Asarpin
http://sastra-indonesia.com/
Di Lampung, tak banyak yang pantas disebut penyair tradisi. Dari yang tidak banyak itu, sebutlah seorang perempuan. Usianya sudah lebih setengah abad, tapi semangat dan suaranya tak pernah renta. Pernah pada suatu hari seorang teman bertanya: apa yang penting dari penyair tradisi di hari ini?
Seingatku aku tak pernah menjawab. Baru sekaranglah saya tertarik memberi komentar atas pertanyaan itu lewat telisik semi cerita ini. Kalau dibandingkan dengan puluhan “penyair modern” di Lampung, jasanya memang tak pantas dikenang. Ia hanya penyair tradisi yang mendapat pengakuan dari beberapa seniman kota yang mulai jenuh dengan sajak-sajak modern yang berbahasa Indonesia.
Selama ini, perempuan itu begitu gemar mengangkat hal-hal yang berhubungan dengan kearifan lokal masyarakat Lampung, yang menyebut-nyebut burung podidi, murai dan kutilang atawa si raja yang pandai berkicau. Salah satu syair kegemarannya adalah Syair Bubatui, syair yang sebentar lagi akan dipentaskan di ibu kota.
Kehadirannya sebagai penyair tradisi memang ditanggapi secara mendua oleh para pencinta sastra, wartawan, dan pemerintah daerah. Sebagian resepsi sastra menganggapnya sebagai penyair yang cengeng, sementara pemerintah menggugatnya karena hanya menampilkan masalah dan kesedihan, dan tidak pernah menampilkan kebaikan dan keberhasilan.
Beberapa wartawan tampaknya sengaja membuat berita agar Ina tua itu mendapat penghargaan, dan konon pernah diusulkan kepada walikota untuk memberi hadiah karena jasanya mengangkat kearifan lokal dalam syair-syairnya, tapi walikota tak menanggapinya. Beberapa sastrawan kota pernah juga mengusulkan kepada Yayasan Rancage agar Ina tua itu mendapat penghargaan, tapi yang mendapat hadiah Rancage malah Udo Karzi dan Asarpin Aslami (hanya karena karya keduanya telah dibukukan, sementara syair-syair Ina itu berada di atas angin).
Rupanya sulit mencari lembaga atau individu yang mau menilai dengan jujur kebesaran syair-syair lisan Ina tua itu. Seharusnya Dewan Kesenian kota itu memprakarsai pemberian penghargaan kepadanya, tapi sampai lenyap nama perempuan itu, baru muncul keinginan. Mengharapkan penghargaan dari bupati tampaknya sampai mati takkan pernah diberi. Sebab, sang bupati pernah menonton ketika syairnya dipentaskan, dan menurutnya syair-syair Ina itu justru melecehkan tradisi yang suci.
Suatu hari Ina itu tampil di Taman Budaya dengan membawakan Syair Mati Kajong. Dengan diiringi musik dan lagu klasik, ia tampil membetot perhatian penonton. Di atas panggung ia melangkah perlahan sambil sesekali menarik nafas untuk kemudian mengeluarkan embusan-embusan yang diiringi petikan gambus.
Ketika itu lampu mulai redup, dan dari kejauhan hanya terlihat sosok ringkih berjalan pelan makin ke depan, seperti bayangan mayat berjalan. Kemudian kedua tangannya berkelai semampai, yang diikuti kedua kakinya yang berjalan injit-injit, sambil mengulang-ulang kelaian tangan ke samping dan ke depan, ke bawah, ke tengah, ke atas lagi, ke samping, dan seterusnya.
Layar pertunjukan mulai disibak angin, atau angin buatan sengaja diarahkan ke layer putih, yang diiringi tepuk-sorai penonton yang tak mengerti arti Syair Mati Kajong. Dari sudut belakang panggung, si penggambus atawa si pembawa alat musik tunggal, tampak tak sabar untuk memberi aba-aba yang hanya bisa dimengerti oleh si pemain.
Malam itu ia jadi pusat perhatian. Kulihat nafasnya yang mulai ngos-ngosan. Lelah dan puas bersyair, ia menurunkan nada syairnya menjadi sejenis tembang yang pelan, syarat perenungan. Kami menyebutnya syair dua karena dikarang oleh dua marga yang berasal dari dua logat, dua adat yang saling menghidupkan.
Pentas malam berikutnya, ia menampilkan Syair Pepadun yang syarat dengan nada o tanpa ra atau re atau ri. Tapi penonton benar-benar tersihir oleh syair gelap tapi sedap di telinga itu. Para kritikus tampak mulai serius merangkai kata-kata untuk besok dimuat di media. Para wartawan mulai bertanya tentang makna. Sebab tak seorang pun malam itu yang tahu apa itu Pepadun, semua penonton hanya tahu satu-dua tradisi Saibatin. Tapi pertunjukan itu benar-benar aneh: para penonton terbuai oleh nada-nada o dalam komposisi yang beraturan, yang sedikit pun mereka tak mengerti, namun mereka bahagia. Dan tampaknya lebih bahagia dari Ina tua yang jadi perhatian malam itu.
Aku sendiri berusaha menenangkan diri dengan mengakui kalau semua seni tradisi pada dasarnya sulit dimengerti, atau malah tak dimengerti sama sekali. Tapi justru karena tak dimengerti, maka penonton ditantang untuk mengerahkan seluruh kemampuan. Lagi pula, seni tak untuk dihargai, juga dimengerti, tapi untuk dinikmati.
Malam itu ia benar-benar tampil beda dengan busana yang dikenakan sehari-hari. Malam itu Taman Budaya seperti sengaja sedang diruwat oleh pertunjukan dari seorang perempuan tua yang tak biasa, yang mencekam membetot perhatian, yang begitu percaya pada kekuatan seorang diri di hadapan penonton dengan gerak lambai tangan meliuk selama berjam-jam, seperti penari kuntau yang hanya berhenti ketika sudah mati.
Siapa perempuan tua itu, tak pernah jadi bahan pertanyaan penonton. Tak ada katalog atau poster pertunjukan. Sepastinya kami memanggilnya Ina. Wajahnya mirip seorang penari dari Cirebon. Bahkan mirip semua perempuan tua di kampung, yang mulut mereka tak berhenti bersyair ketika menanak nasi, menutu ketan di lesung dengan helu, atau ketika menjemur kopi atau lada di lebuh rumah mereka, atau ketika membuat lepet atau tape saat ada hajatan.
Tak penting lagi nama atau dari mana ia, apa marganya, karena ia telah mempesona kita semua. Ia perempuan yang sudah waktunya memperbanyak doa kepada Yang Kuasa, tapi ia seperti sebuah keajaiban yang sengaja didatangkan untuk membangunkan syair kehidupan yang telah lama dilupakan orang-orang.
Usia 65 ternyata bukan penghalang untuk mendendangkan syair-syair simpanan kepada Minak Kelasa, atawa Sri Panggung. Untuk ukuran orang seperti dia, yang sejak kecil terbiasa bekerja di huma dan di pematang, usia itu jauh lebih muda dari sosok sebenarnya yang hampir tak berdaya. Kedua buah dadanya sudah bisa diduga, juga keriput direnggut usia. Kuku-kuku di jarinya tampak tak terawat, panjang dan hitam bukan karena penuh kotoran.
Begitu dirinya tampil mempertunjukkan kebolehan di Taman Budaya malam itu, melantunkan syair yang bertutur tentang negeri-negeri di pelupuk mata yang terlupakan, getaran gaib tradisi menyembul bagai magnet membetot menarik kenangan saka. Ratusan mata terfana tak percaya tak menduga jika di negeri ini masih ada penjaga tali peranti yang hampir mati.
Perempuan tua itu tak hanya bisa bersyair, tapi juga bisa menari, dan tak jarang membuat iri para penari muda. Penampilannya memukau membangunkan orang-orang kota yang telah jauh dari mahia tradisi. Ia datang dari utara ke Tanjung Karang dengan tukak lambung karena didera TBC, perempuan tua itu seolah sengaja didatangkan dari kahyangan untuk menghidupkan kembali leluri yang hampir mati.
Saya tak tahu siapa mengundangnya. Mungkin orang Taman Budaya yang kebetulan mengetahuinya dari kabar yang beredar. Untuk apa mengetahui siapa mendatangkan Ina tua itu ke kota ini. Ia telah terlanjur jdi tontonan orang kota, direkam dengan kamera oleh para wartawan, dan tak seberapa lama “ia” tampil di televisi dengan adi-adi yang bikin iri.
Angin malam seperti sengaja meniti-niti di hati di bulu-bulu halus yang menempel di kulit kami. Tapi seindah-indah angin malam, tetaplah dapat menyibak-nyibak angan, tulang dan kulit ikut terkesima dan tergoda, nafas malam mendesah dan menderu dalam rasa yang dalam. Maka kalian takkan bisa mendengar yang sebenarnya mendengar syair perempuan tua kalau kalian tak dapat tembus ke dalam dirinya.
Lihatlah ia terus melantunkan adi-adi dan warahan-warahan yang menyebut-nyebut laut pematang dan bentang angan-angan di kejauhan yang serasa berguguran, hebos mawos serta hawos di ujung malam penghabisan:
Wi wi wi….. jak jaoh nyak lebon
mak dihalu tekibang hebos mawos
lesoh angon….. dibatok angin liyu
wi wi wi… tekacah tekacai unyinni
sai kuguai sai kukitai
lupa di khapa cakha
bela wai bela sai mawat juga tipakai
Suaranya yang aneh menggoda para penonton, mencoba menangkap seserpih arti di balik kata-kata yang tak dimengerti. Ia masih menyihir orang-orang dengan teknik-teknik mengganti warahan jadi sekimanan yang kian membingungkan. Para juri para ahli nyaris dibikin mati ketika Ina tua mulai bermain-main dengan sekian kata dan frase tua yang ditakik dari tradisi sekimanan, layaknya bertutur sambil lebur di kedalaman makna dan ketanpa-maknaan alam atawa kehidupan.
Kali ini ia menampilkan syair butatangguh, mengabarkan sesuatu kepada hadirin yang telah dipaksa menyimak nada-nada dan irama-irama yang membuai-menghanyutkan angan-angan:
Jakhu pedama suku, sengabah sanga pekon
Kipak laju di pekhbatin tuha batin sikam khoppok
Haga ngawillahkon tangguh sanga patoh pun khua
Benokhni munih disan mulang disikam dua lagi kala di nana
Jak pissan mit pindua, bukuis butakkis, butulak-busasanda
Nyawakon mak kuwawa, lattakhan mak biasa.
Min telu sampai mu pak, ngucakkon cawa nulak
Lima nam laju pitu, ngucakkon mawat tahu, lattakhan mak bugukhu
Diakuk tian khoppok lagi kala di nana
Ikok pisai wait pengkhamban kuta,
sai pandai mak tikitai, bijsaksana mak dija,
si ngong-ngon mak di pekon, khadu cakak mid dakhak.
Sai pittokh lagi midokh, si nalam lagi pedam, pekhajukhit mawat mit,
mula si bugu kanggu teliba di sikam dua, pun, ngawawillahkon tangguh
jama minak muakhi dija.
Hanya mereka yang punya cinta dengan syair tradisi yang bisa membawakan dengan sangat dramatik dan memikat perhatian. Itulah syair keindahan yang dibentuk dari kehidupan yang memprihatinkan: hidup sebagai istri petani yang kehilangan tanah garapan, jauh di utara sana, tapi berusaha tetap waya atawa bahagia.
Dalam diri Ina tua itu mungkin ada segurat liang yang dibuat dan dimuat oleh pengalaman-pengalaman pahit yang begitu pribadi, peristiwa-peristiwa dalam khayalan tak terlukiskan, pencapaian dan pelepasan yang ikhlas dan tenang tanpa dibayang-bayang pengertian, yang ditampilkan dengan penuh perhitungan.
Tapi, seperti sudah kubilang-bilang kepada kundang sekalian, jika kalian bisa meleburkan diri masuk ke dalam kedalaman ketanpa-maknaan syair lisan yang mengharukan itu, niscaya kalian akan ikut merasakan sesuatu yang liris dalam kontinuitas tradisi kehidupan. Kalau tidak kalian malah akan jadi musuhnya, selama-lamanya.
Peluh di sekujur tubuhnya mulai bergayut, dan sebentar lagi berjatuhan di lantai, tapi masih juga tak membuat Ina tua itu berhenti menyair. Ia menarik nafas sejenak, lalu melanjutkan syair demi syair hingga makin lama makin kesuruman, atawa kesurupan, hingga gerak-tubuhnya tak lagi bisa dikontrol. Hampir saja ia tajungkang ke depan panggung, tapi sebuah bayangan mengangkat tubuhnya bersamaan dengan datangnya suara dari arah utara:
Oh, Masnuna, Masnuna,
Minjaklah Ina, minjak,
Dakung kihaga mati, wi,
Niku makung ngedok gantini
Layar perlahan ditutup. Tak ada suara, juga tepuk tangan seperti biasa. Di bagian depan panggung syair Ina tua itu, terpancang papan kecil yang bertuliskan namanya: Masnuna. Dan aku berusaha mengeja namanya, sebelum ia lenyap untuk selamanya.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar