain di sebelah kiri. Insomnia. Majnun bangkit mencari buah simalakama. Buah khuldi yang jatuh ke bumi. Ia hendak memungutnya, siapa tahu Laila juga suka. Kekal abadi di surga. Salah tafsir berujung salah makna.
“Kemarin kulihat kau meniup seruling seperti Daud memanggil burung.”
“Memang. Tapi seruling itu hilang ketika kau datang.”
“Suka bambu, atau suka suaranya?”
“Suka sama suaramu. Malam tak bertuan, abadi gelap daripada terang. Entah bendera mana yang terkibar, maka malam tambah kelam.”
Kelam juga Laila. Tinggal bayang-bayang. Mencari ranjangnya sendiri di gubug reyot sarang laba-laba.
Kampung panjang ini penuh ranjau, muslihat tipu daya kompetador. Maka Majnun bangkit menjejak bongkah alam, seolah pidato di atas mimbar batu Jalut. Zaman kemegahan kaum khianat. Dengan cahaya mata berkilau dipantul dari garangnya matahari titik zenit, Majnun mengalun seuntai bait mirip pujangga.
“Saudara-saudara terbaik! Malam ini kita bergerak! Daripada mati di rumah tuan, lebih baik menggelepar di medan juang! Daripada mati di ranjang kompeni lebih baik satu dalam shaf sabilillah. Ini Hamzah, dengarlah perintahku. Anak pinak Penjagal Kota Tua itu datang kembali. Ayo serang! Terjang! Di masa pembangunan ini, tuan hidup kembali. Pedang di kanan, keris di kiri??. Mulut Majnun takut jadi puisi Anwar.
Tanpa kesadaran penuh, mulut Majnun bergetar karna takut penyair Anwar. Ikan-ikan yang sempat menguping (duh, aku lupa, apa ikan punya telinga?), menyembul dari laut, memberikan applaus yang lumayan. Tepuk-tangan malam. Duka pasir abadi. Air didulang, muka kuyup penuh gelombang.
Ingatan Majnun berkelok ke belakang. Kenangan sang kakek, mengekal dalam rasa. Kampung panjang beku waktu. Kota lama beribu-ribu tahun lamanya. Peta terkoyak, dihasut angin jahat dari arah barat. Kepedihan dan keterasingan menjelma prasasti. Pangeran Ling-Khe, ombak berkacak.
“Dan kau, seorang pangeran jugakah?”
“Hahaha…pertanyaan sendiri akan kujawab sendiri. Sebab Laila telah pergi sedari senja tadi. Adakah arti darah biru bagiku? Apa guna pendidikan jika kau tak bisa menjawab pertanyaan sendiri. Semuanya meruap nguap bagai embun semilir pada pagi hari.”
Majnun mabuk bukan dari gelas anggur, tapi karena lumpur. Air laut warna coklat mengendap di lambung. Dan Laila bersembunyi di situ, meremas usus buntu dengan waktu. Mengkilat bagai pualam tak retak-retak dari masa silam. Hinggalah Majnun membisu, menghadapkan wajahnya ke runcing batu karang.
“Mungkinkah kenangan bisa berlalu?”
“Tidak!”
Majnun bergerak, merambat, menjalar ke akar nadi memori yang mulai hidup kembali. Sejenis kesadaran mengorek masa lalu dan masa depan.
Ke mana pun Majnun melangkah, warna bumi terasa darah. Hati lara di pantai. Buih pecah di beranda rumah, simpanan matahari bagi cahaya.
Meminang kampung sendiri jadi bintang. Jadi waktu menyembur terang ke jantung. Meradang!
Majnun berlari, menghempas ombak di dalam hati. Merindu matahari bangkit dari sela pasir. Prosa kematian paling romantik di laut Hindia, menyusun kalimat akhir di kubur Laila. Lalu sejarah berulang. Mati lagi, ngungsi lagi. Darah lagi, nanah lagi. Negeri bangkit berkali-kali. Orang mati tak dikenali. Tak ada daun pisang menutup jasadnya. Tak juga dimandikan dengan air.
“Awas! Penjagal Kota Tua. Jangan sekali-kali ambil cintaku.”
“Bunuhlah aku, jika kau mampu. Banyak nian nyawaku. Satu mati, menendanglah seribu kaki. Hayo, kalau berani…!”
Majnun melayang. Memintal waktu dengan dongengan. Menunggu gardu sepanjang siang sepanjang malam. Para peronda selalu datang, meminta dongeng yang baru. Tapi kali ini, ia tak mau cerita. Sebab Laila masih nusuk di hati. Lalu tiba-tiba, sodara penjagal tua menghampiri. Pangkal besi terkokang. Majnun lari di tempat. Duesszz!. Jus tomat tumpah di atas papan kayu. Megap-megap. Jantung pun berhenti menjumpa senyap! Darah merah darah putih, tercecer lagi di kampung panjang, di tepi pantai yang membentang. Bidadari Laila mengangkat ruhnya ke pusat Angkasa.
Yogyakarta, 2006
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 24 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar