Selasa, 08 Maret 2011

Sastra, Politik, Realisme Tiada Henti

Maroeli Simbolon S. Sn
http://www.sinarharapan.co.id/

Selain homo fabulans (makhluk bersastra), kita juga homo politicus (makhluk berpolitik) karena berpolitik adalah hak setiap orang. Jadi, jelas sastra berkait dengan politik. Sehingga, dalam berkarya, pengarang tidak dapat melepaskan masalah politik di sekitarnya.

Dalam pengertian praktis, politik berarti ikut aktif mengambil bagian dalam kehidupan bernegara. Tetapi, dalam proses ambil bagian itu sering terjadi salah persepsi – masing-masing orang membuat pengertiannya sendiri. Itulah sebabnya, Wiratmo Soekito menilai, hubungan sastra dengan politik adalah masalah kompletif – dapat ditinjau dari berbagai segi.1) Juga, reaksi pengarang dalam menghadapi masalah-masalah politik: spontan atau berjarak.
*

Orangtua saya pernah memberi petuah kepada saya: ”Seindah-indah mimpi, lebih indah kenyataan.
Sepahit-pahit mimpi, lebih pahit kenyataan.” Petuah ini mengetuk hati dan pikiran kala menyimak buku Leontin Dewangga karya Martin Aleida (Penerbit Buku Kompas, 2003, xviii + 230 hlm). Apalagi keesokan hari, saya baca running text di layar Indosiar, peluncuran buku ini dihadiri oleh beberapa tokoh kiri. Di samping itu, latar belakang penulis yang pernah diciduk dan diceburkan penguasa ke kamp konsentrasi yang menurutnya lebih buruk dari kandang babi (sebagai realitas), juga dari 17 cerpen yang terangkum, 9 di antaranya bertema atau berkaitan dengan politik, menjadi dasar saya mengaitkan karya Martin ini dengan politik.
*

Pada mulanya adalah fakta, sesudah itu imajinasi. Adalah tak mungkin teks sastra lahir tanpa fakta, demikian Gus tf Sakai,2) yang diistilahkan Seno Gumira Ajidarma sebagai ”pembocoran fakta”.3) Apa pun istilahnya, fakta tetap diperlukan dalam berkarya untuk hadirnya (kebenaran) teks sastra. Mengangkat dan menggugat fakta melalui karya bukan dosa, malah pertanggungjawaban selamanya. Itulah yang dilakukan sastrawan-sastrawan Rusia, seperti Ivan Turgenev dan Nicolai Gogol atas tragedi politik di negaranya di abad ke-19 adalah ”pembocoran fakta”, realitas pertanggungjawaban untuk dunia. Kekejaman pemerintahan Rusia disambut sastrawan dengan napas realisme – reaksi berjarak.

Demikianlah cerpen-cerpen Martin. Ide dasar dan tema adalah peristiwa-peristiwa yang ada di sekitar kita.

Dari 17 cerpen yang termuat, kecuali cerpen ”Jakarta 3030”, semuanya (mungkin) berangkat dari peristiwa yang ada dan pernah terjadi. Semua realis, sederhana, bahkan (mungkin) pernah dialami, dirasakan, dilihat pengarang. Fakta diolah secara selektif dengan imajinasi. Fakta dan imajinasi menjadi satu kesatuan utuh.

Cerita yang sesungguhnya dapat menukik dan meninggi, sayang, lebih banyak bermain pada pemilihan kata dan pemaparan. Cerita dijejali pemaparan panjang peristiwa, kurang dalam karakter dan pemadatan konflik. Sehingga sebuah cerpen sepertinya menjadi sebuah lukisan (lanskap). Sebagai contoh, kita petik dari ”Malam Kelabu”:

Matahari menghilang ke dalam bumi tiga jam yang lalu. Jembatan Bacan, kira-kira lima kilometer di selatan Soroyudan, mulai sepi. Hanya orang-orang yang mengenderai sepeda lewat di sana. Jembatan itu gelap sejak tiga jam yang lalu. Cuma kedua ujungnya yang diterangi cahaya listrik berkekuatan rendah, takkan lebih terang dari lampu teplok…

Penggambaran seperti ini banyak kita temui. Bahkan, sepertinya menjadi teknik kepengarangan Martin. Dalam menampilkan tokoh pun, Martin melakukan penggambaran yang sama atau hampir sama. Penggambaran tokoh lebih sering berpanjang mengenai latar belakang, bukan karakter — berkaitan dengan fisik dan psikologis.

Sehingga, tokoh-tokoh nyaris tak berkembang. Tidak ada lompatan-lompatan konflik, termasuk lompatan karakter. Juga, beberapa tokoh hampir mirip dengan tokoh yang lain. Misalnya, tokoh Kamaluddin Armada mirip Anwar Saeedy. Bahkan ada tiga cerpen dengan latar belakang tokoh yang sama, sebagai penjual bensin di pinggir jalan. Padahal, penggambaran tokoh yang ditampilkan Martin melalui dialog jauh lebih kuat. Selain lebih menarik, juga mampu meningkatkan konflik sekaligus merangsang imajinasi pembaca. Seperti dialog dalam ”Kalau Boleh Engkau Kusembah”, berikut:

”Apa…? Bagaimana sebagai seorang Muslim kau bisa berkata begitu. Tukang bersih itu pekerjaan orang
Yahudi ketika mereka diperbudak Fir’aun. Cleaner bukan pekerjaan Islam. Aku tak mau membiarkan diriku dihina. Tidak. Walau tak sedarah, kita dipersatukan kepercayaan. Aku tetap tak bisa menerima pekerjaan sebagai cleaner. Aku yakin kau bisa berbuat sesuatu. Kalau kau mau…” Bahar memalingkan mukanya. Dia letakkan arit di pahanya. Diraba-rabanya mata perkakas itu, sebagaimana biasa kalau dia sedang bertanya pada dirinya sendiri masihkah dia mampu menebas semak belukar setebal pinggang dengan sekali sabet.

”Ini keputusan New York,” sambut Omara cepat. Sikapnya tak berubah, bersahabat…

Seperti tak dapat dielak, penggambaran berpanjang ini membawa ekses banyaknya kalimat panjang. Meski tidak seekstrem Danarto, tetapi kalimat-kalimat pilihan Martin cukup membuat kita menarik napas panjang saat membaca. Gaya ini mengingatkan pada cerpen-cerpen Satyagraha Hoerip, Wildan Yatim, dan Arie MP Tamba yang juga kerap memilih kalimat-kalimat panjang dengan bentuk penggambaran. Seperti petikan ”Leontin Dewangga”, berikut:

Para interrogator yang memeriksanya melihat surat wasiat itu sebagai petunjuk bahwa tangkapan mereka:
seorang pemuda dengan tinggi sedang, rambut ikal dan dua bola mata yang agak menjorok ke dalam tengkorak
dengan tatapan yang tajam, bibir yang tipis serta hidung yang agak mancung, dan tanpa tedeng aling-aling
mengaku sebagai anggota oraganisasi film di bawah pengaruh kaum komunis itu, tidak perlu berlama-lama
disekap di dalam tahanan.
*

Sutardji Calzoum Bachri menilai, ada empat penyakit dalam cerpen Indonesia. Yaitu: abstraksi, kecenderungan ingin merangkum terlalu banyak ide, kurangnya disiplin menulis, dan kurangnya keterampilan dalam mempergunakan bahasa Indonesia. 4) Tentang abstraksi, bukan masalah bagi Martin. Sebab, semua ceritanya berangkat dari kehidupan sehari-hari, dengan gaya penceritaan sederhana, lugas dan menarik. Dari kesederhanaan itu pula cerita mengalir, dengan bahasa yang lancar dan cerdas. Apa yang ditulisnya adalah hal yang benar-benar ia pahami. Ia bukan menulis antah-berantah, yang di luar jangkauannya. Dalam cerpen-cerpennya tidak kita temukan istilah-istilah klise, sok keren, dan pakem-pakem daerah manapun — tidak terjebak dengan warna lokal yang getol dibawa pengarang lain. Bahasa Martin adalah bahasa terpilih, indah dan kuat — seperti berikut ini:

Agak ke belakang, mata saya tertumbuk pada patung yang bagaikan baru turun dari langit, dan dengan syahdu
menatap pohon-pohon yang berderai…(hlm. 59). Menyusuri jalan tol dengan matahari yang seperti gundu merah
raksasa menggelinding perlahan ke balik garis pertemuan antara kaki langit yang jingga dan horison
yang biru gelap, jauh di depan sana. (hlm. 88).

Permainan bahasa sarat menghiasi lembaran cerita. Bahkan, dalam beberapa bagian, kita temukan
kalimat-kalimat penting yang menjadi tanda-tanda (simbol atau perlambang) memperkuat cerita; misalnya:

Di bawahku air Kali Ciliwung tiada bergerak, seakan-akan mati membeku. Angin malam mati. (hlm.
104). Angin yang menjanjikan bertiup di depan hidungnya. (hlm. 153). Selembar daun kering
dihempaskan angin ke pintu toko itu. (hlm. 205).

Sayang, kekuatan ini terganggu dengan banyaknya cerpen diakhiri kesimpulan. Ending disimpulkan. Pesan sering ditampilkan di akhir cerita. Apakah ini disengaja pengarang sebagai gaya baru, atau (jangan-jangan) mengarahkan pembaca agar tidak timbul persepsi dan pengertian ganda? Padahal, salah satu kekuatan teks sastra adalah multitafsir.

Selain itu, masih terdapat unsur kebetulan. Bertemunya tokoh-tokoh terjadi begitu saja, tanpa penjelasan, tanpa proses, tanpa planting information. Seperti, bertemunya Kamaluddin Armada dengan Carik, bertemunya tokoh Pensiunan dengan anak muda. Meski unsur kebetulan bukan haram dalam sastra, tetapi sebaiknya kemunculan tokoh diberi informasi lebih dulu. Tidak perlu panjang, cukup informasi pendek atau selintas–misalnya lewat dialog.

Dari keseluruhan cerpen, ada dua cerpen yang kurang lancar. Yakni, ”Perempuan di Depan Kaca” kurang fokus, terutama terhadap tujuan. Tokoh aku lebih banyak memaparkan teman seprofesinya, padahal cerita diawali dengan kekhawatiran tokoh belum mendapat pasangan di usia merangkak senja. Lebih rancu lagi ”Jangan Kembali Lagi, Juli” selain kurang fokus, juga kurang kuat pada ide, penceritaan, dan tujuan. Cerita mengembara dengan melupakan tujuan awal. Semula (bermaksud) memaparkan konflik batin yang dihadapi pasutri baru di tengah kerasnya kota, tetapi seperempat jalan, cerita berubah menjadi kisah hubungan si tokoh dengan Juli, anjingnya.

Cerita melenceng begitu anjing dimunculkan. Padahal kehadiran anjing cuma sebagai teman tokoh mengisi kesepian di saat suaminya bekerja, bukan berkaitan dengan hidup mati. Melihat persoalan yang diangkat, meski tidak sama, cerpen ini mengingatkan saya dengan cerpen ”Nenek Anjing” karya Poniman (didikan Hudan Hidayat), yang semula mengisahkan konflik batin seorang nenek, tetapi baru seperempat, cerita berubah menjadi kesibukan mencari-cari anjing si nenek yang hilang.
*

Pada mulanya politik adalah abstrak. Tetapi setelah dibentuk menjadi pemerintahan atau negara dengan berbagai simbol, seperti presiden, raja, bendera, lambang negara, dan diakui rakyat, baru menjadi realitas. Demikian pula sastra, pada mulanya hanya imajinasi, tetapi setelah ditulis, berubah menjadi realitas.

Jadi, jika satu persoalan kekuasan dan politik diceritakan (teks sastra), di saat itu pula politik lebur dalam sastra–seperti tepung dalam adonan kue. Kita tidak dapat lagi menyebut politik bersastra atau sastra berpolitik. Sebaliknya, jika politik hanya ditampilkan dengan amarah, teriakan, omong besar (janji kosong)– seperti kerap dilakukan politikus–maka politik tetap abstrak.

Dan, karya Martin tidak seperti itu. Apa yang dicapai Martin sudah melalui tahapan besar.

Hal-hal yang dialaminya—kekekerasan dan siksaan—bukan menjadi amarah dan dendam, juga bukan menjadi ratapan yang mendorongnya bereaksi spontan: protes dengan spanduk, poster atau pamflet. Tetapi, semuanya dijadikan renungan. Perenungan inilah yang membentuk jarak antara pengarang dengan peristiwa. Seperti penegasan Sapardi Djoko Damono, harus ada jarak yang aman antara sastrawan dengan kejadian yang diceritakan. Jarak inilah yang memungkinkan lahirnya karya-karya bermutu. Sastra dan politik tidak dijadikan pengarang sebagai kendaraan.

Sebagai insan bersastra dan berpolitik, Martin telah mampu mengolahnya menjadi adonan yang enak dan perlu, dengan berjarak. Tak bisa dipungkiri, banyak pengarang yang berusaha mengangkat masalah politik, tetapi hanya sedikit yang berhasil melahirkan karya bernapas realisme yang kuat – antara lain, Umar Kayam, Kipanjikusmin, Gerson Poyk. Dari sedikit nama itu tercatat Martin Aleida. Dan, tentu, Martin tidak akan berhenti… .

*) Penulis adalah pekerja seni.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir