M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/
Pramoedya Ananta Toer (PAT), seorang penulis legendaris yang menjalani kehidupan dalam perjalanan panjang dan berat, serta perjuangan yang berat juga. Dia memikul tanggung jawab sebagai agen pembeber realitas sejarah masyarakatnya. Hal ini dapat saja kita tilik, dari pandangan kepenulisan PAT yang berlandaskan pada Realisme Sosialis, yang dalam pandangan Gorki: “bahwa setiap orang harus mengetahui sejarahnya”, sehingga peran untuk mengungkapkan realitas sejarah dipikul sastrawan Realisme Sosialis.
Karya PAT secara keseluruhan berupaya meraup realitas yang terjadi dalam kehidupan masyarakatnya. Ia (karya tersebut) sebagai penggambaran hidup yang utuh, sampai-sampai Yakob Sumarjo mengatakan kalau publik akan kesulitan dalam menentukan, apakah karya PAT sebagai karya fiksi atau karya biografis. Realitas kehidupan yang mendalam, PAT gambarkan melalui karya-karyanya yang mungkin (semoga) saja ada di rak buku kita.
“Bumi Manusia” (2006) sebagai novel pertama dari Tetralogi Buru, memberikan suatu perdebatan tersendiri mengenai ranah kebudayaan. Misalnya saja, konsep mengenai “Nyai” yang muncul dalam dua pandangan berbeda, baik secara realitas maupun kisah fiksinya. Konsep ini membawa pada suatu kontradiksi pemahaman budaya, yang mungkin saja, sengaja diketengahkan penulis.
Dalam “Bumi Manusia” seorang Nyai, atau istilah Nyai mengacu sebagai produk kebudayaan pemerintah Kolonial Belanda (dan Eropa). Nyai sebagai seorang perempuan peliharaan atau sebut saja sebagai perempuan gelap yang memiliki hubungan tidak sah dengan seorang Asing (Belanda). Lihat saja, skema hidup Nyai Ontosoroh yang berperan sebagai perempuan pribumi dan menjadi gundik. Keberadaan Nyai, dalam konsep “Bumi Manusia” hampir sama dengan seorang pelacur yang mendatangkan aspek kesenangan dan pemenuhan kebutuhan akan seks.
Memang berbeda, dengan Nyai Ontosoroh yang justru menjadi penguasa di Boederij Buitenzorg milik pengusaha Belanda bernama Herman Mellema. Peran Nyai di sini memiliki tendensi yang luar biasa, sebab bagaimana seorang perempuan simpanan bisa memimpin perusahaan milik orang Belanda. Nyai Ontosoroh tidak sekedar Nyai yang diperankan. Saya membaca, di sana ada pengembanan tugas yang luar biasa penting demi kelajuan hidup perusahaan besar.
Aspek ke-Nyai-an hampir sama, apabila tidak ada hubungan pernikahan sah, maka status mereka sama dengan para selir raja Jawa. Perbedaannya, selir raja menduduki posisi terhormat dikalangan masyarakat umum, bahkan banyak dari rakyat kecil yang mengidamkan posisi tersebut. Esensi antara Nyai-nya pembesar Belanda dengan selir raja Jawa adalah sama. Lantas, apa yang membedakan diantara keduanya? Nyai di sini dapat saja dipandang sebagai suatu bagian dari sistem perbudakan bangsa Belanda pada masyarakat pribumi, seperti yang diungkapkan Nyai Ontosoroh sendiri, bahwa: “bisa saja seorang budak hidup di istana kaisar, hanya dia tinggal budak (BM, 2006: 340-341)”. Dan hal ini, sama saja dengan posisi selir raja Jawa itu sendiri.
Masyarakat Jawa, memandang fenomena “Nyai” sebagai hal yang salah karena menyimpang dan merupakan pelanggaran terhadap norma masyarakat yang berkaitan dengan prinsip moral. Akantetapi, pandangan negatif ini sepertinya tidak berlaku bagi kehidupan para selir raja Jawa. Lantas, apakah fenomena “Nyai” yang terjadi pada waktu itu karena rasa ketertarikan pembesar Hindia Belanda pada kehidupan para raja Jawa?
PAT juga menceritakan mengenai dilema Herman Mellema ketika ingin anaknya dengan Nyai Ontosoroh mendapatkan pengakuan, atas baptis dari agama Kristen. Agama tersebut menolak, karena baik Robert Mellema dan Annelies Mellema bukan anak dari pernikahan yang sah. Dengan demikian, kita melihat adanya penolakan dari agama tersebut mengenai keberadaan Nyai. Tapi sayangnya, pada masa itu ketika para pembesar Hindia Belanda memeluk agama Kristen, kenapa tidak melarang perbudakan Nyai sehingga Robert Mellema dan Annelies Mellema tidak perlu lahir?
Fenomena “Nyai”nya Pramoedya perlu mendapatkan perhatian yang lebih baik, sebab di satu pihak pribumi mengatakan kalau fenomena ini sebagai produk perbudakan Hindia Belanda di Jawa, sedang disisi lain, fenomena Nyai juga muncul dalam kehidupan para raja Jawa dengan nama selir.
“Nyai” itu sendiri muncul dikarenakan adanya suatu keadaan yang mendorong seseorang untuk menyerahkan nasib untuk menjadi Nyai atau selir untuk menjalani hubungan tanpa pernikahan. Kondisi ini bisa saja sebagai akibat dari kemiskinan atau situasi politik yang gemar memberikan upeti. Apabila ditinjau dari selirnya para raja Jawa, fenomena “Nyai” dapat dipandang sebagai salah satu bentuk penyelewengan kekuasaan dalam tingkatan sosial, politik dan budaya.
Kemudian, apakah fenomena “Nyai” masih hadir dalam lingkungan masyarakat Indonesia modern? Mari kita jawab bersama-sama. Kalau, dalam suatu konsep “Nyai” sebagai suatu pola hubungan (seks, rumah tangga) yang di dalamnya tidak terdapat pernikahan, maka pada kondisi Indonesia modern sekarang, apakah hubungan-hubungan seperti itu masih terjadi? Sebut saja, kumpul-kebo sebagai hubungan antara lelaki dan perempuan dalam satu rumah, mereka melakukan hubungan keluarga seperti suami istri namun tidak terlebih dahulu melakukan pernikahan secara agama dan hukum.
Kumpul kebo yang membudi-daya ini berasal dari mana? Apakah karena gerak kebudayaan yang diwariskan semenjak dahulu, atau karena ada pengaruh kebudayaan lain yang ikut membentuk karakter bangsa. Kumpul kebo atau bahasa menterengnya living togheter, memiliki kesamaan karakter dengan “Nyai”nya Pramoedya Ananta Toer, atau dengan selir yang berada di samping raja. Entah itu Nyai, selir, kumpul kebo, atau istilah lain masih harus ditelusur dari latar belakang yang mendasari pembentukannya. Selanjutnya, bagaimana dengan free sex anak muda sekarang? Apakah itu masuk ke dalam daftar Nyai dan Selir yang didorong faktor ekonomi, atau kegiatan anak muda sekarang menjadi genre kebudayaan yang mengacu pada kesenangan. Dan kesemua ini, mengacu pada hubungan seks.
Kembali pada konsep “Nyai”, apabila dalam khasanah Hindia Belanda yang dikemukakan Pramoedya, ada khasanah lain mengenai konsep “Nyai” ini. Khasanah yang bisa membuat kita heran, karena di dalamnya terdapat perbedaan konsep. Yaitu, masyarakat Jawa pada umumnya, memandang “Nyai” sebagai seorang perempuan yang terhormat, suci, dan menjadi pendamping atau gelar bagi perempuan bersuami yang meninggal. Hal ini sangatlah berbeda dengan konsep “Nyai” antara pandangan masyarakan Hindia Belanda dengan masyarakat Jawa. Perbedaan makna ini yang dapat membuat kita salah mengerti, sehingga tidak setiap Nyai menjadi gundik dan tidak setiap gundik mewakili “Nyai”. Kemudian, bagaimana dengan free sex, kumpul kebo dan sederet yang lainnya? Saya kira, itu tidak menjadi bahasan yang penting di sini. Atau mungkin saja, para perempuan itu ingin menjadi nyai-nyai dan para lelaki kita itu ingin menjadi tuan-tuan Belanda. Saya kira.
Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 22 Februari 2011.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar