Maroeli Simbolon S. Sn
http://www.sinarharapan.co.id/
Selain homo fabulans (makhluk bersastra), kita juga homo politicus (makhluk berpolitik) karena berpolitik adalah hak setiap orang. Jadi, jelas sastra berkait dengan politik. Sehingga, dalam berkarya, pengarang tidak dapat melepaskan masalah politik di sekitarnya.
Dalam pengertian praktis, politik berarti ikut aktif mengambil bagian dalam kehidupan bernegara. Tetapi, dalam proses ambil bagian itu sering terjadi salah persepsi – masing-masing orang membuat pengertiannya sendiri. Itulah sebabnya, Wiratmo Soekito menilai, hubungan sastra dengan politik adalah masalah kompletif – dapat ditinjau dari berbagai segi.1) Juga, reaksi pengarang dalam menghadapi masalah-masalah politik: spontan atau berjarak.
*
Orangtua saya pernah memberi petuah kepada saya: ”Seindah-indah mimpi, lebih indah kenyataan.
Sepahit-pahit mimpi, lebih pahit kenyataan.” Petuah ini mengetuk hati dan pikiran kala menyimak buku Leontin Dewangga karya Martin Aleida (Penerbit Buku Kompas, 2003, xviii + 230 hlm). Apalagi keesokan hari, saya baca running text di layar Indosiar, peluncuran buku ini dihadiri oleh beberapa tokoh kiri. Di samping itu, latar belakang penulis yang pernah diciduk dan diceburkan penguasa ke kamp konsentrasi yang menurutnya lebih buruk dari kandang babi (sebagai realitas), juga dari 17 cerpen yang terangkum, 9 di antaranya bertema atau berkaitan dengan politik, menjadi dasar saya mengaitkan karya Martin ini dengan politik.
*
Pada mulanya adalah fakta, sesudah itu imajinasi. Adalah tak mungkin teks sastra lahir tanpa fakta, demikian Gus tf Sakai,2) yang diistilahkan Seno Gumira Ajidarma sebagai ”pembocoran fakta”.3) Apa pun istilahnya, fakta tetap diperlukan dalam berkarya untuk hadirnya (kebenaran) teks sastra. Mengangkat dan menggugat fakta melalui karya bukan dosa, malah pertanggungjawaban selamanya. Itulah yang dilakukan sastrawan-sastrawan Rusia, seperti Ivan Turgenev dan Nicolai Gogol atas tragedi politik di negaranya di abad ke-19 adalah ”pembocoran fakta”, realitas pertanggungjawaban untuk dunia. Kekejaman pemerintahan Rusia disambut sastrawan dengan napas realisme – reaksi berjarak.
Demikianlah cerpen-cerpen Martin. Ide dasar dan tema adalah peristiwa-peristiwa yang ada di sekitar kita.
Dari 17 cerpen yang termuat, kecuali cerpen ”Jakarta 3030”, semuanya (mungkin) berangkat dari peristiwa yang ada dan pernah terjadi. Semua realis, sederhana, bahkan (mungkin) pernah dialami, dirasakan, dilihat pengarang. Fakta diolah secara selektif dengan imajinasi. Fakta dan imajinasi menjadi satu kesatuan utuh.
Cerita yang sesungguhnya dapat menukik dan meninggi, sayang, lebih banyak bermain pada pemilihan kata dan pemaparan. Cerita dijejali pemaparan panjang peristiwa, kurang dalam karakter dan pemadatan konflik. Sehingga sebuah cerpen sepertinya menjadi sebuah lukisan (lanskap). Sebagai contoh, kita petik dari ”Malam Kelabu”:
Matahari menghilang ke dalam bumi tiga jam yang lalu. Jembatan Bacan, kira-kira lima kilometer di selatan Soroyudan, mulai sepi. Hanya orang-orang yang mengenderai sepeda lewat di sana. Jembatan itu gelap sejak tiga jam yang lalu. Cuma kedua ujungnya yang diterangi cahaya listrik berkekuatan rendah, takkan lebih terang dari lampu teplok…
Penggambaran seperti ini banyak kita temui. Bahkan, sepertinya menjadi teknik kepengarangan Martin. Dalam menampilkan tokoh pun, Martin melakukan penggambaran yang sama atau hampir sama. Penggambaran tokoh lebih sering berpanjang mengenai latar belakang, bukan karakter — berkaitan dengan fisik dan psikologis.
Sehingga, tokoh-tokoh nyaris tak berkembang. Tidak ada lompatan-lompatan konflik, termasuk lompatan karakter. Juga, beberapa tokoh hampir mirip dengan tokoh yang lain. Misalnya, tokoh Kamaluddin Armada mirip Anwar Saeedy. Bahkan ada tiga cerpen dengan latar belakang tokoh yang sama, sebagai penjual bensin di pinggir jalan. Padahal, penggambaran tokoh yang ditampilkan Martin melalui dialog jauh lebih kuat. Selain lebih menarik, juga mampu meningkatkan konflik sekaligus merangsang imajinasi pembaca. Seperti dialog dalam ”Kalau Boleh Engkau Kusembah”, berikut:
”Apa…? Bagaimana sebagai seorang Muslim kau bisa berkata begitu. Tukang bersih itu pekerjaan orang
Yahudi ketika mereka diperbudak Fir’aun. Cleaner bukan pekerjaan Islam. Aku tak mau membiarkan diriku dihina. Tidak. Walau tak sedarah, kita dipersatukan kepercayaan. Aku tetap tak bisa menerima pekerjaan sebagai cleaner. Aku yakin kau bisa berbuat sesuatu. Kalau kau mau…” Bahar memalingkan mukanya. Dia letakkan arit di pahanya. Diraba-rabanya mata perkakas itu, sebagaimana biasa kalau dia sedang bertanya pada dirinya sendiri masihkah dia mampu menebas semak belukar setebal pinggang dengan sekali sabet.
”Ini keputusan New York,” sambut Omara cepat. Sikapnya tak berubah, bersahabat…
Seperti tak dapat dielak, penggambaran berpanjang ini membawa ekses banyaknya kalimat panjang. Meski tidak seekstrem Danarto, tetapi kalimat-kalimat pilihan Martin cukup membuat kita menarik napas panjang saat membaca. Gaya ini mengingatkan pada cerpen-cerpen Satyagraha Hoerip, Wildan Yatim, dan Arie MP Tamba yang juga kerap memilih kalimat-kalimat panjang dengan bentuk penggambaran. Seperti petikan ”Leontin Dewangga”, berikut:
Para interrogator yang memeriksanya melihat surat wasiat itu sebagai petunjuk bahwa tangkapan mereka:
seorang pemuda dengan tinggi sedang, rambut ikal dan dua bola mata yang agak menjorok ke dalam tengkorak
dengan tatapan yang tajam, bibir yang tipis serta hidung yang agak mancung, dan tanpa tedeng aling-aling
mengaku sebagai anggota oraganisasi film di bawah pengaruh kaum komunis itu, tidak perlu berlama-lama
disekap di dalam tahanan.
*
Sutardji Calzoum Bachri menilai, ada empat penyakit dalam cerpen Indonesia. Yaitu: abstraksi, kecenderungan ingin merangkum terlalu banyak ide, kurangnya disiplin menulis, dan kurangnya keterampilan dalam mempergunakan bahasa Indonesia. 4) Tentang abstraksi, bukan masalah bagi Martin. Sebab, semua ceritanya berangkat dari kehidupan sehari-hari, dengan gaya penceritaan sederhana, lugas dan menarik. Dari kesederhanaan itu pula cerita mengalir, dengan bahasa yang lancar dan cerdas. Apa yang ditulisnya adalah hal yang benar-benar ia pahami. Ia bukan menulis antah-berantah, yang di luar jangkauannya. Dalam cerpen-cerpennya tidak kita temukan istilah-istilah klise, sok keren, dan pakem-pakem daerah manapun — tidak terjebak dengan warna lokal yang getol dibawa pengarang lain. Bahasa Martin adalah bahasa terpilih, indah dan kuat — seperti berikut ini:
Agak ke belakang, mata saya tertumbuk pada patung yang bagaikan baru turun dari langit, dan dengan syahdu
menatap pohon-pohon yang berderai…(hlm. 59). Menyusuri jalan tol dengan matahari yang seperti gundu merah
raksasa menggelinding perlahan ke balik garis pertemuan antara kaki langit yang jingga dan horison
yang biru gelap, jauh di depan sana. (hlm. 88).
Permainan bahasa sarat menghiasi lembaran cerita. Bahkan, dalam beberapa bagian, kita temukan
kalimat-kalimat penting yang menjadi tanda-tanda (simbol atau perlambang) memperkuat cerita; misalnya:
Di bawahku air Kali Ciliwung tiada bergerak, seakan-akan mati membeku. Angin malam mati. (hlm.
104). Angin yang menjanjikan bertiup di depan hidungnya. (hlm. 153). Selembar daun kering
dihempaskan angin ke pintu toko itu. (hlm. 205).
Sayang, kekuatan ini terganggu dengan banyaknya cerpen diakhiri kesimpulan. Ending disimpulkan. Pesan sering ditampilkan di akhir cerita. Apakah ini disengaja pengarang sebagai gaya baru, atau (jangan-jangan) mengarahkan pembaca agar tidak timbul persepsi dan pengertian ganda? Padahal, salah satu kekuatan teks sastra adalah multitafsir.
Selain itu, masih terdapat unsur kebetulan. Bertemunya tokoh-tokoh terjadi begitu saja, tanpa penjelasan, tanpa proses, tanpa planting information. Seperti, bertemunya Kamaluddin Armada dengan Carik, bertemunya tokoh Pensiunan dengan anak muda. Meski unsur kebetulan bukan haram dalam sastra, tetapi sebaiknya kemunculan tokoh diberi informasi lebih dulu. Tidak perlu panjang, cukup informasi pendek atau selintas–misalnya lewat dialog.
Dari keseluruhan cerpen, ada dua cerpen yang kurang lancar. Yakni, ”Perempuan di Depan Kaca” kurang fokus, terutama terhadap tujuan. Tokoh aku lebih banyak memaparkan teman seprofesinya, padahal cerita diawali dengan kekhawatiran tokoh belum mendapat pasangan di usia merangkak senja. Lebih rancu lagi ”Jangan Kembali Lagi, Juli” selain kurang fokus, juga kurang kuat pada ide, penceritaan, dan tujuan. Cerita mengembara dengan melupakan tujuan awal. Semula (bermaksud) memaparkan konflik batin yang dihadapi pasutri baru di tengah kerasnya kota, tetapi seperempat jalan, cerita berubah menjadi kisah hubungan si tokoh dengan Juli, anjingnya.
Cerita melenceng begitu anjing dimunculkan. Padahal kehadiran anjing cuma sebagai teman tokoh mengisi kesepian di saat suaminya bekerja, bukan berkaitan dengan hidup mati. Melihat persoalan yang diangkat, meski tidak sama, cerpen ini mengingatkan saya dengan cerpen ”Nenek Anjing” karya Poniman (didikan Hudan Hidayat), yang semula mengisahkan konflik batin seorang nenek, tetapi baru seperempat, cerita berubah menjadi kesibukan mencari-cari anjing si nenek yang hilang.
*
Pada mulanya politik adalah abstrak. Tetapi setelah dibentuk menjadi pemerintahan atau negara dengan berbagai simbol, seperti presiden, raja, bendera, lambang negara, dan diakui rakyat, baru menjadi realitas. Demikian pula sastra, pada mulanya hanya imajinasi, tetapi setelah ditulis, berubah menjadi realitas.
Jadi, jika satu persoalan kekuasan dan politik diceritakan (teks sastra), di saat itu pula politik lebur dalam sastra–seperti tepung dalam adonan kue. Kita tidak dapat lagi menyebut politik bersastra atau sastra berpolitik. Sebaliknya, jika politik hanya ditampilkan dengan amarah, teriakan, omong besar (janji kosong)– seperti kerap dilakukan politikus–maka politik tetap abstrak.
Dan, karya Martin tidak seperti itu. Apa yang dicapai Martin sudah melalui tahapan besar.
Hal-hal yang dialaminya—kekekerasan dan siksaan—bukan menjadi amarah dan dendam, juga bukan menjadi ratapan yang mendorongnya bereaksi spontan: protes dengan spanduk, poster atau pamflet. Tetapi, semuanya dijadikan renungan. Perenungan inilah yang membentuk jarak antara pengarang dengan peristiwa. Seperti penegasan Sapardi Djoko Damono, harus ada jarak yang aman antara sastrawan dengan kejadian yang diceritakan. Jarak inilah yang memungkinkan lahirnya karya-karya bermutu. Sastra dan politik tidak dijadikan pengarang sebagai kendaraan.
Sebagai insan bersastra dan berpolitik, Martin telah mampu mengolahnya menjadi adonan yang enak dan perlu, dengan berjarak. Tak bisa dipungkiri, banyak pengarang yang berusaha mengangkat masalah politik, tetapi hanya sedikit yang berhasil melahirkan karya bernapas realisme yang kuat – antara lain, Umar Kayam, Kipanjikusmin, Gerson Poyk. Dari sedikit nama itu tercatat Martin Aleida. Dan, tentu, Martin tidak akan berhenti… .
*) Penulis adalah pekerja seni.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar