Selasa, 02 November 2010

Pelacur Dibayar Uang, Isteri Dibayar Cinta

Novel membara ’Cantik Itu Luka’
Raudal Tanjung Banua
http://www.kr.co.id/

MEMBACA novel ”Cantik Itu Luka” karya Eka Kurniawan (Aky Press-Jendela, 2003) kita akan bersua cinta membara di antara tokoh-tokohnya. Di tengah ”kegilaan” nilai-nilai seperti pelacuran, perselingkuhan, perang, pembanditan, dan kekuasaan, cinta menjadi sangat esensial, baik bagi ”muatan moral” - kalau memang pertanggungjawaban kepada publik pembaca masih mempertimbangkan unsur ini - maupun bagi jalan cerita secara keseluruhan.

Ya, karena cinta, sebuah ungkapan tanpa tedeng aling-aling mengalir dari kalimat Eka: ”Pelacur dibayar pakai uang, istri dibayar dengan cinta!”

Atau, dengarlah ucapan seorang tabib India ketika mengobati Ma Gedik- yang notabene sakit karena cinta- katanya pasti,” Hanya cinta yang bisa menyembuhkan orang gila!” (hal. 34).

Sementara ”kegilaan” itu terus berpusar di lingkungan para tokoh novel ini, seolah menisbikan nilai-nilai (yang normatif dan konvensional). Bayangkanlah, seorang lelaki, ayah Rosinah, menyerahkan anak gadisnya untuk ditukar hanya supaya dapat tidur dengan pelacur Dewi Ayu. Katanya,” Kau bisa menjadikannya pelacur atau mencincangnya untuk dijual sebagai daging kiloan di pasar,” (sungguh mengerikan, mengingatkan kita pada cerpen-cerpen Joni Ariadinata atau kegilaan Monte Cristo), lalu mereka bercinta, si anak menunggu tenang di luar, dan sebagai bayarannya si Rosinah yang bisu menjadi milik Dewi Ayu— awal ia menjadi pembantu yang patuh.

Mengapa di antara kegilaan semacam ini, sang ayah masih membutuhkan pelacur? Mengapa tidak langsung saja menyalurkannya secara insest kepada si Rosinah, biar kegilaan itu semakin genap-lengkap? Ternyata tak. Cinta menemukan perannya di sini. Demi cinta, seorang ayah masih menghargai anaknya secara seksual, bandingkan dengan banyak peristiwa di luar teks yang justru terjadi di tengah lingkungan sosial yang ”waras”. Memang, ada Raja Pajajaran yang jatuh cinta pada Putri Rengganis, anaknya sendiri, tapi itupun kemudian berakhir ”indah”. si ayah membatalkan niat gilanya.

Karena cinta pula, Ma Gedik yang terpasung — karena kesetiaannya — lantas mencabuli binatang ternak, karena itu ia dianggap gila ”sungguh-sungguh”, justru di tengah ”kegilaan” nilai-nilai — masih bisa menyanyikan kidung-kidung cinta yang indah, yang membuat banyak orang menangis karenanya. Nyanyian itu untuk menyambut kekasihnya, setelah 16 tahun masa penantian — dengan segala kesetiaan dan cinta — dan ia kemudian bertemu Ma Iyang kekasihnya itu, meskipun harus berakhir tragis (35-37).

Cinta juga membuat Maman Gendeng yang brutal, ganas dan menyimpan dendam, luluh ketika bertemu gadis mungil berlesung pipit bernama Nasiah. Seketika ia memutuskan akan menghentikan pengembaraan gilanya, dan bermimpi hidup berumah tangga dengan Naisah (ai, bukankah impian tentang rumah juga melambangkan kuatnya cinta di tengah kegilaan? Seperti juga Shodanco yang takut kehilangan janin bayinya). Bahkan, ketika Maman menghadapi Naisah untuk mengemukakan cinta, Maman Gendeng merasakan jauh lebih mengerikan daripada menghadapi pasukan Belanda. Cinta yang takut dan gemetar, kata orang, adalah perlambang cinta yang sebenar-benarnya. Dan Maman me-ngaku terus terang,” Cinta telah memberiku dorongan yang tak diberikan oleh apapun!” (hal 115).

Akan tetapi, karena cinta pula, Naisah si gadis mungil berani menolak Maman Gendeng si tuan Gerilya, sebab ternyata ia sudah memiliki seorang kekasih, meski seorang lelaki invalid. ”Tuan Gerilya, ijinkanlah kami saling mencintai dan tak ingin dipisahkan…” Maka, Maman Gendeng yang brutal dan mestinya bisa berbuat apa saja itu, luruh kedua kalinya, pergi, karena tak ingin menghancurkan kebahagiaan mereka. (116) Sebuah penghormatan yang indah pada cinta. Dan kesakitan akan cinta, tidak membuat Maman menyerah, justru membangkitkan hasratnya untuk mencari cinta sejati.

Begitulah, bertahun-tahun kemudian, setelah menjadi orang penting di kelompoknya, bagai Che Guevara yang tak mau hidup di tengah kemapanan, ia kembali bersampan, mengembara (kali ini bukan lagi pengembaraan tanpa arah, seperti sebelumnya, melainkan pengembaraan yang punya orientasi: cinta sejati). Cinta sejati itu, diinterprestasikan dengan Putri Rengganis yang bagi saya tidak hanya berarti sosok fisik, namun juga metafisik, sekaligus bayang-bayang idealisasi.

Masih soal cinta, Dewi Ayu yang melacur, masih cukup meyakinkan ketika menghadapi permintaan kliennya si Maman Gendeng tadi. Katanya,” Aku bukannya tak percaya bahwa cinta itu ada dan sebaliknya aku melakukan semua ini dengan penuh cinta, bukan berarti aku kehilangan cinta.” (135). Dengan cinta, seorang pelacur membangun bargaining dan eksistensinya. Sebaliknya, atas dorongan cinta pula (bukan seksual belaka) Maman Gendeng tetap bertahan dan berupaya untuk mendapatkan Dewi Ayu, sampai akhirnya tercapai satu kesepakatan yang cukup sportif dan lugas: menjadi klien tunggal Dewi Ayu. Saya katakan bahwa kesepakatan itu bukan karena dorongan seksual, toh anak-anak Dewi Ayu yang lain tak kalah cantiknya, dan Maman bisa mendapatkannya kalau memang ibunya tidak mau— karena Maman memang berkuasa saat itu. Akan tetapi kegilaan itu tidak terjadi lantaran cinta mampu mengontrolnya.

Di sisi yang lain, Alamanda, anak Dewi Ayu juga tengah menunggu kekasihnya dengan kesetian yang penuh: Kamerad Kliwon. Ia bergeming menghadapi godaan Shodanco, sampai laki-laki berkuasa itu jatuh dan mengeluh, ”Adakah strategi gerilya untuk mengalahkan cinta?” (167) katanya lemah, padahal ia seorang mantan gerilya yang ulung bikin strategi. Begitulah, Alamanda yang binal dan sering membuat patah hati lelaki, justru sangat bersetia pada Kliwon, sementara Shodanco yang ulung menyerah pada ajaibnya cinta.

Persoalannya sekarang, adakah cinta di sini hakiki atau masih sebatas nafsu belaka? Adakah sebatas fisik, bukan menyentuh kedalaman? Tampaknya, ”cinta bergelora” lebih dominan ketimbang ” cinta yang mempesona”. Artinya, ungkapan cinta tokoh-tokoh di atas masih saja dibayang-bayangi ”urusan perkelaminan”, penuh nafsu, bergelora, berapi-api, membakar. Satu-satunya percintaan yang teramat menyentuh dan menggetarkan, yang tidak terburu-buru masuk dalam urusan ”perkelaminan” adalah percintaan Maman Gendeng dengan Maya Dewi — anak Dewi Ayu. Tidak saja karena Maya Dewi dinikahinya secara baik-baik, penuh restu dari ibu mertua, tetapi juga kesabaran Maman menunggu malam pertama — karena Maya Dewi masih sekolah. Dan ia tahan terhadap yang berbau umbar nafsu.

Seandainya percintaan dalam ”Cantik Itu Luka” sedikit steril dari ”cinta membara”, tetapi sedikit condong pada jenis ”cinta yang mempesona” maka ”cerita cinta” akan menjadi lebih merasuk dan sunyata, dan itu akan menjadi oase yang meyakinkan. Setidaknya akan tercapai hal-hal seperti ini: pertama, ”cerita cinta” menjadi sesuatu yang benar-benar disuguhkan secara sadar oleh pengarang sebagai sindiran atas tatanan masyarakat yang gila akan nilai dan norma-norma, tapi busuk dalam pelaksanaannya. Jadi, ada misi pencerahan dan penyadaran untuk melihat ke dalam, kepada tatanan.

Kedua, bagi pembaca fanatik (akan tatanan), novel ini boleh jadi dianggap sangat keterlaluan, lancang dan mengada-ada, karena penuh ”kegilaan”, sehingga ”cinta membawa” bakal menambah sengkarut itu. Sementara ”cinta mempesona” tidak saja mampu menetralisir suasana, namun sekaligus meyakinkan bahwa cinta mampu berperan besar dalam membentuk tatanan. Bukan sekadar meradang, setelah itu padam.

Cinta dengan demikian, tidak sekadar hiasan, tidak sekadar tempelan, tidak sekadar ”urusan perkelaminan”. Tapi ia menjadi lebih esensial: menjadi misi, menjadi soliloqui, bahkan ideologi. Namun, semuanya tentu berpulang pada pengarang, meski sebagai pembaca kita pun berhak pasang ancang-ancang. n

* Raudal Tanjung Banua, pembaca sastra, tinggal di Sewon, Bantul

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir