Selasa, 25 Januari 2011

Kidung Rebung

S.W. Teofani
Lampung Post, 2 Januari 2011

MENGAPA tak sekarang saja kita tebang rumpun rebung itu, Ibu? Apa lagi yang kita tunggu. Bukankah semak laknat itu menyisakan mimpi buruk pada malammu, juga siangku. Kita telah kehilangan nakhoda biduk pada ganasnya gelombang hidup. Laki-laki yang sangat mencintai bambu, mungkin melebihi cintanya padamu, juga padaku. Tapi kau tak pernah cemburu pada bambu-bambu itu. Bahkan saat akhirnya dengan sadis pohon kesumat itu menjadi sebab kematian laki-lakimu, ayahku.

Aku ingin segera meleyapkan rumpun aur itu, Ibu. Biar usai pedih ini. Agar lenyap bayang senyap pada tetumbuhan yang merenggut seluruh suluh hidupku: cengkerama dengan ayah di rembang petang, di antara betung dan aur, menyisahkan kenang yang mengguncang. Memelantingkan seluruh siksa ditinggalkan, mengundang ruang raung yang hilang.

Benar hutan bambu itu sesak kenangan, tapi nganga luka pun ia suguhkan. Aku memilih melenyapkan semua, Ibu. Agar tunai seluruh kenang, juga dendam.

Ayah pasti marah padaku, jika kuleburkan pohon hidupnya. Tapi, bukankah akhirnya pohon-pohon itu jua yang merenggut nyawanya? Karena cinta selalu menagih pembuktian, ayah menyatakan cintanya. Cinta pada rerimbun bambu, sejak bertunas hingga meranggas. Bahkan hingga bambu-bambu itu menghendaki cinta yang tandas. Lalu ke mana kehilangan ini aku sangsangkan, bila tiap bilah bambu adalah keriut lara lukaku.

Engkau diam Ibu, tak mengiyakan, pun menolak hasratku. Ingin yang kusampaikan dengan ungkap dusta, agar tak tercipta pedih bagimu, juga lara untukku. Kau hanya tersenyum dengan sungging yang mendamaikan, sekaligus meresahkan. Seperti rimbun bambu yang teduh, juga membuntal gatal. Tersebab bulu halusnya yang terselip pada setiap pelepah dan batang.

Maafkan aku Ibu. Aku mencintamu, tapi kali ini aku ingin mencintai diriku sendiri.

Di hatimu telalu banyak bilik. Aku tak sempat memasukinya satu per satu. Sebanyak bilik rumah bambu yang ditatah ayah, dibawa ke kota-kota yang jauh, dikagumi indahnya, dipuji pesonanya. Tanah kita pun masyhur karena tangan terampil ayah. Dari rakyat biasa hingga pejabat terpesona karyanya. Engkau turut tersenyum bangga, pada laki-lakimu, yang tetap kau cintai, bahkan hingga tinggal tilas yang mengenangkanmu.

**

Kan kupelihara hutan bambu itu, Suamiku. Sebagaimana dirimu menjagaku, juga anak kita. Kau merawat bambu-bambu itu sepenuh waktu, tapi aku percaya, kau jaga kami dengan seluruh hatimu. Sepeninggalmu, bambu-bambu ini yang menemaniku. Kesiurnya mengingatkan pada bisikmu tentang ketabahan. Deritnya mengenangkan pada suaramu saat memanggilku, dengan pelan,…dalam, pada sepenarikan napas yang membuat kita sadar pada amanah kemaslahatan. Lalu muncul pucuk-pucuk rebung yang menjanjikan hari esok nan panjang. Rebung itu bertumbuh menjadi aur baru yang menggantikan. Hingga siap ditinggalkan batang induknya yang kita tebang.

Tapi tidak diriku, Suamiku. Kau tinggalkan aku saat rebung kita begitu belia. Ia belum siap menanggung derita. Tapi aku berbaik sangka, kau yakin kumampu menjaganya. Selain ketundukkan kita pada keharusan semesta yang mengajari lega lila pada ingin-Nya. Meski ada lembar hatiku mengeja hal lain yang kita amini dengan kedipan mata. Lalu kita tertunduk karena kesalahan yang tak kita kehendaki.

Kau ajari aku menyayangi bambu seperti menjaga kehidupan. Kau tak akan menebang betung jika tumbuhan itu tak menginginkan. Bahkan kau tahu, mana batang yang berkenan kau tebang, dan mana yang enggan kau pinang. Tak akan kau tebang batang betung yang menyusui rebung. Kau rawat dia hingga tunai sang betung mengasuh rebung. Jika pada titimangsa tua, ketika bulan tak lagi purnama, kusaksikan batang-batang betung rebah dengan indah. Pada pangkuanmu, pada tanganmu yang begitu piawai menjadikannya lebih berharga. Akan kusaksikan betapa mesranya kau menyambut batang betung itu. Dan betapa cemburunya aku pada kemanjaan rumpun rumput istimewamu. Batang-batang itu seperti tahu, kaulah yang akan menatah titah mengada; memberi manfaat bagi semesta. Jika sampai waktunya, bambu itu pasrah pada tanganmu mencipta. Batang betung dan aur itu percaya, kau mampu mendandaninya menjadi permata yang disanjung puja. Bukan sekadar kayu bakar yang tersia.

Di hari nahas itu, aur dan betung mengutukmu. Rumpun itu merasa dikhianati, sebagaimana kau tersiksa atas pengingkaran pada anak jiwamu, juga seluruh hidupmu. Aku tahu, Suamiku, betapa sulitnya debat hatimu saat itu.

Seluruhmu tergadai antara titah dan tembang manah. Kau sanggupi wisma angsana di taman kota praja. Yang Mulia meminta mahakaryamu tercipta dari bambu terbaik yang dipilihnya. Dia tunjuk serumpun betung nan memesona; setiap jiwa terkagum pada pikatnya. Dengan santun kau katakan pada Yang Mulia, betung itu belum sampai titimangsa. Kau tawarkan batang lain yang tak kalah jelita. Telah kau siapkan pada musim tebang sebelumnya.

Tapi siapakah engkau, Suamiku. Engkau tak punya daya untuk menawarkan kebenaran di hadapan penguasa. Apalah arti pengetahuanmu di hadapan kemauan raja. Dengan senyum getir, kau iyakan mata murkanya. Dia puas dalam tawa. Tak ada yang lebih tahu dari nafsunya. Tak ada yang sanggup menentang maunya. Apalah arti seorang perajin bambu di hadapan kuasanya. Sebentar lagi istana bambu yang diidamkannya tercipta, meski menumbalkan kemaslahatan muasalnya.

Aku tahu, Suamiku, untukmu yang begitu takzim pada gerak mayapada, memangkas betung dengan tergesa adalah perbuatan sia-sia. Bagimu, ini langkah zalim pada semesta. Satu betung kau bawa, berdasa rebung binasa. Tapi bisakah penguasa berlapang dada pada kearifan alam raya?

Suamiku, di belakangmu aku terdiam. Mengikuti langkahmu yang gamang. Tak kulihat lagi semringahmu menyambut rebahnya lurus batang. Kau begitu bimbang. Akan kau tebang betung yang tengah menyusui rebung. Akan kau pangkas hatimu untuk titah. Tapi aku tak percaya, kau berani mengingkari tembang rejang kehidupan.

Langkahmu gundah, mendekat batang betung dengan pasrah. Tanganmu gemetar saat menempelkan parang pada batang yang tak hendak rebah. Ketika parang kau angkat, riuh jerit rimbun rebung pilu menyayat. Direbutnya parang hatimu yang mendekat. Tangis mereka pecah saat besi tajam itu semakin rapat. Gendang telingamu tak mampu menangkap apa pun, selain sayat pilu sedu sedan rebung. Tanganmu goyah, entah ke mana parang terarah, hingga senjata itu memilih tuannya. Darah mengucur di pucuk-pucuk rebung, juga bambu betung. Tangis rebung reda, atas peristiwa tak terduga, berganti isakku kehilanganmu. Tak lama, rebung-rebung itu, petung itu, aur itu, turut tersedan. Melafalkan kidung penyesalan akan kepergian. Menembangkan kehilangan manusia yang akan menjaga dan merawatnya, juga memolesnya hingga memesona. Kemudian, kota ini menjadi sepi, tak lagi wangi.

**

“Mengapa tak sekarang saja kita tebang rimbun aur itu, Ibu? Kan kubuat sebuah kota dengan rumah-rumah bambu di atasnya. Pasti negeri ini akan masyhur lagi.”

“Anakku, menanam ada masanya, memetik pun ada waktunya, jangan kau ganggu bambu-bambu itu. Lihatlah, anak-anaknya tengah menyusu.”

“Ah..ibu, manalah putingnya, manalah airnya, ibu jangan mengada-ada. Akulah anak ibu yang akan merawatnya, dengan menjadikannya lebih berharga.”

“Pada mangsa setelah dasa, kala bulan tak lagi purnama, tebanglah induknya saja. Biarkan anak-anaknya bertumbuh menggantikannya.”

“Akan aku tebang semuanya, Ibu. Agar tak lagi ada ular yang bersembunyi di semaknya. Kan kubangun rumah-rumah bambu di atasnya, biar tanah kita jadi legenda.”

“Anakku, buah cinta hutan bambu, jangan turuti nafsu. Apalah arti legenda, jika musnah segala yang ada. Kita ambil sebagian saja, seperlu hajat kita, bumi akan panen raya setelah padam purnama.”

“Duh Ibu, kekasihku, teman jiwa ayahku,…mengapa kau eja purnama, zaman tak lagi menghiraukannya. Esok ada batang beton yang menggantikan bambu betung itu.”

“Duh..anakku, kau saksikan matahari muncul di waktu pagi, terbenam di senja kala, tentu ada maksudnya. Tuhan tak ciptakan itu dengan sia-sia. Adalah perputaran waktu yang menggantikan warsa. Membuat kita belajar tentang musim, tema titimangsa. Benar semua waktu baik, Anakku. Maka disebut baik, karena mengandung kebaikan untuk yang lainnya. Pandailah kau membaca sasmita, pertanda yang dipersembahkan alam untuk kita. Cermatlah dirimu berteman dengan musim, agar menjadi sahabat semesta.”

“Duh..Ibu, tidakkah semua telah berlalu. Kita hidup di zaman tanpa musim, tak beda ketika purnama atau gulita.”

“Anakku, ibu telah tua. Tinggal merawatmu, juga rumpun rebung itu. Menjaga kinasih ayahmu, menata kelarasan mayapada.”

“Duh Ibu, aku anakmu seorang saja, kan kulakukan yang terbaik bagi semua.”

***

“Suamiku, maafkan aku. Tak tuntas kuajarkan kearifan pada anak kita. Kini aku hidup tanpamu, tanpa hutan bambu. Yang tertinggal ngiang kidung rebung yang meratapi namamu.”

Jatimulyo, ujung 2010

Happy birthday my best friend Elly D., 25 Desember 2010
Kado untuk Suluh Jiwa, 20 Desember 2010

Sumber: menjumput dari http://kklampost.blogspot.com/2011/01/cerpen-sw-teofani.html

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir