S.W. Teofani
Lampung Post, 2 Januari 2011
MENGAPA tak sekarang saja kita tebang rumpun rebung itu, Ibu? Apa lagi yang kita tunggu. Bukankah semak laknat itu menyisakan mimpi buruk pada malammu, juga siangku. Kita telah kehilangan nakhoda biduk pada ganasnya gelombang hidup. Laki-laki yang sangat mencintai bambu, mungkin melebihi cintanya padamu, juga padaku. Tapi kau tak pernah cemburu pada bambu-bambu itu. Bahkan saat akhirnya dengan sadis pohon kesumat itu menjadi sebab kematian laki-lakimu, ayahku.
Aku ingin segera meleyapkan rumpun aur itu, Ibu. Biar usai pedih ini. Agar lenyap bayang senyap pada tetumbuhan yang merenggut seluruh suluh hidupku: cengkerama dengan ayah di rembang petang, di antara betung dan aur, menyisahkan kenang yang mengguncang. Memelantingkan seluruh siksa ditinggalkan, mengundang ruang raung yang hilang.
Benar hutan bambu itu sesak kenangan, tapi nganga luka pun ia suguhkan. Aku memilih melenyapkan semua, Ibu. Agar tunai seluruh kenang, juga dendam.
Ayah pasti marah padaku, jika kuleburkan pohon hidupnya. Tapi, bukankah akhirnya pohon-pohon itu jua yang merenggut nyawanya? Karena cinta selalu menagih pembuktian, ayah menyatakan cintanya. Cinta pada rerimbun bambu, sejak bertunas hingga meranggas. Bahkan hingga bambu-bambu itu menghendaki cinta yang tandas. Lalu ke mana kehilangan ini aku sangsangkan, bila tiap bilah bambu adalah keriut lara lukaku.
Engkau diam Ibu, tak mengiyakan, pun menolak hasratku. Ingin yang kusampaikan dengan ungkap dusta, agar tak tercipta pedih bagimu, juga lara untukku. Kau hanya tersenyum dengan sungging yang mendamaikan, sekaligus meresahkan. Seperti rimbun bambu yang teduh, juga membuntal gatal. Tersebab bulu halusnya yang terselip pada setiap pelepah dan batang.
Maafkan aku Ibu. Aku mencintamu, tapi kali ini aku ingin mencintai diriku sendiri.
Di hatimu telalu banyak bilik. Aku tak sempat memasukinya satu per satu. Sebanyak bilik rumah bambu yang ditatah ayah, dibawa ke kota-kota yang jauh, dikagumi indahnya, dipuji pesonanya. Tanah kita pun masyhur karena tangan terampil ayah. Dari rakyat biasa hingga pejabat terpesona karyanya. Engkau turut tersenyum bangga, pada laki-lakimu, yang tetap kau cintai, bahkan hingga tinggal tilas yang mengenangkanmu.
**
Kan kupelihara hutan bambu itu, Suamiku. Sebagaimana dirimu menjagaku, juga anak kita. Kau merawat bambu-bambu itu sepenuh waktu, tapi aku percaya, kau jaga kami dengan seluruh hatimu. Sepeninggalmu, bambu-bambu ini yang menemaniku. Kesiurnya mengingatkan pada bisikmu tentang ketabahan. Deritnya mengenangkan pada suaramu saat memanggilku, dengan pelan,…dalam, pada sepenarikan napas yang membuat kita sadar pada amanah kemaslahatan. Lalu muncul pucuk-pucuk rebung yang menjanjikan hari esok nan panjang. Rebung itu bertumbuh menjadi aur baru yang menggantikan. Hingga siap ditinggalkan batang induknya yang kita tebang.
Tapi tidak diriku, Suamiku. Kau tinggalkan aku saat rebung kita begitu belia. Ia belum siap menanggung derita. Tapi aku berbaik sangka, kau yakin kumampu menjaganya. Selain ketundukkan kita pada keharusan semesta yang mengajari lega lila pada ingin-Nya. Meski ada lembar hatiku mengeja hal lain yang kita amini dengan kedipan mata. Lalu kita tertunduk karena kesalahan yang tak kita kehendaki.
Kau ajari aku menyayangi bambu seperti menjaga kehidupan. Kau tak akan menebang betung jika tumbuhan itu tak menginginkan. Bahkan kau tahu, mana batang yang berkenan kau tebang, dan mana yang enggan kau pinang. Tak akan kau tebang batang betung yang menyusui rebung. Kau rawat dia hingga tunai sang betung mengasuh rebung. Jika pada titimangsa tua, ketika bulan tak lagi purnama, kusaksikan batang-batang betung rebah dengan indah. Pada pangkuanmu, pada tanganmu yang begitu piawai menjadikannya lebih berharga. Akan kusaksikan betapa mesranya kau menyambut batang betung itu. Dan betapa cemburunya aku pada kemanjaan rumpun rumput istimewamu. Batang-batang itu seperti tahu, kaulah yang akan menatah titah mengada; memberi manfaat bagi semesta. Jika sampai waktunya, bambu itu pasrah pada tanganmu mencipta. Batang betung dan aur itu percaya, kau mampu mendandaninya menjadi permata yang disanjung puja. Bukan sekadar kayu bakar yang tersia.
Di hari nahas itu, aur dan betung mengutukmu. Rumpun itu merasa dikhianati, sebagaimana kau tersiksa atas pengingkaran pada anak jiwamu, juga seluruh hidupmu. Aku tahu, Suamiku, betapa sulitnya debat hatimu saat itu.
Seluruhmu tergadai antara titah dan tembang manah. Kau sanggupi wisma angsana di taman kota praja. Yang Mulia meminta mahakaryamu tercipta dari bambu terbaik yang dipilihnya. Dia tunjuk serumpun betung nan memesona; setiap jiwa terkagum pada pikatnya. Dengan santun kau katakan pada Yang Mulia, betung itu belum sampai titimangsa. Kau tawarkan batang lain yang tak kalah jelita. Telah kau siapkan pada musim tebang sebelumnya.
Tapi siapakah engkau, Suamiku. Engkau tak punya daya untuk menawarkan kebenaran di hadapan penguasa. Apalah arti pengetahuanmu di hadapan kemauan raja. Dengan senyum getir, kau iyakan mata murkanya. Dia puas dalam tawa. Tak ada yang lebih tahu dari nafsunya. Tak ada yang sanggup menentang maunya. Apalah arti seorang perajin bambu di hadapan kuasanya. Sebentar lagi istana bambu yang diidamkannya tercipta, meski menumbalkan kemaslahatan muasalnya.
Aku tahu, Suamiku, untukmu yang begitu takzim pada gerak mayapada, memangkas betung dengan tergesa adalah perbuatan sia-sia. Bagimu, ini langkah zalim pada semesta. Satu betung kau bawa, berdasa rebung binasa. Tapi bisakah penguasa berlapang dada pada kearifan alam raya?
Suamiku, di belakangmu aku terdiam. Mengikuti langkahmu yang gamang. Tak kulihat lagi semringahmu menyambut rebahnya lurus batang. Kau begitu bimbang. Akan kau tebang betung yang tengah menyusui rebung. Akan kau pangkas hatimu untuk titah. Tapi aku tak percaya, kau berani mengingkari tembang rejang kehidupan.
Langkahmu gundah, mendekat batang betung dengan pasrah. Tanganmu gemetar saat menempelkan parang pada batang yang tak hendak rebah. Ketika parang kau angkat, riuh jerit rimbun rebung pilu menyayat. Direbutnya parang hatimu yang mendekat. Tangis mereka pecah saat besi tajam itu semakin rapat. Gendang telingamu tak mampu menangkap apa pun, selain sayat pilu sedu sedan rebung. Tanganmu goyah, entah ke mana parang terarah, hingga senjata itu memilih tuannya. Darah mengucur di pucuk-pucuk rebung, juga bambu betung. Tangis rebung reda, atas peristiwa tak terduga, berganti isakku kehilanganmu. Tak lama, rebung-rebung itu, petung itu, aur itu, turut tersedan. Melafalkan kidung penyesalan akan kepergian. Menembangkan kehilangan manusia yang akan menjaga dan merawatnya, juga memolesnya hingga memesona. Kemudian, kota ini menjadi sepi, tak lagi wangi.
**
“Mengapa tak sekarang saja kita tebang rimbun aur itu, Ibu? Kan kubuat sebuah kota dengan rumah-rumah bambu di atasnya. Pasti negeri ini akan masyhur lagi.”
“Anakku, menanam ada masanya, memetik pun ada waktunya, jangan kau ganggu bambu-bambu itu. Lihatlah, anak-anaknya tengah menyusu.”
“Ah..ibu, manalah putingnya, manalah airnya, ibu jangan mengada-ada. Akulah anak ibu yang akan merawatnya, dengan menjadikannya lebih berharga.”
“Pada mangsa setelah dasa, kala bulan tak lagi purnama, tebanglah induknya saja. Biarkan anak-anaknya bertumbuh menggantikannya.”
“Akan aku tebang semuanya, Ibu. Agar tak lagi ada ular yang bersembunyi di semaknya. Kan kubangun rumah-rumah bambu di atasnya, biar tanah kita jadi legenda.”
“Anakku, buah cinta hutan bambu, jangan turuti nafsu. Apalah arti legenda, jika musnah segala yang ada. Kita ambil sebagian saja, seperlu hajat kita, bumi akan panen raya setelah padam purnama.”
“Duh Ibu, kekasihku, teman jiwa ayahku,…mengapa kau eja purnama, zaman tak lagi menghiraukannya. Esok ada batang beton yang menggantikan bambu betung itu.”
“Duh..anakku, kau saksikan matahari muncul di waktu pagi, terbenam di senja kala, tentu ada maksudnya. Tuhan tak ciptakan itu dengan sia-sia. Adalah perputaran waktu yang menggantikan warsa. Membuat kita belajar tentang musim, tema titimangsa. Benar semua waktu baik, Anakku. Maka disebut baik, karena mengandung kebaikan untuk yang lainnya. Pandailah kau membaca sasmita, pertanda yang dipersembahkan alam untuk kita. Cermatlah dirimu berteman dengan musim, agar menjadi sahabat semesta.”
“Duh..Ibu, tidakkah semua telah berlalu. Kita hidup di zaman tanpa musim, tak beda ketika purnama atau gulita.”
“Anakku, ibu telah tua. Tinggal merawatmu, juga rumpun rebung itu. Menjaga kinasih ayahmu, menata kelarasan mayapada.”
“Duh Ibu, aku anakmu seorang saja, kan kulakukan yang terbaik bagi semua.”
***
“Suamiku, maafkan aku. Tak tuntas kuajarkan kearifan pada anak kita. Kini aku hidup tanpamu, tanpa hutan bambu. Yang tertinggal ngiang kidung rebung yang meratapi namamu.”
Jatimulyo, ujung 2010
Happy birthday my best friend Elly D., 25 Desember 2010
Kado untuk Suluh Jiwa, 20 Desember 2010
Sumber: menjumput dari http://kklampost.blogspot.com/2011/01/cerpen-sw-teofani.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 25 Januari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar